Anda di halaman 1dari 22

LATAR BELAKANG

Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri,
Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak
di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau
5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular
yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae,
oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya. Sebelum era
vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius,
bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi
terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah. Rendahnya
kasus difteri sangat dipengaruhi adanya program imunisasi. Jumlah kasus penyakit difteri di
Propinsi Jawa Timur tahun 2006 sebesar 39 kasus, dengan rincian jumlah terbanyak Kota
Surabaya 8 Kasus, Kab. Sidoarjo 7 kasus,Kab. Sumenep 4 kasus dan Kota Probolinggo 4 kasus .
( Dinkes Jatim ,2006)

ANATOMI
1

I.

ANATOMI RESPIRASI

Gambar 1
II.

DEFENISI
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut yang disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheriae terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput


lendir atau kulit. Corynebacterium diphtheriaea adalah organisme yang minimal melakukan
invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada membrane
mukosa atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar
keseluruh tubuh melalui aliran darah dan system limpatik. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik
keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difterifaringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan
melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema
dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi
jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi. Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat
2

menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,
timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam
dan sulit dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain.
III.

ETIOLOGI

HOST

Manusia adalah inang atau host alamiah satu-satunya bagi Corynebacterium dhiptheriae.
Terjadinya penyakit dan kematian yang tertinggi ialah pada anak anak berusia 2 sampai 5 tahun.
Pada orang dewasa, difteri terjadi dengan frekuensi rendah

AGENT

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Ada 2 jenis yang toxigenic dan
non toxigenic.

Toxigenic Cornebacterium Diphteriae


Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh
kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan
terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek
patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type
intermedius dan type gravis. Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan
cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk
tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe
lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Strain gravis menyebabkan suatu penyakit
lebih berat daripada strain mitis. Anggapan ini tidak tepat karena baik strain gravis,
intermedius, dan mitis dapat juga lebih toksik karena strain-strain ini mengandung faga
toksigenik. Ada kalanya pula ketiga strain ini tidak bersifat toksik karena tidak
mengandung faga toksigenik. Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang
3

bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati,
bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram
yang disebut pseudomembran pada faring.
Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika
pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si
penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan,
jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Non Toxigenic Corynebacterium dipteriae
Organisme ini sering dijumpai pada daerah nasofaring, telinga dan pada kotoran mata,
Pemeriksaan mikroskopis ataupun morfologi pada kultur tidak bisa membedakan. Metode
lama dengan menginokulasikan pada guinea pig memerlukan waktu beberapa hari, tetapi
dengan metode baru yaitu dengan melakukan test invitro utk identifikasi skin toxin
production memberikan hasil yg dapat dipercaya dalam waktu 18 jam sesudah isolasi
pertama.
MIKROSKOPIS
Pewarna sediaan langsung dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat
ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam
susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf cina.
Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang
mengandung K-tellurit atau media Loeffler.
Pada membran mukosa manusia C.diphteriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman
diphteroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang-

kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji,glukosa, maltosa
dan sukrosa
Gambar 2
Basil ini hanya tumbuh pada medium tertentu, seperti: medium Loeffler, medium
tellurite, medium fermen glukosa, dan Tindale agar. Pada medium Loeffler, basil ini tumbuh
dengan cepat membentuk koloni-koloni yang kecil, glanular, berwarna hitam, dan dilingkari
warna abu-abu coklat.

Gambar 3
Pada media Loeffler yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan
dengan fosfat konsentrasi tinggi maka Corynebacterium difteri akan membentuk granul berwarna
metakromatik. Sedangkan pada pewarnaan metilen blue koloni akan berwarna krem. Pada
membran mukosa manusia Corynebacterium difteri dapat hidup bersama dengan kuman difteroid
yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan diperlukan pemeriksaan
khusus dengan fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa. Secara umum dikenal 3
tipe utama Corynebacterium difteri yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis. Ketiga subspecies
sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia seperti kemampuan metabolisme
nutrisi tertentu.
Perbedaan virulensi tiga strain dikaitkan dengan kemampuan relatif untuk memproduksi
toksin difteri baik kualitas maupun jumlah, dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain
gravis memiliki waktu pertumbuhan 60 menit, strain intermedius memiliki waktu pertumbuhan
sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu pertumbuhan sekitar 180 menit. Dipandang dari
sudut antigenitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan
mempunyai banyak tipe serologis. Hal ini bisa menerangkan mengapa pada seorang
pasien bisa mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium difteri.
5

Ciri khas Corynebacterium difteri adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik


in vivo maupun in vitro. Eksotoksin merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000
dalton, tidak tahan panas atau cahaya, dan mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksiterminal).
Kemampuan suatu strain untuk membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya
bakteriofag. Toksin hanya bisa diproduksi oleh Corynebacterium difteri yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toksigen. Toksin ini dapat diperlihatkan dengan uji netralisasi
toksin in vivo pada marmut yaitu uji kematian atau dengan teknik imunopresipitin agar atau
disebut juga uji Elek yaitu suatu uji reaksi polymerase.
IV.

FAKTOR RESIKO DIFTERI

Beberapa faktor lain yang mempermudah terinfeksi difteri :


1. Cakupan imunisasi kurang, yaitu pada bayi yang tidak mendapat imunisasi DPT secara
lengkap. Berdasarkan penelitian bahwa anak dengan status imunisasi DPT dan DT yang
tidak lengkap beresiko menderita difteri 46 kali lebih besar dari pada anak yang status
imunisasi DPT dan DT lengkap.
2. Kualitas vaksin tidak bagus, artinya pada saat proses pemberian vaksinasi kurang
menjaga Coldcain secara sempurna sehingga mempengaruhi kualitas vaksin.
3. Faktor Lingkungan tidak sehat, artinya lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang
rendah dapat menunjang terjadinya penyakit difteri. Letak rumah yang berdekatan sangat
mudah menyebarkan penyakit difteri bila ada sumber penular.
V.

CARA PENULARAN
Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun
sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa
inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection.
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang
diserang terutama saluran pernafasan bagian atas.

Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui :

* Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air yang
terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut.
* Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti
gelas yang belum dicuci.
* Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barang-barang
rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan.Selain itu,
dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang yang sudah
terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang
nonimmunized selama enam minggu bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri khas dari
penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal , dimana
pembuluh-pembuluh

darah

melebar

mengeluarkan

sel

darah putih sedang sel-

sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman
difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala.
VI.

GEJALA KLINIS DIFTERI

Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan
lokasi anatomi adalah :
1.

Nasal Difteria
Gejalanya paling ringan dan jarang terjadi ( hanya 2% ). Gejala sukar dibedakan dari

common cold. Tanda karasteristik adalah dijumpai pengeluaran sekresi hidung tanpa diikuti
gejala lain. Demam bila ada biasanya rendah. Pengeluaran sekresi hidung ini mula-mula serous,
kemudian serosanguinos, pada beberapa kasus terjadi epitaksis. Pengeluaran sekresi hidung bisa
berasal dari satu atau dua lubang hidung. Lama kelamaan sekresi hidung ini bisa mucopurulent
dan dijumpai eskoriasi pada lubang hidung sebelah luar dan bibir bagian atas, terlihat seperti
impetigo. Pengeluaran sekresi kadang mengaburkan tentang adanya membrane putih pada sekat
hidung. Karena absorpsi toxin yang jelek pada tempat lokasi, menyebabkan gejala ringan.
7

Penyebaran pseudomembran dapat pula mencapai laring dan faring. Penderita diobati seperti
penderita lainnya seperti anti toksin dan terapi antibiotik. Bila tidak diobati akan berlangsung
mingguan dan merupakan sumber utama penularan.

Gambar 4
2.

