Anda di halaman 1dari 27

PERKEMBANGAN PARADIGMA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA

DALAM RANGKA PENCAPAIAN


MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS
Yulinah Trihadiningrum
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh November
Jln. Arif Rachman Hakim, Sukolilo, Surabaya, Indonesia 60111
e-mail: yulinah_t@enviro.its.ac.id

BELUM ADA ABSTRAK

PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas di perkotaan pasti menghasilkan buangan
yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Di dalam pembahasan ini hanya akan dibahas
buangan yang berbentuk padat, yang lazim disebut sampah. Sampah didefinisikan
sebagai buangan manusia atau hewan yang bersifat padat atau semi padat, yang tidak
memiliki nilai guna atau nilai ekonomi, sehingga perlu dibuang (Tchobanoglous, Theisen,
dan Vigil, 1993). Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 18 tahun 2008
mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau proses alam
yang berbentuk padat.
Timbulan sampah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk. Ironisnya, fasilitas pengelolaan sampah di hampir semua kota di Indonesia
masih terbatas. Mengiringi diundangkannya UURI No 18/2008 tentang Pengelolaan
Sampah, pola

lama pengelolaan sampah di Indonesia yang berupa pengumpulan-

pengangkutan-pembuangan (P3) mulai bergeser ke pemilahan-pengolahan-pemanfaatanpembuangan residu (P4). Pergeseran paradigma pola pengelolaan sampah tersebut
berlangsung dengan cukup signifikan di beberapa kota metropolitan, seperti Surabaya
dan Jakarta, di mana terdapat peran aktif dari Dinas Kebersihan, yang mendapat

dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), praktisi, serta program Corporate


Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan industri yang bernuansa
penyelamatan lingkungan.
Data survey yang diungkapkan oleh JICA (2008) menunjukkan pengelolaan
sampah di Pulau Jawa baru mampu melayani 59% dari total jumlah penduduk.
Dilaporkan pula, tingkat pelayanan pengelolaan sampah pada tingkat nasional hanya
mencapai 56%. Padmi (2006) menyatakan sampah yang tidak terkelola oleh Pemerintah
ditangani oleh penduduk dengan cara dibakar (35%), dikubur (7.5%), dikompos (1.6%),
atau dengan cara lainnya (15.9%). Kondisi tersebut masih terjadi sekarang, termasuk di
kota Surabaya.
Di sisi lain, pesatnya pertumbuhan industri di Indonesia telah mengakibatkan
terbentuknya sampah kota yang lebih beragam. Khususnya limbah jenis Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) meningkat dua kali lipat dalam satu dekade. Timbulan
limbah B3 pada tahun 1990 di Indonesia adalah 4.3 juta ton. Jumlah ini meningkat
menjadi 8.8 juta ton pada tahun 1998. Diperkirakan lebih dari 75% limbah B3 berasal
dari industri manufaktur, 5-10% dari rumah tangga, dan sisanya dari sumber-sumber lain.
Kondisi ini telah mengakibatkan terjadinya gangguan lingkungan, yang belum terpantau
dengan baik. Dikhawatirkan beban pencemaran oleh limbah B3 akan meningkat sepuluh
kali lipat pada tahun 2010, terutama dari jenis limbah logam berat dan toksikan organik
non-biodegradable yang dapat terbioakumulasi di lingkungan hidup (Anonymous, 1997).
Penyelesaian masalah sampah kota sebenarnya berhubungan dengan Millenium
Development Goals (MDGs Tujuan Pembangunan Millenium) yang ditandatangani
oleh 149 Kepala Negara dalam UN Millenium Summit pada bulan September 2000.
Sebagaimana dinyatakan oleh UNDP (2006), ada 8 tujuan MDGs yang ditargetkan dapat
tercapai pada tahun 2015, yaitu: (1) teratasinya masalah kemiskinan dan kelaparan yang
ekstrim, (2) tercapainya tingkat pendidikan dasar umum, (3) meningkatnya peran gender
dan kemampuan wanita, (4) berkurangnya tingkat kematian anak-anak, (5) meningkatnya
kesehatan ibu, (6) terkendalinya HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya, (7)
tercapainya sustainabilitas lingkungan, dan (8) berkembangnya kemitraan global untuk
pembangunan.

Fokus artikel ini adalah kontribusi pengelolaan sampah kota di Indonesia dan
paradigma-paradigma

yang

berkembang

terhadap

MDGs.

Selanjutnya,

akan

direkomendasikan strategi yang perlu diterapkan dalam penanganan sampah kota guna
menunjang tercapainya MDGs di Indonesia.
PEMBAHASAN
Timbulan dan Komposisi Sampah Kota
Acuan mengenai timbulan sampah kota di Indonesia adalah SNI S-04-1993-03
yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI). Dalam SNI, ditetapkan bahwa
timbulan sampah di kota sedang adalah 0,7-0,8 kg/orang.hari, sedangkan di kota kecil
sebesar 0,5-0,6 kg/orang.hari. Besaran timbulan sampah ini berada pada kisaran timbulan
sampah antara negara berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang.hari) dan menengah (0,9
kg/orang.hari) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Komposisi sampah menjadi semakin kompleks dari waktu ke waktu. Komponen
sampah basah semakin berkurang, sedangkan kandungan komponen kering, khususnya
sisa kemasan, menjadi semakin meningkat. Pada Tabel 1 dapat dilihat data perubahan
komposisi sampah permukiman di Surabaya sejak tahun 1988 hingga 2010. Tampak
terjadinya penurunan persentasi sampah basah yang cukup signifikan serta peningkatan
jumlah sampah plastik sebanyak dua kali lipat selama dua dekade. Tabel tersebut juga
menunjukkan persentase komponen sampah kertas, logam, dan kaca/gelas yang relatif
tetap. Ditinjau dari komposisinya, sampah kota di Indonesia masih didominasi oleh
sampah basah. Kondisi tersebut mirip dengan komposisi sampah di negara-negara
berpenghasilan rendah, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1. Komposisi sampah Kota Surabaya

No.
1.
2.
3.
4.

Komponen sampah
Sampah basah
Kertas
Plastik
Kayu

Persen berat (%)


1988*
2006** 2010***
77.3
6.2
5.6
4.6

72.4
7.3
10.1
2.4

68.5
6.1
12.4
2.3

5.
6.
7.
8.
9.

Logam
Kaca/gelas
Karet/kulit
Kain
Lain-lain
Jumlah

1.0
0.4
0.8
2.2
4.6
100

1.4
1.7
0.5
2.7
1.5
100

1.0
1.4
0.5
4.0
3.8
100

Sumber: *Trihadiningrum, 1988; **Trihadiningrum, 2006; ***Anonim, 2010

Pada masa sekarang, bahan plastik dipandang sebagai bagian penting dalam hidup
manusia, karena sifatnya yang kuat, ringan, murah, mudah diolah, dan hemat energi.
Dengan sifat tersebut, plastik semakin banyak digunakan sebagai bahan pengemas. Pada
saat ini, 40% produk plastik dunia digunakan untuk bahan pengemas. Sebagai akibatnya,
jutaan ton plastik dibuang sebagai sampah setiap harinya. Data di negara maju
menunjukkan setiap orang membuang 398 kg sampah plastik setiap tahunnya (Majid,
2007), 33 kali lebih besar dari jumlah sampah plastik yang dihasilkan oleh setiap orang di
Surabaya.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12% saja dari sampah kota,
akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan ruang sebesar 25-35% lebih
banyak dari volume total sampah. Akibatnya, apabila komponen sampah plastik terus
meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA akan lebih meningkat pula. Hasil
analisis komposisi deposit sampah pada sembilan lokasi sampling di TPA Keputih, yang
telah dihentikan operasinya pada tahun 2001, menunjukkan kandungan plastik yang
cukup tinggi, yaitu antara 14,3 33,5%, dengan rata-rata 23,5% (Trihadiningrum dkk,
2005).

(a)

(b)

(c)

Laju timbulan 0,8


kg/orang.hari
(d)
Gambar 1. Perbandingan timbulan dan komposisi sampah kota di:
(a) negara industri; (b) negara bepenghasilan menengah; (c) negara berpenghasilan rendah
(d) Indonesia. (Sumber: Nair, 1993; SNI S-04-1993-03; dan Trihadiningrum, 2006)

Kontribusi Perkembangan Teknologi Pengelolaan Sampah Kota Terhadap MDGs


Hierarki Penanganan Sampah yang Mendukung Sustainabilitas Lingkungan
Pembuangan akhir
Pola pengelolaan sampah kota dapat digambarkan secara hierarkis (Gambar 2).
Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat hierarki kegiatan
pengelolaan sampah, semakin rendah biaya yang dibutuhkan. Tingkat hierarki terendah
dalam penanganan sampah kota konvensional adalah pembuangan akhir (Gambar 2a).
Pada hierarki ini, sampah dianggap tidak memiliki nilai dan harus dibuang atau
dimusnahkan. Sebagai konsekuensinya, dibutuhkan biaya investasi dan operasional yang
tinggi, termasuk biaya untuk mengatasi berbagai dampak lingkungan yang terjadi.
Penerapan pengelolaan sampah kota yang menekankan semua bentuk buangan padat
merupakan residu yang harus dibuang, tidak mendukung MDGs keenam, yaitu
sustainabilitas lingkungan. Teknologi pembuangan sampah yang dilaksanakan di
kebanyakan kota di Indonesia masih menyebabkan terjadinya emisi bau, metana, serta
gas-gas lainnya ke atmosfir. Selain itu, juga timbul pencemaran tanah dan air tanah akibat
lindi yang terbentuk, serta terjadinya perkembang-biakan vektor-vektor penyakit, seperti
lalat dan tikus.
Biaya
rendah

Pencegahan

Pencegahan
Minimisasi

Minimisasi

Reuse

Reuse

Recycling

Recycling

Energy recovery

Energy recovery

Pembuangan
akhir

Pembuangan
akhir

(a) Konvensional

Biaya
tinggi

(b) Trend masa depan

Gambar 2. Hierarki pengelolaan sampah kota


(Rudden, 2006, dimodifikasi dalam Trihadiningrum, 2008).

Energy recovery
Tingkat hierarki yang lebih tinggi dari pembuangan akhir adalah energy recovery,
di mana sampah dipandang sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan energi.
Penerapannya lazim dilakukan di TPA yang difasilitasi dengan sistem pengumpul dan
konversi energi dari gas metana yang terbentuk selama sampah ditimbun. Proses
anaerobik yang secara alami berlangsung di dalam timbunan sampah mampu mengubah
sampah organik biodegradable menjadi gas metana. Bila tidak dikelola dan
dimanfaatkan, gas metana dari TPA akan teremisi ke atmosfir, dan menjadi salah satu
penyebab terjadinya pemanasan global.
Pemanfaatan metana dari TPA untuk sumber energi merupakan salah satu contoh
kegiatan pembangunan yang berazas pada pengurangan sumber penyebab pemanasan
global, yang kini lazim disebut Clean Development Mechanism (CDM). PT Navigat
Organic Energy Indonesia, misalnya, telah berhasil membangun pembangkit listrik
dengan tenaga sampah di TPA di Bali dan di Bantar Gebang, Bekasi. Produk listrik yang
dihasilkan telah mendapatkan respon dari PLN untuk didistribusikan kepada masyarakat
(Anonim, 2010a).

Selain melalui proses anaerobik, sampah makanan dan sampah biomassa lainnya
dapat pula dikonversi menjadi biofuel alkohol, melalui proses hidrolisis dan fermentasi.
Bentuk energy recovery lainnya adalah pengubahan energi dari panas yang timbul pada
proses insinerasi sampah, menjadi energi listrik. Belakangan ini, energi dari

briket

sampah, yang lazim disebut Refuse Derived Fuel (RDF) yang populer di Amerika Serikat
pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali (Ramasamy, 2006). Bentuk terbaru
RDF adalah Process Engineered Fuel (PEF), yang dibuat dari sampah plastik dan kertas
(Toinezyk, 2006). Dalam penggunaannya, PEF dinilai lebih ramah lingkungan dari RDF.
Trihadiningrum dkk (2008) meringkas proses-proses biofisik-kimiawi untuk konversi
sampah menjadi energi sebagaimana diuraikan di atas pada Gambar 3.
hidrolisis

press

SAMPAH
MAKANAN
DAN
BIOMASSA

pirolisiss

gasifikasi

fermentasi

Gula

Etanol

Biofuel cair

Briket

Listrik

Minyak

Panas

Gas

Uap

Biogas

Gambar 3. Bagan konversi sampah makanan dan biomassa menjadi energi. (Modifikasi dari
Trihadiningrum dkk, 2008)

Recycling, reuse, minimisasi dan pencegahan


Hierarki berikutnya adalah daur ulang sampah untuk menghasilkan produk baru
(recycling), yang disusul dengan hierarki dengan tingkatan lebih tinggi, yaitu
pemanfaatan kembali sampah (reuse). Hierarki lebih tinggi berikutnya adalah minimisasi,
yaitu mengurangi timbulan sampah semaksimal mungkin. Sedangkan hierarki tertinggi
dalam penanganan sampah kota adalah sedapat mungkin mencegah terbentuknya sampah
(prevention). Contoh-contoh aktifitas pada setiap hierarki dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Contoh masing-masing tingkatan hirarki penanganan sampah kota.

