PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, setiap aktivitas di perkotaan pasti menghasilkan buangan
yang dapat berbentuk padat, cair, atau gas. Di dalam pembahasan ini hanya akan dibahas
buangan yang berbentuk padat, yang lazim disebut sampah. Sampah didefinisikan
sebagai buangan manusia atau hewan yang bersifat padat atau semi padat, yang tidak
memiliki nilai guna atau nilai ekonomi, sehingga perlu dibuang (Tchobanoglous, Theisen,
dan Vigil, 1993). Undang-undang Republik Indonesia (UURI) No. 18 tahun 2008
mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan manusia sehari-hari dan/atau proses alam
yang berbentuk padat.
Timbulan sampah terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk. Ironisnya, fasilitas pengelolaan sampah di hampir semua kota di Indonesia
masih terbatas. Mengiringi diundangkannya UURI No 18/2008 tentang Pengelolaan
Sampah, pola
pengangkutan-pembuangan (P3) mulai bergeser ke pemilahan-pengolahan-pemanfaatanpembuangan residu (P4). Pergeseran paradigma pola pengelolaan sampah tersebut
berlangsung dengan cukup signifikan di beberapa kota metropolitan, seperti Surabaya
dan Jakarta, di mana terdapat peran aktif dari Dinas Kebersihan, yang mendapat
Fokus artikel ini adalah kontribusi pengelolaan sampah kota di Indonesia dan
paradigma-paradigma
yang
berkembang
terhadap
MDGs.
Selanjutnya,
akan
direkomendasikan strategi yang perlu diterapkan dalam penanganan sampah kota guna
menunjang tercapainya MDGs di Indonesia.
PEMBAHASAN
Timbulan dan Komposisi Sampah Kota
Acuan mengenai timbulan sampah kota di Indonesia adalah SNI S-04-1993-03
yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI). Dalam SNI, ditetapkan bahwa
timbulan sampah di kota sedang adalah 0,7-0,8 kg/orang.hari, sedangkan di kota kecil
sebesar 0,5-0,6 kg/orang.hari. Besaran timbulan sampah ini berada pada kisaran timbulan
sampah antara negara berpenghasilan rendah (0,5 kg/orang.hari) dan menengah (0,9
kg/orang.hari) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.
Komposisi sampah menjadi semakin kompleks dari waktu ke waktu. Komponen
sampah basah semakin berkurang, sedangkan kandungan komponen kering, khususnya
sisa kemasan, menjadi semakin meningkat. Pada Tabel 1 dapat dilihat data perubahan
komposisi sampah permukiman di Surabaya sejak tahun 1988 hingga 2010. Tampak
terjadinya penurunan persentasi sampah basah yang cukup signifikan serta peningkatan
jumlah sampah plastik sebanyak dua kali lipat selama dua dekade. Tabel tersebut juga
menunjukkan persentase komponen sampah kertas, logam, dan kaca/gelas yang relatif
tetap. Ditinjau dari komposisinya, sampah kota di Indonesia masih didominasi oleh
sampah basah. Kondisi tersebut mirip dengan komposisi sampah di negara-negara
berpenghasilan rendah, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1. Komposisi sampah Kota Surabaya
No.
1.
2.
3.
4.
Komponen sampah
Sampah basah
Kertas
Plastik
Kayu
72.4
7.3
10.1
2.4
68.5
6.1
12.4
2.3
5.
6.
7.
8.
9.
Logam
Kaca/gelas
Karet/kulit
Kain
Lain-lain
Jumlah
1.0
0.4
0.8
2.2
4.6
100
1.4
1.7
0.5
2.7
1.5
100
1.0
1.4
0.5
4.0
3.8
100
Pada masa sekarang, bahan plastik dipandang sebagai bagian penting dalam hidup
manusia, karena sifatnya yang kuat, ringan, murah, mudah diolah, dan hemat energi.
Dengan sifat tersebut, plastik semakin banyak digunakan sebagai bahan pengemas. Pada
saat ini, 40% produk plastik dunia digunakan untuk bahan pengemas. Sebagai akibatnya,
jutaan ton plastik dibuang sebagai sampah setiap harinya. Data di negara maju
menunjukkan setiap orang membuang 398 kg sampah plastik setiap tahunnya (Majid,
2007), 33 kali lebih besar dari jumlah sampah plastik yang dihasilkan oleh setiap orang di
Surabaya.