Tonsilar dan pharyngeal diphtheria


Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa

radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat
dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada
penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok dengan suhu
yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa
bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Napas berbau dan
timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck).

Pseudomembran ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada keadaan berat
dapat meluas sampai ke trakea dan kadang ke bronkus, kemudian diikuti edem soft tissue di
bawah mukosanya. Keadaan ini dapat menimbulkan obstruksi saluran pernapasan sehingga
memerlukan tindakan segera.
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah bening servikal dan
edema pada wajah. Kombinasi antara limfadenopati servikal dan edema wajah menimbulkan
perubahan wajah yang disebut Bulls neck appearance
C. dyphteriae strain non-toksigenik dapat menyebabkan faringitis dan abses kutan.
Penyakit sistemik seperti endokarditiis, arthritis septik, dan osteomielitis juga pernah dilaporkan.
Faktor virulensi strain non-toksigenik ini masih belum diketahui. Perubahan strain nontoksigenik menjadi toksigenik bisa terjadi dalam populasi manusia melalui infeksi faga.
Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil
dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap
membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik
satu maupun kedua sisi dapat dinggap sebagai difteria.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi
penyembuhan sempurna
3. Laryngeal dan trakea diphtheria
Laryngeal diphtheria lebih sering merupakan lanjutan dari pharyngeal difteria,jarang sekali
dijumpai berdiri sendiri. Dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat
tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar
leher. Peningkatan penyumbatan jalan nafas oleh membrane menimbulkan gejala; inspirasi
stridor, retraksi suprasternal, subclavicular dan subcostal. Difteri jenis ini merupakan difteri
paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan
laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.
Bila anak terlihat sesak dan payah sekali maka harus segera ditolong dengan tindakan
trakeostomi sebagai pertolongan pertama.

Pada kasus yang sangat berat, dijumpai penyumbatan yang semkain berat, diikuti adanya
anoxia dan penderita terlihat sakit parah, sianosis, kelemahan, koma bahkab kematian. Kematian
yang mendadak dapat dijumpai pada kasus ringan yang disebabkan oleh karena penyumbatan
yang tiba-tiba oleh membrane yang lepas.

Gambar 6

TANDA DAN GEJALA


Penularan terutama melalui saluran napas dengan gejala bervariasi dari asimtomatis (dan

penderita bertindak sebagai karier) sampai berat yang ditandai dengan obstruksi jalan nafas atau
adanya komplikasi (miokarditis yang dapat menyebabkan complete heart block, neuritis;
paralisis palatum molle, paralisis okular, paralisis diafragma, atau paralisis ekstremitas, gagal
ginjal).
Masa inkubasi antara 1-5 hari dengan perjalanan penyakit bersifat insidious (perlahan-lahan)
dimulai dengan gejala yang tidak spesifik seperti demam, lesu, nafsu makan menurun sampai
kemudian muncul gejala klinis yang khas diantaranya; sekret hidung bercampur darah
(serosanguinus) dan kemudian mukopurulen, membran putih keabu-abuan di tonsil/faring/laring
(psudomembran) yang bila dilepaskan akan mengakibatkan perdarahan, limfadenitis servikalis
dan submandibula disertai dengan edema jaringan lunak leher (bullneck), serta stridor akibat
obstruksi jalan nafas atas..
Masa tunas 3-7 hari khas adanya pseudo membran, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam
gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena.
Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat ntyeri kepala dan
10

anoreksia sehingga tampak penderita sangat lemah sekali Gejala ini biasanya disertai dengan
gejala khas untuk setiap bagian yang terkerta seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas
dengan serak dan stridor, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung kepada jaringan yang
terkena seperti miokarditis paralisis jaringan Saraf atau nefritis .
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidungdengan gejala hanya
nyeri menelan.
Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang
rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejalakomplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahananggota gerak) dan nefritis
(radang ginjal).
VII. PATOGENESIS
Corynebacterium diphteriae adalah organisme yang minimal melakukan invasive,
secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi berkembang local pada membrane mukosa
atau pada jaringan yang rusak dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar ke seluruh
tubuh melalui aliran darah dan system limfatik. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri
melepaskan toksin atau racun. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke
hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa
saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang
11

disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin
yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A
dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek
toksik pada sel.
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit
dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses ini memungkinkan toksin
mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang mengalami asidifikasi secara alamiah ini
dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek
toksik pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah
diikat 2 transfer RNA yang menempati kedudukan P dan A dari pada ribosome. Bila
rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida
sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan
pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses
translokasi ini memerlukan enzim translokase (Elongation faktor-2) yang aktif.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan
selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui
proses :
NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosilEF2 yang inaktif .
Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin
semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah
suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah
yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel
12

epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan
terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Toksin merusak jaringan local yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan,
leukosit masuk kedaerah tsb bersamaan dengan penumpukan fibrin dan elemen darah yang lain,
disertai dengan jaringan yang rusak membentuk pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang
terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian
tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Akibat dari Membran,
kerusakan jaringan ,oedem dan pembengkakan pada daerah sekitar membrane sering terjadi, atau
secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, ini bertanggung jawab terhadap
terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau laryngeal difteri.
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas jarang melebihi dari 38,9 C, ada
pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher membengkak
seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua
gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus
diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran
putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang
dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.
Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan
pemeriksaan dengan EKG.
Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti
pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan stridor, sedangkan gejala akibat
eksotoksin bergantung kepada jaringan yang terkena seperti paralysis jaringan saraf atau nefritis.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus
pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan
pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang

13

tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap
organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.
Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi
pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam
sel,

terdapat periode laten yang

bervariasi

sebelum timbulnya manifestasi klinik.

Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya
terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap
hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. pada saraf tampak neuritis toksik
dengan

degenerasi lemak pada selaput mielin.

Nekrosis

hati bisa

disertai

gejala

hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami
kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai
minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi
kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai
kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan
selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin. Exotoxin ditransportasikan melalui
aliran darah ke jaringan lain, dimana menggunakan efeknya pada metabolism seluler. Toksin
terlihat terikat pada membrane sel melalui porsi toxin yang disebut B fragment dan membantu
dalam transportasi porsi toxin lainnya A fragment kedalam sitoplasma. Dalam beberapa jam saja
setelah terexpose dengan toxin difteri, sintesa protein terhenti dan sel segera mati.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis antara lain:
1.

Pemeriksaan Mikroskopik (untuk diagnosis cepat)


14

Pemeriksaan langsung spesimen dengan menggunakan pewarnaan biru metilen, pewarnaan


Gram, dan imunofluoresens. C. dyphteriae terlihat sebagai basil gram positif, berkelompok, tidak
bergerak, dan tidak berkapsul. Dengan pewarnaan Gram jarang ditemukan koloni basil.
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung kadang-kadang tidak memberikan hasil yang pasti,
karena hasil yang negatif belum bisa menyingkirkan diagnosis.
2.

Kultur bakteri (untuk diagnosis pasti)


Diagnosis pasti didasarkan atas ditemukannya C. dyphteriae dengan melakukan pemeriksaan

kultur dari lesi yang dicurigai. Kultur ini dapat membedakan 3 tipe koloni yang menunjukkan
isolate tiap tipe dari strain toksigenik. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu dan media yang
selektif, yaitu media selektif Loffler, media Tellurite, dan Agar Tindale. Pada agar darah telurit,
koloni C. dyphteriae

berwarna hitam karena adanya reduksi garam natrium tellurium.

Sedangkan pada media serum Loffler, koloni C. dyphteriae berwarna putih.


3.