1. Pencegahan
mengurangi pola konsumsi / belanja
yang berlebihan

menggunakan produk dengan sistem


sewa atau pinjam

3. Pemanfaatan kembali (Reuse)


- memanfaatkan barang bekas untuk

2. Minimisasi
- menggunakan produk dengan kemasan
yang dapat digunakan ulang,
- menggunakan produk sistem refill
- melakukan pemilahan sampah yang
dapat didaur ulang
4. Daur ulang (Recycling)
- mengubah bentuk dan sifat sampah

fungsi sama atau berbeda. Misalnya,

melalui proses bio-fisik-kimiawi

botol sirup bekas untuk tempat air,

menjadi produk baru yang lebih

kontainer zat kimia untuk bak air, bak

berharga. Misalnya mengubah sampah

sampah, dsb

basah menjadi kompos, mengolah

- menyumbangkan barang bekas ke pihakpihak yang dapat memanfaatkannya


5. Perolehan energi (energy recovery)
- mengubah sampah melalui proses
biofisikkimiawi menjadi energi; a.l.

sampah plastik menjadi pelet


6. Pembuangan akhir
- membuang seluruh komponen sampah
ke TPA, atau membakarnya

membuat briket bahan bakar dari sampah,


melalui proses thermal (insinerasi,
pyrolisis, gasifikasi), serta produksi
metana melalui biotreatment
Menghadapi trend kuantitas sampah yang terus meningkat, hierarki pengelolaan
sampah masa depan harus berubah. Trend pengelolaan sampah kota yang mengutamakan
3R, yaitu reduce, reuse, dan recycle, perlu didukung, agar jumlah sampah yang dibuang
menjadi berkurang. Pola hierarki pengelolaan sampah masa depan, di mana volume
sampah yang dibuang ke TPA menjadi jauh berkurang dengan lebih diintensifkannya
program 3R, ditampilkan pada Gambar 2b.
Potensi daur ulang sampah kota

Masih dalam kerangka bahasan MDGs keenam, yaitu sustainabilitas lingkungan,


berbagai komponen sampah menyimpan potensi untuk dapat dimanfaatkan kembali, atau
diolah untuk menghasilkan produk baru non energi melalui proses recovery dan
recycling. Potensi reduksi sampah kota dapat ditetapkan berdasarkan material balance,
dengan memperhitungkan recovery factor setiap komponen sampah. Yang dimaksudkan
dengan recovery factor adalah prosentasi setiap komponen sampah yang dapat
dimanfaatkan kembali, di-recovery atau didaur ulang. Selebihnya merupakan residu yang
memerlukan pembuangan akhir atau pemusnahan. Pada Tabel 3 dapat dilihat recovery
factor dari jenis-jenis sampah yang telah dihitung di Kota Surabaya.
Table 3. Recovery factor sampah Kota Surabaya.

Komponen Sampah

Recovery Factor

Sampah organik mudah urai**


Sampah plastik*
Sampah kertas*
Sampah logam*
Sampah gelas/kaca*

(%)
80
50
40
80
70

* Menurut Trihadiningrum dkk, 2006


** Menurut Tchobanoglous, Theisen dan Vigil, 1993

Berdasarkan asumsi besaran timbulan sampah sebesar 0,8 kg/kapita.hari (SNI S04-1993-03), timbulan sampah di kota Surabaya yang berpenduduk 2,7 juta jiwa adalah
2.160 ton/hari (data tahun 2006). Dengan menggunakan nilai-nilai recovery factor aktual
yang dihitung dari pengaruh aktivitas sektor informal sebagaimana tercantum pada Tabel
3, besarnya jumlah sampah kering yang dapat didaur ulang di Surabaya adalah sebagai
berikut: sampah plastik 109 ton/hari, sampah kertas 62,7 ton/hari, sampah gelas 25,7
ton/hari, dan logam 24,5 ton/hari (Tabel 4). Jumlah total reduksi aktual jenis-jenis
sampah tersebut adalah 221,9 ton/hari atau 10.3% dari jumlah timbulan sampah kota/hari.
Nilai daur-ulang jenis sampah kering sebesar 10,3% dari total sampah kota
bukan merupakan tingkat yang signifikan. Oleh karenanya, upaya reduksi dan
pemanfaatan sampah kota perlu difokuskan pula pada sampah basah, yang dominan

jumlahnya dalam sampah kota. Dengan menggunakan nilai recovery factor potensial
sebesar 0,80 (Tchobanoglous, Theisen and Vigil, 1993) untuk pemanfaatannya sebagai
bahan baku kompos, sebanyak 1251,4 ton sampah basah dapat direduksi setiap harinya
(Tabel 4). Jumlah ini dapat mengurangi timbulan sampah kota sebanyak 1473,3 ton
(68,3%), dan meninggalkan 684,4 ton residu (31,7%) untuk diangkut ke TPA. Apabila
strategi reduksi sampah basah maupun sampah kering dapat dilakukan dengan baik, maka
selain diperoleh materi daur-ulang yang bemanfaat, juga kebutuhan biaya penanganan
sampah dan kebutuhan lahan TPA dapat dikurangi secara signifikan.
Perlu ditambahkan, bahwa daur ulang sampah memberikan keuntungankeuntungan sebagai berikut, sebagaimana diuraikan dalam USEPA (2006):

menghemat penggunaan sumber daya alam

mengurangi emisi gas-gas pencemar udara dan polutan lain

menghemat penggunaan energi

menyediakan bahan baku untuk industri

menyediakan lapangan kerja

menstimulasi perkembangan teknologi ramah lingkungan

mengurangi kebutuhan akan lahan TPA dan insinerator


Tabel 4. Material balance sampah kota dengan memperhitungkan potensi reduksinya
di Kota Surabaya

Timbulan

Recovery

Laju reduksi

Jumlah residu

(ton/hari)

factor

(ton/hari)

sampah

72,41
10,09
7,26
1,70
1,41
2,39
2,68
0,46
1,48
100.00

1564,2
217,9
156,8
36,7
30,6
51,6
57,9
9,9
32,0
2157,7

1251,4
109,0
62,7
25,7
221,9
24,5
0
0
0
0
1473,3

(ton/hari)
312,8
109,0
94,1
11,0
6,1
51,6
57,9
9,9
32,0
684,4

Komponen sampah

Sampah basah
Plastik
Kertas
Gelas/kaca
Logam
Kayu
Tekstil
Karet
Sampah lain
Jumlah total

(%)
80*
50
40
70
80
0
0
0
0

Prosentasi (% )

68,3

31,7

* Nilai potensial, menurut Tchobanoglous, Theisen and Vigil (1993)

