Anda di halaman 1dari 14

Referat

Parkinson

Disusun oleh
Vanya Genevieve Orapau (112014105)
Pembimbing
dr. Rosalyne
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRIDA WACANA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR.CIPTO
PERIODE: 14 Maret 16 April 2016
SEMARANG 2016

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif ke 2 paling sering dijumpai
setelah penyakit Alzheimer. Berbagai gejala penyakit parkinson, antara lain tremor waktu
istirahat, telah dikemukakan sejak Glen tahun 138-201, bahkan berbagai macam tremor sudah
digambarkan tahun 2500 sebelum masehi oleh bangsa India. Pada tahun 1919 Tretiakoff
menyimpulkan dari hasil penelitian post mortem penderita penyakit Parkinson pada disertasinya
bahwa ada kesamaan lesi yang ditemukan yaitu lesi disubstansia nigra. Lebih lanjut, secara
terpisah dan dengan cara berbeda ditunjukkan Bein, Carlsson dan Hornykiewicz tahun 1950an,
bahwa penurunan kadar dopamine sebagai kelainan biokimiawi yang mendasari penyakit
Parkinson.
Penyakit Parkinson terjadi di seluruh dunia, jumlah penderita antara pria dan wanita
seimbang. 5-10 % orang yang terjangkit penyakit parkinson, gejala awalnya muncul sebelum
usia 40 tahun, tapi rata-rata menyerang penderita pada usia 65 tahun. Secara keseluruhan,
pengaruh usia pada umumnya mencapai 1 % di seluruh dunia dan 1,6 % di Eropa, meningkat
dari 0,6 % pada usia 60-64 tahun sampai 3,5 % pada usia 85-89 tahun. Di Amerika Serikat, ada
sekitar 500.000 penderita parkinson. Di Indonesia sendiri, dengan jumlah penduduk 210 juta
orang, diperkirakan ada sekitar 200.000-400.000 penderita. Rata-rata usia penderita di atas 50
tahun dengan rentang usia-sesuai dengan penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di
Sumatera dan Jawa- 18 hingga 85 tahun. Statistik menunjukkan, baik di luar negeri maupun di
dalam negeri, lelaki lebih banyak terkena dibanding perempuan (3:2) dengan alasan yang belum
diketahui. Referat ini dibuat untuk membahas aspek defenisi, epidemiologi, klasifikasi,
gambaran klinis, patogenesis, penatalaksanaan, serta

terapi rehabilitasi medik pada pasien-

pasien Parkinson.

BAB II
ISI
A. Definisi
Penyakit parkinson merupakan suatu penyakit karena gangguan pada ganglia basalis
akibat penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus
palidus/neostriatum (striatal dopamine deficiency).
Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif progresif yang berkaitan erat
dengan usia. Penyakit ini mempunyai karakteristik terjadinya degenerasi dari neuron
dopaminergik substansia nigra pars kompakta, ditambah dengan adanya inklusi intraplasma
yang terdiri dari protein yang disebut dengan Lewy Bodies.1
B. Etiologi
Etiologi Parkinson primer masih belum diketahui. Terdapat beberapa dugaan, di
antaranya ialah; infeksi oleh virus yang non-konvensional (belum diketahui), reaksi abnormal
terhadap virus yang sudah umum, pemaparan terhadap zat toksik yang belum diketahui, serta
terjadinya penuaan yang prematur atau dipercepat.
Parkinson disebabkan oleh rusaknya sel-sel otak, tepatnya di substansi nigra. Suatu
kelompok sel yang mengatur gerakan-gerakan yang tidak dikehendaki (involuntary).
Akibatnya, penderita tidak bisa mengatur/menahan gerakan-gerakan yang tidak disadarinya.
Mekanisme bagaimana kerusakan itu terjadi belum jelas benar. Beberapa hal yang diduga
bisa menyebabkan parkinson adalah sebagai berikut:
1. Usia
Insiden meningkat dari 10 per 10.000 penduduk pada usia 50 sampai 200 dari 10.000
penduduk pada usia 80 tahun. Hal ini berkaitan dengan reaksi mikrogilial yang
mempengaruhi kerusakan neuronal, terutama pada substansia nigra.
2. Genetik
Penelitian menunjukkan adanya mutasi genetik yang berperan pada Parkinsons Disease.
Yaitu mutasi pada gen sinuklein pada lengan panjang kromosom 4 (PARK1) pada pasien
dengan Parkinsonism autosomal dominan. Pada pasien dengan autosomal resesif,
ditemukan delesi dan mutasi point pada gen parkin (PARK2) di kromosom. Selain itu
juga ditemukan adanya disfungsi mitokondria. Adanya riwayat Parkinsons Disease pada
keluarga meningkatkan faktor resiko menderita Parkinsons Disease sebesar 8,8 kali pada
usia kurang dari 70 tahun dan 2,8 kali pada usia lebih dari 70 tahun. Meskipun sangat
jarang, jika disebabkan oleh keturunan, gejala parkinsonisme tampak pada usia relatif
3

muda. Kasus-kasus genetika di USA sangat sedikit, belum ditemukan kasus genetika
pada 100 penderita yang diperiksa. Di Eropa pun demikian. Penelitian di Jerman
menemukan hasil nol pada 70 penderita. Contoh klasik dari penyebab genetika ditemukan
pada keluarga-keluarga di Italia karena kasus penyakit itu terjadi pada usia 46 tahun.13
3. Faktor Lingkungan
a. Xenobiotik
Berhubungan erat dengan paparan pestisida yang dapat menimbulkan kerusakan
mitokondria.
b. Pekerjaan
Lebih banyak pada orang dengan paparan metal yang lebih tinggi dan lama.
c. Infeksi
Paparan virus influenza intra-utero diduga turut menjadi faktor predesposisi
Parkinsons Disease melalui kerusakan substansia nigra. Penelitian pada hewan
menunjukkan adanya kerusakan substansia nigra oleh infeksi Nocardia astroides.
d. Diet
Konsumsi lemak dan kalori tinggi meningkatkan stress oksidatif, salah satu
mekanisme kerusakan neuronal pada Parkinsons Disease. Sebaliknya, kopi
merupakan neuroprotektif.
e. Trauma kepala
Cedera kranio serebral bisa menyebabkan Parkinsons Disease, meski mekanismenya
masih belum jelas benar.
f. Stres dan depresi
Beberapa penelitian menunjukkan depresi dapat mendahului gejala motorik. Depresi
dan stres dihubungkan dengan Parkinsons Disease karena pada stres dan depresi
terjadi peningkatan turnover katekolamin yang memacu stres oksidatif.2,3

Epidemiologi
Penyakit Parkinson meliputi sekitar 80% kasus parkinsonisme. Usia onset menunjukkan
kurva berbentuk bel dengan rata-rata usia 55 tahun baik pada pria maupun wanita. Penyakit
Parkinson yang mulai sebelum umur 20 tahun disebut sebagai Juvenille Parkinsonism.
Penyakit Parkinson lebih sering ditemukan pada pria, dengan perbandingan pria dan wanita
3:2.
Prevalensi penyakit Parkinson adalah sekitar 160 per 100.000, dan insidensnya dalah
sekitar 20 per 100.000 per tahun. Prevalensi dan insidensi meningkat seiring dengan
4

peningkatan usia. Pada usia 70 tahun, prevalensi adalah sekitar 550 per 100.000, dan
insidensi adalah 120 per 100.000/ tahun.4
C. Patofisiologi
Penyaki Parkinson secara umum mengenai neuron dopaminergic yang berproyeksi dari
substansia nigra otak tengah sampai striatum ganglia basalis (nucleus kaudatus dan putamen).
Secara makroskopis, didapatkan atrofi substansia nigra pada penyakit Parkinson tahap lanjut,
yang dikenali dari hilangnya pigmentasi melanin pada region tersebut. Secara mikroskopis,
didapatkan kerusakan berat neuron pada substansia nigra, dan neuron yang tersisa seringkali
mengandung badan inklusi intrasel, yaitu badan lewy.5
Secara patofisiologis, kerusakan jaras dopaminergic menyebabkan ketidakseimbangan
sistem ekstrapiramidal dengan mekanisme kolinergik dan neurotransmitor lainnya.

Gambar 1. Konsep keseimbangan neurokimia pada sistem ekstrapiramidal


Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar
dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50%
yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab
multifaktor.
Substansia nigra (sering disebut black substance), adalah suatu region kecil di otak (brain
stem) yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi pusat
control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmitter yang
disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh gerakan otot dan keseimbangan
tubuh yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine diperlukan untuk komunikasi
elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakan,
keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara). Pada penyakit
Parkinson sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamine
menurun dan akibatnya semua fungsi neuron di system saraf pusat (SSP) menurun dan
5

menghasilkan kelambatan gerak (bradikinesia), kelambatan bicara dan berpikir (bradifrenia),


tremor dan kekauan (rigiditas).
D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Motorik

Gambar 2. Gambaran Klinis Penyakit Parkinson


a. Tremor
Gejala penyakit parkinson sering luput dari pandangan awam, dan dianggap
sebagai suatu hal yang lumrah terjadi pada orang tua. Salah satu ciri khas dari penyakit
parkinson adalah tangan tremor (bergetar) jika sedang beristirahat. Namun, jika orang
itu diminta melakukan sesuatu, getaran tersebut tidak terlihat lagi. Itu yang disebut
resting tremor, yang hilang juga sewaktu tidur.
Tremor terdapat pada jari tangan, tremor kasar pada sendi metakarpofalangis,
kadang-kadang tremor seperti menghitung uang logam atau memulung-mulung (pill
rolling). Pada sendi tangan fleksi-ekstensi atau pronasi-supinasi pada kaki fleksiekstensi, kepala fleksi-ekstensi atau menggeleng, mulut membuka menutup, lidah
terjulur-tertarik. Tremor ini menghilang waktu istirahat dan menghebat waktu emosi
terangsang (resting/ alternating tremor).
Tremor tidak hanya terjadi pada tangan atau kaki, tetapi bisa juga terjadi pada
kelopak mata dan bola mata, bibir, lidah dan jari tangan (seperti orang menghitung
uang). Semua itu terjadi pada saat istirahat/tanpa sadar. Bahkan, kepala penderita bisa
6

bergoyang-goyang jika tidak sedang melakukan aktivitas (tanpa sadar). Artinya, jika
disadari, tremor tersebut bisa berhenti. Pada awalnya tremor hanya terjadi pada satu
sisi, namun semakin berat penyakit, tremor bisa terjadi pada kedua belah sisi.
b. Rigiditas/kekakuan
Tanda yang lain adalah kekakuan (rigiditas). Jika kepalan tangan yang tremor
tersebut digerakkan (oleh orang lain) secara perlahan ke atas bertumpu pada
pergelangan tangan, terasa ada tahanan seperti melewati suatu roda yang bergigi
sehingga gerakannya menjadi terpatah-patah/putus-putus. Selain di tangan maupun di
kaki, kekakuan itu bisa juga terjadi di leher. Akibat kekakuan itu, gerakannya menjadi
tidak halus lagi seperti break-dance. Gerakan yang kaku membuat penderita akan
berjalan dengan postur yang membungkuk. Untuk mempertahankan pusat gravitasinya
agar tidak jatuh, langkahnya menjadi cepat tetapi pendek-pendek.
Adanya hipertoni pada otot fleksor ekstensor dan hipertoni seluruh gerakan, hal
ini oleh karena meningkatnya aktifitas motorneuron alfa, adanya fenomena roda
bergigi (cogwheel phenomenon).
c. Akinesia/Bradikinesia
Kedua gejala di atas biasanya masih kurang mendapat perhatian sehingga tanda
akinesia/bradikinesia muncul. Gerakan penderita menjadi serba lambat. Dalam
pekerjaan sehari-hari pun bisa terlihat pada tulisan/tanda tangan yang semakin
mengecil, sulit mengenakan baju, langkah menjadi pendek dan diseret. Kesadaran
masih tetap baik sehingga penderita bisa menjadi tertekan (stres) karena penyakit itu.
Wajah menjadi tanpa ekspresi. Kedipan dan lirikan mata berkurang, suara menjadi
kecil, refleks menelan berkurang, sehingga sering keluar air liur.
Gerakan volunter menjadi lambat sehingga berkurangnya gerak asosiatif,
misalnya sulit untuk bangun dari kursi, sulit memulai berjalan, lambat mengambil
suatu obyek, bila berbicara gerak lidah dan bibir menjadi lambat. Bradikinesia
mengakibatkan berkurangnya ekspresi muka serta mimik dan gerakan spontan yang
berkurang, misalnya wajah seperti topeng, kedipan mata berkurang, berkurangnya
gerak menelan ludah sehingga ludah suka keluar dari mulut.
d. Tiba-tiba Berhenti atau Ragu-ragu untuk Melangkah