Tes Virulensi
Tes virulensi dapat dilakukan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Secara in vivo, tes

dilakukan dengan menyuntikkan kuman difteri yang diasingkan dari penderita pada binatang
percobaan (marmut). Bila kuman difteri yang disuntikkan adalah toksigenik maka marmut akan
mati dalam 2-3 hari. Sedangkan tes secara in vitro (Tes Elek-Ouchterlony) dilakukan dengan
membasahi kertas saring steril (1x5 cm) dengan antitoksin difteri kemudian diletakkan pada
cawan petri, ke atasnya dituang agar. Kuman yang akan diperiksa ditanam menyilang dengan
kertas saring tadi. Inkubasi 2-3 hari, lihat adanya garis presipitasi.

Hasil Uji Elek-Ouchterlony untuk Deteksi Virulensi C. diphtheriae


4.

Shick Test
15

Sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikkan intrakutan pada lengan tersangka, pada lengan
yang lain disuntikkan toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke 4 dan
5, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat
suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap
toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam
waktu 48-72 jam, sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama
beberapa hari.
IX.

DIAGNOSIS BANDING

Nasal difteria : Common cold, bila secret yg dihasilkan serosanguinous atau purulent
harus dibedakan dari benda asing, sinusitis,

Tonsilar atau dan pharyngeal diphtheria : Praryngitis oleh streptococcus (rasa sakit
hebat,temperature tinggi, membrane yg tidak lengket pada lesi), Tonsilitis membranosa
akut

X.

Laryngeal diphtheria : Spasmodik dan non spasmodic croup, dan retripharyngeal abscess,

KOMPLIKASI
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu

antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.


Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan
memperberat gejala Difteri
2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau edem jalan nafas
3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf menyebabkan gerakan tak
terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan. Komplikasi berat lainnya yang bisa segera
menimbulkan kematian adalah obstruksi jalan nafas
16

XI.

PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN DIFTERI


Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.
Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel,
tetapi tidak menetralisasi toksin yang telah melakukan penetrasi ke dalam sel.
1. Pengobatan umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 3
kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak dan
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat kemungkinan
terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu
selama 5 minggu. Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
2. Pengobatan Khusus
A. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada
hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih
dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Keadaan Penyakit

Dosis Antitoksin
Nasal
20.000 U (IM)
Tonsil, faring, laring,
40.000 U (IM/IV)
Bulls neck appearance atau kombinasi lokasi 80.000-100.000 U (IV)
17

diatas
Lesi kulit
Tidak diberi atau 20.000-40.000 U
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena
pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin
1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada
mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan
dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus
diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat
penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000120.000 KI seperti tertera pada tabel 1.
Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam
1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness).
B. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri,
menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae
biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin,
rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat
jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin.
Eritromisin sedikit lebih unggul dar ipada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.
Dosis :
Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil
biakan 3 hari berturut-turut (-).
Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4 dosis.
Amoksisilin.
Rifampisin.
18

Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang kurangnya dua
biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai
terapi.
C. Kortikosteroid
Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas
bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis,
namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14
Hari
D. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah,
iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeotomi. Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet
lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang
mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan
menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga.
3.Pencegahan
Imunisasi umum dengan toksoid difteri selama hidup untuk memberikan kadar antitoksin
protektif konstan dan untuk mengurangi penghuni C.diphtheriae merupakan satu-satunya cara
pengendalian yang efektif. Walaupun imunisasi tidak menghalangi pengidap C.diphtheriae
toksigenik saluran pernapasan atau kulit, imunisasi mengurangi penyebaran jaringan lokal,
mencegah komplikasi toksik, menghilangkan penularan organisme, dan memberikan imunitas
kelompok bila sekurang-kurangnya 70-80% dari populasi diimunisasi. Kadar antitoksin serum
0,01 IU/mL biasanya diterima sebagai kadar protektif minimum dan 0,1 IU/mL memberi kadar
perlindungan tertentu.
Vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus
19

DPT adalah suatu suspensi sel Bordetella pertusis inaktif dikombinasikan dengan toksoid
difteri dan tetanus, yang diberikan secara intramuskular. Banyak kontroversi mengenai reaksi
terhadap imunisasi ini. Beberapa orang tua menolak pemberian vaksin ini pada anak mereka,
karena mereka lebih mempercayai informasi dari media massa daripada komite imunisasi. Dosis
imunisasi ini adalah 0,5 ml yang diberikan secara intramuskular.
Reaksi merugikan pada pemberian vaksin DPT adalah : reaksi lokal dan febris, reaksi alergi,
kejang demam dan tangisan yang tidak biasa. Kolaps atau keadaan seperti syok jarang sekali
terjadi. Asetaminofen, dengan dosis 15 mg/kg berat badan sebaiknya diberikan sebagai
profilaksis terhadap demam.
Komite Penyakit Infeksi Akademi Pediatri Amerika menyimpulkan bahwa berdasarkan
data terakhir, vaksin pertusis tidak terbukti menyebabkan kerusakan otak. Sebelum pemberian
setiap dosis DPT, sebaiknya orang tua atau wali pasien ditanya mengenai adanya suatu penyakit
yang terjadi sebelum pemberian vaksin.
Kontraindikasi dan perhatian pada vaksin DPT :
Ensefalopati dalam tujuh hari setelah pemberian dosis sebelumnya.
Menangis atau menjerit terus-menerus yang tidak dapat dihibur selama lebih dari 3 jam.
Tangisan aneh atau bernada tinggi (high pitched crying) dalam 48 jam.
Kolaps atau keadaan seperti syok dalam 48 jam.
Suhu tubuh lebih dari 40,5 C (104,9 F) yang sebabnya tidak diketahui, dalam 48 jam.
Reaksi alergi tipe cepat atau reaksi anafilaktik.
Kelainan neurologis progresif yang ditandai dengan keterlambatan perkembangan atau
tanda-tanda neurologis.

XII.

PROGNOSIS
20

Nelson berpendapat kematian penderita difteria sebesar 3 - 5% dan sangat bergantung kepada:
a.Umur

penderita,

b.Perjalanan

karena

penyakit,

makin

karena

muda

makin

umur
lanjut

anak
makin

prognosis
buruk

makin

buruk.

prognosisnya.

c.Keadaan umum penderita, misalnya prognosis kurang baik pada penderita gizi kurang.
d. Pengobatan Makin lambat pemberian antitoksin, prognosis akan makin buruk.
Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%,
namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan menyebabkan angka kematian meningkat
sampai 30%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guilfoile PG. Future prospects of diphtheria. In : Guilfoile PG. Deadly diseases
21

and epidemics diphtheria. United States of America : Chelsea house publishers ;


2009.p. 97 105
2. Sing A, Heesemann J. Imported diphtheria Germany, 2005. Available from :
http://www.cdc.gov/ncidod/EID/vol 11no02/05.html.
3. Joedgreat. Parts of the respiratory system and their function, 2007. Available from :
http://scienceray.com/biology/parts-of-the-respiratory-system-and-theirfunctions/.
4. Long SS. Diphteria. In : Behrman, Kleigman, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 15 th
ed. Philadelphia : WB Saunders company ; 1996.p. 955 59
5. Hill MG. Nasal cavity, 2005. Available from : http://www.answer.com/topic/nasal6.

cavity/l.
Kuehnel. Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed
Stuttgart Thieme, 2003. Available from : www.4shared.com/.../03501-Kuehnel Color

Atlas.html.
7. Chevrier G. Physiologie organs Pharynx et larynx, 2002. Available from :
http://bio.mosw.com/gcartable/pharinx_et_larynx.htm.
8. Deterding RR. Essentials of diagnosis and typical features Diphtheria. In : Hay WW,
Leswin MJ, Sondheimer JM, eds. Current diagnosis and therapy in pediatric. 18 th ed.
United State of America : Library of congress press ; 2007.p. 1176 8

22

Anda mungkin juga menyukai