Khusus sampah plastik, kegiatan daur ulangnya dapat mengurangi dampak


lingkungan yang sangat signifikan. Dalam proses produksi plastik, dibutuhkan sumber
daya alam berupa minyak bumi yang sangat besar jumlahnya, baik sebagai bahan baku,
maupun sebagai energi untuk proses manufaktur. Produksi setiap ton plastik jenis
polietilen membutuhkan 1,8 ton minyak bumi. Setiap tahunnya, sekitar 4% minyak bumi
dunia digunakan sebagai bahan baku plastik, dan 3-4% digunakan untuk sumber energi
dalam proses manufaktur plastik. Sebagaimana dijelaskan dalam Anonymous (2006),
daur ulang sampah plastik akan menghasilkan dampak lingkungan positif sebagai berikut:
-

mereduksi 67% konsumsi energi

menurunkan 250% emisi CO, 67% emisi SOx, dan 50% emisi NOx

mengurangi penggunaan air sebanyak 90%

Nilai Ekonomi Sampah dan Pengentasan Kemiskinan


Target MDGs pertama, yaitu pengentasan kemiskinan, didukung oleh terdapatnya
nilai ekonomi pada sampah. Di Indonesia, aktivitas sektor informal dalam bisnis sampah
telah menyatu dengan kegiatan ekonomi lain di hampir semua kota. Dengan
menggunakan harga komponen sampah kering yang dapat didaur ulang yang berlaku di
Kota Surabaya (Tabel 5), nilai ekonomi sampah di Kota Surabaya dapat diperkirakan
(Tabel 6). Estimasi nilai jual jenis sampah kering, yang terdiri atas plastik, kertas,
kaca/gelas, dan logam sebesar Rp. 337.050.000/hari, sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 6, menunjukkan bahwa sampah merupakan sumber daya yang tidak dapat
diabaikan perannya dalam ekonomi kota.
Nilai ekonomi sampah dapat ditingkatkan menjadi hampir dua kali lipat apabila
warga Kota Surabaya telah mampu mendaur ulang seluruh sampah basah menjadi
kompos. Kompos dapat dihasilkan setiap harinya dari 1251,4 ton sampah basah (Tabel 4).
Dari jumlah tersebut diperkirakan dapat dihasilkan sekitar 30% kompos atau 375,4
ton/hari. Dengan menggunakan asumsi pendapatan minimum dari penjualan kompos Rp.
750/kg, dapat dihasilkan gross revenue sebesar Rp. 281.550.000/hari.

Tabel 5. Harga komponen sampah yang dapat didaur-ulang di wilayah Keputih, Surabaya, tahun 2006
(*Anonim, 2010; Trihadiningrum dan Mardhiani, 2006)

No.
1.
2.

Jenis barang
Kertas koran
Kardus

Harga
(Rp/kg)
1400*
1000*

No

Jenis barang

Harga

.
11. Plastik Pralon
12. Plastik campuran

(Rp/kg)
500
400

(rafia, sedotan,
3.
4.
5.

Kertas HVS
Kertas duplek dll
Gelas air mineral

2000*
200
6000*

bersih
Gelas air mineral

dll)
13. Bak plastik
14. Botol kaca kecil
15. Botol kaca besar

1300
150
500

(kecap, sirup)
3000*

6.

kotor
Plastik HD

500*

16. Botol kaca besar

500

7.

Plastik PP (bening)

1000

(bir)
17. Besi kualitas

700

8.

Plastik PP

500

rendah
18. Besi kualitas baik

450

19. Aluminium

1500

berwarna (a.l.
9.

kemasan deterjen)
Plastik HD

10.

Plastik PE

1000

11000*

(kaleng softdrink)
20. Karet

800

Tabel 6. Estimasi nilai jual komponen sampah di Kota Surabaya.

Komponen sampah
Sampah kering
- Plastik
- Kertas
- Gelas/kaca

Kuantitas

Harga rata-rata

Potensi nilai

(ton/hari)

(Rp/kg)

jual (Rp/hari)

109,0
62,7
25,7

1500
1000
500

163.500.000
62.700.000
12.850.000

- Logam
Jumlah
Produk kompos (potensial)
Total

24,5
221,9
375,4

4000
750

98.000.000
337.050.000
281.550.000
618.600.000

Penjelasan di atas menunjang kenyataan bahwa keberadaan sampah kota dapat


menopang hidup sebagian warga kota, khususnya yang bergerak di sektor informal.
Dalam kaitannya dengan tujuan pertama dari MDGs, potensi bisnis sampah kota berperan
cukup penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, belum ada data yang pasti
mengenai jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor bisnis sampah. Apabila
diperhitungkan terhadap nilai upah minimum sebesar Rp. 850.000/bulan, dan 40% dari
pendapatan total digunakan untuk biaya modal, operasional, dan keuntungan, nilai
ekonomi sampah kering sebesar Rp. 337.050.000/hari, atau Rp 10,1milyar/bulan, dapat
menopang 7000 tenaga kerja. Apabila sampah basah diolah menjadi kompos, dapat
diperoleh revenue total sebesar Rp. 618.600.000/hari atau Rp. 18,6 milyar/bulan. Nilai
revenue ini mampu menghidupi 13.000 orang.
Peran Gender
Penerapan konsep penanganan sampah yang berbasis pada aktivitas pemilahanpengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu berakar pada pola reduksi di sumber, di
mana dilakukan pemisahan terhadap komponen yang masih dapat didaur ulang dan
dimanfaatkan kembali secara langsung. Pada tingkat global, reduksi timbulan seluruh
komponen sampah kota dilakukan melalui program pendidikan dan pembuatan kompos
pada skala rumah tangga. Di kalangan masyarakat Eropa (EC), misalnya, penanganan
sampah kota telah ditetapkan sebagai berikut: 55% didaur-ulang dan dikompos, 35%
dimusnahkan di insinerator, dan 10% dibuang ke landfill. Pembuatan kompos pada skala
rumah tangga dinilai sebagai upaya yang paling strategis dan berwawasan ekologis untuk
mengubah sampah basah menjadi produk yang bermanfaat (Majid, 2007).
Perlu diketahui bahwa sekitar 70% sampah kota di Indonesia berasal dari daerah
pemukiman. Fakta ini menunjukkan bahwa program reduksi sampah di sumber
membutuhkan peran total warga kota. Pada kenyataannya, pelaku utama kegiatan
pemilahan sampah dan pembuatan kompos yang dilakukan di tingkat rumah tangga di

Indonesia adalah kaum ibu. Demikian pula pada mata rantai bisnis sampah kota, cukup
banyak dilibatkan pemulung dan pengumpul berjenis kelamin perempuan. Oleh
karenanya, tingkat keberhasilan reduksi sampah kota ikut ditentukan oleh keterlibatan
gender. Program Green and Clean dan Surabaya Berbunga yang diselenggarakan
Pemerintah Kota Surabayapun terbukti sangat didominasi oleh kaum perempuan. Hal
tersebut mendukung tujuan ketiga MDGs, yaitu pemberdayaan gender dan kemampuan
perempuan. Apalagi, hasil studi yang dilakukan oleh World Bank (1999) menunjukkan
bahwa program pembuatan kompos pada skala kecil, termasuk skala rumah tangga, lebih
berhasil bila dibandingkan dengan pada skala besar (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan program daur ulang, komposting, dan biaya pengelolaan sampah kota di negara
berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi.