Gejala lain adalah freezing, yaitu berhenti di tempat saat mau mulai melangkah,
sedang berjalan, atau berputar balik; dan start hesitation, yaitu ragu-ragu untuk mulai
melangkah. Bisa juga terjadi sering kencing, dan sembelit. Penderita menjadi lambat
berpikir dan depresi. Hilangnya refleks postural disebabkan kegagalan integrasi dari
saraf propioseptif dan labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus
dan ganglia basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh.
e. Mikrografia
Tulisan tangan secara gradual menjadi kecil dan rapat, pada beberapa kasus hal ini
merupakan gejala dini.
f. Langkah dan gaya jalan (sikap Parkinson)
Berjalan dengan langkah kecil menggeser dan makin menjadi cepat (marche a
petit pas), stadium lanjut kepala difleksikan ke dada, bahu membengkok ke depan,
punggung melengkung bila berjalan.

g. Bicara monoton
Hal ini karena bradikinesia dan rigiditas otot pernapasan, pita suara, otot laring,
sehingga bila berbicara atau mengucapkan kata-kata yang monoton dengan volume
suara halus (suara bisikan) yang lambat.
h. Dimensia
Adanya perubahan status mental selama perjalanan penyakitnya dengan defisit
kognitif.
i. Gangguan behavioral
Lambat-laun menjadi dependen (tergantung kepada orang lain), mudah takut,
sikap kurang tegas, depresi. Cara berpikir dan respon terhadap pertanyaan lambat
(bradifrenia) biasanya masih dapat memberikan jawaban yang betul, asal diberi waktu
yang cukup.
j. Gejala Lain
Kedua mata berkedip-kedip dengan gencar pada pengetukan diatas pangkal
hidungnya (tanda Myerson positif)
2. Gejala non motorik
8

a. Disfungsi otonom

Keringat berlebihan, air ludah berlebihan, gangguan sfingter terutama

inkontinensia dan hipotensi ortostatik


Kulit berminyak dan infeksi kulit seboroik
Pengeluaran urin yang banyak
Gangguan seksual yang berubah fungsi, ditandai dengan melemahnya hasrat

seksual, perilaku, orgasme.


Gangguan suasana hati, penderita sering mengalami depresi
Ganguan kognitif, menanggapi rangsangan lambat
Gangguan tidur, penderita mengalami kesulitan tidur (insomnia)

b. Gangguan sensasi

Kepekaan kontras visuil lemah, pemikiran mengenai ruang, pembedaan warna


Penderita sering mengalami pingsan, umumnya disebabkan oleh hypotension
orthostatic, suatu kegagalan sistemsaraf otonom untuk melakukan penyesuaian

tekanan darah sebagai jawaban atas perubahan posisi badan


Berkurangnya atau hilangnya kepekaan indra perasa bau (microsmia atau
anosmia).6

E. Diagnosis
Kriteria diagnostik menggunakan kriteria Hughes.1

Possible
Bila terdapat salah satu gejala utama, yaitu tremor istirahat, rigiditas, bradikinesia,
dan kegagalan refleks postural.

Probable
Bila terdapat kombinasi dua dari gejala utama.

Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala utama.

