Anda di halaman 1dari 19

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. K
Usia
: 57 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status
: Duda
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Buruh
Alamat
: Purwanegara RT 2 RW 1
Tanggal masuk : 31 Maret 2016 pukul 19.40
Tanggal periksa : 04 April 2014 pukul 12.00
No. CM
: 00145778

II.

SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak lima jam sebelum masuk rumah sakit
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas 5 jam sebelum
masuk rumah sakit. Sesak nafas disertai dengan suara ngik-ngik. Pasien
mengaku sulit tidur karena sesak yang dirasakan. Sesak nafas dirasakan
terus menerus dan semakin memberat ketika pasien beraktivitas. Sesak
nafas berkurang ketika pasien istirahat dalam posisi duduk. Sesak nafas
disertai batuk berdahak berwarna putih. Pasien tidak mengeluhkan
demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, atau pilek. Pasien mengaku
terdapat keterbatasan aktivitas yang semakin memberat. Dulu pasien
masih bisa berjalan jauh, namun sekarang pasien sudah sesak nafas
walau hanya berjalan pada jarak dekat.
3.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku sudah pernah mengalami sesak nafas sejak dua
minggu terakhir dan semakin memberat 5 jam sebelum masuk rumah
sakit. Sejak 6 bulan yang lalu pasien mengeluhkan batuk berdahak
warna putih dan sudah rutin kontrol selama 3 bulan di BP4. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit asma, penyakit jantung, penyakit ginjal,
kencing manis, hipertensi, maupun pengobatan OAT.

4.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama dan tidak ada
5.

keluarga yang memiliki penyakit asma dan penyakit jantung.


Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk. Rumah
satu dengan yang lain berjarak cukup dekat. Hubungan antara
pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Di lingkungan
rumah pasien tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan
pasien.
b. Home
Pasien tinggal sendirian di rumah. Pasien memiliki dua anak dan
sudah menikah semua. Istri pasien meninggal pada Desember 2015.
c. Occupational
Pasien adalah seorang buruh serabutan yang pekerjaannya bergantiganti seperti kuli bangunan, tukang becak, dan lain-lain.
d. Personal habit
Sebelum sakit pasien memiliki kebiasaan merokok sejak usia 12
tahun dan berhenti kurang lebih sejak 1 bulan yang lalu. Dalam
sehari pasien menghabiskan 5 batang rokok. Indeks Brinkman 45 x
5-10 = 225 - 450, perokok sedang.
3. OBJEKTIF

1.

Pemeriksaan Fisik
a.
b.
c.
d.
e.

Keadaan Umum
Kesadaran
BB
TB
Vital sign
- Tekanan Darah
- Nadi
- RR
- Suhu
d. Status Generalis

: baik
: compos mentis, GCS = E4M6V5
: 45 kg
: 156 cm
: 160/80 mmHg
: 86 x/menit
: 28 x/menit
: 36,4 oC

1) Kepala
- Bentuk
- Rambut
2) Mata
- Palpebra
- Konjungtiva
- Sklera
- Pupil

: mesochepal, simetris
: tidak mudah dicabut, tidak rontok
: edema (-/-) ptosis (-/-)
: anemis (-/-)
: ikterik (-/-)
: reflek cahaya (+/+), isokor,
diameter 2 mm/ 2mm

3)

4)

5)

6)

7)

- Exopthalmus
: (-/-)
- Lapang pandang
: tidak ada kelainan
- Lensa
: keruh (-/-)
- Gerak mata
: normal
- Tekanan bola mata
: nomal
- Nistagmus
: (-/-)
Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
Hidung
- nafas cuping hidung (+/+)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
Leher
- Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: tidak membesar
JVP
: nampak, tidak kuat angkat
Dada
a) Paru
- Inspeksi
: barrel chest , ketinggalan gerak (-),
Nampak penggunaan otot bantu nafas abdomen
- Palpasi
: vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi
: hipersonor pada lapang paru kiri dan kanan
- Auskultasi : suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri
dan didapatkan ronkhi basah halus dan wheezing
b) Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V dua jari medial
LMCS, tidak kuat angkat.
- Perkusi : batas jantung kanan atas
Batas jantung kiri atas
Batas jantung kanan bawah
Batas jantung kiri bawah

: SIC II LPSD
: SIC II LPSS
:SIC IV LPSD
:2 jari medial

SIC V LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi
: datar
- Auskultasi
: bising usus (+) normal
- Perkusi
: timpani,tes pekak sisi (-), pekak beralih (-)
- Palpasi
: hepar dan lien tidak teraba.

2.