Kegiatan

Negara

Negara berpenghasilan

Negara berpenghasilan

berpenghasilan

menengah

tinggi

rendah
Daur ulang

Umumnya dilakukan

Sektor informal masih

Dilakukan pelayanan

sektor informal,

terlibat, teknologi

pengumpulan sampah yang

pasar masih

canggih mulai digunakan

dapat didaur-ulang, digunakan

terlokalisasi, kerap

untuk pemilahan dan

teknologi canggih untuk

terjadi import

prosesing, ada import

pemilahan dan pengolahan,

sampah untuk

sampah untuk didaur-

tersedia market yang

Pembuatan

didaur-ulang
Jarang dilakukan,

ulang
Pembuatan kompos skala

sustained
Sampah basah berjumlah

kompos

meskipun komponen

besar sering tidak

kecil, pembuatan kompos

sampah basah tinggi

berhasil, pada skala kecil

makin populer, dilakukan

lebih berhasil

pada skala rumah tangga

Biaya

Biaya pengangkutan

Biaya pengangkutan

hingga skala besar


Biaya pengangkutan sampah

pengelolaan

sampah 80-90% dari

sampah 50-80% dari

dapat ditekan hingga 10% dari

sampah

biaya total

biaya total pengelolaan

biaya total pengelolaan

pengelolaan sampah.

sampah. Besarnya

sampah. Alokasi biaya yang

Besarnya retribusi

retribusi ditetapkan

tinggi digunakan untuk

ditetapkan

Pemerintah Pusat dan

pengolahan. Partisipasi

Kegiatan

Negara

Negara berpenghasilan

Negara berpenghasilan

berpenghasilan

menengah

tinggi

rendah
Pemerintah, namun

Daerah, dengan sistem

masyarakat dalam recycling

dilakukan dengan

pengumpulan yang lebih

cukup tinggi sehingga

cara yang tidak

baik

mengurangi biaya operasi

efisien
Sumber: World Bank, 1999

Pengendalian Penyakit
Apabila Program 3R berhasil dilakukan, maka timbulan sampah dapat dikurangi
hingga 68,3% (Tabel 4). Kondisi ini sekaligus menciptakan sanitasi lingkungan yang
lebih baik, sehubungan dengan berkurangnya dampak negatif sampah terhadap kesehatan
masyarakat dengan berkurangnya timbulan sampah. Dengan demikian, Program 3R
sekaligus menunjang target MDGs ke 4-6 yang terkait dengan peningkatan kesehatan
anak dan ibu, serta anggota masyarakat lainnya.
Sampah kota yang berasal dari berbagai sumber tidak mustahil mengandung
limbah B3. Yang dimaksudkan dengan limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah RI no.
18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 1 adalah:
Sisa suatu kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun, yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan
lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia, serta mahluk hidup lain.
Adapun yang dikategorikan sebagai limbah B-3 adalah limbah yang apabila
setelah melalui uji karakteristik atau uji toksikologi, memiliki salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut: (1) mudah meledak, (2) mudah terbakar, (3) reaktif, (4)
beracun, (5) infeksius, (6) korosif. Karena sifatnya yang dapat mengganggu dan
membahayakan lingkungan, limbah B3 harus ditangani secara khusus menurut
perundangan yang berlaku

Sampah kota yang terdiri atas berbagai komponen, tidak luput dari terkandungnya
kontaminan B3. Sebagai contoh, deposit sampah yang telah ditimbun di TPA Keputih di
Surabaya menunjukkan kadar logam berat timbal dan krom yang cukup tinggi (Tabel 8).
Kadar tersebut jauh melampaui kadar pada timbunan sampah di TPA Kabupaten
Lumajang dan di dalam kompos yang dibuat di TPS Bratang di Kota Surabaya. Tingginya
polutan toksik dalam sampah kota di Kota Surabaya mengindikasikan bahwa dengan
kompleksitas aktivitas kota yang tinggi, dihasilkan keragaman polutan yang lebih tinggi
yang mencemari sampah kota.
Tabel 8. Perbandingan nilai rata-rata kandungan logam berat dalam material ekskavasi TPA Besuk
Kabupaten Lumajang dan di TPA Keputih Surabaya

Jenis

Kadar logam berat dalam deposit organik

Baku Mutu

Logam Berat

(mg/kg)
TPA

Kompos

TPA
Tembaga (Cu)
Timbal (Pb)
Krom (Cr)
1)

Rindhawati, 2004

2)

Anonim, 2005

Lumajang
38
94
78

1)

Keputih
ND
597
1427

TPS
2)

Bratang
74
56
21

(mg/kg)
1)

100
150
210

Deposit sampah yang telah terdekomposisi di TPA sebenarnya berpotensi untuk


digali dan dimanfaatkan sebagai kompos. Dengan cara ini, selain terjadi recovery materi
organik, juga dapat mengubah pola TPA konvensional menjadi TPA yang dapat
digunakan kembali (reusable landfill). Namun, deposit organik di TPA Keputih yang
cukup banyak mengandung logam berat menurunkan peluang untuk digali dan
dimanfaatkan sebagai kompos, karena tidak memenuhi baku mutu kompos. Hal tersebut
berbeda dengan deposit organik di TPA Besuk di Kota Lumajang yang masih berpeluang
untuk digali dan dimanfaatkan sebagai kompos, seperti halnya kompos yang dihasilkan di
TPS Bratang, Surabaya.

Kontaminan logam berat yang terdapat di dalam deposit organik di TPA Keputih
Surabaya dapat berasal dari komponen sampah rumah tangga yang mengandung logam
berat (misalnya baterai), atau kontaminan lain, seperti tinta cetak pada sampah kertas,
pewarna pada sampah plastik dan gelas, dan sebagainya (Gascoigne dan Ogilvie, 1995).
Pada Tabel 9 dapat dilihat daftar jenis-jenis B3 yang kemungkinan besar terdapat dalam
sampah rumah tangga. Komponen B3 dalam sampah rumah tangga tersebut berasal dari
kegiatan-kegiatan pencucian lantai kamar mandi, pemeliharaan mobil, perawatan kebun,
pembasmian serangga dan sebagainya. Sumber lainnya adalah sampah industri atau
sampah dari sumber lain yang bersifat B3, yang dibuang ke TPA bersama sampah kota.
Tabel 9. Daftar B3 pada sampah rumah tangga (USEPA, 2006a, dengan adaptasi).

Produk pembersih

Pestisida yang digunakan

Produk pemeliharaan

indoor

otomotif

Pembersih oven (T)

Pembasmi semut (T)

Oli mobil (T)

Pembersih dan pemoles kayu dan

Pembasmi lalat (T)

Aditif bahan bakar mobil (T)

logam (MT)

Pembasmi nyamuk (T)

Pembersih karburator (T)

Pembersih WC (T, R)

Obat kutu hewan peliharaan (T)

Pendingin AC (T)

Pembersih lantai (T, R)

Insektisida tanaman hias (T)

Accu (T, K)

Pembersih kolam renang (R)

Pembasmi ngengat (T)

Minyak rem (T, MT)

Pemutih pakaian (R)


Produk untuk hobi melukis/

Racun tikus (T)


Produk untuk pemeliharaan

Air accu (K)


Bahan bakar

fotografi
Bahan adhesive, perekat (MT)

taman
Herbisida (T)

Tanki gas (MT)

Cat minyak (T)

Insektisida (T)

Minyak tanah (MT)

Thinner cat dan terpentin (MT, T)

Fungisida/pengawet kayu (T)

Penghilang cat (MT)


Bahan kimia untuk fotografi (T)
Pelarut fiksasi (T)
Baterai (T)

Lain-lain
Lampu neon (T)

Tinta (T)

Obat kadaluwarsa (T)

Bangkai hewan (PI)

Cartridge (T)

Termometer merkuri (T)


Keterangan:
K = Korosif

PI = Potensial Infeksius

MT = Mudah Terbakar

R = Reaktif

T = Toksik atau Beracun

Semua bentuk tumpahan, ceceran, bekas kemasan yang masih mengandung


produk-produk B3 tersebut termasuk kategori limbah B3. Dari daftar limbah rumah
tangga pada Tabel 9, tampak bahwa ragam limbah B3 rumah tangga didominasi oleh
jenis beracun atau toksik (T), diikuti oleh jenis yang mudah terbakar (MT), reaktif (R),
korosif (K), dan potensial infeksius (I).
Setiap rumah tangga di Amerika Serikat menghasilkan sekitar 50kg limbah B3
setiap tahunnya. Jumlah total limbah B3 rumah tangga yang dihasilkan di negara tersebut
adalah 1.6 juta ton/tahun (US EPA, 2006b). Pada tahun 1980, beberapa kelompok
masyarakat di Amerika mulai memisahkan limbah B3 dari sampahnya. Pada tahun 1997
sekitar 3000 program yang difokuskan pada pemisahan dan pengumpulan limbah B3 dari
sampah rumah tangga telah berhasil dilaksanakan.
Di Indonesia inventarisasi data mengenai komposisi limbah B3 baru terfokus pada
limbah industri, demikian pula peraturan mengenai penanganannya. Hingga saat ini
belum ada data yang pasti mengenai laju timbulan komposisi limbah B3 dalam sampah
rumah tangga. Demikian pula data komponen limbah B3 dalam sampah institusi (a.l.
perkantoran, sekolah, perguruan tinggi), laboratorium, rumah sakit, bengkel, apotik, dan
sebagainya belum terinventarisasi dengan baik.
Sampah kota yang bersifat beracun apabila dibuang bersama jenis sampah lainnya
dapat masuk ke dalam lingkungan tanah, air dan udara, yang pada akhirnya menembus
rantai makanan. Kontaminan beracun yang masuk dalam rantai makanan pada akhirnya
dapat memengaruhi kesehatan manusia, termasuk ibu dan anak. Upaya untuk mengurangi
efek tersebut adalah dengan memisahkannya dari sampah kota, dan mengelolanya dengan
benar. Upaya ini turut menunjang tercapainya tujuan keempat hingga ketujuh MDGs,
yaitu berkurangnya tingkat kematian anak, meningkatnya kesehatan Ibu, pengendalian
penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan.
Paradigma Baru Dalam Penanganan Sampah Kota
Uraian di atas, menunjukkan pentingnya upaya pemisahan sampah B3 dari
sampah kota, mengingat potensi bahaya yang mungkin ditimbulkannya. Oleh karenanya,
paradigma lama dalam penanganan sampah kota yang semula terdiri atas pola aktivitas

P3 (pengumpulan-pengangkutan-pembuangan), yang kini tengah bergeser ke pola P4


(pemilahan-pengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu), perlu disempurnakan lebih
lanjut menjadi pola P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahan-pengolahanpemanfaatan-pembuangan residu. Pendekatan ini, selain dapat mereduksi laju timbulan
sampah kota, juga dapat menjaga mutu lingkungan hidup dari efek komponen-komponen
yang membahayakan kesehatan masyarakat.
Bilamana pola P5 berhasil diterapkan, maka pergeseran pengelolaan sampah kota
akan lebih mendukung target MDGs. Namun, tentu saja implementasi dari aktivitas P5
memerlukan persiapan yang seksama, terutama peraturan pemerintah pendukung UURI
No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, petunjuk pelaksanaannya, perencanaan dan
penyediaan fasilitas pendukung, sistem pengumpulan dan pengangkutan khusus, serta
pola pengoperasiannya pada tingkat kota.
Hingga saat ini, baru satu perusahaan, yaitu PT Prasadha Pamunah Limbah
Industri (PPLI) yang memiliki lisensi yang menangani pengolahan dan pembuangan
limbah B3 di Indonesia. Perusahaan yang terletak di Cileungsi tersebut memberikan
pelayanan mulai dari pengangkutan limbah B3 cair maupun padat, proses pengolahannya,
serta pembuangan akhir (Anonim, 2006).

Namun, dilaporkan bahwa PPLI baru

menangani 200.000 ton limbah B3 setiap tahunnya, atau hanya 35% dari kapasitas
tahunan yang dimilikinya (Corcoran, 2003). Jumlah ini hanya mencakup 12% dari total
limbah B3 yang dihasilkan di seluruh Indonesia. Faktor penyebab terbatasnya perusahaan
industri yang mau mengirimkan limbahnya ke perusahaan ini adalah kurangnya aspek
penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya kepedulian lingkungan dari para
penghasil limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor penyebab lain adalah
mahalnya biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta mahalnya tarif biaya
pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan P5 sebagai paradigma
baru pengelolaan sampah, masih akan menghadapi kendala yang harus diatasi.
Pemerintah Kota harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan sampah B3 yang
berasal dari rumah tangga dan sumber-sumber lainnya. Selain itu, desentralisasi fasilitas
pengolahan dan pembuangan limbah B3 perlu dilakukan mengingat kondisi geografis

Indonesia yang luas, serta tersebarnya sumber-sumber limbah B3 di seluruh wilayah


Indonesia.
Pengelolaan Sampah Kota Berbasis Masyarakat
Pendekatan
Keberhasilan pelaksanaan program reduksi sampah tidak terlepas dari keterlibatan
masyarakat. Kota Surabaya telah menerapkan sistem pengelolaan sampah kota berbasis
masyarakat sejak tahun 2001. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengolahan
sampah kota, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya mempunyai
program unggulan berupa pengelolaan sampah mandiri berbasis komunitas. Program
unggulan ini bertujuan untuk mengurangi volume sampah mulai dari sumber. Adapun
mekanisme pelaksanaan program unggulan adalah sebagai berikut:
-

Melaksanakan kegiatan pendampingan dengan bekerjasama dengan Lembaga


Swadaya Masyarakat (LSM) (a.l. Bangun Pertiwi, Sahabat Lingkungan, Yayasan
BLTKI, Pusdakota, Bina Mandiri, PT Unilever Indonesia melalui Yayasan Uli
Peduli, dan Madani)

