Anda di halaman 1dari 33

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH


PENGOLAHAN HASIL AKHIR BIOGAS

Dosen : Ambar

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016

PENDAHULUAN
Meningkatnya kegiatan peternakan dapat dipastikan akan memberikan
dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif berupa peningkatan pendapatan
peternak, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan ketersediaan pangan.
Namun apabila tidak dikelola dengan tepat akan menimbukan permasalahan
lingkungan, yaitu berupa limbah padat, udara dan cair, seperti feses, urine, sisa
makanan, dan udara. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB
(FAO) tahun 2006 peternakan merupakan penyumbang gas rumah kaca utama.
Diperkirakan emisi gas rumah kaca yang setara dengan 7.516 juta metrik ton
ekuivalen CO2 per tahun, atau 18% emisi gas rumah kaca dunia setiap tahun yang
diakibatkan oleh hewan ternak, sapi, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan
unggas. Jumlah ini melebihi gabungan emisi dari seluruh transportasi di dunia
seperti motor, mobil, truk, pesawat, dan lain-lain yang menyumbang 13 persen gas
rumah kaca atau pembangkit listrik di seluruh dunia yang menyumbangkan 11
persen gas rumah kaca .
Biogas adalah salah satu sumber energi alternatif yang menggunakan bahanbahan organik dalam proses pembuatannya seperti limbah peternakan, limbah
pertanian, sampah organik, dan limbah organik lainnya. Pada prinsipnya teknologi
biogas memberikan kemudahan di dalam proses pembuatannya, sehingga mudah
diterapkan pada daerah yang memiliki sumber daya manusia terbatas. Biogas
merupakan sumber energi terbarukan yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik
dari bahan organik. Biogas dapat diproduksi dari limbah kotoran hewan, air
limbah yang mengandung bahan organik, maupun limbah organik rumah tangga
(Herriyanti, 2015). Menurut Wahyuni (2008) dengan adanya biogas maka dapat
diperoleh beberapa manfaat antara lain dapat membantu menurunkan emisi gas
rumah kaca, menghemat pengeluaran masyarakat, meningkatkan pendapatan
masyarakat, pemakaian kayu dan minyak tanah akan berkurang, mewujudkan
lingkungan yang bersih, mengurangi volume limbah yang dibuang, memperkecil
rembesan polutan, memaksimalkan proses daur ulang, memperkecil kontaminasi
sumber air, mengurangi polusi udara, dan pupuk yang dihasilkan bersih dan kaya
nutrisi.

Untuk memproduksi biogas tersebut diperlukan alat yang disebut Reaktor


Biogas. Reaktor Biogas yang merupakan suatu instalasi kedap udara, sehingga
proses dekomposisi bahan organik dapat berjalan secara optimum (Suyati, 2006).
Hasil perombakan bahan bahan organik oleh bakteri menjadi gas metan (hasil
utama) atau komposisi gas yang dihasilkan antara lain: Metana (CH4) 55-75%,
Karbon dioksida (CO2) 25-45%, Nitrogen (N2) 0- 0.3%, Hidrogen (H2) 1- 5%,
Hidrogen Sulfida (H2S) 0-3%, dan Oksigen (O2) 0.1-0.5% (Sudaryono , 2013).
Berdasarkan komposisi gas dalam biogas, terlihat bahwa methan (CH4) adalah
gas yang terkandung paling tinggi dalam biogas. Methan inilah yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energy. Keberadaan gas Methan termasuk salah satu
penyebab timbulnya efek rumah kaca yang menyebabkan fenomena pemanasan
global bersama gas karbon dioksida. Pengurangan methan dari limbah petetrnakan
secara local dengan memanfaatkannya menjadi biogas dapat berperan positif
dalam upaya mengatasi persoalan gas rumah kaca tersebut.
Pada umumnya peternak menangani limbah secara sederhana yaitu
membuat kompos dari kotoran ternak dan menggunakannya sebagai pupuk
pertanian. Penggunaan biogas memiliki keuntungan ganda, yaitu gas methan yang
dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber energy sedangkan limbah cair dan
limbah padat hasil samping biogas (slurry) dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organic. Berdasarkan hal tersebut makalah ini bertujuan untuk menelaah potensi
pemanfatan hasil biogas dari limbah peternakan berupa gas methan dan slurry.
TEKNOLOGI BIOGAS
Pengoptimalan peran ternak terhadap pendapatan dengan menggunakan
kotoran ternak sebagai bahan biogas merupakan pilihan yang tepat. Dengan
teknologi sederhana ini, kotoran ternak yang tadinya hanya mencemari
lingkungan dapat diubah menjadi sumber energi terbarukan yang sangat
bermanfaat. Biogas adalah gas mudah terbakar (flammable) yang dihasilkan dari
proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri bakteri anaerob (bakteri yang
hidup dalam kondisi kedap udara). Pada dasarnya semua jenis bahan organik bisa
di proses untuk menghasilkan biogas, namun demikian hanya bahan organik

(padat, cair) homogen seperti kotoran dan urine (air kencing) hewan ternak yang
cocok untuk sistem biogas sederhana.
Pada umumnya hampir semua jenis bahan organik dapat diolah menjadi
biogas, antara lain kotoran dan urin hewan, kotoran manusia, sampah organik,
sisa proses pembuatan tahu, dan sebagainya. Terkait dengan pengembangan
biogas di rumah tangga peternak, maka bahan organik yang dapat dipergunakan
adalah kotoran ternak, baik sapi, kambing, ayam, babi, dan lainnya. Biogas
mengandung beberapa gas dengan komposisi sebagaimana ditunjukkan pada tabel
berikut:
Tabel 1. Komposisi Gas dalam Biogas
Jenis Gas
Volume (%)
Metana (CH4)
40 70
Karbondioksida (CO2)
30 60
Hidrogen (H2)
01
Hidrogen Sulfida (H2S)
03
Sumber : Rahayu dkk. (2009)
Tabel 2. Bobot Ternak dan Produksi Kotoran Beberapa Jenis Ternak
Jenis Ternak
Bobot Ternak (Kg/Ekor)
Produksi Kotoran
(Kg/Hari)
Sapi potong
520
29
Sapi perah
640
50
Ayam petelur
2
0,1
Ayam pedaging
1
0,06
Babi dewasa
90
7
Domba
40
2
Sumber : United Nations (1984) dalam Wahyuni (2008)
Tabel 3. Potensi Produksi Biogas dari Berbagai Kotoran Ternak.
Kotoran Ternak
Produksi Biogas per Kg Kotoran
(m3)
Domba/kambing
0,010 0,031
Kuda
0,020 0,035
Sapi/kerbau
0,023 0,040
Babi
0,040 0,059
Ayam
0,065 0,116

Sumber : Wahyuni (2008) dan Suyitno dkk. (2010)

Secara teknologis, prinsip pembuatan biogas adalah memanfaatkan gas


metana gas yang mudah terbakar yang terdapat di dalam kotoran sapi sebagai
bahan bakar, terutama untuk konsumsi rumah tangga. Untuk itu, selain diperlukan
adanya ternak sebagai pemasok kotoran, juga diperlukan sarana penampungan
kotoran itu agar dapat berproses menghasilkan gas metana. Instalasi biogas dapat
dibuat dengan teknologi sederhana yang akan mampu dikuasai oleh rumah tangga
peternak atau masyarakat setempat setelah sebelumnya diberikan sosialisasi dan
pelatihan dalam membuat instalasi biogas.

Gambar . Instalasi Biogas


Tangki penampung kotoran hewan yang digunakan sebagai tempat
pembentukan biogas disebut digester. Di dalam digester yang tertutup rapat,
kotoran ternak diencerkan dengan air. Hal ini dilakukan untuk mempercepat
proses keluarnya gas dari kotoran ternak. Dengan memanfaatkan tekanan gas di
dalam digester, gas metana yang terbentuk dialirkan ke penampungan gas. Tempat
penampungan gas dapat berupa kantong plastik berukuran besar, tetapi ada pula
berbentuk tabung dari fiberglass. Digester harus dirancang sedemikian rupa
sehingga proses fermentasi anaerob dapat berjalan dengan baik. Dari segi
konstruksi digester dibedakan menjadi tiga yaitu fixed dome (kubah tetap), floting
drum (kubah apung) dan fiber glass. Dari segi aliran bahan baku untuk reaktor

biogas, biodigester dibedakan menjadi dua yaitu bak (batch) dan aliran
(continuous)(Suyitno dkk,2010).
Biogas diproduksi oleh bakteri dari bahan organik di dalam kondisi tanpa
oksigen (anaerobic process). Proses ini berlangsung selama pengolahan atau
fermentasi. Gas yang dihasilkan sebagian besar terdiri atas CH 4 dan CO2. Jika
kandungan gas CH4 lebih dari 50%, maka campuran gas ini mudah terbakar,
kandungan gas CH4 dalam biogas yang berasal dari kotoran ternak sapi kurang
lebih 60%. Temperatur ideal proses fermentasi untuk pembentukan biogas
berkisar 30 oC (Sasse, L., 1992, Junaedi, 2002).
Produksi biogas dari kotoran sapi berkisar 600 liter s.d. 1000 liter biogas per hari,
kebutuhan energi untuk memasak satu keluaraga rata-rata 2000 liter per hari
(Putro, 2007). Dengan demikian untuk memenuhi kebutuhan energy memasak
rumah tangga dapat dipenuhi dari kotoran 3 ekor sapi. Selain biogas pengolahan
kotoran sapi juga menghasilkan pupuk padat dan pupuk cair.
Putro, S. 2007. Penerapan instalasi sederhana pengolahan kotoran sapi menjadi
energi biogas di desa sugihan kecamatan bendosari kabupaten sukoharjo.
WARTAZOA, Vol .10: 178 188
Wahyuni, S. 2008. Biogas. Panebar Swadaya,. Jakarta

Gas yang dihasilkan dari proses fermentasi oleh mikrobia di dalam


digester diantaranya berupa gas methan, karbon dioksida, hidrogen dan lain
sebagainya. Kandungan gas methan dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan
bakar alternative seperti sebagai bahan bakar kompor dan generator listrik.
Menurut Wahyuni (2008) dari proses produksi biogas akan dihasilkan limbah atau
sisa bahan organik. Limbah yang keluar dari digester biogas berbentuk lumpur
yang mengandung cairan dan padatan. Limbah tersebut umumnya disebut dengan
istilah sludge. Limbah dari digester biogas tersebut memiliki nilai manfaat yang
cukup tinggi terutama sebagai pupuk organik dan pelet (pakan ikan). Pupuk
organik yang berasal dari residu fermentasi kotoran ternak menjadi biogas ini
kaya akan unsur hara sehingga sangat baik diaplikasikan untuk pemupukan pada
lahan-lahan pertanian.

Diagram proses produksi biogas dan pemanfaatannya

ditunjukkan pada gambar berikut:

Kotoran ternak + air

Bak penampungan
sementara

Digester
Biogas

Residu/ampas

Pengolahan residu
Rumah tangga
untuk memasak

Pupuk organik
cair

Pupuk organik
padat

Pertanian

Gambar . Proses Produksi Biogas dan Pemanfaatannya


Keterangan :
: Input
: Proses
: Output
: Pemanfaatan

Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak) sangat tepat untuk


mengatasi naiknya harga pupuk dan kelangkaan bahan bakar minyak. Apalagi
pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber bahan bakar dalam bentuk biogas.
Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi, tidak mengurangi jumlah
pupuk organik yang bersumber dari kotoran ternak. Hal ini karena pada

pembuatan biogas kotoran ternak yang sudah diproses dikembalikan ke kondisi


semula yang diambil hanya gas metana (CH4) yang digunakan sebagai bahan
bakar.
Pada dasarnya penggunaan biogas memiliki keuntungan ganda (Prihandana,
R. dkk, 2007) yaitu gas metan yang dihasilkan bisa berfungsi sebagai bahan bakar,
sedangkan limbah cair dan limbah padat dapat digunakan sebagai pupuk organik.
Beberapa keuntungan memanfaatkan biogas, antara lain:
Mewujudkan peternakan yang bersih dan mengurangi pencemaran lingkungan
Mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
Menghemat pengeluaran masyarakat, dengan memanfaatkan biogas sebagai
pengganti bahan bakar minyak tanah, kayu bakar, untuk memasak dan sebagai
pembangkit listrik
Meningkatkan pendapatan petani peternak dengan dihasilkannya pupuk
organik yang berkualitas sehingga ketergantungan petani terhadap pupuk kimia
dapat dikurangi
Mendorong tumbuhnya industri rumah tangga di pedesaan dengan dukungan
bahan bakar alternative
Sudaryono, 2013. Pemanfaatan biogas dari limbah kotoran ternak
sebagai sumber energi listrik. J. Tek. Ling. Vol. 14. No. 1:59-66.
Suyati, F., 2006, Perancangan Awal Instalasi Biogas Pada Kandang
Terpencar Kelompok Ternak Tani Mukti Andhini Dukuh Butuh
Prambanan Untuk Skala Rumah Tangga, Skripsi, Jurusan Teknik Fisika,
Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Potensi biogas untuk kompor rumah tangga


Biogas merupakan salah satu solusi teknologi energi untuk mengatasi
kesulitan masyarakat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),
teknologi ini bisa segera diaplikasikan, terutama untuk kalangan masyarakat
pedesaan yang memelihara hewan ternak. Biogas yang menggunakan bahan
kotoran ternak menghasilkan api berwarna biru bersih, tidak menghasilkan asap
maupun bau sehingga kebersihan dapur terjaga. Biogas dapat digunakan 24 jam
nonstop tidak akan berhenti sepanjang bahan baku kotoran ternak rutin dipasok ke
dalam digester. Untuk memasak air dengan biogas membutuhkan waktu 15 menit
lebih cepat dibandingkan menggunakan kayu bakar atau minyak tanah. Biaya

menjadi lebih irit. Keluarga yang sudah menggunakan biogas tidak membutuhkan
pembelian bahan bakar karena sudah bisa terpenuhi kebutuhannya dari kotoran
ternak yang dipeliharanya.
Hastuti (2009) Teknologi biogas dapat diterapkan pada skala rumah tangga
dengan asumsi rata-rata kepemilikan ternak sapi ditiap rumah 2 -3 ekor. Satu ekor
sapi bisa menghasilkan rata-rata 23,59 kg kotoran per hari. Kapasitas digester
(drum pencerna) adalah 30 kg yang akan menghasilkan 1 meter kubik biogas yang
setara dengan 0,62 liter minyak tanah dan setara dengan 3,5 kg kayu bakar kering
atau setara dengan 0,46 kg elpiji. Untuk menjalankan biogas skala rumah tangga,
diperlukan kotoran ternak dari 2 3 ekor sapi, atau 6 ekor babi, atau 400 ekor
ayam yang akan menghasilkan biogas sekitar 4 m 3/hari. Biogas sebesar 4 m3/hari
ini setara dengan 2,5 liter minyak tanah/hari sehingga telah mencukupi untuk
aktivitas memasak sehari-hari. Kesetaraan nilai kalori biogas dibandingkan
dengan bahan bakar lainnya ditunjukkan pada tabel berikut.

