Anda di halaman 1dari 21

TUGAS REFERAT STASE ANAK

DISTRES PERNAFASAN NEONATUS


Penyakit Membran Hialin

Pembimbing:

Oleh

HALAMAN PENGESAHAN
TUGAS REFERAT
DISTRES PERNAFASAN NEONATUS

Oleh
Disusun untuk memenuhi tugas
Diterima dan disahkan,
Purwokerto,

Mei 2016

Dosen Pembimbing,

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sistem pernafasan merupakan salah satu sistem organ yang diperlukan
manusia untuk memberi suplai oksigen yang diperlukan dalam metabolisme tubuh
untuk menopang kehidupan. Namun tidak jarang kesehatan sistem pernafasan
mengalami gangguan terutama pada masa awal kehidupan manusia, salah satu
yang mungkin dialami adalah Respiratory Distress Syndrome. Respiratory
Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat nafas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama
pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan
pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan
masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi
akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi
lahir dan akan bertambah berat. Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali
oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS.
Penyakit ini adalah penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada
bayi prematur.
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian rutin
antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian RDS 2-3%, di
USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987. Sedangkan jaman
modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun menjadi 1%. Di negara
berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan tentang kejadian RDS..
Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat
501-1500 gram (lemons et al,2001). Angka kejadian berhubungan dengan umur
gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy
& Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.
Berdasarkan perkiraan 30 % dari kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau
komplikasi yang dihasilkannya (Behrman, 2004 didalam Leifer 2007).
3

Pada RDS terjadi atelektasis yang sangat progresif, yang disebabkan


kurangnya zat yang disebut surfaktan. Surfaktan merupakan suatu campuran
lipoprotein aktif yang diproduksi sel epitel saluran nafas disebut sel pnemosit tipe
II dengan permukaan yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps pada
akhir ekspirasi.. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24 minggu dan
mencapai maksimum pada minggu ke 35. Zat ini terdiri dari fosfolipid (75%) dan
protein (10%). Peranan surfaktan ialah merendahkan tegangan permukaan
alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional
pada sisa akhir ekspirasi.
Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga
terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. (Bobak, 2005).
Sebagian besar kasus RDS pada bayi dapat diperbaiki atau dicegah jika
ibu yang hendak melahirkan prematur dapat diberikan glukokortikoid , satu
kelompok hormon. Ini akan mempercepat produksi surfaktan . Untuk pengiriman
yang sangat prematur , glukokortikoid yang diberikan tanpa menguji kematangan
paru janin . The American College of Obstetricians dan Gynecologists ( ACOG ) ,
Royal

College

of

Medicine

dan

organisasi

besar

lainnya

telah

merekomendasikan pengobatan glukokortikoid antenatal untuk perempuan pada


risiko kelahiran prematur sebelum 34 minggu kehamilan. Beberapa program
administrasi glukokortikoid , dibandingkan dengan kursus tunggal, tampaknya
tidak menambah atau mengurangi risiko kematian atau gangguan perkembangan
saraf anak. Dari kebanyakan kasus RDS, tindakan yang paling efektif dalam
pengobatan pasien ini adalah pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar).
Obat ini sangat efektif tapi biayanya sangat mahal.

II. Tujuan
1. Mengetahui penyebab penyakit Distres Pernapasan Neonatus
2. Mengetahui mekanisme terjadinya Distres Pernapasan Neonatus
3. Mengetahui gejala klinis dari penyakit Distres Pernapasan Neonatus
4. Mengetahui terapi yang diberikan untuk penderita Distres Pernapasan
Neonatus
5. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit Distres Pernapasan
Neonatus

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang
disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada
neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram. Surfaktan mulai
dibentuk pada usia kehamilan 24-28 minggu .Oleh karena itu kejadian PMH
berbanding terbalik dengan usia gestasi. Angka kejadian PMH pada neonatus
dengan usia gestasi <30 minggu 60%, usia gestasi 30-34 minggu 25%, dan pada
usia gestasi 35-36 minggu adalah 5%. Faktor predisposisi lain adalah kelahiran
operasi sesar dan ibu dengan diabetes (Pudjiadi, et al., 2009).
B. Epidemiologi
PMH terutama terjadi pada bayi prematur, angka kejadiannya berbanding
terbalik dengan usia gestasi dan berat lahir. Angka kejadian pada neonatus dengan
usia gestasi < 28 minggu 60-80 %, usia gestasi 32-36 minggu 15-30 %, dan usia
di atas 37 minggu sekitar 5 %, dan jarang pada preterm. Peningkatan kejadian
terdapat pada bayi dengan ibu penderita diabetes, persalinan sebelum 37 minggu,
kehamilan multigravida, persalinan sesar, persalinan presipitatus, asfiksia, dan
riwayat bayi dengan PMH sebelumnya. Risiko PMH menurun pada kehamilan
dengan hipertensi kronis atau hipertensi pada kehamilan, adiksi opiate maternal,
prolonged rupture membran, dan penggunaan kortikosteroid antenatal (Kiegman
& Behrmann, 2007)
C. Etiologi
RDS terjadi setelah onset pernafasan dan berhubungan dengan defisisensi
surfaktan paru ( Nelson edisi lima). Defisiensi surfaktan merupakan penyebab
primer PMH. Kegagalan perkembangan paru dan kecenderungan paru yang
terkena untuk menjadi ateletaksis berkorelasi dengan tegangan permukaan yang
tinggi dan tidak adanya surfaktan paru. Konstituen utama surfaktan antara lain
dipalmitoyl phosphatidylcholine (lecithin), phosphatidylglycerol, apoproteins
6

(surfactant proteins SP-A, -B, -C, -D), and cholesterol ) (Kiegman & Behrmann,
2007).
D. Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini.
Pembentukan substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan salah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu kompleks
yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama zat tersebut
ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke-35 (Lawrance & Sam, 2011).
Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat
stabil alveoli dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan
mengurangi tegangan. Dipalmitoyl phophatidyl choline (DPPC) merupakan
komposisi utama dalam surfaktan yang mengurangi surface tension.Surfaktan
memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP - A,SP - B, SP C, dan SP D.
Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi-step dan
mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi.
Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan
tubular myelin Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik
yang penting dalam pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus
(Mathew, 2011). Sintesis surfaktan bergantung pada pH, suhu, dan perfusi.
Afiksia, hipoksia, hipotensi, dan iskemik pulmonal, yang berhubungan dengan
hipovolemik, hipotensi, dan suhu dingin dapat mengurangi sintesis surfaktan
(Kiegman & Behrmann, 2007).

Gambar 1. Proses pembentukan Surfaktan (Lawrance & Sam, 2011)


Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus
sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil
pada akhir ekspirasi. Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit
membrane hialin menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan
stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi,
sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks
yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2
dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan (Abdul & Antonius, 2007):
1. oksigenasi

jaringan

menurun,

sehingga

akan

terjadi

metabolism

anaerobicdengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang


menyebabkan terjadinya asidosismetabolik pada bayi
2. kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin
dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebutmembran hialin.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah

daridan ke jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini
akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi surfaktan (Abdul &
Antonius, 2007).

Gambar 2. Patofisiologi penyakit membran hyalin

E. Penegakan Diagnosis
1. Tanda dan Gejala
Gejala yang dapat terjadi dapat berupa Sesak, merintih, takipnea,
retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping hidung, dan --sianosis yang
terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. Bila gejala tidak timbul dalam
8 jam pertama kehidupan, adanya PMH dapat disingkirkan (Pudjiadi, et al.,
2009).

Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis


dan perfusi paruyang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran
klinis seperti dispnu atau hiperpnu,sianosis karena saturasi O2 yang menurun,
retraksi suprasternal, retraksi interkostal dan expiratory grunting. Selain
tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya bradikardia
(sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, pitting
edema terutama di daerah dorsal tangan/ kaki, hipotermia, tonus otot yang
menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi (Abdul &
Antonius, 2007). Scoring system yang sering digunakan pada bayi preterm
dengan PMH adalah Silverman Anderson score untuk mengevaluasi derajat
keberatan dari gangguan nafas (Mathai & Raju, 2007).

Gambar 2. Skor Silverman Anderson (Mathai & Raju, 2007)


2. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto toraks AP
Gambaran pencitraan (Pudjiadi, et al., 2009)

Bentuk toraks yang sempit disebabkan hipoaerasi dan volume paru

berkurang.
Gambaran --ground-glass, retikulogranuler menyeluruh serta perluasan
ke perifer
10

Gambaran udara bronkus (--air bronchogram).


Gambaran granularitas, yaitu distensi duktus dan bronkiolus yang terisi
udara dengan --alveoli yang mengalami atelektasis.
Gambaran tersebut bergantung pada kondisi bayi, apabila

dilakukan Tata laksana PMH yang baik, seperti penggunaan surfaktan dan
pemberian --CPAP segera setelah bayi lahir menyebabkan gambaran tidak
klasik pada foto toraks (Pudjiadi, et al., 2009).
Menurut IDAI Klasifikasi beratnya PMH pada dibagi atas 4
derajat (Gambar 7), yaitu:

Derajat I: bercak retikulogranuler dengan --air brochogram


Derajat II: bercak retikulogranular menyeluruh dengan --air

bronchogram
Derajat III: opasitas lebih jelas, dengan --air bronchogram lebih jelas

meluas ke cabang di perifer; gambaran jantung menjadi kabur.


Derajat IV: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak tampak
--air bronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga white lung
Keadaan hipoksemia pada PMH dapat menyebabkan terjadinya

perdarahan intrakranial, perdarahan paru, dan gagal jantung kongestif


akibat left to right shunt melalui PDA. Sedangkan komplikasi
penggunaan bantuan ventilasi dapat terjadi pulmonary interstitial
emphysema

(PIE),

pneumotoraks.

pneumomediastinum,

pneumopericardium, pneumoperitoneum, pneumato-cele (Pudjiadi, et al.,


2009).

11

Gambar 3. Gambaran Radiologi Penyakit Membran Hyalin


A.
B.
C.
D.

Penyakit Membran Hyalin dengan gambaran Ground Glass Appearance


Penyakit Membran Hyalin dengan gambaran Air Bronchogram
Penyakit Membran Hyalin dengan gambaran Batas Jantung paru kabur
Penyakit Membran Hyalin dengan White Lung Appearance

b. Pemeriksaan fungsi paru


Frekuensi pernafasan yangmeninggi pada penyakit ini akan
memperlihatkan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti tidal
volume menurun, lung compliance

berkurang, functional residual

capacity merendah disertai vital capacityyang terbatas. Demikian pula


fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu (Abdul & Antonius,
2007)
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskular
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa
perubahan dalamfungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
12

lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik (Abdul


& Antonius, 2007).
d. Gambaran patologi / histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya
atelektasis dan membran hialindi dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di
samping itu terdapat pula bagian paru yangmengalami emfisema.
Membrane

hialin

yang

ditemukan

terdiri

dari

fibrin

dan

sel

eosinofilik yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang
nekrotik (Abdul & Antonius, 2007)
Menurut Vermont Oxford Neonatal Network definisi dari PMH selain
gambaran khas dari Rontgen Toraks juga memerlukan keadaan dimana bayi
mempunyai PaO2 < 50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara
ruangan atau keadaan dimana si bayi memerlukan suplimentasi oksigen tambahan
untuk mempertahankan PaO2 > 50 mmHg (Lawrance & Sam, 2011; David G, et al.,
2010)
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan yang dilakukan ialah mempertahankan bayi dalam
suasana

fisiologis

sebaik-baiknya,agarbayi

mampu

melanjutkan

perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakanadaptasi


sendiri terhadap sekitarnya (Abdul & Antonius, 2007) . tindakan yang
dikerjakan ialah :
a. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus
selalu diusahakan agartetap dalam batas normal (36,5 37C)
dengan meletakkan bayi di dalam inkubator.Humiditas ruangan
juga harus adekuat (70 80%).
b. Pemberian oksigen
Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap
bayi yang baru lahir.Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat
menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis

13

paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina


(fibroplasiretrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lainlain.Untuk mencegah timbulnyakomplikasi ini, pemberian O2
sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen,sebaiknya
diantara 85 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi
terjadinya ROP dan BPD (David G, et al., 2010). Terapi oksigen
sesuai dengan kondisi (Abdul & Antonius, 2007; Lawrance &
Sam, 2011; Pudjiadi, et al., 2009):
1) Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan
konsentrasi yang cukup untuk mempertahankan tekanan
oksigen arteri antara 50 70 mmHg untuk distrespernafasan
ringan
2) Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada
konsentrasi oksigeninspirasi 60% atau lebih, penggunaan
NCPAP

(Nasal

Continuous

Positive

AirwayPressure)

terindikasi. NCPAP merupakan metode ventilasi yang noninvasif. Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP)
untuk stabilisasi bayidengan berat lahir sangat rendah (1000
1500gram) di ruang persalinan jugadirekomendasikan untuk
mencegah kolaps alveoli. Penggunaan humidified high flow
nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP
sedangdigalakkan di beberapa negara karena memiliki
keefektivitasan yang sama denganNCPAP serta dapat
digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.
3) Ventilator mekanik digunakan pada bayi dengan HMD berat
atau komplikasiyang menimbulkan apneu persisten. Ventilator
mekanik

dihubungkan

bronchopulmonary

dysplasia

eratdengan
(BPD)

terjadinya
dan

juga

meningkatkanrisiko terjadinya trauma dan infeksi. Indikasi


rasional untuk penggunaan ventilator adalah
a) pH darah arteri <7,2
b) pCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih
14

c) pO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada konsentrasi


oksigen 70 100% dan tekanan CPAP 6 10 cm H2O
d) Apneu persisten
c. Pemberian cairan, Elektrolit dan glukosa
Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan
yang diberikan harus cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan
mempertahankan homeostasis tubuh yangadekuat. Pada hari-hari
pertama diberiksan glukosa 5 10 % dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 125 ml/kgbb/
hari). Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita,
harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3secara
intravena. Pemeriksaan keseimbangan asam-basa tubuh harus
diperiksa

secarateratur

agar

pemberian

NaHCO3

dapat

disesuaikan dengan mempergunakan rumus :kebutuhan NaHCO3


(mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Kebutuhan basa
inisebagian dapat langsung diberikan secara intravena dan sisanya
diberikan secara tetesan.Pada pemberian NaHCO3 ini bertujuan
untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 7,45. Bila fasilitas
untuk

pemeriksaan

NaHCO3dapat

keseimbangan

diberikan

dengan

asam-basa
tetesan.

tidak
Cairan

ada,
yang

dipergunakan berupa campuran larutanglukosa 5- 10% dengan


NaHCO3 1,5% dalam perbandingan 4:1. Pada asidosis yangberat,
penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah
basa yang diberikan sudah cukup adekuat.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen
respirasi. Tekanan parsial O2diharapkan antara 50 70 mmHg.
PaCO2 diperbolehkan antara 45 60 mmHg(permissive
hypercapnia). pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi
oksigen antara 88-92%.
d. Pemberian Antibiotik

15

Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat


antibiotika untuk mencegahterjadinya infeksi sekunder. Pemberian
antibiotik dimulai dengan spektrum luas,biasanya dimulai dengan
ampisilin