Tanda khusus
Meyersons sign yakni tidak dapat mencegah mata berkedip-kedip bila daerah glabela
diketuk berulang. Ketukan berulang (2 kali/detik) pada glabela membangkitkan reaksi
berkedip-kedip
F. Perjalanan Penyakit
9

Perjalanan penyakit diukur sesuai dengan pentahapan menurut Hoehn dan Yahr (Hoehn and
Yahr Staging of Parkinsons Disease).1
Stadium Satu : Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan, terdapat
gejala yang mengganggu tetapi tidak menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor

pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat dikenali orang terdekat.
Stadium Dua : Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara berjalan

terganggu.
Stadium Tiga : Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat

berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.


Stadium Empat : Terdapat gejala yang lebih berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat berkurang

dibanding stadium sebelumnya.


Stadium Lima : Stadium kakhetik (cachetic stage), kecacatan total, tidak mampu berdiri
dan berjalan, memerlukan perawatan tetap.

G. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada penyakit Pakinson adalah untuk mempertahanakan fungsi dan
kualitas hidup dan untuk menghindari komplikasi akibat obat. Bradikinesia, tremor, rigiditas
dan postrul abnormal merespon pengobatan dengan baik. Sebaliknya, gejala kognitif,
hipofonia, disfungsi autonomik, dan ketidakseimbangan cenderung merepon buruk.
Pencegahan dari disabilitas sekunder membutuhkan program latihan fisik yang konsisten.
Pengobatan dirancang secara individual karena setiap pasien memiliki kombinas yang
unik dari gejala, tanda, respon tehadap medikasi, kemampuan finansial, okupasi, dan
kebutuhan emosional yang harus dipertimbangkan.6
Terapi Menurut Stadium Parkinson
a. Stadium Awal
Pengambilan keputusan utama adalah kapan memulai terapi levodopa, obat yang
paling efektif. Semua pasien beresiko mengalami komplikasi akibat penggunaan
levodopa jangka panjang. Pasien yang lebih muda, cenderung mengalami fluktuasi,
karena itu anti-Parkinson yang lain harus digunakan terlebih dahulu untuk memperlambat
dimulainya pemberian levodopa. Pendekatan ini dinamakan leovodpa-sparing stratergy.
Selegilin memperlambat kebutuhan akan terapi levodopa selama kurang lebih 9
bulan. Karena inhibitor monoamin oksidase tipe B (MAO-B inhibitor) ini memiliki efek
simptomatis ringan, belum dapat disimpulkan bahwa selegilin memiliki efek
neuroprotektif. Namun, sebuah studi kontrol yang mengevaluasi selegilin dalam terapi
10

levodopa menunjukan bahwa kelompok yang mendapat selegilin memiliki hasil yang
lebih baik daripada kelompok yang memperoleh plasebo, memberikan bukti bahwa
selegilin

tampaknya

memberikan

efek

neuroprotektif

dan

karena

itu

harus

dipertimbangkan dalam terapi penyakit Parkinson. Selegilin memiliki sedikit efek


samping jika digunakan tanpa levodopa, namun jika digunakan bersama levodopa,
selegilin dapat meningkatkan efek dopaminergik, memungkinkan dosis levodopa yang
lebih rendah, dan berkontribusi dalam toksisitas dopaminergik.
b. Stadium dimana Gejala dan Tanda Membutuhkan Terapi Simptomatis
Pada akhirnya, penyakit Parkinson berjalan terus dan terapi simptomatik harus
digunakan. Pilihan terapi adalah menggunakan levodopa atau obat anti-Parkinson lainnya
seperti anti-kolinergik atau agonis dopamin. Levodopa adalah superior dalam mengobati
gejala.
Obat anti-kolinergik
Antikolinergik kurang efektif sebagai obat anti-Parkinson dibandingkan dengan
agonis dopamin. Obat antikolinergik diperkirakan mengurangi parkinsonisme sekitar
20%. Tremor yang tidak dapat diobati dengan agonis atau levodopa, dapat berkurang
dengan antikolinergik. Triheksifenidil adalah agen antikolinergik yang digunakan
secara luas. Dosis awal yang digunakan adalah 2 mg tiga kali sehari dan dapat

ditingkatkan menjadi 20 mg atau lebih per hari.


Agonis Dopamin
Agonis dopamin dapat digunakan sebagai terapi kombinasi dengan levodopa
untuk meningkatkan efek anti-Parkinson, untuk mengurangi dosis levodopa yang
dibutuhkan, dan untuk mengatasi beberapa efek samping akibat penggunaan levodopa
jangka panjang, atau sebagai monoterapi pada stadium awal penyakit untuk
memperlambat dimulainya levodopa. Penggunaan agonis dopamin, dengan menunda
introduksi levodopa, memperlambat timbulnya komplikasi dari terapi levodopa
kronik. 5
Agonis dopamin kurang efektif jika dibandingkan dengan levodpa sebagai obat
anti-Parkinson, dan kebanyakan pasien memerlukan tambahan levodopa dalam
beberapa tahun. Bromokriptin adalah golongan derivat ergot. Obat ini dapat
menybabkan inflamasi kulit (St. Anthonyaes fire), namun efek samping ini jarang
terjadi dan hilang setelah pemakaian obat dihetnikan. Fibrosis retroperitoneal, pleural,
dan pericardial adalah efek samping yang lebih serius, namun juga jarang. Agonis
11

non-ergoline,

prampirexole,

berhubungan

dengan

kebingungan

dan

udema

pergelangan kaki. Serangan tidur, termasuk tertidur tanpa peringatan saat berkendara
dapat terjadi. Dopamin agonis lebih sering menyebabkan halusinasi, terutama pada
orang tua yang sudah mengalami kemunduran kognitif.
Semua agnois cenderung untuk menginduksi hipotensi ortostatik, terutama pada
pemakaian pertama. Setelah sekian waktu, komplikasi ini lebih jarang ditemukan.
Karena itu, regimen ini dimulai dengan dosis rendah sebelum tidur selama 3 hari
(bromokriptin 1,25 mg dan prampirexole 0,125 mg) dan kemudian waktu sebelum
tidur dipindah ke siang hari dengan dosisi ini selama beberapa hari. Dosis harian
dapat dinaikan bertahap dengan interval satu minggu untuk menghindari efek
samping (bromokriptin 1,25 mg dan prampirexole 0,75 mg) sampai dosis plateau
dicapai (bromokriptin 5 mg tiga kali sehari dan prampirexole 0,5 mg tiga kali sehari).
Jika dosis plateau ini tidak memuaskan, dosis dapat ditingkatkan bertahap sampai
empat kali lipat atau dapat tetap digunakan sembari memulai levodopa/ carbidopa.
Jika agonis saja tidak efektif, maka dibutuhkan levodopa/ carbidopa.
Dopamin agonis, jika digunakan sendiri tanpa levodopa, jarang menimbulkan
diskinesia. Karena obat ini memiliki waktu paruh yang lebih panjang dan
memungkinkan stimulasi reseptor dopaminergik terus-menerus. Waktu paruh yang
lebih panjang ini membuat agonis dopamin berguna untuk mengurangi keparahan dari

off states pada pasien dengan terapi levodopa.


Levodopa
Pada beberapa kasus dipilih levodopa dari awal. Pendekatan ini terutama berguna
pada pasien yang sudah memiliki beberapa disabilitas. Keuntungan menggunakan
levodopa dibandingkan dengan agonis dopamin adalah bahwa respon terapi sangat
terjamin. Hampir semua pasien dengan penyakit Parkinson respon terhadap levodopa
dengan cepat. Sebaliknya, hanya sedikir keuntungan yang adekuat dari pemakainan
dopamin agonis tunggal, dan mungkin membutuhkan waktu berbulam-bulan karena
dosis yang dimulai dari dosis rendah. Karena itu, jika respon terapi dibutuhkan secara
cepat (sebagai contoh, untuk tetap dapat bekerja atau untuk tetap mandiri), levodopa
lebih dipilih. Pada sisi lainnya, jika tidak ada urgensi khusus untuk respon klinis yang
cepat dan jika pasien tidak memiliki gangguan kognitif dan jika berusia kurang dari
70 tahun, dapat digunakan levodopa-sparing strategy. Pasien yang berusia lebih tua
12

dari 70 tahun lebih cenderung tidak mengalami repon fluktuasi dengan levodopa dan
cenderung mengalami kebingungan dan halusinasi dengan agonis dopamin, maka
pada populasi ini, carbidopa/levodopa adalah pilihan yang tepat untuk memulai
terapi.

c. Stadium dimana Gejala dan Tanda Membutuhkan Terapi dengan Levodopa


Saat medikasi anti-Parkinson lain tidak lalgi memberikan respon yang
memuaskan, levodopa dibutuhkan untuk mengurangi keparahan dari parkinsonisme.
Levodopa adalah obat anti-Parkinson yang paling poten. Dalam mengobati pasien dengan
penyakit Parkinson, digunakan terlebih dahulu dosis terkecil yang dapat memberikan
efek klinis, bukan dosis terbesar yang dapat ditoleransi pasien. Semakin lama terapi dan
semakin besar dosis terapi levodopa, semakin mungkin komplikasi motorik timbul.
Setelah 5 tahun terapi dengan levodopa, sekitar 75% pasien dengan penyakit Parkinson
memiliki komplikasi. Levodopa dapat digunakan bersama carbidopa untuk menginkatkan
potensi terapetik dan untuk menghindari efek samping gastrointestinal.
H. Komplikasi
Komplikasi penyakit Parkinson dapat meliputi hipokinesia, gangguan fungsi luhur, gangguan
postural, gangguan mental, dan gangguan vegetatif.1

Hipokinesia

: atrofi/kelemahan otot sekunder, kontraktur sendi, deformitas


(kifosis, skoliosis).

Gangguan fungsi luhur

: afasia, agnosia, apraksia.

Gangguan postural

: perubahan kardio-pulmonal, ulkus dekubitus, jatuh.

Gangguan mental

: gangguan pola tidur, emosional, gangguan seksual, depersi,


psikosis, demensia.

Gangguan vegetatif

: hipotensi postural, inkontinensia, gangguan keringat.

I. Prognosis
Pasien dengan penyakit Parkinson mengalami penurunan motoric progresif dan fungsi
kognitif serta angka kematian yang meningkat. Faktor risiko yang lebih cepat yakni
penurunan fungsi motorik meliputi usia yang lebih tua saat didiagnosis, dan bradikinisia yang
13

menonjol serta adanya kekakuan. Apabila tremor menonjol maka dapat memprediksi tingkat
lebih lambat dari perkembangan penyakit. Dalam penelitian di Norwegia, laki-laki dengan
penyakit Parkinson pada usia 70 tahun memiliki harapan hidup sekitar 8 tahun sedangkan
wanita dengan penyakit parkinson pada usia 70 tahun memiliki harapan hidup rata-rata 11
tahun.7
Daftar Pustaka
1. Kelompok studi gangguan gerak PERDOSI. Konsensus Tatalaksana Penyakit Parkinson.
2003.
2. Jankovic J, Tolosa E, 2006. Parkinsons Disease And Movements Disorders 4th. Philadelpia:
Lippincott &Wilkins. p. 39-53, 91-9.
3. Yayasan peduli parkinson Indonesia.

Parkinson

disease.

http://www.parkinson-

indonesia.com/, 29 Maret 2016.


4. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of Neurology. New York: Thieme; 2006. p.
125.
5. Ginsberg L. Lecture notes: Neurology. Jakarta: EMS; 2007. h. 100-7.
6. Rowland LP. Meritts Neurology. 11th Ed. USA: Lippincott Williams&Wilkins; 2005. chapter
115.
7. Gazewood

JD,

Richards

DR,

Clebak

K.

Parkinsons

Diesease.

http://www.aafp.org/afp/2013/0215/p267.html, 29 Maret 2016.


8. National Ataxia Foundation. Frenkels Exercises for Ataxic Conditions.

14

Anda mungkin juga menyukai