Melaksanakan kerjasama dengan komponen masyarakat, dalam hal ini PKK

Bekerjasama dengan banyak pihak menyelenggarakan lomba kebersihan,


diantaranya program Green and Clean, Surabaya Berbunga, serta lomba
kebersihan antar kecamatan

Melaksanakan operasi yustisi, yaitu dengan mendatangi langsung setiap wilayah

Melakukan sosialisasi budaya bersih melalui kecamatan-kecamatan


Upaya Pemerintah Kota Surabaya dalam mereduksi sampah di sumber banyak

didukung oleh LSM dan sebuah perusahaan industri besar yang melakukan program
Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan
adalah memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat
berbagai asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah
kering lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh LSM dalam
rangka pemberdayaan masyarakat Kota Surabaya untuk mengurangi sampahnya:

a. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Mind-set masyarakat ternyata lebih


mudah berubah apabila melihat langsung keberhasilan sebuah program baru,
melalui percontohan. Hal inilah yang ditempuh LSM yang pada awalnya banyak
mengalami kesulitan dalam memperkenalkan teknologi pengolahan sampah
kepada masyarakat.
b. Pembentukan kader lingkungan. Kader lingkungan diadakan dan dididik melalui
program pelatihan yang diadakan DKP dan mitranya. Jumlah kader yang sudah
ada pada saat ini mencapai 5000-an orang. Tim Penggerak PKK Kota Surabaya,
bekerjasama dengan DKP secara rutin setiap minggu sekali menyelenggarakan
kegiatan penyuluhan bagi warga kota di daerah Kebun Bibit. Produk yang
diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan
pemilahan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.
c. Pendampingan warga. Kader lingkungan bertugas pula untuk pendampingan
warga dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan sampah di tingkat rumah
tangga. Setiap kader melakukan pendampingan terhadap warga dari satu
dasawisma atau 1 RT.
d. Pengadaan prasarana kebersihan. DKP bersama LSM melakukan pembagian
komposter rumah tangga (KRT), keranjang Takakura, pengadaan gerobak sampah
dan pembangunan rumah kompos. Pemberian fasilitas tersebut memperoleh
support dari DKP dan sumber lain, seperti Dinas Pendidikan Nasional, PLN, dan
sebagainya.
e. Pemantauan. Kegiatan pemantauan pada umumnya dilakukan oleh para kader.
Pemantauan dilakukan melalui kunjungan langsung, atau melalui telepon.
Informasi yang diperoleh dapat menjadi masukan bagi organisasi pemberdaya
masyarakat, Lurah dan DKP untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di
sumber.
f. Diseminasi kegiatan. Masyarakat melakukan diseminasi kegiatan pemilahan dan
pengolahan sampah, baik secara aktif maupun pasif:

Diseminasi aktif: Masyarakat bersama kader lingkungan secara aktif


memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat
luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran,

sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup,


menjadi terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori diseminasi
aktif adalah pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan,
dengan cara mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Diseminasi pasif. Kegiatan yang dilakukan di daerah binaan secara tidak


langsung menjadi sumber inspirasi, motivasi dan semangat bagi orang-orang
yang berkunjung untuk melaksanakan kegiatan yang sama di tempat
tinggalnya.

Capaian Program
Studi yang dilakukan pada tahun 2007 terhadap 1.000 responden yang tersebar di
seluruh wilayah Kota Surabaya menunjukkan perubahan persepsi serta perilaku warga
kota yang signifikan terhadap sampah dan pengelolaan sampah. Survey dilakukan di
daerah binaan pengelolaan sampah berbasis komunitas dan di daerah kontrol, yang tidak
mendapatkan pembinaan. Tabel 10 menunjukkan sebagian dari hasil analisis data survey
yang diperoleh, yang dari uji statistik terbukti berbeda signifikan. Di daerah binaan,
prosentasi warga yang menganggap sampah masih dapat dimanfaatkan, serta
menganggap perlunya pemisahan dan pengolahan sampah jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di daerah yang tidak dibina. Demikian pula jumlah warga yang mau melakukan
pemilahan dan pengolahan sampah di daerah binaan secara signifikan lebih tinggi dari di
daerah kontrol.
Tabel 10. Hasil studi mengenai persepsi dan perilaku warga Kota Surabaya
terhadap penanganan sampah (Anonim, 2007)

No.
1.
2.

3.

Variabel

% jawaban responden
Daerah
Daerah
binaan
69,9

kontrol
36,9

sebagai upaya yang sesuai untuk penanganan

72,6

43,9

sampah kota
Telah memisahkan bak sampah untuk sampah

55,5

13,4

Sampah masih dapat dimanfaatkan


Pemilahan dan pengolahan sampah dipandang

No.

Variabel
basah dan sampah kering
Telah melakukan pemilahan sampah
Telah melakukan pengolahan sampah
Telah memisah dan menjual sampah kering, dan

4.
5.
6.

% jawaban responden
Daerah
Daerah
binaan

kontrol

81,7
66,6
54,4

38,8
4,6
9,0

mengolah sampah basah menjadi kompos


Kata kunci kesuksesan Kota Surabaya dalam menangani sampah adalah
pendidikan masyarakat, pendampingan, adanya kerjasama yang baik antara institusi
Pemerintah dan LSM, serta penyediaan fasilitas yang tepat guna. Pengalaman ini juga
memberikan makna akan pentingnya pendidikan untuk mengubah persepsi dan perilaku
masyarakat terhadap sampah. Rekomendasi yang dapat diangkat dari pengalaman ini
adalah memasukkan materi dan pemahaman tentang pencemaran dan sanitasi lingkungan
yang lebih komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar (MDG
kedua) hingga menengah. Hal ini diperlukan untuk membentuk pola pikir masyarakat
tentang pentingnya pencegahan kerusakan lingkungan dan pemeliharaan mutu
lingkungan sejak dini.
Kendala
Perlu ditambahkan bahwa ada kendala yang harus dihadapi warga pelaku daur
ulang sampah. Kompos yang dibuat pada skala rumah tangga, hingga saat ini masih
terserap untuk memenuhi keperluan sendiri oleh rumah-tangga penghasilnya. Namun,
produk dari pengolahan sampah plastik telah menghadapi masalah dalam pemasaran.
Kendala ini dirasakan mulai mengganggu semangat warga dalam melakukan daur ulang.
Bila tidak ada pihak yang turun-tangan untuk mengatasi hal ini, dikhawatirkan
sustainabilitas partisipasi warga kota dalam mengurangi sampah kota dapat teganggu.
PENUTUP
Penanganan sampah kota merupakan salah satu bagian penting dari proses
pembangunan berkelanjutan yang memiliki target untuk memenuhi kepentingan generasi

sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, perkembangan paradigma
dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs,
sehubungan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan
peran gender, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, lebih
terkendalinya perkembangan penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan
Sampah kota

merupakan potensi sumber daya yang dapat menunjang

perekonomian kota apabila dikelola dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila
tidak dikelola secara layak. Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan
pelayanan pengelolaan sampah kota adalah:
-

