Anda di halaman 1dari 38

PRESENTASI KASUS

ATRALGIA, DIABETES MELITUS, ULKUS DM DAN HIPERTENSI

Diajukan kepada Yth:


dr. Heppy Octavianto, Sp. PD

Disusun oleh :
Kelli Julianti

G4A014131

Anggita Setiadi Nur R

G4A015051

Weni

G4A014008

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS

ATRALGIA, DIABETES MELITUS, ULKUS DM DAN HIPERTENSI

Disusun oleh :
Kelli Julianti

G4A014131

Anggita Setiadi Nur R

G4A015051

Weni

G4A014008

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal :

Maret 2016

Dokter Pembimbing :

dr. Heppy Octavianto, Sp. PD

BAB I
STATUS PENDERITA
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Jenis kelamin
Alamat
Agama
Status
Pekerjaan
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No CM

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Ny. M
49 tahun
Perempuan
Plompong RT 06 RW 05 Sirampong-Brebes
Islam
Menikah
Petani
1 Maret 2016
3 Maret 2016
00991136

B. ANAMNESIS
1.
2.

Keluhan Utama
Kedua kaki terasa panas, bengkak, pegal, dan kaku
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSMS dengan keluhan kedua kaki terasa panas,
bengkak, pegal, dan kaku. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak 4
bulan yang lalu. Keluhan sangat mengganggu pasien sampai berteriak
kesakitan. Keluhan dirasakan terus menerus sehingga mengganggu
aktivitas. Selain itu ibu jari kaki kanan pasien berwarna kehitaman. Pasien
juga merasakan kaki terasa kesemutan dan tebal. Baal disangkal. Pasien
juga mengeluhkan punggung yang terasa panas dan kedua tangan yang
kesemutan.
Pasien mempunyai riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu. Empat
bulan yang lalu pasien dirawat di RS dengan keluhan bibir miring ke kiri,
namun gejala tersebut sekarang sudah hilang. Sejak saat itu kaki pasien
terasa pegal dan semakin memberat. Riwayat penyakit DM dan hipertensi
pada keluarga disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

a.

4.

5.

Riwayat mondok

: diakui, 4 bulan yang lalu karena bibir

merot ke kiri
b. Riwayat hipertensi
c. Riwayat kencing manis
d. Riwayat pengobatan
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa
b. Riwayat hipertensi
c. Riwayat kencing manis
Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di rumahnya

: diakui
: diakui, lima tahun yang lalu
: mengkonsumsi obat diabetes
: disangkal
: disangkal
: disangkal
bersama suami dan kedua anaknya di

daerah pegunungan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan


keluarga dekat baik.
b. Home
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya. Lantai rumah
beralaskan keramik, dan ada beberapa buah jendela serta ventilasi yang
kadang-kadang dibuka. Lantai kamar mandi beralaskan keramik dan
sumber air berasal dari PDAM. Pencahayaan rumah pasien berasal dari
lampu dan sinar matahari yang cukup.
c. Occupational
Pasien adalah seorang seorang ibu rumah tangga. Pembiayaan rumah
sakit ditanggung olah BPJS.
d. Drugs and diet
Pasien mengkonsumsi obat diabetes melitus salah satunya glipizide.
Pasien mengaku makan sehari 2-3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan
lauk pauk seadanya.
e. Personal habit
Pasien mengaku

tidak

pernah

merokok,

alkohol,

ataupun

mengkonsumsi obat-obatan terlarang, pasien juga jarang berolahraga.


C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di bangsal Dahlia RSMS, 1 Maret 2016.
a. Keadaan Umum
b. Kesadaran

: Sedang
: Compos mentis, GCS E4M6V5 (15)

c. Vital sign
1) Tekanan Darah
2) Nadi
3) RR
4) Suhu
d. Status Generalis
1) Kepala
- Bentuk
-

Rambut

: 160/90 mmHg
: 88x/menit
: 20x/menit
: 36,1 oC
: mesochepal, simetris, venektasi
temporal (-)
: warna hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok

2) Mata
- Palpebra
: edema (-/-) ptosis (-/-)
- Konjungtiva : anemis (-/-)
- Sclera
: ikterik (-/-)
- Pupil
: reflek cahaya (+/+) normal, isokor 3 mm
3) Telinga
- otore (-/-)
- deformitas (-/-)
- nyeri tekan (-/-)
- discharge (-/-)
4) Hidung
- nafas cuping hidung (-/-)
- deformitas (-/-)
- discharge (-/-)
- rinorhea (-/-)
5) Mulut
- bibir sianosis (-)
- bibir kaku (+)
- bibir kering (-)
- lidah kotor (-)
6) Leher
- Trakhea
: deviasi trakhea (-/-)
- Kelenjar lymphoid
: tidak membesar, nyeri (-)
- Kelenjar thyroid
: tidak membesar
JVP
: nampak, tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
- Inspeksi
: bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
- Palpasi
: vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi
: sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru hepar di SIC V LMCD
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)

b) Jantung
- Inspeksi
- Palpasi
- Perkusi

: ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari


medial LMCS
: ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS, tidak kuat angkat
: Batas jantung kanan atas
: SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas
: SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah
:SIC V 2 jari