50mg/kgBB

intravena

setiap

12

jam

dan

gentamisin3mg/kgBB untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2


kilogram. Jika tak terbukti adainfeksi, pemberian antibiotika
dihentikan.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Pemberian Surfaktan
Surfaktan diberikan dalam 24 jam pertama jika bayi terbukti
mengalami penyakitmembran hialin, diberikan dalam bentuk dosis
berulang melalui pipa endotrakea setiap 6 12 jam untuk total 2 - 4
dosis, tergantung jenis preparat yang dipergunakan (Pudjiadi, et al.,
2009).
Surfaktan profilaksis, atau preventif, merupakan pemberian
surfaktan secara intratrakealpada bayi dengan risiko tinggi untuk
terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini tetapi di dalam 10 30
menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi
menjadi 2 yaitu, rescuedini yaitu pemberian surfaktan dalam 1 2 jam
setelah kelahiran dan rescue lambat yaitupemberian lebih dari 2 jam
setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30
minggumemberikan perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis
dan rescue. Akan tetapi, bayiprematur yang diterapi dengan surfaktan
profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebihrendah dalam
terjadinya sindrom gawat nafas (Engle, 2008).
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat
diberikan untuk neonates dengansindrom gawat nafas, antara lain
surfaktan sintetik (protein-free) dan natural (diambil dari paruhewan).
Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi
pulmonary air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan
terapi pilihan di Eropa (David G, et al., 2010).

16

Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total


4mL/kgbb intratrakea (masing-masing 1mL/kgbb untuk lapangan paru
depan kiri dan kanan serta paru belakang kiri dan kanan),terbagi dalam
beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing-masing dosis total
atau 1ml/kg). Dosis total 4ml/kgbb dapat diberikan dalam jangka
waktu 48 jam pertama kehidupandengan interval minimal 6 jam antara
pemberian. Bayi tidak perlu dimiringkan ke kanan dan kekiri setelah
pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar sendiri melalui
pipaendotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi
jalan nafas yang disebabkanoleh viskositas obat. Efek samping dapat
berupa perdarahan dan infeksi paru (Pudjiadi, et al., 2009).
b. Steroid antenatal
Pemberian antenatal steroid kepada para ibu dengan risiko
melahirkan bayi prematureterutama dengan usia gestasi 35 minggu untuk
mengurangi mortalitas neonatal [relative risk (RR) 0.55; 95% confidence
interval (CI) 0.43 0.72] dan penggunaan dosis tunggal antenatalsteroid
juga tidak dapat diasosiasikan dengan kelainan maternal yang signifikan
ataupun tidak memberikan efek samping terhadap bayi. Pemberian
antenatal steroid mengurangi risikosindrom gawat nafas pada bayi, tetapi
pemberiannya harus didalam interval >24 jam dan <7 hari sebelum
kelahiran bayi. Antenatal steroid juga mengurangi risiko intraventricular
hemorrhage(IVH) dan necrotizing enterocolitis yang sering dijumpai pada
bayi prematur. Keduabetametason dan deksametason dapat digunakan
untuk pematangan paru janin. MenurutCochrane Review, deksametason
lebih banyak mengurangi terjadinya IVH sehingga,deksametason
merupakan obat pilihan dalam pematangan paru (David G, et al., 2010).
Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi
pemberian masih belum diketahuisecara pasti. Menurut NIH Consensus
Development Panel on the Effect of Corticosteroids for Fetal Maturation
on Perinatal Outcomes, regimen pemberian kortikosteroid secara umum

17

ialah2 dosis betametason 12 mg diberikan secara intramuskular dengan


jarak waktu 24 jam dan 4 dosis deksametason 6 mg intramuskular dengan
jarak waktu antar pemberian 12 jam (brownfoot, et al., 2008).
c. Pembedahan
Tindakan bedah dapat dilakukan apabila ditemukan komplikasi berat
seperti

pneumothorax,

pneumomediastinum,

Emfisema

subkutan.

Tindakan yang segera dilakukan adalah pungsi thoraks untuk mengurangi


tekanan rongga thorax, bila gagal maka dilakukan drainase (Pudjiadi, et
al., 2009).
G. Prognosis
Penyakit

membrane

hialin

prognosisnya

tergantung

dari

tingkat

prematuritas dan beratnyapenyakit. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi


yang pernah menderita penyakit ini sukarditentukan. Mortalitas diperkirakan
antara 20 40%.
Beberapa penyelidik lain melaporkan bahwa dengan perawatan yang baik,
bayi yang hidupmasih mempunyai kepandaian dan keadaan neurologis yang sama
dibandingkan dengan bayipremature lain yang masa gestasinya sama pula.
Kelainan pada paru dan saraf mungkindisebabkan karena penyakitnya sendiri
yang berat atau kurang sempurnanya perawatan, diantaranya karena pemberian
kadar O2 tinggi secara terus-menerus. Kelainan paru sebagaidysplasia
bronkopulmoner umumnya disebabkan tekanan positif yang terus menerus.
Komplikasilain yang mungkin terjadi pada waktu perawatan ialah kelainan pada
retina (fibroplasiretrolental) sebagai akibat pemberian O2 yang tidak semestinya.
Pneumotoraks walaupun jarang terjadi dapat disebabkan oleh komplikasi
pengobatan dengan continuous negative external pressure (CNP) dan tindakan
bantuan pernafasan dengan respirator lain.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan penyakit membrane hyaline dapat
berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronik (Pramanik, 2015).
18

1. Komplikasi Akut
a. Ruptur Alveolar
b. Infeksi
c. Perdarahan Intrakranial
d. Leukomlalasia Intraventrikular
e. Patent ductus arteriosus
f. Perdarahan paru
g. Necrotizing Enterocolitis
h. Apneu pada bayi prematur
2. Komplikasi Kronik
a. Bronchopulmonary Dysplasia
b. Retinopati pada bayi premature
c. Gangguan Neurologis

19

BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang
disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada
neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram.
2. PMH terjadi setelah onset pernafasan dan berhubungan dengan defisisensi
surfaktan paru
3. Prognosis jangka panjang untuk semua bayi yang pernah menderita penyakit ini
sukarditentukan. Mortalitas diperkirakan antara 20 40%.

20

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, L. & Antonius, P., 2007. buku Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
brownfoot, F. C., Crowther, C. A. & Middletown , P., 2008. The Cochrane
Collaboration: Different corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung
maturation for women at risk of preterm birth. Cochrane Database of
Systematic Reviews, pp. 1-32.
David G, S. et al., 2010. European Consensus Guidelineson the Management of
Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm Infants. Neonatology, pp.
402-417.
Engle, W. A., 2008. Surfactant-Replacement Therapy for Respiratory Distress in the
Preterm and Term Neonate. pediatrics, pp. 419-432.
Kiegman, R. M. & Behrmann, R. E., 2007. Nelson Textbook of Pediatric.
philadelphia: Elvisier.
Lawrance, M. & Sam, W., 2011. The management of respiratory distress in the
moderatelypreterm newborn infant. Arch Dis Child Educ Pract Ed , 1(1), pp. 18.
Mathai, S. C. S. & Raju, C. U., 2007. Management of Respiratory Distressin the
Newborn. Emergency Medicine, pp. 269 - 272.
Mathew, O. P., 2011. Innovations in Neonatal-perinatal Medicine : Innovative
Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed the Way We
Deliver Care for the Fetus and the Neonate. philadelphia: World Scientific.
Pramanik, A. K., 2015. Respiratory DIstress Syndrom. [Online]
Available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview
[Accessed 28 April 2016].
Pudjiadi, A. H. et al., 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta: IDAI.

21

Anda mungkin juga menyukai