Berorientasi pada upaya pencegahan pembentukan sampah dan minimisasi


timbulan sampah melalui kegiatan 3R dengan melibatkan masyarakat

Memasukkan materi tentang pencemaran dan pendekatan sanitasi lingkungan


yang komprehensif dan menarik ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga
menengah

Diperlukan peran pemerintah dalam hal penetapan kebijakan yang mendukung


sosialisasi penggunaan produk daur ulang sampah yang dapat membantu
peningkatan produksi dan distribusi hasil daur ulang sampah

Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai karakteristik


produk-produk pangan maupun non pangan yang digunakan, serta cara
menangani sampah pasca pemakaian. Hal ini bertujuan selain untuk
meningkatkan pemahaman tentang potensi dan cara daur ulang, juga untuk
mengetahui sejak dini kemungkinan terdapatnya komponen B3 dalam sampah
yang dihasilkan.

Pola penanganan sampah P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahanpengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan
prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan guna menekan pencemaran
lingkungan oleh komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

Corcoran, E.A., 2003. On waste management. Opinion and Editorial. The Jakarta Post.
Emmanuel, J., 1997. Cleaning Up Toxic Wastes in the Asia Pacific Region.
www.focusweb.org/ publications/1997.
Gascoigne, J.L. dan S.M. Ogilvie, 1995. Recycling waste materials: opportunities and
barriers. Dalam buku: Waste Treatment and Disposal. R.E. Hester dan R.M.
Harrison (Eds). Issues in Environmental Science and Technology. The Royal
Society of Chemistry, Cambridge.
JICA, 2008. Statistik Persampahan Indonesia.
Majid, M.I.A., 2007. Restricting the use of plastic packaging. PRN 8099. Professional
Bulletin of the National Poison Centre, Malaysia.
Nair, C., 1993. Solid waste management in emerging industrialised countries. ECO
Services International.
Padmi, T., 2006. Current situation of municipal solid waste management in Indonesia.
Proceedings Environmental Technology and Management Conference. Bandung,
78 September 2006.
Peraturan Pemerintah RI no. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
Probs, K.N. and T.C. Beierle, 2006. The evolution of hazardous waste programs: lessons
from eight countries. Center for Risk Management, Resources for the Future.
www.rff.org, 8 November 2006.
Ramasamy, P., 2006. Refuse derived fuelrenewable energy from municipal solid waste,
current practice and perspectives in Malaysia. Proc. The 8th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management. Waste
Management Strategies. Chennai (India), 1113 December 2006.
Rani, PVA., Y.L. Wu, Z. Gong, L. Balakrishnan, P. Hande, dan V. Suresh, 2006. Probing
the molecular mechanisms of nanoparticle toxicity. Proc. The 8th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management. Waste
Management Strategies. Chennai (India), 1113 December 2006.
Rudden, P.J., 2006. Thermal treatment of municipal solid waste in Ireland. RPS-MCOS
Technical Paper. www.mcos.ie./mcos. 17 Juni 2006.

Rindhawati, N., 2004. Kajian Penambangan Landfill di TPA Desa Besuk, Kabupaten
Lumajang, Tesis. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, dan S.A.Vigil, 1993. Integrated solid waste management.
Engineering principles and management issues. McGraw Hill International
Editions, New York.
Toinezyk, L., 2006. Engineered fuel, renewable fuel of the future? American Plastics
Council, Arlington.
Trihadiningrum, Y., S, Syahrial, D.A. Mardhiani, A. Moesriati, A. Damayanti, Soedjono,
2005. Preliminary evaluation on the management of a closed municipal solid
waste disposal site in Surabaya City, Indonesia. Proc. The 7th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management CSR and
Education of Environmental Health and Safety. Tokyo, 1921 September 2005.
Trihadiningrum, Y., 2006. Overview on hazardous waste management in Indonesia.
Proc. The 8th Symposium on Academic Network for Environmental Safety and
Waste Management. Waste Management Strategies. Chennai (India), 1113
December 2006
Trihadiningrum, Y., S. Wignjosoebroto, N.D. Simatupang, S. Tirawaty, and O.
Damayanti, 2006. Reduction capacity of plastic component in municipal solid
waste of Surabaya City, Indonesia.

Proc. International Seminar on

Environmental Technology and Management Conference 2006. Bandung,


September 7--8, 2006
Trihadiningrum, Y., 2006. Reduction potential of domestic solid waste in Surabaya City,
Indonesia. Proc. International Seminar on Sustainable Sanitation, Bandung,
September 46, 2006.
Trihadiningrum, Y. dan D.A. Mardhiani, 2006. Action research pengelolaan sampah
kampus. Laporan Penelitian LPPM-ITS
Trihadiningrum, Y., D.A. Mardhiani, P. Christyanto, S.C. Andriati, D. Soengkono, 2008.
Towards Sustainable Integrated Municipal Solid Waste Management in
Indonesia Case Study: Surabaya City. International Symposium on Sustainable
Waste Management. Tokyo, 28 November 2008.

Trihadiningrum, Y., H. Basri, N. Ezlin, 2009. Towards sustainable integrated solid waste
management in University Campus. Jurnal Purifikasi Vol. 29: 186194
UNDP, 2006. United Nations Development Programme: Millenium Development Goals
US-EPA, 2006. Reduce, reuse, recycle. www.epa.gov/msw/reduce.htm. Last updated
9th December, 2006
US-EPA, 2006a. List of common household hazardous waste (HHW) products.
www.epa.gov/msw-list.htm. Last updated 23rd February 2006.
US-EPA, 2006b. Household hazardous waste. www.epa.gov/msw/hhw.htm. Last
updated 23rd February 2006
UURI No. 18/2009. Pengelolaan Sampah
World Bank, 1999. What a waste: solid waste management in Asia. Urban Development
Sector Unit, East Asia and Pacific Region. The World Bank, Washington
Anonim, 2005. Kajian

Sebaran Dampak Lingkungan Pasca Penutupan LPA Keputih

Sampah LPA Keputih. Laporan Akhir Penelitian. Badan Penelitian dan

Pengembangan

Kota Surabaya
Anonim, 2006. Prasadha Pamunah Limbah Industri, http://www.ppli-indo.com,

3 November, 2006

Anonim, 2010. Draft Laporan Akhir Penelitian Peta Penanganan Samapah Rumah
Tangga di Kota Suarabaya. Kerja sama LPPM-ITS dan PT Unilever Indonesia.
Anonim, 2010. PLN-Navigat Negosiasikan Harga. Jawa Pos, 2 April 2010, hal. 3,
kolom 24.
Anonymous, 1997. Natural resource aspects of sustainable development in Indonesia.
Agenda 21. www.un.org. 8 November 2006.

Anda mungkin juga menyukai