9) Ekstrimitas
- Superior
: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
- Inferior
: deformitas (-), jari tubuh (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen thoraks 3 April 2016 (dilakukan di RSMS)

Hasil rontgen thoraks :


Trakea di tengah
Cor : bentuk dan letak jantung normal
Kalsifikasi arcus aorta
Pulmo : corakan vaskular meningkat dan kasar
Tak tampak bercak pada kedua lapang paru
Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus kostrofenikus kanan kiri lancip
KESAN : Cor tak membesar disertai kalsifikasi arkus aorta
Gambaran Bronchitis
b. Laboratorium
Darah Lengkap
Tanggal 31 April 2016

Hemoglobin

: 14,9 g/dl

Leukosit

: 21210 /uL

Hematokrit

: 43 %

Eritrosit

: 5,1 ^6/ uL

Trombosit

: 211.000/Ul H

MCV

: 84,6 Fl

MCH

: 29,1 pg

MCHC

: 34,4%

RDW

: 12,9%

MPV

: 10,3 fL

HitungJenis
Basofil

: 0,4%

Eosinofil

: 0,0%

Batang

: 0.3%

Segmen

: 88,9 %

Limfosit

: 5,1%

Monosit

: 5,3 %

Kimia Klinik
Ureum Darah : 27,6 mg/dL
Kreatinin Darah: 0,76 mg/dL L
GDS

: 136 mg/dL

4. DIAGNOSIS
1. CAP
2. PPOK
5. PLANNING
1.

Terapi
a. Farmakologi
1) IVFD RL + 1 ampul aminofilin/ 8 jam
2) Inj. Ranitidin 2x1 amp
3) Levofloksasin drip 1 amp/8jam
4) MP 3 x 62,5 mg
5) Nebu 3x/hari
6) Terasma 3 x 1 cth

7) Cerefit
8) Spirifa
b. Non Farmakologi
1) Edukasi pasien dan keluarga mengenai PPOK dan CAP,
penyebab dan pengobatannya
2) Makan makanan yang bergizi
3) Edukasi untuk menghentikan rokok
PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad malam

BAB II
PEMBAHASAN
1.

Penegakan Diagnosis
PPOK
a. Anamnesis
1) Pasien laki-laki berusia 57 tahun datang dengan keluhan sesak sejak 5
jam sebelum masuk rumah sakit.
2) Gejala penyerta : batuk.
3) Pasien sebelumnya pernah mondok dengan keluhan batuk berdahak
berwarna kental keputihan, sesak nafas
4) Pasien tinggal di daerah yang cukup padat penduduk, jendela rumah
tidak selalu dibuka, dan pasien memiliki pola makan yang tidak terlalu
baik (nutrisi kurang).
5) Pasien memiliki kebiasaan merokok
b. Pemeriksaan Fisik
1) Antropometri
BB : 41 Kg
TB : 160 cm
BMI : 16,01 kg/m2 (Underweight).
2) Vital Sign
Tekanan Darah

: 100/60 mmHg

Nadi

: 88x/menit

RR

: 28x/menit

Suhu

: 36,4 oC

3) Pemeriksaan Pulmo
- Inspeksi
: bentuk dada barrel chest, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-), penggunaan otot bantu nafas
- Palpasi
- Perkusi
- Auskultasi

: vocal fremitus kanan = kiri


: hipersonor pada lapang paru kiri dan kanan
: suara dasar vesikuler sama kanan dan kiri dan

didapatkan ronkhi basah halus dan kasar


c. Pemeriksaaan Penunjang
Foto Thoraks
Trakea di tengah
Cor : bentuk dan letak jantung normal
Kalsifikasi arcus aorta
Pulmo : corakan vaskular meningkat dan kasar

Tak tampak bercak pada kedua lapang paru


Hemidiafragma kanan setinggi costa 10 posterior
Sinus kostrofenikus kanan kiri lancip
KESAN : Cor tak membesar disertai kalsifikasi arkus aorta
Gambaran Bronchitis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru (Antariksa, 2011).
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
1. Gambaran klinis
Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan.
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja.
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara.
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak.
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.
Diagnosis klinis PPOK ditegakkan apabila (Depkes RI, 2008):
a. Faktor risiko
- Usia (pertengahan)
- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)
Pada pasien diketahui pasien adalah perokok sedang menurut indeks
Brinkman serta pasein merupakan pasien lansia.
b. Gejala
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi.
- Batuk kronik (>3 bulan)
- Berdahak kronik (pasien merasa berdahak tanpa batuk)
- Sesak nafas terutama saat aktivitas
Pasien mengeluh sering batuk, sering merasa ada dahak tanpa batuk
dan terkadang sesak, terutama jika kelelahan (skala 1).
Pada pasien ditemukan sela iga melebar, serta ronki dan mengi.
Dinyatakan PPOK klinis jika anamnesis terdapat riwayat pajanan disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas terutama saat melaksanakan
aktivitas pada orang dengan usia pertengahan.

