Metoda saintifik yang saat ini digunakan untuk menyelidiki gejala alam
adalah merupakan gabungan antara metoda empirik dan rasional. Ia diyakini
merupakan metoda paling unggul untuk mencapai kebenaran ilmiah dan
mampu menyingkap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan manusia terhadap
fenomena alam yang dihadapinya. Pada dasarnya, dalam epistemologi Islm
panca indera dan rasio merupakan dua alat yang dapat digunakan untuk
meraih ilmu, dan bahkan para saintis muslim sudah menggunakan keduanya
untuk meneliti fenomena alam mendahului Roger dan Francis Bacon. Hal ini
diakui oleh banyak sarjana di Barat misalnya dituturkan Rossana Giorini:
According to the majority of the historians al-Haytham was the pioneer of
the modern scientific method. With his book he changed the meaning of
the term optics and established experiments as the norm of proof in the
field. His investigations are based not on abstract theories, but on
experimental evidences and his experiments were systematic and
repeatable
Robert
Briffault
(1876-1948)
seorang
sarjana
terkemuka
Barat
menolak
metafisika
(seperti
juga
agama)
sebagai
sumber
pengetahuan, alasannya ia tak dapat diamati dan tidak ada eksperimen yang
dapat dilakukan untuk mengujinya. Misalnya, malaikat dan makhluk ghaib
lainnya yang disebutkan dalam kitab suci bagi positivisme adalah absurd
sebab mereka tidak dapat diamati dan tidak ada eksperimen yang bisa
dilakukan untuk membuktikan keberadaannya. Diantara tokoh positivism
yang terkemuka adalah Isidore Auguste Marie Fraois Xavier Comte (17981857), menurut masyarakat dunia berkembang dari teologis menjadi
metafisis akhirnya positif atau saintifik. Dalam tahap awal manusia harus
berpegang
pada
agama
karena
tidak
mampu
menjawab
berbagai
pertanyaan yang tidak dapat dijawab menyangkut alam dan realitas serta
kehidupannya dan harus merujuk pada kepercayaan pada suatu kekuatan
supranatural.
Pada
tahap
awal
ini
pun
manusia
berkembang
dari
Para saintis tidak puas dengan metoda saintifik, pertama karena tidak ada
pembeda yang jelas antara ilmu yang bersifat spekulatif seperti filsafat,
metafisika, etika dengan ilmu yang benar seperti sains; kedua, diperlukan
suatu kriteria yang sama setiap disiplin ilmu agar dapat ditentukan
kebenarannya (verifiable). Jadi diperlukan penjelas (metadeskripsi) dari
deskripsi yang dihasilkan metoda saintifik terhadap alam, ia adalah
Positivisme Logis (Logical Positivism).
Positivisme Logis sebuah pernyataan yang disebut benar atau verifiable dan
bermakna (meaningful) ketika dia mematuhi dua prasyarat yaitu: pertama,
dapat dibuktikan secara empiris atau kedua, dapat diturunkan dari preposisi
yang bisa diverifikasi secara langsung (a priori) kebenarannya atau seperti
tautologi. Misalnya, pernyataan planet saturnus memiliki cincin, adalah
pernyataan yang benar sebab dapat diverifikasi melalui pengamatan. Juga
pernyataan matematis seperti 1+1=2 atau pernyataan setiap duda
pernah menikah adalah benar, sebab ia bersifat tautologis. Namun
pernyataan metafisis seperti Tuhan itu ada, tidaklah memiliki makna sebab
tidak dapat diverifikasi melalui pengamatan juga bukan tautologis, demikian
klaim mereka.
Suatu pernyataan yang tidak bisa diamati secara empirik dan tidak bisa
diverifikasi secara logis menurut Positivisme Logis adalah tidak punya makna
(meaningless) dan membuang waktu untuk membahasnya. Karenanya,
pernyataan-pernyataan dalam metafisika, (i.e. non empirik), moralitas juga
agama dalam pandangan Postivisme Logis adalah tidak bermakna dan
nonsense. Pemikiran Positivisme Logis berusaha menyatukan kriteria ilmiah
dari seluruh disiplin ilmu dan meniadakan pemikiran yang tidak sesuai
dengannya, karenanya Positivisme Logis cenderung ingin menghegemoni
metoda untuk mencapai kebenaran dan membatasi wilayah ilmu lain.
Positivisme Logis bermula dari suatu kumpulan diskusi di Universitas Wina
pada 1922, karena itulah kelompok ini sering disebut dengan Lingkaran Wina
(Vienna Circle). Lingkaran Wina dipimpin oleh seorang fisikawan Moritz
utama
dari
Positivisme
Logis
adalah
jelas
yaitu:
pertama,
menyediakan dasar yang kokoh bagi sains; dan kedua, menunjukkan bahwa
seluruh metafisika (sesuatu yang tidak empirik) tidak memiliki makna
(meaningless). Bagi tokoh utamanya, Moritz Schlick,. Tujuan mereka dalam
mempelajari sains hanyalah: