Anda di halaman 1dari 12

Paper Budaya

By:Angelin Natalie 8B/02

I. KATA PENGANTAR

Perasaan saya saat membuat


ini cukup takut karena takut
tidak sesuai dengan yang
diinginkan atau yang
diharapkan
Tapi saya berterima kasih
kepada Tuhan yang sudah
memberkati saya pada saat
saya mengerjakan tugas ini
dan juga terima kasih kepada
keluarga saya yang sudah
membantu saya
mengerjakan tugas ini
terutama kepada orang tua
saya yang sudah membantu
saya dalam merangkai kata

II. DAFTAR ISI


1) Sejarah
munculnya/keberadaan/asal
mulanya
2) Mengapa makanan itu
ditemukan dan diberi nama
tersebut
3) Bahan bahan yang
diperlukan
4) Peralatan yang dibutuhkan
5) Cara membuatnya/proses
pembuatan
6) Tata cara penyajian
7) Keunggulan/kelebihan dan
kekurangan makanan
8) Apa makna makanan itu
atau filosofi
9) Bisa di inovasi atau tidak
10) Bagaimana makanan khas
itu terkenal

Apa yang saya lakukan


untuk mempertahankan
makanan khas tersebut

11)

NAMA MAKANAN KHASNYA

A. Manisan pala merupakan salah satu jenis makanan


khas aceh, dan juga merupakan makanan ringan yang
tergolong dalam kelompok manisan buah-buahan.
Usaha pembuatan manisan pala tidak memerlukan
teknologi yang sulit dan pembuatannya cukup mudah,
oleh karena itu usaha ini mudah dilakukan oleh para
pengusaha baru.Pembuatan manisan pala umumnya
dilakukan oleh pengusaha kecil di daerah penghasil
pala. Kabupaten Aceh Selatan adalah kabupaten
penghasil komoditi pala terbesar di Aceh bahkan di
Pulau Sumatera. Manisan buah pala ini termasuk
industri rumah tangga yang banyak dijumpai di
Kabupaten Aceh Selatan. Selain diolah menjadi
manisan dan sirup, pala dapat dibuat juga menjadi
minyak pala yang berkhasiat tinggi untuk mengobati
luka. Bahkan kini kue dan kembang gula pun dapat
dibuat dari buah pala. Manisan pala selain menjadi
makanan ringan yang disajikan pada saat perayaan
hari-hari besar lebaran dan tahun baru bagi masyarakat
setempat juga dapat dijadikan buah tangan bagi
wisatawan yang berkunjung ke daerah ini.

B.
Kembang loyang ini terbuat dari tepung roti
yang di campur dengan gula dan telur serta pati
santan. Adonan ini diaduk hingga rata lalu
cetakan kembang loyang dicelupkan ke dalam
adonan kemudian digoreng ke dalam
penggorengan. Kue ini sering kita jumpai disaat
ada acara hajatan, tidak ketinggalan juga
dipelosok-pelosok desa di Aceh kue sangat setia
untuk menemani pada hari-hari besar agama,
seperti waktu lebaran, serta cocok dinikmati pada
waktu-waktu santai bersama keluarga.

C.
Lepat, makanan ini di buat dari tepung ketan
yang diisi dengan gula merah hingga kalis,
kemudian di bungkus dengan menggunakan
daun pisang dan di bagian tengahnya di beri
kelapa parut yang telah di gongseng dengan gula
yang di namakan inti lalu di kukus hingga
matang. Lepat khusus di sajikan pada hari-hari
tertentu pada masyarakat Gayo terutama
menjelang puasa (megang) dan lebaran,
makanan ini tahan lama jika di asapi dapat
bertahan sampai 2 minggu.

