Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja. Kalangan menengah dan kalangan
bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial
pun tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap
bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar
waktu habis terpakai untuk mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan
kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang
dari orang tua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil anak pun menjadi lebih dekat dengan
pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata
rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup
masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan, atau orang-orang pinggiran
yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan
sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya
kehidupan selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu
bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Taala akan
membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.