medial LMCS
- Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)
8) Abdomen
- Inspeksi
: cembung
- Auskultasi
: bising usus (+) normal
- Perkusi
: timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri
ketok costovertebrae (-)
- Palpasi
: supel, nyeri tekan (+), undulasi (-)
- Hepar
: tidak teraba
- Lien
: tidak teraba
a. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas inferior

superior
Dextra Sinistra
+
+
-

Edema
Sianosis
Akral dingin
Reflek fisiologis
Reflek patologis

Dextra
+
-

Sinistra
+
-

Tampak ulkus pada peds dekstra

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah 1 Maret 2016
Hb

: 12 gr/dl

Normal : 12 16 gr/dl

Leukosit

: 6730 /ul

Normal : 4.800 10.800/ul

Hematokrit

: 35 %

Normal : 37 % - 47 %

Eritrosit

: 4,8 juta/ul

Normal : 4,2 - 5,4 juta/ul

Trombosit

: 296.000/ul

Normal: 150.000 - 450.000/ul

MCV

: 80.2 fL

Normal : 79 - 99 fL

MCH

: 27,6 pg

Normal : 27 - 31 pg

MCHC

: 34,5 gr/dl

Normal : 33 37gr/dl

RDW

: 13,8 %

Normal : 11,5 - 14.5 %

MPV

: 11,3 fL

Normal : 7,2 - 11,1 fL

Eosinofil

: 0,3 %

Normal : 2 4 %

Basofil

: 1,9 %

Normal : 0 1 %

Batang

: 0,3 %

Normal : 2 5 %

Segmen

: 70,6 %

Normal : 40 70%

Limfosit

: 22 % L

Normal : 25 - 40%

Monosit

: 4,9 %

Hitung Jenis

Normal : 2 8 %

Kimia Klinik
GDS

: 153 mg/dl

E. DIAGNOSIS KERJA

Atralgia
Neuropati DM
Ulkus Pedis
HT

F. TERAPI
a. Farmakologis:
IVFD RL 20 tpm
Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr
Inj ketorolac 2x30 mg
Inj Vit B1 B12 1Amp
Inj Ranitidin 25 mg

Normal : < 200 mg/dl

Amitriptilin tab 25 mg
Novorapid flexpen
Levemir flexpen
b. Non farmakologis:
Tirah baring
Diet rendah garam dan protein
Hindari stres
G. PROGNOSIS
Ad vitam

: dubia ad bonam

Ad sanationam

: dubia ad bonam

Ad functionam

: ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Diabetes Melitus
Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Sedangkan menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus sebagai suatu
kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah

faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin. 4
1.2 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA),
2005, yaitu1 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing
(terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita
DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda
dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk
metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah
tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II
ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30
tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

1.3 Prevalensi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi,
hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka menderita
diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara teratur.2

1.4 Patogenesis
1.4.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah:
pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan
lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi
agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis, sel yang
menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T teraktivasi. Tahap
keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel asing. Tahap kelima
adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap sebagai sel
asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun
seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5
1.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal
dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang
utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis
yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin
karena kadar insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung
memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi
glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi
insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia
puasa dan diabetes yang nyata.5
2.5

Manifestasi Klinik
Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan

mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan, Polidipsi
dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan
gatal di kulit 1.
Kriteria diagnostik :

Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu
makan terakhir, atau
Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat
kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau
Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan
standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa

anhidrus yang dilarutkan dalam air.8


Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO 94


Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan
dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalamkelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT
(glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh
TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

2.6 Komplikasi
a.
Penyulit akut
1.
Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi
glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun
dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya insulin mengakibatkan
aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat
dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga
meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk
menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan
mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam.
Disamping itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang
mempunyai ketogenic effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis
KAD adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO 3 rendah, anion gap tinggi dan
keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea, muntah,
sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan kussmaul
2.

dan berbau aseton.


Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600
mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm.
Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non
insulin dependen karena pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi
KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup
untuk mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan hiperglikemia

3.

sehingga tidak timbul hiperketonemia


Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala
klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium
parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan
: lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik,

gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada
berdebar-debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik :
pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa kejang.
b.
1.

Penyulit menahun
Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis
Retinopati Diabetik
retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens
vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik
mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.
Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar
retina darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan
dan konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema
yang membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi
iskemia retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang
menyebabkan kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar.
Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke bagian dalam korpus
vitreum yang bila tekanan meninggi saat berkontraksi maka bisa terjadi
perdarahan masif yang berakibat penurunan penglihatan mendadak.
Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3 tahun sekali
sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan
mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang
terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina.
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit
pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi
proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat
glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication
product yang ireversible dan menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan
mononuklear serta inhibisi sintesis nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi
peningkatan tekanan intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan

inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati


dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney
disease.9
Neuropati diabetik
Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya
sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan
lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada
setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati
distal dengan pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10
gram, dilakukan sedikitnya setiap tahun.6
2.

Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan
terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata
keluarga PJK atau DM
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya
terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa
gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama
muncul.9

2.7

Penatalaksanaan
Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan

kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol


sehingga sama dengan orang normal. Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai
dari :
1.

2.

Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.
Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik yang
sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada
prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan

individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1.
Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a)
Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b)
Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c)
Kadar HbA1c < 7%
2.
Tekanan darah <130/80
3.
Profil lipid :
a)
Kolesterol LDL <100 mg/dl
b)
Kolesterol HDL >40 mg/dl
c)
Trigliserida <150 mg/dl
4.
Berat badan senormal mungkin, BMI 18 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan pola
makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,, status
kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa faktor
fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan
pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana terjadi proses
katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi,
lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta
kemampuan petugas kesehatan yang ada.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :


Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%,
Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu sendiri.
Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari sumber
karbohidrat
Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah karbohidrat maksimal
70% dari total kebutuhan perhari
Jumlah serat 25-50 gram/hari.
Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai penggantinya adalah
pemanis

buatan

seperti

sakarin,

aspartam,

acesulfam

dan

sukralosa.

Penggunaannya pun dibatasi karena dapat meningkatkan resiko kejadian kanker.


Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.
PROTEIN
Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .
Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian protein sekitar
0,8-1,0 mg/kg BB/hari .
Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg
BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.
Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dibandingkan protein hewani.
LEMAK
Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal 10%
dari total kebutuhan kalori perhari.
Jika kadar kolesterol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.

Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol LDL 100
mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi 200 mg perhari.
B. Kebutuhan Kalori
Menetukan kebutuhan kalori basa yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB ideal ditambah
atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan dan lain-lain.
PENENTUAN KEBUTUHAN KALORI
Kebutuhan basal :
Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori
Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori
Koreksi :
umur

40-59 th

: -5%

60-69

: -10%

>70%

: -20

aktivitas

Istirahat

: +10%

Aktivitas ringan

: +20%

Aktivitas sedang

: +30%

Aktivitas berat

: +50%

berat badan

Kegemukan

: - 20-30%

Kurus

: +20-30%

stress metabolik

: + 10-30%

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%, makan siang
30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-15% diantara porsi besar.
Berdasarkan IMT dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan kuadrat (m2).
Kualifikasi status gizi :

BB kurang : < 18,5


BB normal : 18,5 22,9
BB lebih : 23 24,9
3.

Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena mengurangi
resiko

kejadian

kardiovaskular

dimana

pada

diabetes

telah

terjadi

mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan berlebihan


yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan penimbunan LDL
teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas hidup penderita. Dengan
latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa meningkat dan ini akan
menurunkan kadar gula darah.
Aktivitas latihan :

5-10 menit pertama : glikogen akan dipecah menjadi glukosa


10-40 menit berikutnya : kebutuhan otot akan glukosa akan meningkat

7-20x. Lemak
juga akan mulai dipakai untuk pembakaran sekitar 40%

> 40 menit : makin banyak lemak dipecah 75-90% .


Dengan makin banyaknya lemak dipecah, makin banyakk pula benda keton
yang terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan
asidosis. Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau
terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350 mg/dl
sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan yang memenuhi
program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval, Progressive, Endurance.
Continous maksudnya berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa
berhenti. Rhytmical artinya latihan yang berirama, yaitu otot berkontraksi dan
relaksi secara teratur. Interval, dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan
lambat. Progresive dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari
intensitas ringa sampai sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya
tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai,
jogging dll.
4.

Intervensi Farmakologis

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani.
1.
Obat hipoglikemik oral
a.
insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat
pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.
Contohnya : repaglinid, nateglinid.
b.
insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin
endogen pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin
dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa
di perifer meningkat. Agonis PPAR yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan
lemak.
c.
glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki
uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Kontraindikasi pada pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan
kecendrungan hipoksemia.
d.
Inhibitor absorbsi glukosa
glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus
halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Obat ini tidak menimbulkan efek hipoglikemi
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara bertahap sesuai respon
kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis maksimal.sulfonilurea generasi I
dan II 15-30 menit sebelum makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan.
Repaglinid, Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum
makan. Penghambat glukosidase bersama makan suapan pertama. Thiazolidindion
tidak bergantung jadwal makan.
2.
Insulin

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin
prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang
fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial
atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia
pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap
defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid
insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau
insuli campuran tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat,
hiperglikemia yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia
hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan
kombinasi OHO dengan dosis yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik,
operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat,
kontraindikasi atau alergi OHO.
3.

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk

kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO
dan insulin basal (kerja menengah atau kerja lama) yang divberikan pada malam hari
atau menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat
diperoleh kendali glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin

PENCEGAHAN
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk
mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan meliputi
program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan menghentikan
kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan
memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas
yang memadai dalam upaya pencegahan primer6.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit sejak
awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru,
yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan
berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan
kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih menlanjut.
Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga
kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk
mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan
sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis
rendah80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi
yang baik antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah
ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier.
2.Ulkus Diabetikum
A. Definisi
Ulkus diabetik atau ulkus gangrenosum adalah kondisi kerusakan epidermis
dan dermis yang memiliki dasar, dinding, tepi, dan isi, yang mana kondisi ini khas

terjadi pada penderita dengan keadaan umum buruk atau penderita penyakit
kronik yang berpotensi menjadi fokus infeksi (Siregar, 2005). Ulkus diabetik
adalah salah satu bentuk komplikasi jangka panjang dari DM (15% kasus
komplikasi) dan 12-24% diantaranya memerlukan tindakan amputasi. Selain itu,
630% pasien yang pernah mengalami amputasi dikemudian hari akan mengalami
risiko re-amputasi dalam waktu 1-3 tahun kemudian setelah amputasi pertama
(Clayton, 2009).
B. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi dari ulkus diabetik ini adalah kombinasi antara faktor endogen dan
eksogen. Faktor endogen yang dimaksud adalah genetik, metabolik, angiopati
diabetik, dan neuropati diabetik. Faktor eksogen yang terlibat adalah trauma,
infeksi, obat, dll (Wagner, 2013).
Faktor risiko terjadinya ulkus diabetic (Wagner, 2013) :
1. Lansia.
2. Lama DM 10 tahun.
3. Neuropati.
4. Obesitas.
5. Hipertensi.
6. HbA1c > 9%
7. Kebiasaan merokok.
8. Ketidakpatuhan diet DM
9. Kurangnya aktivitas fisik.
10. Pengobatan tidak teratur.
11. Kurang perhatian terhadap perawatan dan perlindungan kaki
C. Klasifikasi
Klasifikasi ulkus diabetik yang paling sering digunakan adalah dengan klasifikasi
(Wagner, 2013):
Grade
0

Deskripsi
Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh disertai dengan

pembentukan kalus claw


Ulkus ulkus dangkal yang terbatas pada kulit, klinis tidak ada
infeksi.

Ulkus dalam, sering disertai dengan selulitis, tidak ada abses

atau infeksi tulang


Ulkus dalam yang melibatkan tulang atau pembentukan abses.

Ulkus termasuk gangren (pembusukan jaringan tubuh) di

(sepertiga anterior kaki) kaki depan atau wilayah tumit.


Gangren luas

D. Patofisiologi
Terbentuknya ulkus diabetik secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor
(Kelkar, 2006). namun secara garis besar terdapat 2 faktor utama yang
menyebabkan terjadinya ulkus diabetik, yaitu neuropati perifer dan iskemi
vaskuler perifer (Bowering, 2011):
1. Neuropati perifer
Lebih dari 60% pasien dengan ulkus diabetik mengalami neuropati
(Bowering, 2011). terjadinya neuropati diabetik pada pasien Dm terjadi
secara

kronik

yang

diakibatkan

tingginya

kadar

gula

darah

yangmengakibatkan gangguan (Zochodone, 2008). salah satu teori yang


paling sering dikaitkan dengan terjadinya neuropati adalah mekanisme dari
jalur polyol

(Simmons & Feldman, 2012). Dalam proses terjadinya

neuropati, hiperglikemi meningkatkan kerja dari enzim aldosteron reduktase


dan sorbitol dehidroginase. Gangguan metabolisme ini mengakibatkan
konversi glukosa intrasel menjadi sorbitol dan fruktosa.
Akumulasi produk glukosa menekan sintesis mioinositol pada serat
saraf. Selain itu, konversi glukosa tersebut menekan penyimpanan
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate yang penting dalam proses
detoksifikasi Reactive Oxygen Species (ROS) dan sintesis vasodilator
seperti Nitric Oxide. Terdapat hubungan sinergis antara peningkatan stress
oksidatif pada sel saraf dengan peningkatan terjadinya vasokonstriksi yang
berakibat terjadinya iskemik, yang mana kondisi ini dapat menyebabkan

terjadinya kerusakan sel saraf dan kematian. Hiperglikemi dan stress


oksidatif stress oksidatif berperan penting dalam terjadinya abnormalitas
glikas dari protein sel saraf dan gangguan aktifasi protein kinase C yang
menghasilkan gangguan fungsi saraf dan iskemik.
Neuropati pada pasien diabetes melibatkan seluruh komponen system
saraf, baik motorik, autonom, maupun sensorik (Bowering, 2011).
Kerusakan pada inervasi otot intrinsik kaki mengakibatkan terjadinya
ketidak seimbangan antara fleksi dan ekstensi pada kaki. Hal ini membentuk
abnormalitas posisi atau mengakibatkan deformitas pada kaki yang
membentuk tonjolan tulang dan tekanan abnormal pada kaki dan secara
bertahap menyebabkan kerusakan kulit dan ulserasi.
Neuropati sistim autonom mengakibatkan penurunan fungsi kelenjar
sebasea dan sudorifera. Sebagai akibat dari penurunan fungsi kelenjar
tersebut, kaki kehilangan kemampuannya untuk melambabkan kulit dan
menjadi

lebih

kering,

hal

ini

menginduksi

peningkatan

risiko

berkembangnya infeksi.
Hilangnya sensasi nyeri pada pasien dengan neuropati perifer
mengakibatkan penurunan perhatian saat kaki terkena trauma sehingga
lambat berespon terhadap terjadinya luka tersebut. Hilangnya sensasi sebagai
bagian dari neuropati perifer kemudian dapat memperburuk perkembangan
ulserasi. Saat trauma terjadi di lokasi tersebut, pasien sering tidak dapat
mendeteksi terjadinya luka pada ekstremitas bawah mereka. Akibatnya,
banyak luka terjadi tanpa diketahui dan semakin parah karena daerah
tersebut mengalami tekanan secara terus menerus dan berulang-ulang, baik
oleh tekanan badan maupun gesekan dari luar (Amstrong, 2013).
2. Gangguan Vaskular Perifer
Peripheral arterial disease (PAD) terjadi pada sekitar 50% pasien DM
dan menjadi risiko awal dalam terbentuknya ulkus diabetik (Huijberts et al.,
2008). Kondisi PAD biasanya terjadi pada arteri tibialis dan arteri peroneus.
Disfungsi sel endotel dan kelainan sel otot polos di pembuluh arteri perifer
berkembang akibat terjadinya hiperglikemi persisten pada pasien DM
(Zochodone, 2008). Terjadinya penurunan vasodilator yang dihasilkan sel

endotel, mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi. Selain itu, hiperglikemi


pada pasien Diabetes juga dikaitkan dengan terjadinya peningkatan produksi
tromboksan A2 sebagai vasokonstriktor dan agonis agregasi platelet, yang
kemudian dapat menyebabkan peningkatan risiko untuk terjadinya
hiperkoagulabilitas plasma (Paraskevas et al., 2008). Kondisi tersebut
meningkatkan potensi terjadinya perubahan matriks ekstraseluler pembuluh
darah yang dapat berakibat terjadinya stenosis lumen arteri (Paraskevas et
al., 2008). Selain itu, perilaku merokok, adanya hipertensi, dan
hiperlipidemia, serta faktor-faktor lain yang banyak terjadi pada pasien
diabetes berkontribusi terhadap perkembangan PAD. Secara kumulatif,
kondisi

ini

menyebabkan

terjadinya

penyakit

arteri

oklusif

yang

mengakibatkan iskemia pada ekstremitas bawah dan peningkatan risiko


ulserasi pada pasien diabetes.
E. Penegakkan Diagnosis
Adanya ulkus pada pasien dengan kecurigaan memiliki gejala klinis DM,
memerlukan penegakan diagnosis laboratorium hingga terdiagnosis DM.
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar glukosuria.Guna menentuan
diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa darah secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan
bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Soewondo, 2011).
Kecurigaan DM perlu difikirkan apabila terdapat keluhan klasik (Soewondo,
2011) :
1. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya
2. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Tabel 2.1. Kriteria diagnosis DM (Soewondo, 2011):
Kriteria diagnosis
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200

mg/dl (11,1 mmol/L)


Glukosa plasma sewaktu merupakan pemeriksaan
sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu
makan terakhir.
Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa
126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikitnya 8 jam
Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200
mg/dl (11,1 mmol)
TTGO yang dilakukan dengan standar WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam
air.
a. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan, mengarah kepada kemungkinan terjadinya
neuropati dan insufisiensi perfusi perifer (Rowe, 2012) :
1) Hypesthesia
2) Hyperesthesia
3) Paresthesia
4) Dysesthesia
5) Radicular pain
6) Anhydrosis
7) Klaudikasio intermiten
Klaudikasio intrmiten adalah kondisi timbulnya gatal, kram dan nyeri
pada kaki yang terjadi setelah berjalan dalam jarak tertentu, semakin
pendek jarak yang dapat ditempuh, maka semakin berat kondisi
klaudikasio pada pasien tersebut, nyeri ini biasanya membaik setelah
beristirahat 5-10 menit.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada ulkus diabetik secara garis besar dibagi menjadi 3
(Rowe, 2012):
1) Pemeriksaan ekstrimitas umum

Ulkus diabetik sebagian besar terjadi didaerah yang menjadi titik


beban berat badan, seperti tumit, telapak kaki, meta tarsal, ujung jari
yang paling menonjol, mata kaki (karena trauma). Ulkus memiliki
UKK seperti : luka yang memiliki dasar, dinding, tepi, dan isi, isi ulkus
diabetik paling banyak adalah jaringan nekrotik dan pus.
Selain itu, seringkali disertai dengan terbentuknya kalus hipertrofi,
kuku yang rapuh, Hammer toes, dan fisura.
2) Pemeriksaan insufisiensi arteri perifer
Pemeriksaan ini dengan cara memeriksa kualitas denyut atau pulsasi
dan ditemukannya penurunan pulsasi pada arteri femoralis, arteri
poplitea, dan atau arteri dorsalis pedis.
Selain penurunan pulsasi, seringkali ditemukan bruit pada arteri iliaka
atau arteri femoralis, ditemukan atrofi kulit, penurunan pertumbuhan
rambut, sianosis pada jari kaki, ulserasi atau nekrotik iskemik. Sianosis
pada kaki dapat ditemukan dengan uji pengangkatan kaki selama 1-2
menit dengan posisi kaki lebih tinggi dari jantung.
3) Pemeriksaan neuropati perifer
Tanda-tanda neuropati perifer ditandai diantaranya dengan
hilangnya sensitifitas terhadap adanya getaran dan posisi,
hilangnya refleks tendon dalam (terutama di area ankle jerk),
ulserasi trofik, foot drop, atrofi otot, dan pembentukan kalus
yang berlebihan, terutama pada area dengan titik beban
yang besar seperti tumit. Tes nilon monofilamen membantu
mendiagnosa

adanya

neuropati

sensorik

(Mayfield &

Sugarman, 2014). Sebuah 10-gauge monofilamen nilon ditekan


terhadap setiap area tertentu. Jika pasien tidak merasakan
rangsangan di 4 area atau lebih dari total 10 area, maka
pasien positif mengalami neuropati.