Sejarah munculnya
a) Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal
dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempahrempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang
penting sejak masa Romawi. Pala disebut-sebut dalam ensiklopedia karya
Plinius "Si Tua". Semenjak zaman eksplorasi Eropa pala tersebar luas di
daerah tropika lain seperti Mauritius dan Karibia (Grenada). Istilah pala juga
dipakai untuk biji pala yang diperdagangkan.
Tumbuhan ini berumah dua (dioecious) sehingga dikenal pohon jantan dan pohon
betina. Daunnya berbentuk elips langsing. Buahnya berbentuk lonjong seperti
lemon, berwarna kuning, berdaging dan beraroma khas karena mengandung
minyak atsiri pada daging buahnya. Bila masak, kulit dan daging buah membuka
dan biji akan terlihat terbungkus fuli yang berwarna merah. Satu buah
menghasilkan satu biji berwarna coklat.
Pala dipanen biji, salut bijinya (arillus), dan daging buahnya. Dalam perdagangan,
salut biji pala dinamakan fuli, atau dalam bahasa Inggris disebut mace, dalam
istilah farmasi disebut myristicae arillus atau macis). Daging buah pala dinamakan
myristicae fructus cortex. Panen pertama dilakukan 7 sampai 9 tahun setelah
pohonnya ditanam dan mencapai kemampuan produksi maksimum setelah 25
tahun. Tumbuhnya dapat mencapai 20m dan usianya bisa mencapai ratusan tahun.
Sebelum dipasarkan, biji dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya.
Pengeringan ini memakan waktu enam sampai delapan minggu. Bagian dalam biji
akan menyusut dalam proses ini dan akan terdengar bila biji digoyangkan.
Cangkang biji akan pecah dan bagian dalam biji dijual sebagai pala.
Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap
untuk roti atau kue, puding, saus, sayuran, dan minuman penyegar (seperti
eggnog). Minyaknya juga dipakai sebagai campuran parfum atau sabun.

b) Kue kembang goyang Dibuat dari tepung beras.[2] Kue


kering ini disebut Kembang Goyang karena ketika akan
digoreng cetakan digoyang-goyangkan di atas minyak
panas.[2][3] Seiring perkembangan, kue ini pun mengalami
penambahan varian rasa. Beberapa tetes essens frambozen,
essens pandan, dan biji wijen sebagai variasi rasa hingga
penambahan warna membuat penampilan kembang goyang
terlihat begitu menarik.[4] Sebagai kue yang dihidangkan di
toples bening, kembang goyang sangat cantik jika ditata
dengan apik.[1] Sesuai namanya, kue kembang goyang
bentuknya menyerupai bunga atau kembang yang sedang
mekar.[1] Kembang goyang sendiri merupakan nama sejenis
perhiasaan yang dipasangkan di rambut atau sanggul konde
dan dapat bergerak-gerak/bergoyang karena memiliki pegas
yang biasa dipakai oleh pengantin-pengantin Jawa.[4]Kue
Kembang goyang menjadi suguhan khas masyarakat betawi
dan biasa disajikan pada saat hari raya Idul Fitri dan acaraacara hajatan.[1][3] Kue Kembang goyang juga menjadi salah
satu kue tradisional nusantara yang disajikan untuk tamu
yang bersilaturahmi karena memiliki rasa yang renyah dan
gurih.[4] Kue kembang goyang juga dikenal dengan nama
kue kembang loyang atau kue loyang di Sumatera.[4]
Sementara bagi masyarakat Bali, khususnya pemeluk
agama Hindu, biasanya memakai kue kembang goyang ini

sebagai salah satu isi sesajian di hari raya keagamaan,


seperti hari raya Nyepi.[4]

c) Lepet (Jawa) atau Leupeut (Sunda) adalah sejenis penganan dari


beras ketan yang dicampur kacang, dan dimasak dalam santan,
kemudian dibungkus daun janur. Penganan ini lazim ditemukan
dalam lingkungan Masakan Jawa dan Sunda di pulau Jawa,
Indonesia, dan populer disantap sebagai kudapan. Lepet mirip
lemper dan lontong, meskipun perbedaannya teksturnya lebih liat
dan lengket karena menggunakan beras ketan, dan memiliki cita
rasa yang lebih gurih karena dicampur santan dan kacang.
Lepet dibuat dengan cara mengukus beras ketan hingga setengah
matang, lalu dicampur santan, daun pandan, dan garam. Campuran
ini diaron hingga kandungan santan terserap ketan. Selanjutnya
campuran ketan-santan ini dicampur kacang tanah dan kelapa
parut, lalu dibungkus daun janur dengan cara dililitkan dalam
bentuk silinder memanjang, lalu diikat tali. Tali pengikat biasanya
adalah serat janur atau serat daun kelapa, atau tali apa saja.
Bungkusan-bungkusan lepet ini kemudian dikukus lebih lanjut
sampai matang sempurna. Isian lepet paling umum adalah kacang
tanah, meskipun kacang jenis lain seperti kacang merah, kacang
tolo, kacang koro, atau jagung pipilan dapat juga digunakan. [1]
Salah satu varian adalah lepet jagung.
Di wilayah budaya Sunda di Jawa Barat, penganan ini dikenal
sebagai leupeut, biasanya dibuat dalam ukuran yang lebih kecil
dengan isian kacang tanah, biasanya dimakan dengan tahu
sumedang. Leupeut adalah makanan jajanan atau oleh-oleh populer
di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Sumedang.

Di Sumatera dan Semenanjung Malaya, di wilayah budaya Aceh,


Minangkabau, dan Melayu, dikenal penganan dengan nama mirip
yaitu lepat, meskipun sebenarnya resep dan cara pembuatannya
berbeda. Lepat adalah ketan yang menggunakan isian campuran
gula aren dan kelapa parut, dan menggunakan pembungkus daun
pisang, sementara lepet menggunakan daun janur dan isian
dicampur kacang. Maka dapat dikatakan lepat berkembang di
wilayah budaya Melayu di Sumatera, sementara lepet berkembang
di wilayah budaya Jawa.
Mengapa diberi nama itu

LEPAT: Kilas Sumberayu- Menyambut lebaran Fitri setelah


melaksanakan puasa sebulan di bulan Ramadhan selain bersilaturrahmi
pada sanak saudara dan handai taulan biasanya tidak jauh dari ketupat,
opor dan lepet, terutama bagi masarakat Jawa. Ketupat memang
sepertinya identik dengan lebaran karena memang pada saat lebaran
bayak yang membuat ketupat kemudian dibagi-bagi pada famili dan
tetangga dekat
Budaya membagi-bagi ketupat pada saat lebaran bukan hanya sekedar
membagi makanan, namun memiliki makna filosofi, terutama bagi orang
Jawa, karena memang budaya kupatan itu asalnya dari budaya Jawa, dan
biasanya orang Jawa memunculkan kata-kata yang dengan tujuan tertentu
sesuai dengan nama benda-benda yang digunakannya dengan
menggunakan kirata basa (kira-kira ning cetha atau kira-kira namun jelas)
begitu juga dengan ketupat yang biasanya dibagikan pada hari ke 8 pada
waktu Hari Raya Fitri
Kupat dan lepet merupakan makanan yang terbuat dari beras, ketan
dan kelapa. Kupat yaitu beras yang diisikan pada wadah yang
terbuat dari anyaman janur, daun kelapa muda. Kemudian makanan
itu di tanak. Kenapa mesti dibungkus dengan janur? Karena janur,
sejatine nur (cahaya sejati). Secara fisik kupat yang berbentuk segi
empat merupakan hati manusia. Hati yang dipenuhi cahaya sejati.
Pada saat kupat dibelah pasti isinya putih bersih bagaikan hati yang tanpa
ditumpangi dengan iri hati dan dengki. Kupat artinya ngaku lepat,
kula ingkang lepat. Akulah yang berbuat kesalahan. Opor maksudnya
nyuwun sepuro atau minta maaf. Jika seseorang mengaku berbuat
kesalahan maka harus mendahului dengan memohon maaf.
Sedangkan lepet maksudnya mangga dipun silep ingkan rapet atau
mari kita kubur yang rapat. Lepet merupakan makanan yang menyerupai
bentuk mayat. Karena makanan dari ketan dan kelapa itu diberi tali tiga

melingkar laksana kafan, pembungkus jenazah. Ketan itu sangat lengket


yang dikandung maksud untuk semakin erat tali persaudaraan. Ditali tiga
seperti mayat maksudnya agar nantinya kesalahan tidak menjadi dendam
samapi mati
Jadi setelah mengakui kesalahan kemudian minta maaf dan
mengubur kesalahan yang sudah dimaafkan untuk tidak diulang
kembali dengan hati bersih bersinar agar persaudaraan semakin
erat dan dengan saling memaafkan maka kesalahan tidak menjadi
dendam yang terbawa sampai mati.
Kupat dan lepet bukan dari budaya Arab atau budaya yang ada di jaman
Rosulullah, ini adalah kebudayaan jawa.dan jika mungkin ada yang
memaknai ini sebuah bid'ah wajar saja, mungkin karena tidak paham
dengan maknanya dan memang tidak ada pada jaman Rosulullah. Kupat
dan lepet sebenarnya tidak hanya dimunculkan oleh orang Jawa pada saat
lebaran saja, namun pada saat-saat sedang melaksanakan upacara
tertentu seperti saat mendirikan rumah, pindah rumah ataupun upacara
pernikahan biasanya ada kupat dan lepet namun tidak pakai opor, dengan
kandungan maksud yang sama yaitu mengaku salah minta maaf dan
mengajak untuk memendam yang rapat kesalahan yang sudah
terjadi setelah saling memaafkan. Itupun hanya pada orang-orang
Jawa yang masih melestarikan budaya leluhurnya

Kue goyang :

Anda mungkin juga menyukai