Pemeriksaan fisis
Inspeksi
-

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)


Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i

leher dan edema tungkai


- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada palpasai teraba vokal fremitus melemah, dan sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP


- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif
dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari
20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
b. Pemeriksaan khusus
Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasitis
Paru Total (KPT), VR/KRF,
- VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral


(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari
selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 %
dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru
Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan
Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan sesak nafas sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, memberat
dua minggu terakhir. Keluhan ini disertai batuk berdahak berwarna putih
berbuih, kadang dahak sulit untuk dikeluarkan. Keluhan lain yaitu demam
sumer-sumer, nggreges, berat badan agak turun, nafsu makan menurun. Hasil
ini didukung dengan faktor risiko berupa pasien memiliki riwayat sebagai
perokok aktif selama lebih dari 10 tahun dan perokok pasif selam tiga tahun

SMRS. Selain itu, pasien bekerja di pasar dan terpapar asap kendaraan, debu
jalan raya. Rumah pasien berada di sebuah pemukiman yang padat penduduk,
disekeliling rumahnya adalah peternak kambing. Di rumah pasien memasak
dengan tungku menggunakan kayu bakar setiap harinya.
Pada pemeriksaan fisik terlihat bahwa pasien mengalami sesak nafas,
dibuktikan dengan RR : 28 x / menit, retraksi interkostal, eksperium
mepanjang. Pada pemeriksaan status lokalis pada daerah thoraks ditemukan
bentuk dada barrel chest, perkusi yang hipersonor di kedua lapang paru, dan
ekspirasi memanjang.
Pada pemeriksaan penunjang pemeriksaan laboratorium dalam batas normal
tampak apeks bergeser ke laterokaudal, gambaran jantung pendulum, corakan
bronkovaskuler yang meningkat, sela iga melebar, dan diafragma yang
mendatar. Hasil tersebut mendukung untuk diagnose penyakit paru obstruktif
kronis.

Algoritma PPOK (PDPI, 2011)


2.

Tindak Lanjut Penanganan Pasien


Pasien ini mendapat terapi
1) IVFD RL + 1 ampul aminofilin/ 8 jam
2) Inj. Ranitidin 2x1 amp
3) Levofloksasin drip 1 amp/8jam
4) MP 3 x 62,5 mg
5) Nebu 3x/hari
6) Terasma 3 x 1 cth
Tujuan penatalaksanaan :
a.
Mencegah progresi penyakit
b.
Menghilangkan gejala
c.
Memperbaiki exercise tolerance
d.
Memperbaiki status kesehatan
e.
Mencegah dan mengobati penyakit
f.
Mencegah dan mengobati eksaserbasi
g.
Menurunkan mortalitas
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih
bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah
inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di
unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi
diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan
waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat
diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan

semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian


aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kualiti hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi
ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK
ditegakkan
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel
2. Obat - obatan
a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (
slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati
ASMA CONTROL TEST
Asthma Control Test (ACT) diperkenalkan oleh National Institutes of
Health (NIH) pada pedoman asma tahun 2007, merupakan sebuah alat bantu
berupa kuesioner untuk menilai asma terkontrol, derajat asma, dan menilai
respons terapi. Kuesioner ACT merupakan tes yang terdiri dari lima buah

pertanyaan yang masing-masing pertanyaan terdiri dari lima buah pilihan jawaban
yang diberi angka dari satu sampai lima, kemudian skor dari masing-masing
pertanyaan tersebut dijumlahkan. Skor 25 dikatakan asma terkontrol sempurna,
skor 20-24 dikatakan asma terkontrol sebagian, dan skor kurang dari sama dengan
19 dikatakan asma tidak terkontrol. Parameter yang dinilai meliputi gangguan
aktivitas harian akibat asma, seringnya keluhan sesak napas, frekuensi gejala,
gejala malam, penggunaan obat pelega, dan persepsi terhadap kontrol asma
(Ramlie, et al., 2014)

BAB III
KESIMPULAN
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis kronik, emfisema paru, dan
asma bronkial membentuk satu keatuan yang disebut COPD. (Price,
2006).
2. Penegakan diagnosis penyakit PPOK berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Kebiasaan merokok merupakan penyebab kausal yang terpenting pada
PPOK
4. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi, obat obatan,
terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA
Antariksa, Budhi dkk.. 2011. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) Diagnosis
dan Penatalaksanaan Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Depkes RI, 2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK), Jakarta: Kemenkes RI.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2011. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia
Jakarta : PDPI.
Ramlie, A., Soemarwoto, R.A.S., Wiyono, W.H. 2014. Korelasi antara Asthma
Control Test dengan VEP1% dalam Menentukan Tingkat Kontrol Asma. J
respire Indoe Vol. 34 No.2. Jakarta: RS Persahabatan.

Anda mungkin juga menyukai