c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan pasien dengan ulkus diabetik meliputi tes darah, rekaman pulsavolume,

ultrasonografi,

indeks

ankle-brachial,

radiografi,

computed

tomography, magnetic resonance imaging, scan tulang, dan angiografi:


1) Darah lengkap

Hitung darah lengkap harus dilakukan. Leukositosis mungkin dapat


menjadi tanda terjadinya plantar abses atau infeksi lainnya. Penyembuhan
luka dapat terhambat dengan adanya anemia, anemia dapat memicu nyeri
saat istirahat (Teodorescu et al., 2004).
2) HbA1c, glukosa serum, kreatinin
Penilaian glukosa serum, glycohemoglobin, dan kadar kreatinin diharapkan
membantu untuk menentukan kontrol glikemik akut dan kronis dan status
fungsi ginjal. Tes darah juga harus mencakup penilaian A1C hemoglobin
karena nilai normal adalah penanda pengganti untuk penyembuhan luka
(Zochodone, 2008).
3) Pulse-volume recording (PVR)
Pulse-volume recording (PVR), atau plethysmography, menggunakan
manset pneumatik melingkari paha, betis, pergelangan kaki, kaki, dan,
sesekali, jari kaki untuk merasakan perubahan volume segmental pada
setiap denyut nadi. Dari pemeriksaan tersebut diketahui informasi yang
berguna tentang efek hemodinamik dari penyakit arteri pada setiap tingkat.
Pada penyakit yang berat, penelusuran di tingkat transmetatarsal dapat
menjadi hampir datar. Pada penyakit yang ringan, terutama yang
melibatkan segmen aortoiliaka, penelusuran PVR mungkin tampak normal
saat istirahat dan menjadi abnormal hanya setelah pasien berjalan sampai
gejala-gejala muncul.
PVR adalah metode non-invasif dan cepat. karenanya, dapat diulang sering
untuk membantu menilai respon hemodinamik keseluruhan untuk
perawatan medis atau bedah. Biasanya, jika pulsasi pedal baik, evaluasi
arteri PVR tidak memberikan informasi yang berguna (Zochodone, 2008).
4) Ultrasonography (USG)
Ultrasonografi dupleks dapat memberikan gambaran segmen arteri yang
dapat membantu melokalisasi luasnya penyakit, dan pengukuran Doppler
simultan, kecepatan aliran dapat membantu memperkirakan derajat
stenosis. Duplex scanning ini sangat berguna dalam memvisualisasikan

aneurisma, terutama dari aorta atau segmen poplitea. Penggunaan teknik ini
mungkin sebaiknya dilakukan oleh spesialis Jantung Pembuluh darah.
Sebuah Doppler scanner genggam dapat digunakan untuk menilai arteri,
melokalisasi dan mengukur pulsasinya (Wagner, 2013).
5) Ankle-Brachial Indeks (ABI)
Tekanan sistolik di dorsalis pedis atau arteri posterior dibagi dengan
tekanan sistolik ekstremitas atas disebut indeks ankle-brachial (ABI) dan
merupakan indeks dari keparahan arterial compromise. ABI yang normal
rata-rata 1,0. ABI kurang dari 0,9 menunjukkan penyakit aterosklerosis,
dengan sensitivitas sekitar 95%. Secara umum, ABI di bawah 0,3
menunjukkan peluang yang rendah untuk penyembuhan ulserasi iskemik
distal. Sayangnya, nilai ABI memiliki spesifisitas yang rendah, sehingga
sulit diandalkan jika pasien dalam kondisi arteri telah mengalami
kalsifikasi berat, terutama pada pasien DM (Wagner, 2013).
6) Plain Radiography
Studi

radiografi

dari

kaki

diabetik

dapat

menunjukkan

adanya

demineralisasi dan sendi Charcot dan terkadang dapat menunjukkan adanya


osteomielitis. Kalsifikasi arteri terlihat pada radiografi polos bukan
merupakan indikator spesifik terjadinya aterosklerosis yang parah.
Kalsifikasi segmen medial arteri tidak dapat mendiagnostik aterosklerosis,
dan bahkan kalsifikasi intima arteri, yang merupakan diagnostik penyakit
aterosklerosis, tidak selalu berarti telah terjadi stenosis hemodinamik
signifikan (Wagner, 2013).
7) Computed Tomography (CT) atau MRI
Meskipun dokter dapat mendiagnosis abses plantar dengan pemeriksaan
fisik saja, computed tomography (CT) scanning atau magnetic resonance
imaging (MRI) diindikasikan jika ada indikasi terjadinya abses plantar
tetapi tidak jelas pada pemeriksaan fisik (Dutta et al., 2006).
8) Bone scans

Penggunaan scan tulang memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang rendah.


Sebuah

penelitian

terbaru

menunjukkan

Technetium-99m-berlabel

ciprofloxacin merupakan penanda yang cukup bermakna sebagai tanda


osteomyelitis (Dutta et al., 2006).
9) Angiografi
Angiografi dibutuhkan untuk menggambarkan tingkat dan signifikansi
terjadinya aterosklerosis. Risiko utama yang terkait dengan angiografi
kontras-injeksi

konvensional

terkait

dengan

injeksi

agen

kontras

(Teodorescu et al., 2004).


10) Transcutaneous tissue oxygen studies
Studi oksigen transkutan jaringan diperiksa untuk mengetahui batas
kelayakan operasi bypass arteri (Teodorescu et al., 2004).
11) Staging
Staging diperlukan dalam menilai seberapa jauh rencana perawatan harus
dilakukan. Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak
pus, eksudat, edema, kalus, kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan
probe steril. lokasi ulkus tersering adalah dipermukaan jari dorsal dan
plantar (52%), daerah plantar (metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah
dorsum (11%) (Teodorescu et al., 2004).
F.

Diagnosis Banding
1. Chronic Venous Insufficiency (CVI)
CVI adalah kondisi medis di mana pembuluh darah tidak dapat memompa
darah yang rendah oksigen kembali ke jantung atau kondisi "impaired
musculovenous pump" hal ini disebabkan gangguan katup pada vena, seperti
kondisi setelah terjadinya deep vein thrombosis atau phlebitis (Siregar, 2005).
2. Diabetik Foot Infections

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ulkus diabetik dilakukan secara komprehensif melalui
upaya; mengatasi penyakit komorbid, menghilangkan/mengurangi tekanan beban
(offloading), menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi,

debridemen, revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau


emergensi (Scheffler, 2014).
Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi
penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, gangguan
kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan
sebagainya harus dikendalikan. Penanganan ulkus diabetik dapat dibagi sebagai
berikut (Scheffler, 2014) :
3. Kontrol nutrisi dan metabolik
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam
penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh
dalam proses penyembuhan. Perlu memonitor Hb diatas 12 g/dL dan
mempertahankan albumin diatas 3,5 g/dL. Diet pada penderita DM dengan
selulitis atau gangren diperlukan protein tinggi yaitu dengan komposisi
protein

20%,

lemak

20%

dan

karbohidrat

60%.

Infeksi atau inflamasi dapat mengakibatkan fluktuasi kadar gula darah yang
besar. Pembedahan dan pemberian antibiotika pada abses atau infeksi dapat
membantu mengontrol gula darah. Sebaiknya penderita dengan hiperglikemia
yang tinggi, kemampuan melawan infeksi turun sehinga kontrol gula darah
yang baik harus diupayakan sebagai perawatan pasien secara total.
4. Debridemen
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus
ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan
benda asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila
masih didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula/rongga yang
memungkinkan kuman berkembang. Setelah dilakukan debridemen luka harus
diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan
dressing (kompres).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu:
a) Debridemen mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,
ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan
jaringan nekrotik
b) Debridemen enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara
topikal pada permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu

residu protein. Contohnya, kolagenasi akan melisikan kolagen dan elastin.


Beberapa jenis debridement yang sering dipakai adalah papin, DNAse dan
fibrinolisin.
c) Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka.
Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara
alami akan melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel
dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi
fagosit tubuh dan bertindak sebagai agent yang melisiskan jaringan
nekrotik serta memacu proses granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang
disterilkan sering digunakan untuk debridemen biologi. Belatung
menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan jaringan nekrotik.
d) Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan
efisien. Tujuan debridemen bedah adalah untuk :
i. Mengevakuasi bakteri kontaminasi
ii. Menghilangkan jaringan kalus
iii. Mengurangi risiko infeksi lokal
5. Mengurangi tekanan (off loading)
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar.
Pada penderita DM yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki mudah
mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban tubuh
maupun iritasi kronis sepatu yang digunakan. Salah satu hal yang sangat
penting namun sampai kini tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan
kaki diabetik adalah mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off
loading).
Upaya off loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat
kesembuhan ulkus. Metode off loading yang sering digunakan adalah:
mengurangi kecepatan saat berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas
kaki, removable cast walker, total contact cast, walker, sepatu boot
ambulatory. Total contact cast (TCC) merupakan metode off loading yang
paling efektif dibandingkan metode yang lain. Berdasarkan penelitian
Amstrong TCC dapat mengurangi tekanan pada luka secara signifikan dan
memberikian kesembuhan antara 73%-100%. TCC dirancang mengikuti
bentuk kaki dan tungkai, dan dirancang agar tekanan plantar kaki terdistribusi

secara merata. Telapak kaki bagian tengah diganjal dengan karet sehingga
memberikan permukaan rata dengan telapak kaki sisi depan dan belakang
(tumit).
6. Dressing
Teknik dressing pada luka diabetes yang terkini menekankan metode
moist wound healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab. Luka
akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat dikontrol, menjaga agar
luka dalam keadaan lembab, luka tidak lengket dengan bahan kompres,
terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap gas. Tindakan dressing
merupakan salah satu komponen penting dalam mempercepat penyembuhan
lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan
lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi. Ada
beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih dressing yang
akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada tidaknya
infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis dressing yang
sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium
alginate, foam, kompres anti mikroba, dan sebagainya
7. Kendalikan infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun
sebelum hasil kultur dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera
diberikan secara empiris pada kaki diabetik yang terinfeksi. Pada ulkus
diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan di fokuskan pada patogen
gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat (limb or life threatening
infection) kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif
berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri anaerob)
antibiotika harus bersifat broadspectrum, diberikan secara injeksi.
Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening infection dapat
diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti: ampicillin/sulbactam,
ticarcillin/clavulanate, piperacillin/ tazobactam, Cefotaxime atau ceftazidime
+ clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin. Sementara pada infeksi berat

yang bersifat life threatening infection dapat diberikan beberapa alternatif


antibiotika

seperti

piperacillin/tazobactam

berikut:
+

ampicillin/sulbactam
vancomycin,

+aztreonam,

vancomycin

metronbidazole+ceftazidime, imipenem/cilastatin atau fluoroquinolone +


vancomycin + metronidazole.

Pada infeksi berat pemberian antibiotika

diberikan selama 2 minggu atau lebih.


Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama
dan sering kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian
antibiotika juga harus dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara
empiris, melalui parenteral selama 6 minggu dan kemudain dievaluasi kembali
melalui foto radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai
bersih pemberian antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu
2 minggu.
G. Komplikasi
Ulkus diabetik sendiri adalah komplikasi dari adanya DM, manajemen
yang tidak baik pada ulkus diabetik atau tertundamya pengobatan mengakibatkan
peningkatan stadium ulkus dan meningkatkan kebutuhan akan amputasi
(Galkowska et al., 2006).
H. Prognosis
Kematian pada penderita diabetes dan ulkus diabetik berhubungan dengan
terjadinya arteriosklerosis yang melibatkan arteri koroner atau ginjal. Amputasi
adalah risiko yang signifikan pada pasien dengan ulkus diabetik, terutama jika
pengobatan tertunda. Diabetes adalah penyebab utama untuk nontraumatic
amputasi ekstremitas bawah di Amerika Serikat. Setengah dari semua amputasi
nontraumatic adalah hasil dari komplikasi kaki diabetik, dan sebanyak 50%
populasi berisiko untuk melakukan amputasi kontralateral dalam jangka waktu 5
tahun (Rowe, 2012).
Pada pasien dengan neuropati diabetik, jika menejemen penatalaksanaan
berjalan baik, pasien masih memiliki risiko 66% untuk mengalami kekambuhan
dan tingkat amputasi 12% (Galkowska et al., 2006).

DAFTAR PUSTAKA
1.

Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar


ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1857.
2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu
Diabetes.2008 [ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id
3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan
strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI,
2006; 1906.
4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di
Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011
5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.
6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. 2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2006
7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan
Strategi Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen
Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal.
1873
9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc
Carty Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia.
Jakarta;2005; hal.1259
10. Bowering, C., 2011. Diabetic foot ulcers: pathophysiology, assessment, and
therapy. Can Fam Phys, 47, pp.1007-16.

11. Clayton, W.J., 2009. A Review of ThePathophysiology, Classification, and


Treatment of Ulcer in Diabetic Patients. ProQuest and Medical Complete, p.27.
12. Dutta, P. et al., 2006. Instant 99mTc-ciprofloxacin scintigraphy for the diagnosis
of osteomyelitis in the diabetic foot. Foot Ankle Int, 9(27), pp.716-22.
13. Galkowska, H. et al., 2006. Neurogenic factors in the impaired healing of diabetic
foot ulcers. J Surg Res, 134(2), pp.252-158.
14. Huijberts, M., Schaper, N. & Schalkwijk, C., 2008. Advanced glycation end
products and diabetic foot disease. Diabetes Metab Res Rev, 24, pp.S19-24.
15. Kelkar, P., 2006. Diabetic neuropathy. Sem Neurol, 25, pp.168-73.
16. Mayfield, J. & Sugarman, J., 2014. he use of the Semmes-Weinstein
monofilament and other threshold tests for preventing foot ulceration and
amputation in persons with diabetes. Fam Pract, 49, pp.17-29.
17. Paraskevas, K., Baker, D., Pompella, A. & Mikhailidis, D., 2008. Does diabetes
mellitus play a role in restenosis and patency rates following lower extremity
peripheral arterial revascularization? A critical overview. Ann Vasc Surg, 22,
pp.481-91.
18. Rowe, V. 2012. Diabetic Ulcers Clinical Presentation. [Online] Available at:
HYPERLINK
"http://emedicine.medscape.com/article/460282-clinical"
http://emedicine.medscape.com/article/460282-clinical
[Diakses tanggal 20
Oktober 2015].
19. Scheffler, N., 2014. Innovative treatment of a diabetic ulcer: a case study.
CINAHL, PMID: 15022818(2009394327), pp.ISSN: 0001-6470.
20. Simmons, Z. & Feldman, E., 2012. Update on diabetic neuropathy. Curr Opin
Neurol, 15, pp.595-603.
21. Siregar, R.S., 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. 2nd ed. Jakarta:
ECG.
22. Soewondo, P., 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia. PERKENI.
23. Teodorescu, V. et al., 2008. Detailed protocol of ischemia and the use of
noninvasive vascular laboratory testing in diabetic foot ulcers. Am J Surg, 187,
pp.75S-80S.

24. Wagner, F., 2013. The dysvascular foot: a system of diagnosis and treatment. Foot
Ankle, 2, p.64122.
25. Zochodone, D., 2008. Diabetic polyneuropathy: an update. Curr Opin Neurol, 21,
pp.527-33.

Anda mungkin juga menyukai