Hastuti, D. 2009. Aplikasi teknologi biogas guna menunjang kesejahteraan


petani ternak. Jurnal Ilmu- ilmu Pertanian, Mediagro Vol 5:20 26.
Potensi biogas untuk listrik rumah tangga
Pemanfaatan biogas dari kotoran sapi sebagai alternative bahan bakar
pembangkit listrik dilakukan melalui proses anaerobic. Pilot plant dengan
produksi biogas sebesar 7 m3/hari telah terpasang di Pesantren Saung Balong.
Biogas ini dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari seperti memasak dan
penerangan, dan digunakan sebagai bahan bakar pure gas dengan genset skala
2500 Watt. Kotoran ternak segar dikumpulkan dari kandang kemudian
dimasukkan ke dalam biodigester. Campuran kotoran sapi dan air dengan

berbanding 1 : 1, yaitu kotoran sapi 100 kg kotoran sapi/hari dan air 100 liter. Jadi
bubur yang dihasilkan adalah 200 kg atau 200 liter kotoran sapi/hari sebagai
umpan. Masukkan campuran tersebut ke dalam reaktor biodigester bervolume
7.500 liter.
Produksi biogas rata-rata sebesar 0,040 m3 per 30 menit atau 0,080
m3/jam. Dengan data tersebut maka diperkirakan dalam sehari (24 jam) biogas
yang dihasilkan adalah sebesar 1,94 m3 . sementara konsumsi biogas untuk genset
pada beban 1.047 W adalah 0,019 m3/menit, genset akan beroperasi selama 101,05
menit atau sekitar 1,68 jam. Dengan demikian listrik yang dapat dihemat adalah
1,759 kWh per hari atau 52,77 kWh per bulan dan biaya listrik yang dapat
dihemat yaitu sebesar Rp. 40.896,-/bulan (Arifin et al., 2011)
Arifin, M., A. Saepudin, dan A. Santosa. 2011. Kajian biogas sebagai sumber
pembangkit tenaga listrik di pesantren saung balong Al-Barokah, Majalengka,
Jawa Barat. J. of Mechantronics, Electrical Power, and Vehicular Technology. 2:
73 78.
PRODUKSI SLURRY BIOGAS
Untuk mengoperasikan reaktor biogas, pengguna harus memasukkan
bahan baku berupa kotoran hewan (kohe) dan air dengan jumlah yang sesuai
dengan kapasitas reaktor setiap hari. Campuran kedua bahan ini akan mengalami
proses pengolahan anaerobik (tanpa udara/oksigen) atau berfermentasi. Selama
proses fermentasi, 30-40% zat organik pada kohe diubah menjadi biogas (yaitu
metana dan karbon dioksida). Biogas ini mengalir melalui pipa menuju ke rumah
pengguna dan digunakan sebagai bahan bakar memasak dan lampu. Campuran
bahan baku yang sudah terfermentasi atau hilang gas metannya mengalir keluar
dari reactor melalui outlet dan overflow berwujud lumpur yang disebut slurry.
Hartanto dan Putri (2013) slurry mengandung nutrisi yang sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman. Jumlah Bio-slurry yang dikeluarkan oleh reaktor biogas
melalui outlet hampir sama dengan jumlah kohe segar yang dimasukkan ke
reaktor. Analisa laboratorium menunjukkan bahwa fermentasi satu kg kohe segar
yang dicampur dengan satu liter air menghasilkan Bio-slurry sejumlah 1.840
gram. Nutrisi makro yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak seperti Nitrogen
(N), Phosphor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Sulfur (S).

Serta nutrisi mikro yang hanya diperlukan dalam jumlah sedikit seperti Besi (Fe),
Mangan (Mn), Tembaga (Cu), dan Seng (Zn).

Tabel. Komposisi slurry (ghoenim et al., 2006)

Ghoneim, A.,

H. Ueno and A.Ebid. 2006. Nutrients Dynamics in

Komatsuna (Brassica campestris L.) Growing Soil Fertilized with Biogas Slurry
and Chemical Fertilizer Using15N Isotope Dilution Method. Pakistan Journal of
Biological Sciences. 9: 2426-2431
Selain kaya bahan organik bernutrisi lengkap, Bio-slurry juga mengandung
mikroba probiotik yang membantu menyuburkan lahan dan menambah nutrisi
serta mengendalikan penyakit pada tanah. Tanah menjadi lebih subur dan sehat
sehingga produktifitas tanaman lebih baik. Mikroba yang terkandung di dalam
Bio-slurry antara lain: (1) Mikroba selulitik yang bermanfaat untuk pengomposan,
(2) Mikroba penambat Nitrogen yang bermanfaat untuk menangkap dan
menyediakan Nitrogen, (3) Mikroba pelarut Phosphat yang bermanfaat untuk
melarutkan dan menyediakan Phosphor yang siap serap dan (4) Mikroba
Lactobacillus sp. yang berperanan dalam mengendalikan serangan penyakit tular
tanah. Bio-slurry yang terfermentasi anaerobik sempurna dan berkualitas baik

memilki ciri-ciri: (1)Tidak berbau seperti kotoran segarnya. (2)Tidak atau sedikit
mengeluarkan gelembung gas. (3)

Berwarna lebih gelap bila dibandingkan

kotoran segar. (4) Tidak menarik lalat atau serangga di udara terbuka.
Pengaruh Bio-slurry terhadap produksi tanaman beragam tergantung
kepada jenis dan kondisi tanah, kualitas benih, iklim, dan faktor-faktor lain. Bila
disimpan dan digunakan dengan benar, Bio-slurry dapat memperbaiki kesuburan
tanah dan meningkatkan produksi tanaman rata-rata sebesar 10 - 30% lebih tinggi
dibanding pupuk kandang biasa. Penelitian di Indonesia pada pertanian dengan
Bio-slurry juga memperoleh rata-rata kenaikan hasil yang sama. Bio-slurry
sebagai pupuk organik telah banyak digunakan di areal pertanian di Indonesia
untuk komoditi sayur-sayuran daun dan buah (tomat, cabai, labu siam, timun, dll),
umbi (seperti wortel, kentang, dll), pohon buah-buahan (buah naga, mangga,
kelengkeng, jeruk, pepaya, pisang, dll), tanaman pangan (padi, jagung, singkong,
dll) dan tanaman lain (kopi, coklat dan kelapa). Sedangkan penelitian di luar
negeri memperlihatkan pemakaian Bio-slurry pada padi, gandum, dan jagung
dapat meningkatkan produksi masing-masing sebesar 10%, 17%, dan 19%.
Dengan pemakaian Bio-slurry, produksi meningkat sebesar 21% pada kembang
kol, 19% pada tomat, dan 70% pada buncis.Hartanto, Y. dan C. H. Putri. 2013.
Pengelolaan dan Pemanfaatan Bio-slurry. Tim Biogas Rumah (BIRU) - Yayasan
Rumah Energi (YRE). Jakarta.
Pengumpulan Bio-slurry
Tempat terbaik untuk menyimpan atau menampung Bio-slurry adalah lubang/bak
enampung (slurry pit).

Untuk memperoleh Bio-slurry kering berkualitas, keringkan Bio-slurry


basah secara alami (dianginanginkan atau kering udara) selama 30 40 hari. Bioslurry padat akan lebih cepat kering bila setiap seminggu 1-2 kali dilakukan
rotasi/pembalikan secara merata. Bila tidak langsung digunakan di lahan, simpan
Bio-slurry cair atau padat di tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung.
Bio-slurry cair dapat disimpan di dalam ember, drum plastik tertutup atau bak
yang ada atapnya sedangkan Bio-slurry padat yang kering dapat disimpan di
dalam karung plastik atau goni lalu ditempatkan di dalam tempat yang terlindung
dari hujan dan sinar matahari langsung.
Penggunaan Bio-slurry
Bila digunakan dengan cara tepat, Bio-slurry akan memberikan hasil memuaskan.
Berikut adalah cara penggunaannya:
Bio-slurry Kering (Padat)
Bio-slurry padat dapat disebarkan secara langsung ke lahan atau ke sekiling
tanaman. Berikut adalah cara aplikasi pada tanaman:
1. Disebarkan langsung ke lahan dan selanjutnya dibajak.
2. Disebarkan di sekeliling tanaman dan di antara tanaman dalam 1 bedengan dan
dibumbun. Konsentrasi Bio-slurry per tanaman sekitar 500 gram atau disesuaikan

dengan kondisi lahan dan tanaman. Untuk Bio-slurry padat, dosis per hektar (Ha)
= 10.000 m2 sekitar 5 - 10 ton (standar pemberian pupuk organik) atau
disesuaikan dengan kondisi lahan dan tanaman.
Bio-slurry Basah (Cair)
1. Dikucurkan langsung di sekeliling tanaman atau di samping dalam 1 barisan
tanaman
2. Disemprotkan ke tanaman atau ke lahan dengan alat semprot. Untuk langkah 1
dan 2: sebaiknya dilakukan di pagi atau sore hari, konsentrasi per tanaman 1 2
gelas plastik (250 500 ml/ tanaman), dosis per hektar sekitar 10 ton Bio-slurry
basah
3. Dilarutkan bersama air irigasi saat membasahi atau mengairi lahan. Untuk
langkah ini, sebaiknya dilakukan di pagi atau sore hari dengan dosis per meter
persegi (m2) disesuaikan jumlah tanaman per m2 (bergantung jarak tanam).

Pemanfaatan slurry

Pupuk Cair Organik


Bio-slurry basah atau lumpur yang keluar dari outlet dapat dipakai
langsung untuk tanaman buah atau sayuran yang berada dekat dari reaktor biogas.
Gunakan ember atau alat lainnya untuk mengangkut Bioslurry ke lahan. Jika Bioslurry belum terfermentasi dengan sempurna, kandungan amonia yang terkandung
didalamnya

dikhawatirkan dapat merusak buah atau sayuran muda. Untuk mencegah


kerusakan pada tanaman, jangan langsung gunakan Bio-slurry. Biarkan Bio-slurry
selama minimal satu minggu di bak/lubang penampung agar kandungan amonia
hilang. Ciri-ciri Bio-slurry yang sudah terfementasi sempurna adalah tidak berbau,
tidak terlihat gelembung dan berwarna lebih gelap. Jika sudah terfermentasi
sempurna, Bio-slurry bias digunakan langsung ke lahan atau dulu diencerkan
dengan perbandingan Bio-slurry dan air 1:1 atau 1:2.
Tips: Kucurkan Bio-slurry (basah/cair) pada tanah secukupnya ( 1 - 2 gelas
plastik sekitar 250 - 500 ml per tanaman) di lajur atau sekeliling tanaman lalu
segera tutupi dengan tanah.
Bio-slurry juga dapat menjadi sumber pupuk organik cair plus
(mengandung mikroba Probiotik). Caranya, campur Bio-slurry basah atau cair
dengan aneka bahan organik lain seperti air kencing sapi, kambing/ domba, kuda
dan kelinci yang kaya nutrisi nitrogen (N) dan hormon pertumbuhan, air kelapa
yang kaya hormon pertumbuhan, ragi sebagai sumber vitamin B dan mikroba
pengomposan, serta sumber energy seperti molase (tetes tebu), gula pasir atau
gula merah.
Cara pembuatan:
1. Masukkan Bio-slurry 1/3 2/3 atau 1/2 dari kapasitas wadah (misal ember
berukuran 10 liter atau drum plastik 120 - 240 liter)
2. Tambahkan campuran bahan-bahan lain dan air sampai memenuhi ember atau
drum plastik.
3. Diamkan campuran bahan-bahan tersebut agar berfermentasi minimal selama
1- 2 minggu dan aduk setiap hari atau dapat menggunakan alat aerator
akuarium.
Setelah minimal satu minggu, Bio-slurry sudah bisa digunakan. Caranya:

Encerkan campuran Bio-slurry sebanyak 1 - 3 gelas plastik (kapasitas 240 250 ml) dengan 10 - 15 liter air (sesuai ukuran tangki semprot) lalu saring.

Semprotkan atau kucurkan Bio-slurry sebanyak 1 - 2 gelas plastik atau


sekitar 250 - 500 ml per tanaman. Ulangi setiap 1 - 2 minggu.

Pestisida Organik
Bio-slurry juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan pestisida organik
plus untuk mengurangi serangan hama dan penyakit. Bahan-bahan pembuatan

pestisida organik biasanya memiliki rasa pahit atau getir, berbau busuk atau
menyengat dan mengandung racun.
Beberapa bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pembuatan pestisida
antara lain:
1. Daun. Misalnya, tanaman mimba, mindi, sambilito, sereh wangi, cengkeh, dll;
2. Umbi. Seperti gadung, lengkuas, jahe, brotowali, dll;
3. Biji. Seperti mimba, mindi, sirsak, mahoni, dll;
4. Bunga kecubung, bunga cengkeh, bunga kenikir, dll;
Cara pembuatan:
1. Masukkan Bio-slurry 1/3 2/3 atau 1/2 dari kapasitas wadah (misal ember
berukuran 10 liter atau drum plastik 120 - 240 liter)
2. Ekstrak air dari bahan-bahan organik di atas dan campurkan dengan Bio-slurry
cair lalu tambahkan tetes tebu/gula pasir/gula jawa. Boleh juga ditambahkan
dengan air kelapa; air kencing sapi, kelinci, dll.
3. Tambahkan campuran bahan-bahan lain tersebut dan air sampai memenuhi
ember atau drum plastik.
4. Diamkan campuran bahan-bahan tersebut agar berfermentasi minimal selama 1
- 2 minggu dan aduk setiap hari atau dapat menggunakan alat aerator akuarium.
Sama halnya dengan pupuk organik cair, setelah minimal satu minggu, Bio-slurry
sudah bisa digunakan.
Caranya:

Encerkan campuran Bio-slurry sebanyak 1 - 3 gelas plastik (kapasitas 240


- 250 ml) dengan 10 - 15 liter air (sesuai ukuran tangki semprot) lalu
saring.

Semprotkan atau kucurkan Bio-slurry sebanyak 1 - 2 gelas plastik atau


sekitar 250 - 500 ml per tanaman. Ulangi setiap 1 - 2 minggu.

Pengomposan
Bio-slurry adalah bahan kompos terbaik karena mengandung mikroorganisme
dalam jumlah cukup untuk membantu penguraian limbah organik. Bio-slurry
sendiri tidak perlu diuraikan karena sudah mengalami fermentasi. Namun, untuk

efektifitas penggunaan dan meningkatkan kualitas pupuk, Bio-slurry bisa dibuat


menjadi kompos dan disimpan. Ada banyak manfaat tambahan dengan mengolah
Bio-slurry menjadi kompos diantaranya: (1)Gulma, sampah rumah tangga dan
dapur, serta limbah pertanian lain dapat dimanfaatkan.(2) Kandungan air dalam
Bio-slurry diserap oleh bahan organik kering atau sisa pakan hewan. (3) Nutrisi
tanaman pada Bio-slurry dapat dipertahankan sehingga kualitas pupuk lebih baik.
(4)Jumlah bahan organik dapat ditingkatkan. (5)Kandungan bahan organik di
dalam tanah dapat ditingkatkan dengan penggunaan kompos Bio-slurry dan erosi
tanah dapat dikurangi. (6) Produksi tanaman dapat ditingkatkan dengan menekan
pemakaian pupuk buatan/kimia. (7) Kompos, selain bisa dimanfaatkan sendiri
juga dapat dijual untuk menambah pendapatan seharihari.
Terdapat 3 metode pembuatan kompos dengan campuran Bio-slurry antara lain:
Metode Kompos Lubang

Metode pembuatan kompos ini dapat dilakukan jika Bio-slurry tidak imanfaatkan
secara langsung. Berikut adalah tahapan membuat kompos:
1. Buat dua lubang kompos/penampung Bio-slurry di dekat reaktor biogas
dengan jarak minimal 1 meter dari reaktor (yang sudah memiliki 2 lubang
penampung Bio-slurry tidak perlu membuat lubang lagi). Ukuran lubang harus
sesuai dengan volume reaktor biogas. Pastikan kedalaman lubang tidak
melebihi 1,25 meter karena akan membahayakan anak-anak maupun hewan.
Tinggikan mulut lubang 10 cm dari permukaan tanah untuk mencegah air
hujan mengalir masuk ke dalam lubang.
2. Buat naungan/atap di atas lubang kompos. Naungan bisa dibuat dari bahan
bambu yang dibelah dan diikat menjadi tempat tumbuh tanaman sayuran
merambat atau bahan terpal yang tidak tembus cahaya matahari langsung.
3. Cacah atau haluskan bahanbahan kering campuran kompos. Bahan kering
bisa berupa dedaunan kering, limbah rumput dan jerami, sisa pakan hewan,
gulma yang diambil dari lahan pertanian, sampah rumah tangga dan
sebagainya. Bahan kering ini akan menyerap kelembaban Bio-slurry dan
mencegah terjadi hilangnya nutrisi akibat larut ke dalam air tanah.
4. Tebarkan bahan kering setebal 15 - 20 cm di dasar lubang.
5. Tumpahkan Bio-slurry di atas bahan kering, sehingga lapisan bahan kering
menjadi basah secara merata. Setelah merata, buat lapisan bahan kering yang
sama di atasnya.

6. Ulangi proses nomor 4 dan 5 setiap hari sampai lubang kompos nyaris penuh,
lalu tutupi dengan bahan kering/jerami atau lapisan tipis tanah.

7. Biarkan kompos selama 15 hari. Setelah sebulan, balikkan kompos di lubang


lalu tutup lagi dengan bahan kering yang sama atau lapisan tipis tanah.
Diamkan lagi selama 15 hari. Setelah 15 hari, balikkan lagi kompos di lalu
tutupi lagi dengan bahan kering seperti sebelumnya. Setelah 1,5 bulan kompos
siap digunakan.
Metode Penggundukan
Metode ini dapat dilakukan di tempat yang tidak mempunyai cukup lahan untuk
membuat lubang kompos. Tahap pembuatan kompos dengan cara pembuatannya
sebagai berikut:
1. Campur secara merata Bio-slurry dengan bahan kering dengan perbandingan
1:1. Tumpukkan campuran kedua bahan di atas tanah hingga membentuk
gundukan setinggi 1 - 1,5 m, lebar 1 2 meter dan panjang 2 - 3 meter.
2. Tutup gundukan dengan lapisan tipis tanah ( 3 cm) atau tutupi gundukan
dengan terpal untuk melindungi sinar matahari langsung dan menjaga
kelembaban.
3. Balik gundukan setelah 15 hari sejak penumpukan pertama atau jika
diperlukan, dan balik kembali untuk kedua kalinya setelah beberapa hari.
Selama proses ini, jika bahan masih terlalu kering, tambahkan sedikit air.
Kompos siap dipakai setelah 1,5 atau 2 bulan. Ciri-ciri kompos yang sudah
matang dan siap digunakan untuk pemupukan: 1. Berbau seperti tanah hutan
atau humus. 2. Suhu kompos sudah tidak panas. 3. Berwarna gelap atau hitam.
4. Bahan-bahan organik (sisa tanaman, kotoran hewan dan limbah rumah
tangga) telah berubah bentuk menjadi seperti tanah.
Campuran media budidaya jamur
Pemakaian Bio-slurry dapat memberikan hasil yang lebih baik dalam
budidaya jamur. Di Cina, aplikasi Bioslurry untuk budidaya jamur telah
menghasilkan produksi sebesar 7,43 kg/m3, atau 15,4% lebih tinggi dibandingkan
penggunaan media biasa. Lebih lanjut di Indonesia penggunaan bio-slurry sebagai
campuran media budidaya jamur Tiram mulai dilakukan. Penggunaan bio-slurry
padat (kering udara) digunakan untuk menghemat biaya produksi dengan
mengurangi kebutuhan dedak atau bekatul sebanyak 15%. Efek dari penggunaan

bio-slurry sebagai campuran media adalah persentase berkecambah jamur 100%


dan merata, kemudian pertumbuhan jamur muda lebih cepat 7 hari.
KESIMPULAN

1. Pupuk organik
1. Proses Produksi Residu Biogas

Tahap pertama adalah proses Biogas yang digunakan untuk


memproduksi gas dan residu biogas seperti yang telah dijelaskan
diatas, kemudian baru tahap proses pengambilan gas. Yang dilakukan
pertama-tama adalah proses pencampuran kotoran, air, beserta urin
dalam bak penampungan kotoran. Kemudian air yang telah bercampur
dengan kotoran serta urin tadi dipisahkan dari pasir atau kotorankotoran lain agar campuran tadi mudah difermentasi oleh bakteri.
Selain itu kotoran atau serat-serat yang kasar akan dapat
menyebabkan residu di dasar digester.
Proses yang kedua merupakan pemrosesan kotoran yang telah
bercampur air tadi oleh bakteri yang nantinya akan menghasilkan gas.
Proses ini terjadi pada saat kotoran difermentasi oleh bakteri didalam
digester. Biasanya proses ini memakan waktu kurang lebih selama 4
minggu. Untuk proses ini kotoran ditampung dalam wadah yang diberi
nama Digester. Alat ini berfungsi sebagai tempat pemrosesan kotoran
yang nantinya akan menampung gas. Proses ini berlangsung secara
anaerob (tanpa ada udara). Selanjutnya gas akan diproduksi dan
disalurkan melalui pipa-pipa paralon yang telah disiapkan dan
ditampung dalam plastik ukuran jumbo (plastik UV). Kemudian dari
plastik UV tersebut diberi selang untuk mengalirkan gas ke kompor
yang telah dimodifikasi untuk biogas.
Pada sistem digester biogas ini menganut sistem bejana
berhubungan, jadi apabila kotoran yang baru dimasukkan, maka
kotoran yang lama akan keluar dengan sendirinya. Kotorankotoran
yang terdapat di dalam Digester yang telah keluar ditampung dalam
bak penampungan akhir dan masih berupa sludge (lumpur). Dan
kotoran yang keluar inilah yang disebut dengan residu Biogas.
2. Proses Produksi Pupuk Residu Biogas

Residu ini terdiri dari kotoran yang berupa padatan maupun cairan.
Dalam proses ini yang berupa padatan dijemur hingga kering kemudian
dijadikan pupuk dan sebagian, diproses kembali untuk dijadikan pakan

ikan. Sedangkan residu Biogas yang berupa cairan disaring dan


dijadikan pupuk cair.
a. Pupuk Padat Residu Biogas
Berikut ini proses pembuatan pupuk padat residu biogas:
Alat : Saringan 2x2 m, sekop
Bahan: Residu padat
Residu padat yang ditampung dalam bak penampungan akhir
diambil dengan sekop untuk disaring, agar cairan dan padatan
nya dapat terpisah. Residu yang berupa padatan ini dijemur
dibawah terik matahari sampai benar-benar kering. Setelah
kering residu padat tersebut telah berupa butiran-butiran halus
dan dapat digunakan.
b. Pupuk Cair Residu Biogas
Berikut ini proses pembuatan pupuk cair residu
biogas: Alat
: Saringan 2x2 m, 3
Tong@125 liter, Timba, Kran
Bahan: Residu cair, Tepung beras, Cairan rumen, Tetes tebu,
air
Pertama-tama cairan yang berasal dari residu biogas
disaring agar terpisah dari kotoran. Cairan tersebut dikumpulkan
dalam tong fermentasi dan diberi aktivator agar terjadi proses
fermentasi. Aktivator berasal dari cairan rumen sapi yang
diendapkan kemudian ditambahkan tepung beras dan tetes
tebu. Aktivator ini ditambahkan ke masing masing tong
fermentasi sebanyak 1 liter.
Proses fermentasi antara cairan residu Biogas dengan aktivator
berlangsung selama kurang lebih 2 minggu. Setelah cairan tersebut
benar-benar telah terfermentasi, maka residu cair tersebut dapat
dikemas dalam wadah berukuran satu literan. Untuk proses
pengemasan tidak terlalu susah karena pada tong fermentasi telah
disediakan kran agar proses pemasukan ke dalam kemasan mudah.
Untuk proses yang terakhir adalah proses pelabelan. Pengemasan
pupuk organik cair
residu biogas ini disertai dengan pelabelan dengan nama pupuk organik Biotak.
3. Analisis Arus Uang Tunai (Cash Flow) Pada Pembuatan Pupuk Organik Cair dan
Pupuk Organik Padat Residu Biogas a. Biaya Investasi

Berikut adalah tabel perincian biaya investasi awal dalam pembuatan


pupuk organik, yaitu:.
Tabel 1. Biaya Investasi Pembuatan Pupuk Organik Residu Biogas Tahun 2009

Uraian

Jumlah

Biaya Total

Persentase

Lahan
Bangunan
Ternak

16
1
5

Peralatan
1 Sekop
2 Garu
3 Timba
Tong 4

2
1
3

Fermentasi
5 Kran
6 Saringan

m2
bangunan
ekor

Rp.
0
Rp. 5.726.000
Rp.
29.000.000

buah
buah
buah

3 buah
3
buah
2x2
meter

Jumlah Biaya Investasi

0
15,31
84,13

%
%
%

Rp.
Rp.
Rp.

30.000
20.000
15.000

0,09
0,06
0,04

%
%
%

Rp.
Rp.
Rp.

120.000
3000
7000

0,34
0,01
0,02

%
%
%

34.471.000

100

Rp.

Sumber: Data Primer diolah, 2010

Berdasarkan tabel diatas total biaya investasi keseluruhan adalah


sebesar Rp.
34.471.000,-. Biaya investasi banyak dikeluarkan untuk pembelian
ternak yaitu sebesar Rp. 29.000.000,- dengan nilai persentase sebesar
84,13% menduduki biaya tertinggi. Untuk biaya yang terkecil adalah
dari lahan sebesar 0% dikarenakan lahan ini adalah milik petani sendiri
bukan lahan sewa.
b. Biaya Produksi
Berikut ini merupakan biaya produksi yang diperlukan dalam
proses pembuatan pupuk organik residu biogas. Berikut ini akan
disajikan rincian biaya produksi total selama 1 tahun produksi dalam
proses pembuatan pupuk organik yaitu dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 2. Biaya Produksi Selama 1 Tahun Proses Produksi Pupuk Organik
Residu Biogas Tahun 2009
Uraian
A. Biaya Tetap
1. Biaya penyusutan
B. Biaya Variabel
1. Residu cair
2. Tepung Beras
3. Tetes tebu
4. Cairan rumen
5. Kemasan dan label
6. Residu Padat

Jumlah
Rp.

persentase

335.867

2,34

Rp.
0
Rp.
51.500
Rp.
6500
Rp.
3000
Rp. 6.750.000
Rp.
0

0
0,36
0,05
0,02
46,95
0

%
%
%
%
%
%

7. Biaya tenaga kerja


Rp. 7.230.000
50,29 %
Jumlah
Rp. 14.376.867
100 %
Sumber: Data Primer diolah, 2010
Dari tabel diatas total biaya produksi dari pembuatan pupuk organik
residu biogas adalah sebesar Rp. 14.376.867,-. Terdiri dari biaya tetap
berupa penyusutan alat dengan persentase sebesar 2,34%.
Untuk biaya variabel biaya yang tertinggi berasal dari biaya tenaga
kerja dengan persentase sebesar 50,29%, hal ini disebabkan karena
pada awal instalasi biogas membutuhkan tenaga kerja yang banyak.
Kemudian biaya kemasan & label menduduki persentase kedua yaitu
sebesar 46,95%.
4.

Benefit dan Net Benefit Pada Pembuatan Pupuk Organik Residu Biogas

a.Penerimaan pupuk organik


Jika dilihat dari pembuatan pupuk organik maka penerimaan
dapat diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah produksi pupuk
organik yang dihasilkan dengan harga jual yang berlaku pada tingkat
petani responden. Berdasarkan hasil penelitian harga jual yang biasa
ditetapkan oleh petani responden adalah sebesar Rp. 25.000,- / liter
untuk pupuk organik cair dan Rp. 300/kg untuk pupuk organik padat.
Berikut merupakan penerimaan kegiatan pembuatan pupuk organik
yang disajikan pada tabel 3 dibawah ini, yaitu :
Tabel 3. Penerimaan Yang Didapatkan Dari Kegiatan Pembuatan Pupuk
Organik Residu
Biogas Selama Satu Tahun, Tahun 2009
Bulan (t)

Output pupuk
cair

Output pupuk
padat

375 L

517,5 Kg

0L

517,5 Kg

375 L

517,5 Kg

0L

517,5 Kg

375 L

517,5 Kg

0L

517,5 Kg

Penerimaan
pupuk Cair

Penerimaan
pupuk padat

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp. 155.250

Rp. 155.250

Rp. 155.250

Tabel 3. Lanjutan
Bulan
(t)

Output
pupuk cair

Output pupuk
padat

Penerimaan
pupuk Cair

Penerimaan
pupuk padat

375 L

517,5 Kg

0L

517,5 Kg

375 L

517,5 Kg

10

0L

517,5 Kg

11

375 L

517,5 Kg

12

0L

517,5 Kg

2250 L

6210 Kg

Total

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp.
9.375.000
0

Rp. 155.250

Rp.
56.250.000

Rp.
1.863.000

Rp. 155.250

Rp. 155.250

Rp. 155.250

Sumber: Data Primer diolah, 2010


Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa jumlah
output pupuk cair yang dihasilkan perbulannya tidak berlangsung
secara kontinyu. Dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa proses produksi
berlangsung 2 bulan sekali. Petani responden tidak akan memproduksi
pupuk cair tersebut apabila persediaan pupuknya belum benar-benar
habis terjual ke konsumen. Jumlah output tiap proses produksinya
sama dikarenakan jumlah maksimal dari produksi pupuk organik cair
yang dapat dihasilkan oleh responden adalah sebesar 375 liter per
proses produksi. Sedangkan untuk output pupuk padat dapat diketahui
perbulan dengan asumsi bahwa tiap hari ternak sapi menghasilkan
kotoran 23 Kg/hari yang pada akhirnya menghasilkan residu sebesar
3,45 kg/hari. Dalam satu bulan maka akan terkumpul sejumlah kotoran
sapi dengan jumlah ternak sebanyak 5 ekor dengan total 517,5 Kg.
b. Pendapatan pupuk organik
Dari hasil penerimaan tersebut, maka dapat diperoleh
pendapatan dari kegiatan pembuatan pupuk organik cair tersebut.
Hasil dari pendapatan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini,
yaitu:
Tabel 4. Pendapatan Yang Didapatkan Dari Kegiatan Pembuatan Pupuk
Organik Residu
Biogas Selama Satu Tahun. Tahun 2009

375 L

517,5 Kg

Total
Pendapatan
pupuk organik
Rp. 7.766.761

0L

517,5 Kg

Rp.

375 L

517,5 Kg

Rp. 7.767.261

0L

517,5 Kg

Rp.

Bulan (t)

Output pupuk cair

Output pupuk
padat

127.261
127.261

375 L

517,5 Kg

Rp. 7.766.761

0L

517,5 Kg

Rp.

375 L

517,5 Kg

Rp. 7.766.761

0L

517,5 Kg

Rp.

127.261
127.261

Tabel 4. Lanjutan

375 L

517,5 Kg

Total
Pendapatan
pupuk organik
Rp. 7.767.511

10

0L

517,5 Kg

Rp.

11

375 L

517,5 Kg

Rp. 7.767.511

0L

517,5 Kg

Rp.

Bulan (t)
9

12
Total

Output pupuk cair

2250 L

Output pupuk
padat

6210 Kg

127.261
127.261

Rp. 47.366.133

Sumber: Data Primer diolah, 2010


Berdasarkan tabel diatas maka dapat disimpulkan bahwa
pendapatan per proses dari proses produksi pupuk organik tersebut
tiap bulan menunjukkan peningkatan dan penurunan yang hampir
sama. Hal ini dikarenakan pengaruh dari perubahan biaya variabel dan
penyusutan. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa semakin besar
penerimaan dengan biaya yang tetap maka semakin tinggi pula
pendapatan yang dapat diperoleh. Sebaliknya semakin kecil
penerimaan dengan biaya yang tetap maka semakin rendah pula
pendapatan yang dapat diperoleh. Apabila melihat dari tabel tersebut
maka hasil yang diperoleh petani sebesar Rp.
47.366.133 merupakan usaha yang sangat menguntungkan, dilihat
dari segi pendapatan.
5.

Kebutuhan Pupuk Organik Residu Biogas Terhadap Suatu Lahan Padi

Kebutuhan pupuk organik residu biogas terhadap lahan padi


merupakan jumlah pupuk yang diaplikasikan terhadap suatu lahan
padi/sawah. Pada penelitian ini 5 ekor sapi rata rata dapat
menghasilkan pupuk padat residu sebanyak 517,5 kg/bulan. Pada
pupuk cair residu dalam sekali proses produksi dapat menghasilkan
pupuk cair sejumlah 375 liter tiap 2 bulan sekali.
Untuk pengaplikasian pada suatu lahan padi, pupuk padat
membutuhkan kurang lebih 2 3 ton/ha, sedangkan untuk pupuk cair
dalam satu 1 hektar membutuhkan kurang lebih 10 liter (Yasa dkk,
2006). Dari hasil produksi pupuk padat residu dan pupuk cair residu
yang dihasilkan 5 ekor sapi, maka kebutuhan pupuk yang dapat
dipenuhi sebanyak 2,07 ton pupuk padat residu dan 750 liter pupuk
cair residu per musim tanam padi. Kebutuhan ini diasumsikan

diaplikasikan pada lahan padi untuk satu masa periode tanam (4


bulan) yang sedikitnya dibutuhkan 1 kali penggunaan pupuk padat dan
8 kali penggunaan pupuk cair per musim tanam (Fitriana, 2010). Jika
melihat pemenuhan kebutuhan pupuk pada lahan padi yang
didapatkan dari 5 ekor sapi, kebutuhan pupuk padat residu dan pupuk
cair residu telah dapat mencukupi penggunaan 100% pupuk residu
biogas di lahan. Namun untuk pupuk cair residu mempunyai sisa
produksi yang berlebih, sehingga pupuk cair tersebut masih dapat di
manfaatkan petani untuk dijual.
Pada pengaplikasian pupuk residu biogas dilahan padi milik petani
responden, komposisi yang digunakan adalah 50% untuk pupuk residu
biogas + 50% untuk pupuk kimia. Dengan aplikasi pupuk cair 8 kali
permusim tanam dibutuhkan 1,6 liter bibit pupuk cair residu. Apabila
setiap 0,2 liter bibit pupuk cair residu diencerkan dengan 15 liter air
maka didapatkan hasil sebanyak 120 liter pupuk cair untuk 1 ha lahan
padi. Untuk pengunaan pupuk padat pada 1 ha lahan padi milik petani
responden dibutuhkan 1 ton pupuk padat residu. Melihat hasil tersebut,
maka untuk 1 ha lahan padi dibutuhkan setidaknya 120 liter pupuk cair
residu dan 1 ton pupuk padat residu yang dipenuhi dari 2-3 ekor sapi.
Jika melihat kebutuhan pupuk pada lahan padi milik petani
responden maka terdapat sisa hasil produksi pupuk padat residu
sebanyak 1 ton dan 748,4 liter bibit pupuk cair residu per musim
tanam yang dihasilkan dari 5 ekor sapi . Oleh sebab itu sisa dari pupuk
residu ini dapat dimanfaatkan petani untuk diolah dan dijual kembali.
6.

Analisis Kelayakan Finansial Pembuatan Pupuk Organik Residu

Biogas

a. NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C
(Net Benefit/Cost) Berikut merupakan hasil analisis kelayakan
finansial, yaitu:
Tabel 5. Analisis kelayakan finansial pembuatan pupuk organik residu
biogas
Indikator
Kelayakan
NPV
IRR

Nilai
20 %
Rp.6.329.
550
3,83%

30 %
Rp.
6.328.943
3,83%

40 %
Rp.
6.328.335
3,83%

Kriteria
Layak
Layak
Layak

Net B/C
1,17
1,17
1,17
Sumber: Data Primer diolah, 2010
Pada tabel 5 diatas, pembuatan pupuk organik cair residu biogas
layak untuk dikembangkan pada tingkat suku bunga 1,08 % per bulan.

Sedangkan untuk indikator NPV bernilai Rp. 6.330.766,- kemudian IRR


bernilai 3,83% dan Net B/C bernilai 1,17. Dari hasil tersebut semua
indikator kelayakannya mempunyai kriteria layak untuk dikembangkan.
7.

Waktu Pengembalian Modal (Pay Back Period)

Berdasarkan hasil penghitungan payback period untuk pembuatan


pupuk organik residu biogas diketahui bahwa jangka waktu
pengembalian modal investasi pembuatan pupuk organik ini adalah
selama 6 bulan 3 minggu. Hasil ini menunjukkan bahwa pada tingkat
suku bunga 1,08%, usaha pembuatan pupuk organik ini masih layak
untuk dikembangkan karena payback period-nya tidak melebihi umur
ekonomisnya, yaitu 1 tahun atau 12 bulan. Semakin pendek payback
period-nya berarti suatu investasi semakin layak untuk diusahakan dan
dikembangkan lebih lanjut. Hal ini dapat memudahkan para investor
untuk menanamkan modalnya jika telah mengetahui waktu
pengembalian modal dari pembuatan pupuk organik residu biogas ini.
8. Analisis Sensitivitas Kegiatan Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik Residu
Biogas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui yang akan terjadi


terhadap hasil analisis kelayakan investasi yang telah dilakukan
perhitungan. Hal ini mencegah jika terjadi perubahan atau kesalahan
dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau benefit.
a. Analisis Sensitivitas Pada Pembuatan Pupuk Organik Residu Biogas
Terhadap Peningkatan Biaya Tetes Tebu Sebesar 20%, 30%, dan
40%
Tabel 6. Analisis sensitivitas pengembangan pembuatan pupuk organik
terhadap peningkatan biaya tetes tebu sebesar 20%, 30% dan
40%
Indikator Kelayakan
NPV

Nilai
Kriteria
Rp.
Layak
6.330.766
IRR
3,83%
Layak
Net B/C
1,17
Layak
Sumber: Data Primer diolah, 2010
Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan bahwa pada saat biaya
tetes tebu meningkat sebesar 20 % maka nilai NPV adalah sebesar Rp.
6.329.550,- kemudian pada saat meningkat sebesar 30 % maka nilai
NPV adalah sebesar Rp. 6.328.943 dan pada saat meningkat sebesar
40 % maka nilai NPV adalah sebesar Rp. 6.328.335. Untuk nilai dari IRR
dari ketiganya adalah sebesar 3,83 % serta Net B/C bernilai 1,17. Dari
semua indikator tersebut menyatakan bahwa indikator-indikator
tersebut memiliki kriteria yang layak. Peningkatan biaya tetes tebu

sebesar 20%, 30%, 40% ini dikarenakan pada saat penelitian


berlangsung harga tetes tebu menunjukkan tren peningkatan yang
terus menerus.
b. Analisis sensitivitas pembuatan pupuk organik residu biogas
terhadap peningkatan harga jual produk pupuk organik cair residu
biogas sebesar 50 %
Tabel 7. Analisis Sensitivitas Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik
Residu Biogas
Terhadap Peningkatan Harga Jual Produk Pupuk Organik Cair
Residu Biogas Sebesar 50 %
Indikator kelayakan
NPV

Nilai

Kriteria

Rp.
22.163.090,10,04 %

IRR

Net B/C
Sumber: Data Primer diolah, 2010

1,58

Layak
Layak
Layak

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa seluruh indikator


kelayakan menyatakan kriteria layak untuk dikembangkan. NPV yang
dihasilkan pada saat harga jual meningkat sebesar 50 % adalah Rp.
22.163.090,-.
c. Analisis sensitivitas pembuatan pupuk organik residu biogas
terhadap penurunan harga jual produk pupuk organik cair residu
biogas sebesar 20 %
Tabel 8. Analisis Sensitivitas Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik
Residu Biogas
Terhadap Penurunan Harga Jual Produk Pupuk Organik Cair Residu
Biogas Sebesar
20 %
Indikator kelayakan
NPV
IRR

Nilai
Rp.
-14.778.999
-9,73 %

Net B/C

0,61

Kriteria
Tidak
Layak
Tidak
Layak
Tidak
Layak

Sumber: Data Primer diolah, 2010


Pada tabel diatas, diketahui nilai dari NPV adalah sebesar Rp.
-14.778.999,- serta IRR sebesar -9,73 % dan Net B/C adalah sebesar

0,61. Dari ketiga indikator tersebut seluruhnya menyatakan kriteria


tidak layak untuk dikembangkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan

Dari hasil analisis usaha pupuk organik tersebut didapatkan total


biaya adalah sebesar Rp. 48.847.867,-.Untuk besarnya biaya
penerimaan (benefit) yang diterima yaitu sebesar Rp. 56.250.000
untuk pupuk organik cair sedang kan pupuk organik padat sebesar Rp.
1.863.000.
Keuntungan dari pupuk organik sebesar (net benefit) yaitu Rp.
47.366.133. Berdasarkan kriteria kriteria kelayakan didapatkan hasi l
bahwa usaha ini layak dijalankan. Nilai dari NPV adalah sebesar Rp.
6.330.766,-, Nilai dari IRR sebesar 3,83% Sedangkan nilai Net B/C
sebesar 1,17. Pay Back Period pada usaha pembuatan pupuk organik
residu biogas ini yaitu selama 6 bulan 3 minggu. Berdasarkan analisis
sensitivitas, usaha ini tidak terpengaruh terhadap sensitivitas
peningkatan dan penurunan variabel harga produksi maupun
hargajualproduksi.

2. Pelet (pakan ikan)


Menurut Ahmad et al (2009) pemanfaatan lumpur keluaran biogas ini sebagai
pupuk dapat memberikan keuntungan yang hampir sama dengan penggunaan
kompos. Akan tetapi untuk meningkatkan nilai tambah sludge tersebut dapat
dengan cara mengolahnya menjadi pakan ikan. Dengan menggunakan spiner,
maka sludge tersebut akan terpisah antara cair dengan yang padat. Dari hasil
pemisahan dengan spiner, cairan yang keluar dari spiner dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk cair dan yang berbentuk padat dapat dijadikan sebagai bahan utama
pembuatan pakan ikan. Hasil padat tersebut masih diproses kembali dengan proses
pembentukan pellet dan diakhiri dengan proses pengeringan. Dengan sentuhan
teknologi spiner tersebut, maka sludge yang mulanya kurang memiliki nilai
ekonomi menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah yang akhirnya dapat
dijadikan sebagai penghasilan dan dapat meningkatkan kesejahteraan bagi petani
maupun peternak yang memanfaatkan teknologi sederhana ini.

Tahapan-tahapan produksi pellet ikan dan pupuk organik cair antara lain
(Putra et al, 2014) :
a. Bahan baku yang berupa sludge diambil dari saluran outlet digester dan
dipindahkan ke dalam drum penampungan.
b. Kemudian sludge tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan
manual dengan berat 6 kg tiap kali proses.
c. Bahan yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam kain yang berbentuk
karung dan diikat di ujung atasnya dengan menggunakan tali raffia.
d. Bahan yang ada di dalam kain kemudian dimasukkan ke dalam spinner dan
kemudian dilakukan pemutaran (filtrasi) selama 10 menit untuk memisahkan
bahan organik padat dan cair yang terkandung di dalam sludge tersebut.
e. Bahan organik cair (produk sampingan) yang keluar dari spinner kemudian
ditampung pada drum dan kemudian langsung dikemas dalam botol air
mineral bekas bervolume 1,5 liter dan langsung dijual sebagai pupuk organik
cair.
f. Bahan organik padat yang terdapat pada tabung spinner dikeluarkan dan
g.

langsung dicetak dengan mesin pencetak pellet sederhana.


Setelah bahan tercetak, dilanjutkan dengan proses penjemuran. Setelah bahan
kering, kemudian bahan diremah-remah sampai berukuran lebih kecil dan
siap dijual.
Skema pengolahan sludge biogas menjadi pellet ikan dan pupuk organik cair

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1.

Waktu olah dari produksi pembuatan pellet ikan dan pupuk organik cair ini
dapat mengolah sludge sekitar 36 kg/jam dengan waktu kerja efektif 8 jam dan
dalam 1 tahun dapat mengolah sludge sebanyak 64,8 ton, hal ini memberikan
banyak keuntungan bagi pemilik digester yang mana sebelum adanya mesin
spinner dan pencetak pellet hanya dapat memanfaatkan gasnya saja. Adanya
pengolahan ini dapat menambah penghasilan pemilik digester karena dapat
mengolah limbah dari pemanfaatan biogas menjadi produk yang mempunyai nilai
jual. Untuk membuat suatu produk tentunya tak lepas dari kebutuhan energi baik
energi listrik maupun energi dari manusia. Dalam hal ini energi listrik yang

dibutuhkan hanyalah untuk menggerakkan mesin spinner menggunakan energi


listrik, karena hanya proses pemisahan dengan spinner inilah yang menggunakan
listrik sedangkan proses yang lainnya menggunakan tenaga manusia. Kapasitas
waktu olah mesin spinner ini yaitu 36 kg/jam. Untuk kebutuhan air didapatkan
dari sumber mata air di sekitar tempat pengolahan. Kebutuhan air hanya
digunakan untuk pencucian botol bekas air mineral dan MCK para pekerja (Putra
et al, 2014).
Pengolahan sludge biogas menjadi pellet ikan dan pupuk organik cair ini
dilakukan dengan menggunakan alat sederhana yaitu dengan spinner dan pencetak
pellet sederhana yang dilakukan oleh 3 orang, sistem pengeringannya masih
menggunakan tenaga matahari. Sludge yang keluar dari saluran outlet digester
sebanyak 224 kg, sedangkan kapasitas produksi dari mesin dan peralatan yaitu
216 kg. dari hasil pemisahan dengan spinner ini menghasilkan 108 kg padatan dan
72 botol pupuk organik cair dengan waktu efektif 8 jam. Dari 108 kg padatan
diolah kembali untuk dijadikan pellet ikan dan menghasilkan 54,93 kg. jadi dalam
waktu 1 tahun dapat memproduksi sebanyak 16479 kg pellet ikan dan 21600 botol
pupuk organik cair (Putra et al, 2014).

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, AM, Djoyowasito, G, Suyono, MA, 2009. Rancang Bangun Spiner
Sistem Pedal Untuk Pemisah Air Pada Sludge Biogas. FTP Universitas
Brawijaya.
Herriyanti, A.,P. 2015. Pengelolaan Limbah Ternak Sapi Menjadi Biogas. Majalah
Ilmiah Pawiyatan. Vol 2: 39-48
Putra, D. P., Bambang, S., Wahyunanto, A. N., and Arya, M. A. 2014. Analisis
Finansial Pengolahan Limbah Biogas Menjadi Pellet Ikan dan Pupuk Organik
Cair. Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem , (2)1 : 53-64.
Setiawan, Ade Iwan. 2007. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Bogor: Penebar
Swadaya
Suyitno; Nizam, Muhammad; Dharmanto. 2010. Teknologi Biogas. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Wahyuni, Sri. 2008. Biogas. Bogor: Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai