Anda di halaman 1dari 2

Kebahagiaan Sejati

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Guntara Nugraha Adiana Poetra


Betapa tidak mudahnya seseorang menjadi bahagia. Kala kata itu diartikan sebagai simbol
materi, kemewahan, pangkat, golongan, status sosial.
Secara tidak sadar, pola pikirnya sudah terbebani untuk mengejar segala jenis simbol yang sudah
melekat padanya.
Ketika suatu saat simbol-simbol itu gagal didapat, ia akan menjadi kecewa bahkan putus asa
seolah-olah hanya dengan meninggikan simbol saja kebahagiaan itu bisa diraihnya.
Memang, ada benarnya kalau materi, kedudukan, dan simbol lainnya bisa membawa seseorang
menjadi bahagia. Apalagi, ada pepatah mengatakan, apa pun masalahnya, dengan uang segala
urusan bisa menjadi lancar.
Dengan kedudukan, masalah bisa cepat teratasi. Hanya, simbol-simbol tersebut tidak melulu
menjadikan seseorang lantas berbahagia.
Materi dan kedudukan di dunia sejatinya tidak akan dibawa ke alam kubur. Apalah arti sebuah
simbol kalau dirinya masih jauh dari Tuhan, berbeda halnya kalau simbol tersebut digunakan
untuk kebaikan pada diri dan sesama.
Kebiasaan orang yang meninggikan simbol tanpa esensi biasanya akan menganggap rendah dan
memandang sebelah mata kepada orang yang hidup tanpa simbol kebahagiaan.
Mereka hanya akan menghormati orang-orang yang berharta, berpangkat dan mempunyai
kedudukan tinggi di masyarakat. Padahal, kemuliaan seseorang dilihat dari ketakwaan, bukan
pada selainnya.
"Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (QS alHujuraat ayat 13).
Inilah fenomena yang berkembang di masyarakat masa lalu maupun modern, banyak orang
mengejar kebahagiaan dengan cara yang sulit. Padahal, ada yang lebih penting untuk
diperhatikan, yaitu esensi bahagia.
Dengan menyederhanakan pola pikir dan pola hidup niscaya seseorang tidak akan jatuh ke dalam
kesalahan berpikir. Siapa pun, pada dasarnya bisa berbahagia dengan mudah.

Karena, bahagia bukan hanya milik orang-orang elite saja. Kalangan menengah dan kalangan
bawah pun bisa merasakan hal sama. Orang-orang tanpa pangkat, jabatan, bahkan status sosial
pun tetap bisa merasakan kebahagiaan.
Kita tentu pernah mendengar kisah seseorang yang bekerja dengan penghasilan besar setiap
bulannya, akan tetapi waktu, tenaga dan pikirannya lebih menguasai dirinya. Sebagian besar
waktu habis terpakai untuk mencari materi.
Sedikit sekali waktu berkumpul dengan anak dan istrinya, tiada kehangatan yang bisa dirasakan
kecuali pada waktu-waktu tertentu, bahkan tak jarang sang anak seperti kehilangan kasih sayang
dari orang tua yang super sibuk dengan urusan-urusan dunia.
Waktu emas sang anak habis dengan orang lain. Alhasil anak pun menjadi lebih dekat dengan
pengasuh atau orang yang mengurusinya sejak kecil daripada dengan orang tuanya.
Fenomena lain adalah saat seseorang hidup dengan penghasilan besar setiap bulannya ternyata
rumah tangganya tidak harmonis.
Tak jarang, mereka akhirnya harus hidup berpisah karena memilih bercerai dan menjalani hidup
masing-masing. Apakah materi dan status sosial belum cukup untuk membahagiakannya!?
Lalu, bagaimana dengan para pedagang kaki lima, petani, nelayan, atau orang-orang pinggiran
yang berpenghasilan tidak tetap, terkadang rizki yang didapat hanya cukup untuk kehidupan
sehari-hari. Adakah mereka mendapat kebahagiaan? Jawabannya, tentu ada.
Kondisi ekonomi bukanlah menjadi alasan bagi seseorang untuk terhalang merasakan manisnya
kehidupan selama ia bersabar, tetap berikhtiar, menjaga dirinya dari kemaksiatan, dan selalu
bersyukur atas pemberian dari Tuhannya kendati sedikit maka selama itu pula Allah Taala akan
membimbingnya kepada kebahagiaan yang hakiki.

Anda mungkin juga menyukai