Meskipun jumlah sampah plastik hanya meliputi 12% saja dari sampah kota,
akibat berat jenisnya yang rendah, volumenya membutuhkan ruang sebesar 25-35% lebih
banyak dari volume total sampah. Akibatnya, apabila komponen sampah plastik terus
meningkat jumlahnya, kebutuhan akan lahan TPA akan lebih meningkat pula. Hasil
analisis komposisi deposit sampah pada sembilan lokasi sampling di TPA Keputih, yang
telah dihentikan operasinya pada tahun 2001, menunjukkan kandungan plastik yang
cukup tinggi, yaitu antara 14,3 33,5%, dengan rata-rata 23,5% (Trihadiningrum dkk,
2005).
(a)
(b)
(c)
Pencegahan
Pencegahan
Minimisasi
Minimisasi
Reuse
Reuse
Recycling
Recycling
Energy recovery
Energy recovery
Pembuangan
akhir
Pembuangan
akhir
(a) Konvensional
Biaya
tinggi
Energy recovery
Tingkat hierarki yang lebih tinggi dari pembuangan akhir adalah energy recovery,
di mana sampah dipandang sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan energi.
Penerapannya lazim dilakukan di TPA yang difasilitasi dengan sistem pengumpul dan
konversi energi dari gas metana yang terbentuk selama sampah ditimbun. Proses
anaerobik yang secara alami berlangsung di dalam timbunan sampah mampu mengubah
sampah organik biodegradable menjadi gas metana. Bila tidak dikelola dan
dimanfaatkan, gas metana dari TPA akan teremisi ke atmosfir, dan menjadi salah satu
penyebab terjadinya pemanasan global.
Pemanfaatan metana dari TPA untuk sumber energi merupakan salah satu contoh
kegiatan pembangunan yang berazas pada pengurangan sumber penyebab pemanasan
global, yang kini lazim disebut Clean Development Mechanism (CDM). PT Navigat
Organic Energy Indonesia, misalnya, telah berhasil membangun pembangkit listrik
dengan tenaga sampah di TPA di Bali dan di Bantar Gebang, Bekasi. Produk listrik yang
dihasilkan telah mendapatkan respon dari PLN untuk didistribusikan kepada masyarakat
(Anonim, 2010a).
Selain melalui proses anaerobik, sampah makanan dan sampah biomassa lainnya
dapat pula dikonversi menjadi biofuel alkohol, melalui proses hidrolisis dan fermentasi.
Bentuk energy recovery lainnya adalah pengubahan energi dari panas yang timbul pada
proses insinerasi sampah, menjadi energi listrik. Belakangan ini, energi dari
briket
sampah, yang lazim disebut Refuse Derived Fuel (RDF) yang populer di Amerika Serikat
pada tahun 1970-an mulai dikembangkan kembali (Ramasamy, 2006). Bentuk terbaru
RDF adalah Process Engineered Fuel (PEF), yang dibuat dari sampah plastik dan kertas
(Toinezyk, 2006). Dalam penggunaannya, PEF dinilai lebih ramah lingkungan dari RDF.
Trihadiningrum dkk (2008) meringkas proses-proses biofisik-kimiawi untuk konversi
sampah menjadi energi sebagaimana diuraikan di atas pada Gambar 3.
hidrolisis
press
SAMPAH
MAKANAN
DAN
BIOMASSA
pirolisiss
gasifikasi
fermentasi
Gula
Etanol
Biofuel cair
Briket
Listrik
Minyak
Panas
Gas
Uap
Biogas
Gambar 3. Bagan konversi sampah makanan dan biomassa menjadi energi. (Modifikasi dari
Trihadiningrum dkk, 2008)
1. Pencegahan
mengurangi pola konsumsi / belanja
yang berlebihan
2. Minimisasi
- menggunakan produk dengan kemasan
yang dapat digunakan ulang,
- menggunakan produk sistem refill
- melakukan pemilahan sampah yang
dapat didaur ulang
4. Daur ulang (Recycling)
- mengubah bentuk dan sifat sampah
sampah, dsb
Komponen Sampah
Recovery Factor
(%)
80
50
40
80
70
Berdasarkan asumsi besaran timbulan sampah sebesar 0,8 kg/kapita.hari (SNI S04-1993-03), timbulan sampah di kota Surabaya yang berpenduduk 2,7 juta jiwa adalah
2.160 ton/hari (data tahun 2006). Dengan menggunakan nilai-nilai recovery factor aktual
yang dihitung dari pengaruh aktivitas sektor informal sebagaimana tercantum pada Tabel
3, besarnya jumlah sampah kering yang dapat didaur ulang di Surabaya adalah sebagai
berikut: sampah plastik 109 ton/hari, sampah kertas 62,7 ton/hari, sampah gelas 25,7
ton/hari, dan logam 24,5 ton/hari (Tabel 4). Jumlah total reduksi aktual jenis-jenis
sampah tersebut adalah 221,9 ton/hari atau 10.3% dari jumlah timbulan sampah kota/hari.
Nilai daur-ulang jenis sampah kering sebesar 10,3% dari total sampah kota
bukan merupakan tingkat yang signifikan. Oleh karenanya, upaya reduksi dan
pemanfaatan sampah kota perlu difokuskan pula pada sampah basah, yang dominan
jumlahnya dalam sampah kota. Dengan menggunakan nilai recovery factor potensial
sebesar 0,80 (Tchobanoglous, Theisen and Vigil, 1993) untuk pemanfaatannya sebagai
bahan baku kompos, sebanyak 1251,4 ton sampah basah dapat direduksi setiap harinya
(Tabel 4). Jumlah ini dapat mengurangi timbulan sampah kota sebanyak 1473,3 ton
(68,3%), dan meninggalkan 684,4 ton residu (31,7%) untuk diangkut ke TPA. Apabila
strategi reduksi sampah basah maupun sampah kering dapat dilakukan dengan baik, maka
selain diperoleh materi daur-ulang yang bemanfaat, juga kebutuhan biaya penanganan
sampah dan kebutuhan lahan TPA dapat dikurangi secara signifikan.
Perlu ditambahkan, bahwa daur ulang sampah memberikan keuntungankeuntungan sebagai berikut, sebagaimana diuraikan dalam USEPA (2006):
Timbulan
Recovery
Laju reduksi
Jumlah residu
(ton/hari)
factor
(ton/hari)
sampah
72,41
10,09
7,26
1,70
1,41
2,39
2,68
0,46
1,48
100.00
1564,2
217,9
156,8
36,7
30,6
51,6
57,9
9,9
32,0
2157,7
1251,4
109,0
62,7
25,7
221,9
24,5
0
0
0
0
1473,3
(ton/hari)
312,8
109,0
94,1
11,0
6,1
51,6
57,9
9,9
32,0
684,4
Komponen sampah
Sampah basah
Plastik
Kertas
Gelas/kaca
Logam
Kayu
Tekstil
Karet
Sampah lain
Jumlah total
(%)
80*
50
40
70
80
0
0
0
0
Prosentasi (% )
68,3
31,7
menurunkan 250% emisi CO, 67% emisi SOx, dan 50% emisi NOx
Tabel 5. Harga komponen sampah yang dapat didaur-ulang di wilayah Keputih, Surabaya, tahun 2006
(*Anonim, 2010; Trihadiningrum dan Mardhiani, 2006)
No.
1.
2.
Jenis barang
Kertas koran
Kardus
Harga
(Rp/kg)
1400*
1000*
No
Jenis barang
Harga
.
11. Plastik Pralon
12. Plastik campuran
(Rp/kg)
500
400
(rafia, sedotan,
3.
4.
5.
Kertas HVS
Kertas duplek dll
Gelas air mineral
2000*
200
6000*
bersih
Gelas air mineral
dll)
13. Bak plastik
14. Botol kaca kecil
15. Botol kaca besar
1300
150
500
(kecap, sirup)
3000*
6.
kotor
Plastik HD
500*
500
7.
Plastik PP (bening)
1000
(bir)
17. Besi kualitas
700
8.
Plastik PP
500
rendah
18. Besi kualitas baik
450
19. Aluminium
1500
berwarna (a.l.
9.
kemasan deterjen)
Plastik HD
10.
Plastik PE
1000
11000*
(kaleng softdrink)
20. Karet
800
Komponen sampah
Sampah kering
- Plastik
- Kertas
- Gelas/kaca
Kuantitas
Harga rata-rata
Potensi nilai
(ton/hari)
(Rp/kg)
jual (Rp/hari)
109,0
62,7
25,7
1500
1000
500
163.500.000
62.700.000
12.850.000
- Logam
Jumlah
Produk kompos (potensial)
Total
24,5
221,9
375,4
4000
750
98.000.000
337.050.000
281.550.000
618.600.000
Indonesia adalah kaum ibu. Demikian pula pada mata rantai bisnis sampah kota, cukup
banyak dilibatkan pemulung dan pengumpul berjenis kelamin perempuan. Oleh
karenanya, tingkat keberhasilan reduksi sampah kota ikut ditentukan oleh keterlibatan
gender. Program Green and Clean dan Surabaya Berbunga yang diselenggarakan
Pemerintah Kota Surabayapun terbukti sangat didominasi oleh kaum perempuan. Hal
tersebut mendukung tujuan ketiga MDGs, yaitu pemberdayaan gender dan kemampuan
perempuan. Apalagi, hasil studi yang dilakukan oleh World Bank (1999) menunjukkan
bahwa program pembuatan kompos pada skala kecil, termasuk skala rumah tangga, lebih
berhasil bila dibandingkan dengan pada skala besar (Tabel 7).
Tabel 7. Perbandingan program daur ulang, komposting, dan biaya pengelolaan sampah kota di negara
berpenghasilan rendah, menengah dan tinggi.
Kegiatan
Negara
Negara berpenghasilan
Negara berpenghasilan
berpenghasilan
menengah
tinggi
rendah
Daur ulang
Umumnya dilakukan
Dilakukan pelayanan
sektor informal,
terlibat, teknologi
pasar masih
terlokalisasi, kerap
terjadi import
sampah untuk
Pembuatan
didaur-ulang
Jarang dilakukan,
ulang
Pembuatan kompos skala
sustained
Sampah basah berjumlah
kompos
meskipun komponen
lebih berhasil
Biaya
Biaya pengangkutan
Biaya pengangkutan
pengelolaan
sampah
biaya total
pengelolaan sampah.
sampah. Besarnya
Besarnya retribusi
retribusi ditetapkan
ditetapkan
pengolahan. Partisipasi
Kegiatan
Negara
Negara berpenghasilan
Negara berpenghasilan
berpenghasilan
menengah
tinggi
rendah
Pemerintah, namun
dilakukan dengan
baik
efisien
Sumber: World Bank, 1999
Pengendalian Penyakit
Apabila Program 3R berhasil dilakukan, maka timbulan sampah dapat dikurangi
hingga 68,3% (Tabel 4). Kondisi ini sekaligus menciptakan sanitasi lingkungan yang
lebih baik, sehubungan dengan berkurangnya dampak negatif sampah terhadap kesehatan
masyarakat dengan berkurangnya timbulan sampah. Dengan demikian, Program 3R
sekaligus menunjang target MDGs ke 4-6 yang terkait dengan peningkatan kesehatan
anak dan ibu, serta anggota masyarakat lainnya.
Sampah kota yang berasal dari berbagai sumber tidak mustahil mengandung
limbah B3. Yang dimaksudkan dengan limbah B3 menurut Peraturan Pemerintah RI no.
18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Pasal 1 adalah:
Sisa suatu kegiatan dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun, yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan
lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia, serta mahluk hidup lain.
Adapun yang dikategorikan sebagai limbah B-3 adalah limbah yang apabila
setelah melalui uji karakteristik atau uji toksikologi, memiliki salah satu atau lebih
karakteristik sebagai berikut: (1) mudah meledak, (2) mudah terbakar, (3) reaktif, (4)
beracun, (5) infeksius, (6) korosif. Karena sifatnya yang dapat mengganggu dan
membahayakan lingkungan, limbah B3 harus ditangani secara khusus menurut
perundangan yang berlaku
Sampah kota yang terdiri atas berbagai komponen, tidak luput dari terkandungnya
kontaminan B3. Sebagai contoh, deposit sampah yang telah ditimbun di TPA Keputih di
Surabaya menunjukkan kadar logam berat timbal dan krom yang cukup tinggi (Tabel 8).
Kadar tersebut jauh melampaui kadar pada timbunan sampah di TPA Kabupaten
Lumajang dan di dalam kompos yang dibuat di TPS Bratang di Kota Surabaya. Tingginya
polutan toksik dalam sampah kota di Kota Surabaya mengindikasikan bahwa dengan
kompleksitas aktivitas kota yang tinggi, dihasilkan keragaman polutan yang lebih tinggi
yang mencemari sampah kota.
Tabel 8. Perbandingan nilai rata-rata kandungan logam berat dalam material ekskavasi TPA Besuk
Kabupaten Lumajang dan di TPA Keputih Surabaya
Jenis
Baku Mutu
Logam Berat
(mg/kg)
TPA
Kompos
TPA
Tembaga (Cu)
Timbal (Pb)
Krom (Cr)
1)
Rindhawati, 2004
2)
Anonim, 2005
Lumajang
38
94
78
1)
Keputih
ND
597
1427
TPS
2)
Bratang
74
56
21
(mg/kg)
1)
100
150
210
Kontaminan logam berat yang terdapat di dalam deposit organik di TPA Keputih
Surabaya dapat berasal dari komponen sampah rumah tangga yang mengandung logam
berat (misalnya baterai), atau kontaminan lain, seperti tinta cetak pada sampah kertas,
pewarna pada sampah plastik dan gelas, dan sebagainya (Gascoigne dan Ogilvie, 1995).
Pada Tabel 9 dapat dilihat daftar jenis-jenis B3 yang kemungkinan besar terdapat dalam
sampah rumah tangga. Komponen B3 dalam sampah rumah tangga tersebut berasal dari
kegiatan-kegiatan pencucian lantai kamar mandi, pemeliharaan mobil, perawatan kebun,
pembasmian serangga dan sebagainya. Sumber lainnya adalah sampah industri atau
sampah dari sumber lain yang bersifat B3, yang dibuang ke TPA bersama sampah kota.
Tabel 9. Daftar B3 pada sampah rumah tangga (USEPA, 2006a, dengan adaptasi).
Produk pembersih
Produk pemeliharaan
indoor
otomotif
logam (MT)
Pembersih WC (T, R)
Pendingin AC (T)
Accu (T, K)
fotografi
Bahan adhesive, perekat (MT)
taman
Herbisida (T)
Insektisida (T)
Lain-lain
Lampu neon (T)
Tinta (T)
Cartridge (T)
PI = Potensial Infeksius
MT = Mudah Terbakar
R = Reaktif
menangani 200.000 ton limbah B3 setiap tahunnya, atau hanya 35% dari kapasitas
tahunan yang dimilikinya (Corcoran, 2003). Jumlah ini hanya mencakup 12% dari total
limbah B3 yang dihasilkan di seluruh Indonesia. Faktor penyebab terbatasnya perusahaan
industri yang mau mengirimkan limbahnya ke perusahaan ini adalah kurangnya aspek
penegakan hukum lingkungan, serta kurangnya kepedulian lingkungan dari para
penghasil limbah B3. Dari aspek teknis operasional, faktor penyebab lain adalah
mahalnya biaya transportasi limbah B3 karena faktor jarak, serta mahalnya tarif biaya
pengolahan.
Kondisi tersebut di atas menggambarkan bahwa penerapan P5 sebagai paradigma
baru pengelolaan sampah, masih akan menghadapi kendala yang harus diatasi.
Pemerintah Kota harus mempersiapkan fasilitas untuk penanganan sampah B3 yang
berasal dari rumah tangga dan sumber-sumber lainnya. Selain itu, desentralisasi fasilitas
pengolahan dan pembuangan limbah B3 perlu dilakukan mengingat kondisi geografis
didukung oleh LSM dan sebuah perusahaan industri besar yang melakukan program
Corporate Social Responsibility (CSR). Kegiatan penanganan sampah yang dilakukan
adalah memisahkan sampah basah dan sampah kering, membuat kompos, membuat
berbagai asesoris, payung, jaket, tas dan sebagainya dari sampah plastik, menjual sampah
kering lainnya berupa kertas, logam yang telah dipisahkan.
Berikut ini adalah pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh LSM dalam
rangka pemberdayaan masyarakat Kota Surabaya untuk mengurangi sampahnya:
Capaian Program
Studi yang dilakukan pada tahun 2007 terhadap 1.000 responden yang tersebar di
seluruh wilayah Kota Surabaya menunjukkan perubahan persepsi serta perilaku warga
kota yang signifikan terhadap sampah dan pengelolaan sampah. Survey dilakukan di
daerah binaan pengelolaan sampah berbasis komunitas dan di daerah kontrol, yang tidak
mendapatkan pembinaan. Tabel 10 menunjukkan sebagian dari hasil analisis data survey
yang diperoleh, yang dari uji statistik terbukti berbeda signifikan. Di daerah binaan,
prosentasi warga yang menganggap sampah masih dapat dimanfaatkan, serta
menganggap perlunya pemisahan dan pengolahan sampah jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan di daerah yang tidak dibina. Demikian pula jumlah warga yang mau melakukan
pemilahan dan pengolahan sampah di daerah binaan secara signifikan lebih tinggi dari di
daerah kontrol.
Tabel 10. Hasil studi mengenai persepsi dan perilaku warga Kota Surabaya
terhadap penanganan sampah (Anonim, 2007)
No.
1.
2.
3.
Variabel
% jawaban responden
Daerah
Daerah
binaan
69,9
kontrol
36,9
72,6
43,9
sampah kota
Telah memisahkan bak sampah untuk sampah
55,5
13,4
No.
Variabel
basah dan sampah kering
Telah melakukan pemilahan sampah
Telah melakukan pengolahan sampah
Telah memisah dan menjual sampah kering, dan
4.
5.
6.
% jawaban responden
Daerah
Daerah
binaan
kontrol
81,7
66,6
54,4
38,8
4,6
9,0
sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kerangka itu, perkembangan paradigma
dalam penanganan sampah kota telah ikut menunjang hampir semua target MDGs,
sehubungan dengan kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan, pemberdayaan
peran gender, penurunan tingkat kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, lebih
terkendalinya perkembangan penyakit, dan tercapainya sustainabilitas lingkungan
Sampah kota
perekonomian kota apabila dikelola dengan baik, tetapi dapat menjadi bencana apabila
tidak dikelola secara layak. Hal-hal yang dapat direkomendasikan untuk peningkatan
pelayanan pengelolaan sampah kota adalah:
-
Pola penanganan sampah P5, yaitu: pemisahan sampah B3-pemilahanpengolahan-pemanfaatan-pembuangan residu, sudah saatnya untuk mendapatkan
prioritas untuk dilaksanakan. Hal ini diperlukan guna menekan pencemaran
lingkungan oleh komponen yang membahayakan kesehatan masyarakat dan
lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Corcoran, E.A., 2003. On waste management. Opinion and Editorial. The Jakarta Post.
Emmanuel, J., 1997. Cleaning Up Toxic Wastes in the Asia Pacific Region.
www.focusweb.org/ publications/1997.
Gascoigne, J.L. dan S.M. Ogilvie, 1995. Recycling waste materials: opportunities and
barriers. Dalam buku: Waste Treatment and Disposal. R.E. Hester dan R.M.
Harrison (Eds). Issues in Environmental Science and Technology. The Royal
Society of Chemistry, Cambridge.
JICA, 2008. Statistik Persampahan Indonesia.
Majid, M.I.A., 2007. Restricting the use of plastic packaging. PRN 8099. Professional
Bulletin of the National Poison Centre, Malaysia.
Nair, C., 1993. Solid waste management in emerging industrialised countries. ECO
Services International.
Padmi, T., 2006. Current situation of municipal solid waste management in Indonesia.
Proceedings Environmental Technology and Management Conference. Bandung,
78 September 2006.
Peraturan Pemerintah RI no. 18/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun.
Probs, K.N. and T.C. Beierle, 2006. The evolution of hazardous waste programs: lessons
from eight countries. Center for Risk Management, Resources for the Future.
www.rff.org, 8 November 2006.
Ramasamy, P., 2006. Refuse derived fuelrenewable energy from municipal solid waste,
current practice and perspectives in Malaysia. Proc. The 8th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management. Waste
Management Strategies. Chennai (India), 1113 December 2006.
Rani, PVA., Y.L. Wu, Z. Gong, L. Balakrishnan, P. Hande, dan V. Suresh, 2006. Probing
the molecular mechanisms of nanoparticle toxicity. Proc. The 8th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management. Waste
Management Strategies. Chennai (India), 1113 December 2006.
Rudden, P.J., 2006. Thermal treatment of municipal solid waste in Ireland. RPS-MCOS
Technical Paper. www.mcos.ie./mcos. 17 Juni 2006.
Rindhawati, N., 2004. Kajian Penambangan Landfill di TPA Desa Besuk, Kabupaten
Lumajang, Tesis. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS.
Tchobanoglous, G., H. Theisen, dan S.A.Vigil, 1993. Integrated solid waste management.
Engineering principles and management issues. McGraw Hill International
Editions, New York.
Toinezyk, L., 2006. Engineered fuel, renewable fuel of the future? American Plastics
Council, Arlington.
Trihadiningrum, Y., S, Syahrial, D.A. Mardhiani, A. Moesriati, A. Damayanti, Soedjono,
2005. Preliminary evaluation on the management of a closed municipal solid
waste disposal site in Surabaya City, Indonesia. Proc. The 7th Symposium on
Academic Network for Environmental Safety and Waste Management CSR and
Education of Environmental Health and Safety. Tokyo, 1921 September 2005.
Trihadiningrum, Y., 2006. Overview on hazardous waste management in Indonesia.
Proc. The 8th Symposium on Academic Network for Environmental Safety and
Waste Management. Waste Management Strategies. Chennai (India), 1113
December 2006
Trihadiningrum, Y., S. Wignjosoebroto, N.D. Simatupang, S. Tirawaty, and O.
Damayanti, 2006. Reduction capacity of plastic component in municipal solid
waste of Surabaya City, Indonesia.
Trihadiningrum, Y., H. Basri, N. Ezlin, 2009. Towards sustainable integrated solid waste
management in University Campus. Jurnal Purifikasi Vol. 29: 186194
UNDP, 2006. United Nations Development Programme: Millenium Development Goals
US-EPA, 2006. Reduce, reuse, recycle. www.epa.gov/msw/reduce.htm. Last updated
9th December, 2006
US-EPA, 2006a. List of common household hazardous waste (HHW) products.
www.epa.gov/msw-list.htm. Last updated 23rd February 2006.
US-EPA, 2006b. Household hazardous waste. www.epa.gov/msw/hhw.htm. Last
updated 23rd February 2006
UURI No. 18/2009. Pengelolaan Sampah
World Bank, 1999. What a waste: solid waste management in Asia. Urban Development
Sector Unit, East Asia and Pacific Region. The World Bank, Washington
Anonim, 2005. Kajian
Pengembangan
Kota Surabaya
Anonim, 2006. Prasadha Pamunah Limbah Industri, http://www.ppli-indo.com,
3 November, 2006
Anonim, 2010. Draft Laporan Akhir Penelitian Peta Penanganan Samapah Rumah
Tangga di Kota Suarabaya. Kerja sama LPPM-ITS dan PT Unilever Indonesia.
Anonim, 2010. PLN-Navigat Negosiasikan Harga. Jawa Pos, 2 April 2010, hal. 3,
kolom 24.
Anonymous, 1997. Natural resource aspects of sustainable development in Indonesia.
Agenda 21. www.un.org. 8 November 2006.