Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KULIAH LAPANGAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU PROVINSI

DKI JAKARTA
OSEANOGRAFI LINGKUNGAN 0S3106
Dosen Mata Kuliah:
Ivonne M. Radjawane, Ph.D

Oleh:
Nada Nailah

10114009

Derfansyah G K

10512094

Rani Santa Clara

12913014

Faizal Ardianto

12913023

Andri Fauzan A

12913025

Rinaldi Oky S

12913038

Farida Nurul I Y

15312068

Putri Juliana

15313025

Eva Fatonah Yunus

15313050

Widi Ajeng L

15313076

PROGRAM STUDI OSEANGRAFI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perairan laut merupakan sumber daya alam yang memiliki peranan vital di bumi
karena memiliki sejumlah peran penting seperti pengaturan iklim, penangkapan dan
pendistribusian energi matahari, penyerapan karbon dioksida, dan pertahanan kontrol
biologis. Laut beserta ekosistem yang ada di dalamnya merupakan keanekaragaman hayati
terbesar di bumi.
Pulau Pari merupakan bagian dari Kepulauan Seribu yang terdiri dari 105 gugus pulau
terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga ke utara yang berujung di Pulau Sebira yang
berjarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Pulau Pari dengan luas daratan
sekitar 897,71 Ha, memiliki luas perairan sekitar 6.997,50 km2. Kondisi perairan di
Kepulauan Seribu mengikuti kondisi umum perairan Indonesia yang di pengaruhi oleh
monsun barat atau monsun timur dan musim peralihan (Mardesyawati dan Timotius, 2010).
Sementara itu, penurunan kualitas perairan terus terjadi dan perlu mendapat perhatian,
terlebih lagi adanya berbagai jenis mikroba di dalam perairan. Pengetahuan mengenai
mikroba yang menunjang keberhasilan budidaya masih sangat kurang, oleh karenanya tulisan
ini bertujuan untuk mengukur kualitas air berdasar parameter mikroba terhadap kegiatan
budidaya di perairan Pulau Pari.
Untuk menentukan kualitas air, pengamatan dilakukan berdasarkan berbagai
parameter air baik fisika, kimia, dan biologinya. Dari segi parameter fisika yaitu suhu, tingkat
kecerahan, tingkat kekeruhan dan tingkat kedalaman,. Parameter kimia yaitu pH, O 2 terlarut
dan CO2 bebas, sedangkan untuk parameter biologi yaitu plankton dan bentos. Dilakukannya
pengukuran kualitas air untuk mengetahui kelayakan dari air tersebut. Analisis yang
dilakukan menggunakan analisis secara insitu yaitu analisis sampel yang dilakukan langsung
dilokasi pengamatan.
Lokasi Survei: Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Jakarta Utara,
Provinsi DKI Jakarta, Indonesia

1.2. Tujuan
Modul Garis Pantai
-

Mengukur parameter-parameter lingkungan pada Pulau Pari secara kualitatif dan


kuantitatif

Modul KAL (Kualitas Air Laut)


-

Mengetahui parameter fisis pantai yang meliputi temperatur, salinitas, DO, dan
pH air laut.

Mengetahui cara kerja alat pengukuran parameter fisis pantai dan mampu
menggunakannya.

Menganalisis distribusi parameter-parameter fisis pantai Perairan Pulau Pari


secara spasial dan temporal.

Modul Mangrove
-

Menentukan ekosistem mangrove yang terdapat di pulau pari bagian barat, serta
melakukan analisis terhadap kepadatan dan jenis dari ekosistem mangrove

Modul Sanitasi dan Sampah


-

Mengidentifikasi kondisi eksisting sanitasi di Pulau Pari

Menentukan pengaruh kondisi eksisting sanitasi dengan perubahan lingkungan


pesisir

Modul Wawancara
-

Mengidentifikasi kondisi lingkungan wilayah pesisir pulau.

Mengidentifikasi permasalahan masyarakat di wilayah pesisir.

Mengidentifikasi perilaku masyarakat yang berpengaruh terhadap lingkungan


pesisir.

BAB II
TEORI DASAR

2.1. Modul Garis Pantai


Pantai merupakan daerah yang membatasi wilayah daratan dengan wilayah lautan.
Dimana daerah daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan
daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Sedangkan daerah lautan adalah
daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada
garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya. Pada suatu peta yang
menyertakan laut di dalamnya, garis pantai dibuat berdasarkan batas air tinggi (high water
line), sedangkan untuk kedalaman digunakan batas air rendah (low water line), dengan
penjelasan seperti pada Gambar dibawah.

Gambar 1.1 Kedudukan garis pantai berdasarkan muka air laut


Untuk mendapatkan bentuk garis pantai berdasarkan daerah yang diinginkan, maka
dilakukanlah pengukuran garis pantai. Pengukuran garis pantai ini dapat dilakukan dengan
berbagai metode yaitu metode Oriented Open Traverse dan Extra-Terestris. Prinsip dari
metode Oriented Open Traversei adalah dengan mengukur besarnya jarak dan sudut dari satu
titik acuan yang sudah diketahui arahnya ke titik lain yang belum diketahui arahnya, dan
menggabungkan titik-titik tersebut sehingga membentuk suatu garis. Sedangkan prinsip dari
metode Extra-Terestris adalah dengan menggunakan GPS, kemudian pengguna GPS berjalan
menyusuri bagian terluar dari pantai dan menandai bagian tersebut menggunakan GPS, dan
nantinya koordinat titik tersebut akan tersimpan di GPS. Kedua metode ini digunakan saat
kondisi tertentu, yaitu bergantung keadaan di lapangan seperti keadaan cuaca, bentuk pantai,

dan keadaan sekitar. Terdapat berbagai macam bentuk pantai berdasarkan unsur
pembentuknya, diantaranya:
Pantai lumpur,
Pantai pasir,
Pantai batu,
Pantai karang,
Pantai curam,
Pantai dengan vegetasi, dan
Pantai buatan

Gambar 1.2 Karakteristik Pantai (sumber: Saputra, 2013)


Untuk mengatasi permasalahan ini, penentuan garis pantai dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pada daerah pantai berpasir, garis pantai ditentukan dari jejak atau bekas genangan air
tertinggi,
Pada pantai berlumpur, garis pantai diwakili oleh pertemuan antara tanah keras dengan
lautan, atau dapat pula seperti pantai berpasir dengan jejak air tertinggi,
Pada pantai dengan tebing terjal, garis pantainya adalah ujung tebing terjun
Pada pantai dengan vegetasi, garis pantai adalah batas terluar dari vegetasi tersebut,
Pada pantai buatan, garis pantainya ditentukan berdasarkan batas terluar suatu bangunan
permanen di pinggir pantai.

2.2. Modul KAL (Kualitas Air Laut)


a. Definisi Air Laut
Air adalah penyusun utama laut. Air laut tersusun dari sekitar 97% air, dan
mempunyai beberapa karakteristik yang luar biasa dan sangat penting. Air memiliki titik
didih yang tinggi sehingga air umumnya dijumpai pada fase cair. Air laut adalah air dari laut
atau samudera. Air laut mempunyai sifat asin, karena mengandung garam NaCl. Kadar garam
NaCl dalam air laut 3%, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-partikel tak
terlarut. Dengan keadaan ini, maka air laut tidak memenuhi syarat untuk air minum.
Air dari daratan masuk ke laut melalui aliran sungai-sungai dan air tanah. Di daratan,
dalam perjalanan ke laut, air mengerosi batuan dan tanah, dan secara perlahan-lahan
melarutkan bermacam-macam mineral dalam jumlah besar untuk selanjutnya dibawa masuk
ke laut. Berkaitan dengan sifat-sifat air laut yang luar biasa itu.
Terdapat beberapa aspek penting perlunya dilakukan kajian khusus tentang
samudera/lautan. Pertama adalah laut merupakan sumber makanan. Adanya faktor-faktor
fisik air laut, sepeti temperatur dan perubahan arus dapat menyuburkan laut. Kedua laut
digunakan oleh manusia untuk berbagi aktvitas. Manusia banyak menggunakan laut, seperti
untuk transportasi, pengeboran minyak dan gas, rekreasi, berenang, perikanan dan lain-lain.
Ketiga laut mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim. Laut mempengaruhi distribusi hujan,
kemarau, banjir dan kondisi lingkungan suatu daerah. Beberapa sifat atau karakteristik air
laut dibagi menjadi sifat fisika dan sifat kimia air laut. Dimana air laut menampung aliran/
drainase dari sungai, maka komposisi kimia air sungai akan sama dengan komposisi kimia air
laut. Sedangkan sifat fisika air laut meliputi suhu, cahaya, densitas, dan tegang permukaan.
Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi atau
komponen yang terkandung atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut. Baku mutu air laut meliputi baku mutu pelabuhan, wisata
bahari,dan biota laut. Untuk lingkungan digunakan baku mutu untuk biota laut. Baku mutu air
laut biasanya mengacu kepada paramter yang ditentukan dari Kementerian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia.

b. Parameter Fisis Air Laut


1. Salinitas
Salinitas adalah ukuran yang dipergunakan untuk mengukur kandungan garam
(saltiness) di dalam ai laut. Unsur-unsur dalam bentuk ion yang melimpah menyusun
kandungan garam di dalam air laut adalah Cl-, Na+, Mg2+, SO.2-, Ca2+, dan K+. Ion-ion
tersebut proporsinya di dalam air laut adalah konstan karena konsentrasinya ditentukan oleh
proses-proses fisika. Karena sifatnya yang demikian itu, ion-ion tersebut disebut ion
konservatif (conservative ions). Secara keseluruhan, semua unsur tersebut menyusun lebih
dari 99,8% material yang terlarut di dalam air laut. Di antara ion-ion itu, sodium (natrium,
Na) dan klorin (Cl) menyusun sekitar 86%. Secara teoritis, salinitas didefinisikan sebagai
banyak gram total ion-ion garam yang terlarut di dalam 1 kg air laut.
Pengukuran salinitas berdasarkan teori itu sangat sulit dilakukan dan terlalu lambat
untuk dilakukan sebagai pekerjaan rutin. Hal itu terutama bila dilakukan di lapangan ketika
penelitian dilakukan dengan menggunakan kapal. Cara yang paling akurat dan teliti untuk
mengukur salinitas adalah dengan menggunakan salinometer induktif, yang mengukur
konduktifitas sampel air laut.
Sebanyak 99% air laut di samudera mempunyai salinitas antara 33 sampai 37,
dengan rata-rata 35 yang ekivalen dengan larutan garam 3,5%. Di Laut Baltik, yang
banyak curah hujan dan aliran sungai masuk ke dalamnya, tercatat salinitas terrendah, yaitu
12. Di Laut Merah, yang sedikit masukan air tawar dan berevaporasi tinggi, tercatat
salinitas tertinggi, yaitu 40 sampai 42.
Salinitas air permukaan laut sangat ditentukan oleh evaporasi dan presipitasi. Salinitas
akan naik bila evaporasi naik dan presipitasi turun. Faktor-faktor lain yang dapat juga
mempengaruhi salinitas air laut adalah pembekuan es, masuknya air sungai ke laut, dan
pencairan es. Profil salinitas memperlihatkan adanya tiga atau empat zona (Gambar 14),
yaitu:

Lapisan campuran (mixed layer). Ketebalannya 50 sampai 100 meter, dan mempunyai
salinitas seragam. Daerah tropis dan daerah berlintang tinggi dan menengah, memiliki
salinitas permukaan tinggi, sedang daerah berlintang tinggi memiliki salinitas rendah.

Haloklin (halocline), adalah zona dimana salinitas mengalami perubahan besar.

Zona dalam (deep zone) adalah zona di bawah haloklin sampai dasar laut, dan
memiliki salinitas relatif seragam.
Di daerah berlintang rendah dan menengah, terdapat salinitas minimu pada kedalaman

600 sampai 1000 meter.


2. Suhu
Permukaan samudera mendapat panas dari tiga sumber, yaitu radiasi sinar matahari,
konduksi panas dari atmosfir, dan kondensasi uap air. Sebaliknya, permukaan laut menjadi
dingin karena tiga sebab, yaitu radiasi balik dari permukaan laut ke atmosfer, konduksi panas
balik ke atmosfer, dan evaporasi. Sementara itu di bawah permukaan laut arus-arus horizontal
dapat mentransfer panas dari satu kawasan ke kawasan lain. Distribusi temperatur secara
vertikal dapat dibagi menjadi tiga zona yaitu:

Lapisan campuran (mixed layer). Zona ini adalah zona homogen. Temperatur dan
kedalaman zona ini dikontrol oleh insolasi lokal dan pengadukan oleh angin. Zona ini
mencapai kedalaman 50 sampai 200 meter.

Termoklin (thermocline). Di dalam zona transisi ini, temperatur air laut dengan cepat
turun seiring dengan bertambahnya kedalaman. Zona ini berkisar dari kedalaman 200
sampai 1000 meter.

Zona dalam (deep zone). Zona ini temperatur berubah sangat lambat atau relatif
homogen.

3. pH
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau
kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. Ia didefinisikan sebagai kologaritma aktivitas ion
hidrogen (H+) yang terlarut. Koefisien aktivitas ion hidrogen tidak dapat diukur secara
eksperimental, sehingga nilainya didasarkan pada perhitungan teoritis. Skala pH bukanlah
skala absolut. Ia bersifat relatif terhadap sekumpulan larutan standar yang pH-nya ditentukan
berdasarkan persetujuan internasional.
Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Bila pH di bawah pH
normal, maka air tersebut bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH di atas pH
normal bersifat basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang
akhirnya akan mengganggu kehidupan biota akuatik. Sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahab pH dan menyukai pH antara 7 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi


proses biokimiawi perairan , misalnya proses nitrifikasi akan berakhir pada pH yang rendah.
Nilai pH dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain kegiatan
fotosintesis, suhu dan terdapatnya anion dan kation. Pada umumnya pH perairan laut lebih
stabil, namun di perairan pinggir pantai, nilai pH ditentukan oleh kuantitas bahan organik
yang masuk ke perairan tersebut. Perubahan nilai pH perairan pesisir (laut) yag kecil saja dari
nilai alaminya menunjukkan system penyangga perairan tersebut terganggu, sebab
sebenarnya air laut mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH.
4. DO (dissolved Oxygen)
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut dengan
kebutuhan oksigen (Oxygen demand) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis
kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah
oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada
air ,mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO
rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan
melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan
mikroorganisme.
Kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya
oksigen dalam air. Oleh sebab pengukuran parameter ini sangat dianjurkan disamping
paramater lain seperti kob dan kod. Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam
menguraikan komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih sederhana. Oksigen
memiliki kemampuan untuk beroksida dengan zat pencemar seperti komponen organik
sehingga zat pencemar tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga diperlukan oleh
mikroorganisme, baik yang bersifat aerob serta anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan
adanya oksigen dalam air, mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan
dalam air.

2.3. Modul Mangrove


Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air
payau,dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempattempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan
mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik
karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah, salinitas tanahnya
yang tinggi serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit
jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan
bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi. Jenis-jenis
tumbuhan hutan bakau ini bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas,
sehingga memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan, substrat di pesisir pantai bisa sangat berbeda. Yang
paling umum adalah hutan bakau tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan
bahan organik. Akan tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini memiliki proporsi
yang banyak, bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Substrat yang lain adalah lumpur dengan kandungan pasir yang tinggi, atau bahkan
dominan pecahan karang, di pantai-pantai yang berdekatan dengan terumbu karang.
2. Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan bakau yang berhadapan dengan laut terbuka
sering mengalami terpaan ombak yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti
bagian dalamnya yang lebih tenang. Persamaan dengan daerah lain adalah bagianbagian hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak
di tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi, terutama di
bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan salah satu
perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap
digempur ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah
lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir
berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona

terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih tergenang pasang tinggi,
biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.),
kaboa (Aegiceras corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar
airnya, biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro
(Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun kecil (Heritiera littoralis) dan
kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).
Menghadapi lingkungan yang ekstrem di hutan bakau, tetumbuhan beradaptasi
dengan berbagai cara. Secara fisik, kebanyakan vegetasi mangrove menumbuhkan organ khas
untuk bertahan hidup. Seperti aneka bentuk akar dan kelenjar garam di daun. Namun ada pula
bentuk-bentuk adaptasi fisiologis. Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya
tumbuh di zona terluar, mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari
ganasnya gelombang. Jenis-jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.)
menumbuhkan akar napas (pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk
mengambil oksigen dari udara. Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee
root), sementara pohon-pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang
berkelok-kelok; keduanya untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula
mendapatkan udara bagi pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi
mangrove memiliki lentisel, lubang pori pada pepagan untuk bernapas.
Untuk mengatasi salinitas yang tinggi, api-api mengeluarkan kelebihan garam melalui
kelenjar di bawah daunnya. Sementara jenis yang lain, seperti Rhizophora mangle,
mengembangkan sistem perakaran yang hampir tak tertembus air garam. Air yang terserap
telah hampir-hampir tawar, sekitar 90-97% dari kandungan garam di air laut tak mampu
melewati saringan akar ini. Garam yang sempat terkandung di tubuh tumbuhan,
diakumulasikan di daun tua dan akan terbuang bersama gugurnya daun. Pada pihak yang lain,
mengingat

sukarnya

memperoleh

air

tawar,

vegetasi

mangrove

harus

berupaya

mempertahankan kandungan air di dalam tubuhnya. Padahal lingkungan lautan tropika yang
panas mendorong tingginya penguapan. Beberapa jenis tumbuhan hutan bakau mampu
mengatur bukaan mulut daun (stomata) dan arah hadap permukaan daun di siang hari terik,
sehingga mengurangi evaporasi dari daun.

10

a. Suksesi hutan bakau


Tumbuh dan berkembangnya suatu hutan dikenal dengan istilah suksesi hutan (forest
succession atau sere). Hutan bakau merupakan suatu contoh suksesi hutan di lahan basah
(disebut hydrosere). Dengan adanya proses suksesi ini, perlu diketahui bahwa zonasi hutan
bakau pada uraian di atas tidaklah kekal, melainkan secara perlahan-lahan bergeser. Suksesi
dimulai dengan terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai
substrat hutan bakau. Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh propagulpropagul vegetasi mangrove, dan mulailah terbentuk vegetasi pionir hutan bakau.
Tumbuhnya hutan bakau di suatu tempat bersifat menangkap lumpur. Tanah halus yang
dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan hancuran
vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur
lambat laun akan terakumulasi semakin banyak dan semakin cepat. Hutan bakau pun semakin
meluas. Pada saatnya bagian dalam hutan bakau akan mulai mengering dan menjadi tidak
cocok lagi bagi pertumbuhan jenis-jenis pionir seperti Avicennia alba dan Rhizophora
mucronata. Ke bagian ini masuk jenis-jenis baru seperti Bruguiera spp. Maka terbentuklah
zona yang baru di bagian belakang.
Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus
tahun. Sementara zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya
pun bermunculan di bagian pedalaman yang mengering. Uraian di atas adalah
penyederhanaan, dari keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih rumit. Karena tidak selalu
hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena faktor-faktor alam
seperti abrasi. Demikian pula munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan. Di
wilayah-wilayah yang sesuai, hutan mangrove ini dapat tumbuh meluas mencapai ketebalan 4
km atau lebih; meskipun pada umumnya kurang dari itu.
b. Fungsi dan manfaat
Dari segi ekonomi, hutan mangrove menghasilkan beberapa jenis kayu yang
berkualitas baik, dan juga hasil-hasil non-kayu atau yang biasa disebut dengan Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK), berupa arang kayu; tanin, bahan pewarna dan kosmetik; serta bahan
pangan dan minuman. Termasuk pula di antaranya adalah hewan-hewan yang biasa
ditangkapi seperti biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang
lumpur (Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai jenis

11

ikan belodok. Manfaat yang lebih penting dari hutan bakau adalah fungsi ekologisnya sebagai
pelindung pantai, habitat berbagai jenis satwa, dan tempat pembesaran (nursery ground)
banyak jenis ikan laut.
Salah satu fungsi utama hutan bakau adalah untuk melindungi garis pantai dari abrasi
atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami. Di Jepang, salah satu
upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan membangun green belt atau
sabuk hijau berupa hutan mangrove. Sedangkan di Indonesia, sekitar 28 wilayah
dikategorikan rawan terkena tsunami karena hutan bakaunya sudah banyak beralih fungsi
menjadi tambak, kebun kelapa sawit dan alih fungsi lain.
2.4. Modul Sanitasi dan Sampah
a. Pesisir
Berdasarkan Permen KP no 34 tahun 2014 pasal 1, menyebutkan bahwa pesisir
merupakan suatu wilayah yang khas, yaitu peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
masih dipengaruhi oleh dinamika dinamika yang terjadi di dalamnya. Dinamika dinamika
tersebut mencakup aktivitas pasang surut, arus, gelombang, erosi, abrasi, maupun transpor
sedimen.

Gambar 1.3 Ekosistem pesisir

12

b. Sanitasi
Sanitasi, yang dikaitkan dengan suatu lingkungan, merupakan upaya perseorangan
maupun masyarakat dalam mengendalikan serta mengawasi lingkungan hidup dalam lingkup
eksternal yang berisiko mengancam kesehetan dan kelangsungan hidup manusia. Usaha
usaha yang acapkali dilakukan antara lain penyediaan air bersih, mencegah terjadinya
pencemaran udara, air dan tanah serta memutuskan rantai penularan penyakit infeksi dan
lain-lain yang dapat membahayakan serta menimbulkan kesakitan pada manusia atau
masyarakat (Ismail, 2009).
Bentuk nyata dari implementasi kebijakan
Republik

Indonesia

(STBM)

melalui

mengeluarkan
keputusan

kebijakan

Menteri

tersebut

Sanitasi

Kesehatan

Departemen

Kesehatan

Berbasis

Masyarakat

Total
Republik

Indonesia

Nomor

852/MENKES/SK/IX/2008 tentang strategis nasional STBM dengan target utama


menurunkan angka kesakitan penyakit berbasis lingkungan termasuk pada daerah
pesisir (Anonim, 2010).
Dalam upaya membangun suatu sanitasi lingkungan pesisir yang berkesinambungan,
ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna tercapainya hasil yang optimum bagi
masyarakat pesisir, antara lain : air tanah, topografi pesisir, serta ketersediaan tanah. Air
tanah seringkali menjadi lebih dangkal, terlebih ketika musim penghujan yang menyulitkan
dalam pembuatan sanitasi bawah tanah. Topografi pesisir yang relatif datar menimbulkan
kesulitan dalam sistem drainase dan penyaluran air limbah. Dalam hal ketersediaan tanah,
hampir seluruh tanah di daerah pemukiman merupakan milik perseorangan, sehingga akan
dipermasalahkan dalam pembuatan pengolahan limbah secara komunal.
Selain itu, masalah sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu yang paling
mempengaruhi mengenai pengembangan sanitasi di kawasan pesisir. Rendahnya pengetahuan
masyarakat akan sanitasi dan kebersihan lingkungan yang didukung dengan latar belakang
ekonomi yang menengah ke bawah menjadi penghambat bagi mereka dalam mengusahakan
terbentuknya sistem sanitasi di lingkungan pesisir.
Sanitasi pada kawasan pesisir menitikberatkan mengenai tiga masalah pokok : sampah
laut, limbah cair, dan air bersih. Sampah laut dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari
tidak tersedianya tempat pembuangan sampah yang memadai, bencana alam, maupun sampah
kiriman dari suatu pulau akibat adanya adveksi dan difusi oleh air laut. Limbah cair

13

merupakan limbah yang dihasilkan oleh aktivitas rumah tangga seperti mencuci
menggunakan detergen dan MCK maupun akibat adanya industri di kawasan pesisir maupun
budidaya laut yang dilakukan di sekitarnya. Ketersediaan air bersih juga menjadi hal yang
vital dalam kaitannya dengan sanitasi pesisir. Limbah cair dan sampah laut dapat memicu
terjadinya kelangkaan air bersih di kawasan pesisir, karena kandungan zat zat yang
terkandung di dalamnya yang dapat membahayakan manusia.
2.5. Modul Wawancara
Pulau Pari merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang dapat
dijadikan tempat wisata sekaligus tempat yang memungkinkan anda untuk belajar tentang
kekayaan laut. Pulau Pari difungsikan sebagai tempat penelitian oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan penelitian demi kepentingan kelestarian alam
di pulau ini.
Pulau Pari terletak di Propinsi DKI Jakarta, Kabupaten Kepulauan Seribu, Kecamatan
Kepulauan Seribu Selatan, Kelurahan Pulau Pari. Jika dilihat dari letak geografis, Pulau Pari
berada pada koordinat 5o5020-5o5025 LS dan 106o3430-106o3820 BT. Berdasarkan
sejarahnya,
Pulau Pari memiliki topografi yang berbentuk datar (ketinggian 0-3 mdpl) dengan
tipe pantai berpaasir putih dan bervegetasi mangrove (bagian utara dan barat). Pulau Pari
merupakan pulau karang timbul yang jika dilihat dari citra satelit bentuknya mirip ikan pari.
Pulau ini memiliki perairan yang dangkal dengan substrat pasir. Penggunaan lahan di Pulau
Pari digunakan untuk kepentigan perumahan, konservasi mangrrove, dan kepentingan wisata
bahari. Penutupan lahannya masih didominasi oleh semak belukar dan pepohonan. Hal ini
disebabkan wilayah Pulau Pari dimiliki sebagian besar oleh pihak swasta secara sah sehingga
penduduk Pulau Pari statusnya masih hanya menumpang dan tidak boleh membuka lahan
baru.

14

BAB III
METODOLOGI

3.1. Modul Garis Pantai


Metode Extra Terestris menggunakan GPS (Global Positioning System)
Peralatan dan bahan yang digunakan:
Nama Alat

Gambar

GPS OREGON 550

Baterai cadangan

Pelindung cuaca

Sebelum memulai pengukuran persiapkan peralatan, terutama baterai harus dipastikan


dalam kondisi yang cukup minimal untuk satu sesi pengukuran tersebut. Kemudian tentukan
jalur yang akan dikerjakan (garis pantai yang diinginkan), dan perhatikan topografi daerah
yang akan disurvei.Ikuti garis pantai berdasarkan prinsip yang ada, dengan titik ping atau titik
record sekitar tiap sepuluh hingga 15 langkah, dan lakukan rekam data hingga titik akhir
survei.
Setelah pengukuran, data diunduh langsung dari GPS dan ETS yang digunakan,
kemudian diolah dengan bantuan software Ms. Excel, ArcGIS, dan Global Mapper dengan
langkah sebagai berikut:
1. Unduh data garis pantai dari GPS dan ETS.

15

2. Sortir data untuk mencuplik data koordinat menggunakan Ms. Excel dengan fitur
Data>From Text, kemudian susun data menjadi dua kolom, bujur dan lintang, dan
3. Impor data menggunakan ArcGIS dengan fitur Add XY Data pada Peta Gondol yang
telah di Georeferencing.
4. Untuk data dengan format (.gpx), buka data di Global Mapper. Kemudian export data
kedalam format .shp (shapefile). Kemudian buka di ArcGIS dengan fitur Add Data.
Setelah muncul, Overlay dengan data Peta Gondol yang telah di Georeferencing.
3.2. Modul KAL (Kualitas Air Laut)
1. Mobilisasi ke tempat yang telah ditentukan, sesuai waktu yang telah diberikan.
2. Mencatat waktu dan koordinat pengambilan sampel air
3. Mengambil sampel air laut seperti pada Gambar 2 (jangan sampai sedimen dasar
terbawa), isi botol sampel/wadah hingga penuh

Gambar 3.1 Cara mengambil sampel air permukaan


4. Melakukan pengukuran parameter fisis air laut menggunakan WQC sesuai prosedur
penggunaan alat
5. Melakukan pengambilan sampel dan pengukuran sebanyak dua kali pada titik
pengukuran yang sama dengan jeda waktu 3 menit.
6. Hasil dituliskan di logsheet.
7. Sharing logsheet dilakukan secara langsung setelah semua titik melakukan
pengukuran dengan tiap perwakilan kelompoknya menuliskan hasil yang dilakukan
kelompok lain pada logsheetnya.

16

3.3. Modul Mangrove


Metode Pengukuran Lapangan
Metode yang digunakan adalah belt transect tegak lurus garis pantai. Setiap
transek dilakukan dengan pembuatan plot-plot sesuai skema. Terdapat beberapa ukuran plot
dan pada tiap ukuran plot tersebut dilakukan pengamatan.

Gambar 3.2 Skema Plot Pengamatan


Tabel Luasan Plot dan Kriteria Vegetasi yang Diamati
Luasan Plot
10mx10m

Kriteria Vegetasi
Pohon dewasa/ Trees (DBH 10 cm)
Pohon muda/ Saplings (0 <DBH < 10 cm)

5mx5m

Semai/ Seedlings (anakan pohon)

Pengukuran DBH

Gambar 3.3 Metode Pengukuran DBH dan Komplikasinya


Metode Analisis Data

17

Pengukuran Kerapatan dengan menggunakan Kerapatan spesies i (Di), adapun


formulasinya adalah sebagai berikut :
(

Penentuan Kriteria Baku Mutu Mangrove dimana kriteria baku mutu mangrove
ditentukan sesuai pengelompokkan pada tabel dibawah menurut Kepmen LH no 201/ 2004.
Tabel Pengelompokan Kriteria Baku Mutu Mangrove

Analisis Potensi Regenerasi


Nama Spesies
Rhizopora

Jml

Jml Individu

Jml Individu

Kategori Potensi

Individu

Pohon Muda

Pohon Dewasa

Regenerasi

Semai
50

35

20

40
0

40
32

35
30

F
P

apiculata
Sonneratia alba
Avicennia sp.

3.4. Modul Sanitasi dan Sampah


a. Identifikasi Kondisi Eksisting Sanitasi Limbah Padat (Persampahan)
Komposisi sampah di lautan dianalisis dan dilakukan sampling menurut pedoman
NOAA (Chesire et al., 2009) namun tidak mencakup analisis dan sampling permasalahan
sampah di lautan, namun sampah diambil di sepanjang pantai dengan membentangkan
transek garis 100 meter sejajar garis pantai dengan panjang 10 meter tiap kelompok. Sampah
yang berada di sebelah kiri dan kanan transek garis dimulai dari batas air pasang dan batas
pantai. Kemudian dilakukan sampling sampah dan dilakukan perhitungan terhadap masingmasing jenis sampah berukuran >2,5 cm yang ada di area sampling.

18

b. Identifikasi Kondisi Eksisting Sanitasi Limbah Cair


Identifikasi adanya fasilitas pengolahan limbah cair domestik melalui wawancara dan
observasi di lingkungan pemukiman serta observasi permasalahan yang dialami
masyarakat.
c. Identifikasi Kondisi Eksisting Sanitasi Air Bersih
Identifikasi adanya sistem pengolahan maupun penyaluran air bersih melalui
wawancara untuk mengetahui permasalahan yang terjadi terkait sumber air bersih
yang digunakan.
d. Identifikasi Kondisi Eksisting Sanitasi Drainase
Identifikasi adanya sistem pengaliran air hujan maupun air laut melalui saluran
drainase dengan melakukan observasi untuk mengetahui permasalahan yang terjadi
dan potensi masalah yang dapat terjadi.

3.5. Modul Wawancara


1. Melakukan wawancara langsung terhadap penduduk sekitar.
Ketentuan:
a. Jumlah narasumber untuk wawancara 2 orang.
b. Setiap narasumber dan kegiatan wawancara didokumentasikan.
c. Untuk narasumber bukan merupakan mahasiswa dan perangkat akademik dari
Institut Teknologi Bandung.
d. Penjelasan harus rinci dan sesuai dengan pertanyaan yang disiapkan.
2. Menganalisis hasil wawancara.
3. Menarik kesimpulan dan membuat saran.

19

BAB IV
HASIL DAN ANALISIS

4.1. Modul Garis Pantai


- Hasil Pengolahan Data

Gambar 4.1 Overlay Hasil Tracking GPS dengan Google Earth tahun 2014 dan 2016

20

- Analisis

Lokasi Jenis Pantai


Region 1 Pasir Berlumpur, Pasir Buatan
Region 3 Pantai Berpasir
Region 7 Pasir Kasar, Pantai Berlumpur, Pantai Berkarang
Region 6 Pantai Berlumpur
Region 8 Pantai Berkarang, Pantai Berpasir
Region 5 Pantai Berpasir, Pantai Berlumpur
Region 9 Pantai Berpasir, Pantai Berkarang
Region 4 Pantai Berpasir
Region 10 Pantai Berpasir
Region 2 Pantai Berlumpur

Ekosistem
Fasilitas
Mangrove, Lamun
Mangrove
Mangrove
Lamun
Mangrove
Mangrove
Mangrove
Mangrove, Lamun
Mangrove, Lamun

Bangunan
Jetty

Homestay
Tower
AC, Kamar Mandi
Tambak, Homestay, TPS, Pelabuhan Drainase
Gazeboo, Warung
Pariwisata

Jalan, Break Water

Anjungan

Tipe pantai yang terdapat di pulau pari khusus nya di wilayah kajian dari kelompok 6
adalah tipe pantai pasir dan berlumpur, dimana tipe pantai berpasir ditemukan di wilayah
awal marking dengan GPS sampai ke wilayah tengah, sedangkan di wilayah setelahnya
terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana ditemukan pantai tipe berlumpur pada
wilayah marking dari tengah sampai akhir wilayah marking kelompok 6, secara umum dalam
melakukan pengukuran garis pantai digunakan dua metode yaitu yang pertama merupakan
metode marking dan yang kedua merupakan metode tracking, dari hasil kedua metode
tersebut didapatkan bentuk garis pantai sesuai dengan gambar diatas, berdasarkan analisis
diperoleh hasil bahwa hasil marking menunjukkan bahwa garis pantai hasil pengukuran dari
GPS lebih lebar dibandingkan dengan hasil overlay terhadap google earth hal tersebut
dikarenakan pengukuran dilakukan pada saat pasang terendah dimana garis pantai seharusnya
mengikuti muka air tinggi yang ditandai dengan adanya sampah, sehingga dapat disimpulkan
bahwa ketika melakukan pengukuran terjadi galat karena tidak mengikuti track berdasarkan
muka air tinggi yang ditandai dengan adanya sampah, khususnya di bagian utara pulau yang
menyebabkan hasil overlay GPS lebih besar dibandingkan dengan hasil dari Google Earth.

21

4.2. Modul KAL (Kualitas Air Laut)


- Hasil Pengamatan dan Pengolahan Data

Gambar 4.2 Pengukuran DO di Pulau Pari

Gambar 4.3 Pengukuran Temperatur di Pulau Pari

22

Gambar 4.4 Pengukuran Salinitas di Pulau Pari

Gambar 4.5 Pengukuran pH di Pulau Pari

23

Gambar 4.6 Pulau Pari


Daerah pengukuran dilakukan di Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta.
Pengukuran parameter kualitas air laut dilakukan di 10 titik pengamatan di setiap sisi Pulau
Pari. 1 kelompok hanya mengambil di 1 titik pengamatan. Pengambilan sampel air berada di
5 10 m lepas pantai titik pengamatan (disesuaikan kondisi kemiringan pantai). Posisi
pengambilan sampel air laut untuk mengukur kualitas air laut dapat dilihat di Gambar 2.
Data yang diukur adalah DO,temperatur,Salinitas dan pH. Data hasil sampling pada 10 titik
sampling dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 4.1. Data hasil sampling kualitas air laut
St

Waktu

Lintang

Bujur

12.51

05o51'47
.83"

106o36'35.
97"

13.40

05o51'23
"

106o37'1.5
"

Pengambila
n ke
1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata

pH
6,97
8,18
7,575
8,96
8,71
8,835

DO
(mg/l)
5,42
5,43
5,425
11,03
9,56
10,295

Temperatur
(oC)
33,51
34,26
33,885
32,35
32,73
32,54

Salinitas
H
R
28,3
29
28,2
30
28,25
29,5
13,4
28
17
28
15,2
28

24

16.00

05 51'27
.9"

106 37'18.
4"
106o37'53.
8"

15.25

05o51'16
.5"

16.20

05o51'33
.9"

106o37'5.3
"

14.55

05o51'16
.8"

106o37'29.
4"
105o36'52.
9"

16.50

05o51'39
.9"

14.35

05o51'17
.1"

106o37'20.
7"

17.18

05o51'51
.0"

106o36'40.
8"

10

14.10

05o51'32
"

106o36'51.
1"

1
2

8,93
8,72

9,38
6,98

35,78
35,58

27,7
26,6

Rata-rata

8,825

8,18

35,68

27,15

1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata
1
2

8,9
9,09
8,995
8,78
8,72
8,75
8,22
8,71

7,19
8,27
7,73
7,77
8,04
7,905
9,44
6,63

35,59
35,72
35,655
34,26
34,36
34,31
34,61
35,42

28,9
28,7
28,8
25,4
25,3
25,35
25,6
27,5

Rata-rata

8,465

8,035

35,015

26,55

1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata
1
2
Rata-rata

8,92
8,73
8,825
8,34
8,29
8,315
8,89
8,9
8,895
8,6
8,1
8,35

5,97
6,73
6,35
5,48
5,7
5,59
6,78
6,71
6,745
10,97
6,23
8,6

34,87
35,02
34,945
35,3
35,24
35,27
33,01
32,12
32,565
32,86
34,21
33,535

27,5
26,8
27,15
28,2
27,9
28,05
27,5
28,7
28,1
17
28,2
22,6

29,025
27,02
28,022
5
29
29
29
28,5
29
28,75
23,018
27,021
25,019
5
28
27
27,5
29
29
29
30
29
29,5
27
28
27,5

- Analisis
Berdasarkan data yang telah dicantumkan pada Tabel 4.1 Dapat dianalisis data untuk
setiap parameter sebagai berikut:
Analisis hubungan antara nilai yang didapat dengan kondisi lingkungan sekitar.
Dissolved Oxygen (DO)
Menurut Effendi (2008), kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi,
tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan
ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin
kecil. Kadar oksigen juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada
percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi,
dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.

25

Mukhtasor (2007) mengatakan bahwa oksigen terlarut akan menurun apabila banyak
limbah, terutama limbah organik, yang masuk ke perairan. Hal ini dikarenakan oksigen
tersebut digunakan oleh bakteri-bakteri aerobik dalam proses pemecahan bahan-bahan
organik yang berasal dari limbah yang mencemari perairan tersebut.
Hasil pengukuran DO air laut di Pulau Pari menunjukkan nilai yang cukup fluktuatif.
Kadar oksigen terlarut (DO) di 10 titik penelitian berkisar antara 5,425 mg/l 10,295 mg/l.
Berdasarkan referensi kadar oksigen terlarut (DO) di perairan laut berkisar antara 11
mg/l pada suhu 00C dan 7 mg/l pada suhu 250C (McNeely et al., 1979 dalam Effendi,
2008).Sehingga berdasarkan nilai yang tertera pada Tabel 1. ,Secara umum kadar oksigen
terlarut (DO) di 10 titik ini tergolong baik akan tetapi terdapat ketidaksesuaian antara kadar
DO dengan temperatur sesuai referensi yang digunakan, hal ini dikarenakan temperatur di 10
titik mencapai 32,540C -35,6550C. Hal tersebut disebabkan karena pengukuran yang
dilakukan pada saat siang hari , sehingga suhu meningkat menyebabkan air laut memiliki DO
yang rendah .
Pada suhu air laut yang tinggi aktifitas metabolisme akan meningkat sehingga pada
kondisi demikian konsumsi oksigen akan bertambah pula, sedangkan kelarutan oksigen (DO)
dalam air akan mengalami penurunan dengan bertambahnya suhu sehingga hal tersebut bisa
saja menyebabkan kematian bagi organisme tertentu.
Temperatur
Hasil pengukuran suhu air laut di Pulau Pari menunjukkan nilai yang cukup relevan.
Berdasarkan referensi pada tahun 2009, suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada saat angin
muson Barat (Angin muson barat terjadi pada bulan Oktober Februari) berkisar antara
28,5C-30,0C. Sedangkan pada saat angin muson Timur (Angin ini disebut juga angin
muson tenggara dan bertiup pada bulan April sampai dengan Agustus) berkisar antara
28,5C-31,0C, sementara pengukuran yang kami lakukan pada tahun 2016 menunjukkan
nilai yang lebih tinggi dengan rentang 32,54 oC 35,68 oC.
Berkaitan dengan pemanasan global maupun adanya siklus alam, bumi menjadi lebih
panas pada 10 tahun terakhir, selain itu pengukuran ini dilakukan pada siang hari sehingga
intensitas cahaya matahari cukup tinggi, oleh karena itu hasil pengukuran suhu air laut pun
tinggi. Hal yang menyebabkan variasi suhu dari 10 titik pemantauan ini adalah lingkungan

26

yang lebih terbuka atau tidak sehingga permukaan air laut yang lebih mudah terkena sinar
matahari atau tidak. Dimana pada suatu lokasi , misalkan di daerah mangrove, tempat
pengambilan sample sangat terbuka dan terkena langsung cahaya matahari, sehingga suhu air
laut yang diambil menjadi sangat tinggi, yaitu rata-rata 35.68 oC. Dibandingkan dengan
daerah lain yang lebih rendah suhu air lautnya. Di samping itu, hasil pengukuran sangat
dipengaruhi oleh faktor lain seperti ketinggian permukaan laut, cuaca, kedalaman
pengambilan sample, sirkulasi udara dan penutupan awan.Oleh karena itu dapat kami
simpulkan bahwa hasil pengamatan suhu air laut yang diambil kurang merepresentasikan
karakteristik suhu air laut Pulau Pari yang sebenarnya.
Salinitas
Berdasarkan pembagian per titik pengamatan , pada pengamatan dalam menentukan
nilai salinitas ini digunakan dua buah alat yaitu WQC Horiba dan Refraktometer.Hasil
pengukuran menggunakan alat WQC Horiba menunjukkan perubahan nilai yang cukup
fluktuatif sedangkan hasil pengukuran dari Refraktometer lebih konstan. Menurut referensi,
variasi salinitas di perairan laut berkisar antara 3035 ppt (

).

Berdasarkan Tabel 1. Dapat dilihat bahwa dari 10 titik pemantauan pengukuran


menggunakan WQC Horiba terdapat 2 titik yang memiliki nilai salinitas jauh dari normal
yaitu titik 2 dan titik 10. Hal ini mungkin disebabkan karena kesalahan pengamat saat
mengukur , sehingga menghasilkan nilai salinitas yang kurang tepat. Sedangkan pada
pemantauan pengukuran menggunakan refraktometer dapat dilihat bahwa 10 titik
pemantauan menghasilkan nilai yang mendekati konstan.
pH
Secara sederhana nilai keasaman (pH) merupakan indikasi atau tanda air tersebut
bersifat asam, basa, atau netral. Keasaman sangat menentukan kualitas air karena sangat
menentukan proses kimia dalam air. Pada umumnya pH perairan laut lebih stabil,namun di
perairan pinggir pantai, nilai pH ditentukan oleh kuantitas bahan organic yang masuk ke
perairan tersebut.Perubahan nlai pH perairan pesisir (laut) yag kecil saja dari nilai alaminya
menunjukkan

system penyangga

perairan

tersebut

terganggu,

sebab sebenarnya

air

laut mempunyai kemampuan untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari
pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan

27

kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke
lokasi antara 6.0 8,5.Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan
biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah kematian
ikan, burayak, telur, dan lain-lainnya, serta mengurangi produktivitas primer.
Dari data yang telah diperoleh, melihat persebaran nilai pH yang berada di Pulau Pari
menunjukkan perubahan nilai yang relatif konstan antar titik pemantauan. Nilai pH yang
seharusnya dimiliki oleh air laut adalah sekitar 6-8,5 (toleransi variasi pH) , pada Tabel 1
dapat dilihat bahwa nilai pH untuk setiap titik besarnya berkisar 7,575-8,995.

Analisis Spasial yaitu analisis dengan melihat posisi tiap titik kajian misal bagian utara
cenderung lebih rendah salinitasnya daripada di selatan.
Titik-titik kajian yang terletak di sebelah utara cenderung memiliki nilai dissolved
oxygen (DO) yang lebih tinggi dibandingkan titik-titik yang terletak di selatan pulau Pari
karena beberapa faktor yaitu:
a. limbah organik dan sampah yang berasal dari daratan kota Jakarta berakhir di
sebelah selatan pulau Pari sehingga menurunkan nilai oksigen terlarut (DO)
b. adanya wilayah konservasi lamun dan tumbuhan laut lainnya di sebelah selatan
pulau Pari yang akan menurunkan nilai pH sehingga akan menurunkan nilai oksigen
terlarut
Nilai pH di sebelah utara dan selatan juga berbeda. Titik-titik kajian di sisi selatan
cenderung memiliki nilai lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a. limbah organik dan sampah yang berasal dari daratan kota Jakarta berakhir di
sebelah selatan pulau Pari sehingga menurunkan pH
b. adanya wilayah konservasi lamun dan tumbuhan laut lainnya di sebelah selatan
pulau Pari yang akan menurunkan nilai pH sehingga akan menurunkan pH

28

Analisis temporal yaitu menghubungkan parameter dengan waktu pengambilan.


Bandingkan pada saat siang hari atau sore hari. Bandingkan juga dengan waktu
pasang surut
Hasil penampakan peta dengan Google earth menunjukan bahwa daerah utara
memiliki tingkat kebersihan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah selatan. Hal tersebut
dapat diamati dengan nilai kelarutan oksigen (Dissolved Oxygen/ DO) di daerah utara lebih
besar dari daerah selatan .Hal ini disebabkan karena luas area tanaman hijau di utara lebih
besar dari daerah selatan.
Kondisi oksigen terlarut teringgi (DO) berada di daerah 2 dengan nilai 10.295 mg/l
air. Pengukuran di daerah 5 memberikan nilai terendah meksipun berlangsung di daerah
hijau. Kondisi ini berasal dari tumpukan sampah yang mengganggu proses fotosintesis
tanaman. Proses fotosintesis yang terganggu mengurangi jumlah oksigen yang dihasilkan
sebelum terlarut dalam air. Ini akan memperkecil nilai DO yang terukur.
Proses pengukuran temporal waktu menjelaskan bahwa air laut di daerah tersebut
mempunyai kisaran 7.5-8.9 dan nilai terendan berada di stasiun 1. Pengukuran di stasiun 1
berlangsung pada jam 12.51, waktu dimana matahari mulai memancarkan panas. Kondisi
tersebut menurunkan jumlah pH yang terbentuk akibat dari penurunan kelarutan air.
Pengukuran tersebut memberikan nilai pH 8.995 untuk pengukuran stasiun 4 yang
berlangsung pada pukul 15.25 . Nilai tersebut menjadi nilai pH tertinggi yang diukur alat.
Pengukuran di stasiun itu memberikan nilai tempratur 35. Dampak dari tempratur tersebut
adalah peningkatan nilai kondisi air.

Analisis hasil pengukuran dan dibandingkan dengan baku mutu air laut Kementerian
Lingkungan Hidup
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Air Laut didapatkan bahwa parameter kualitas air laut untuk wisata
bahari sebagai berikut:
1. pH = 7-8,5 dimana diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH

29

2. Salinitas, bernilai alami dimana kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap
saat (siang, malam dan musim) dan diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan
<5% salinitas rata-rata musiman. Untuk nilai rata-rata salinitas permukaan berkisar
32,79

sedangkan rata-rata salinitas dasar 29,99

3. DO(dissolved Oxygen), bernilai >5 mg/l


4. Temperatur, bernilai alami dimana kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap
saat (siang, malam dan musim) dimana diperbolehkan terjadi perubahan sampai
dengan <2oC dari suhu alami sehingga rentan yang menjadi baku mutu temperatur
yaitu 28-30 oC
St

Waktu

12.51

Lintang

Bujur

05o51'47.83" 106o36'35.97"

Pengambilan ke

pH

DO (mg/l)

1
2
Rata-rata

6,97
8,18
7,575
memenuhi baku
mutu
8,96
8,71
8,835
tidak memenuhi
baku mutu
8,93
8,72
8,825
tidak memenuhi
baku mutu
8,9
9,09
8,995
tidak memenuhi
baku mutu
8,78
8,72
8,75
tidak memenuhi
baku mutu
8,22
8,71
8,465
memenuhi baku
mutu
8,92
8,73
8,825
tidak memenuhi
baku mutu
8,34
8,29
8,315
memenuhi baku
mutu
8,89
8,9
8,895
tidak memenuhi
baku mutu
8,6
8,1
8,35
memenuhi baku
mutu

5,42
5,43
5,425
memenuhi
baku mutu
11,03
9,56
10,295
memenuhi
baku mutu
9,38
6,98
8,18
memenuhi
baku mutu
7,19
8,27
7,73
memenuhi
baku mutu
7,77
8,04
7,905
memenuhi
baku mutu
9,44
6,63
8,035
memenuhi
baku mutu
5,97
6,73
6,35
memenuhi
baku mutu
5,48
5,7
5,59
memenuhi
baku mutu
6,78
6,71
6,745
memenuhi
baku mutu
10,97
6,23
8,6
memenuhi
baku mutu

perbandingan dengan baku mutu

13.40

05o51'23"

106o37'1.5"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


3

16.00

05o51'27.9"

106o37'18.4"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


4

15.25

05o51'16.5"

106o37'53.8"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


5

16.20

05o51'33.9"

106o37'5.3"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


6

14.55

05o51'16.8"

106o37'29.4"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


7

16.50

05o51'39.9"

105o36'52.9"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


8

14.35

05o51'17.1"

106o37'20.7"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


9

17.18

05o51'51.0"

106o36'40.8"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu


10

14.10

05o51'32"

106o36'51.1"

1
2
Rata-rata

perbandingan dengan baku mutu

Temperatur
(oC)
33,51
34,26
33,885
tidak memenuhi
baku mutu
32,35
32,73
32,54
tidak memenuhi
baku mutu
35,78
35,58
35,68
tidak memenuhi
baku mutu
35,59
35,72
35,655
tidak memenuhi
baku mutu
34,26
34,36
34,31
tidak memenuhi
baku mutu
34,61
35,42
35,015
tidak memenuhi
baku mutu
34,87
35,02
34,945
tidak memenuhi
baku mutu
35,3
35,24
35,27
tidak memenuhi
baku mutu
33,01
32,12
32,565
tidak memenuhi
baku mutu
32,86
34,21
33,535
tidak memenuhi
baku mutu

Salinitas
H
R
28,3
29
28,2
30
28,25
29,5
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
13,4
28
17
28
15,2
28
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
27,7
29,025
26,6
27,02
27,15
28,0225
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
28,9
29
28,7
29
28,8
29
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
25,4
28,5
25,3
29
25,35
28,75
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
25,6
23,018
27,5
27,021
26,55
25,0195
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
27,5
28
26,8
27
27,15
27,5
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
28,2
29
27,9
29
28,05
29
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
27,5
30
28,7
29
28,1
29,5
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu
17
27
28,2
28
22,6
27,5
memenuhi
memenuhi
baku mutu
baku mutu

30

Analisis perbandingan pengukuran parameter kualitas air laut menggunakan 2 alat


berbeda
Pada survey yang dilakukan di Pantai Pari ini, pengukuran salinitas menggunakan 2
alat yaitu refraktometer dan "water quality checker" seperti Horiba. Pengukuran
menggunakan refraktometer menggunakan prinsip dimana cahaya yang menembus
permukaan antara dua zat yang berbeda berat jenisnya akan mengalami pembelokan arah
penjalarannya. Peristiwa ini dikenal dengan nama pembiasan cahaya. Perbandingan antara
sinus sudut datang dan sinus sudut bias cahaya disebut indeks bias. Indeks bias air laut
merupakan fungsi dari suhu dan salinitas serta panjang gelombang cahaya. Dengan mengukur
suhu dan indeks bias air laut untuk suatu panjang gelombang cahaya tertentu, nilai salinitas
air laut dapat ditentukan. Refraktometer memerlukan contoh air laut antara beberapa tetes
hingga sekitar 15 ml, tergantung pada jenis alatnya. Ketelitian alat ukur ini berkisar antara 0,5
hingga 0,05 Alat ukur ini ringkas dan sangat praktis untuk digunakan di lapangan.
Refraktometer sebenarnya alat ukur mengukur indek bias suatu zat. Definisi indek
bias cahaya suatu zat adalah kecepatan cahaya didalam hampa dibagi dengan kecepatan
cahaya dalam zat tersebut. Kebanyakan obyek yang dapat kita lihat, tampak karena obyek itu
memantulkan cahaya kemata kita. Pada pantulan yang paling umum terjadi, cahaya memantul
kesemua arah, disebut pantulan baur. Untuk keperluan ini cukup kita melukiskan satu sinar
saaja, mustahil ada atau hanya merupakan abstrasi geometrical saja (Sear,1994).
Refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur kadar/ konsentrasi bahan
terlarut. Misalnya gula, garam, protein, dsb. Prinsip kerja dari refraktometer sesuai dengan
namanya adalah memanfaatkan refraksi cahaya. Refraktometer ditemukan oleh Dr. Ernest
Abbe seorang ilmuan dari German pada permulaan abad 20 (Khopkar, S.M. 2007).
Refraktometer adalah alat ukur untuk menentukan indeks cairan atau padat, bahan
transparan dengan refrektometry. Prinsip pengukuran: oleh cahaya, penggembalaan kejadian,
total refleksi. Ini adalah pembiasan (refraksi) atau refleksi total cahaya yang digunakan.
Sebagai prisma umum menggunakan 3 prinsip, satu dengan indeks bias disebut prisma.
Cahaya merambat dalam transisi antara pengukuran prisma dan media sampel (cairan)
dengan kecepatan yang berbeda indeks bias diketahui dari media sampel diukur dengan
refleksi cahaya (Anonim, 2010).

31

Refraktometer analog tradisional sering digunakan sebagai sumber cahaya sinar


matahari atau lampu pijar untuk berpisah dengan filter warna detektor adalah skala yang
dapat dibaca dengan sistem optik, optik dengan mata. Contoh refraktometer adalah Obbe
refraktometer, Pulfrich refraktometer, Woltan Stans refraktometer (1802),Jellay refraktometer
(Khopkar, S.M. 2007).
Kelebihan:

Refraktometer alat ini bekerja berdasarkan indeks bias, dimana indeks bias berubah
untuk setiap perubahan brix.

Kekurangan:

Zat yang terlarut dianggap seluruhnya gula (untuk refraktometer sucrose) sedangkan
untuk refraktometer garam (salt) zat terlarutnya dianggap sebagai garam (NaCl)
seluruhnya.
Horiba U 50 series merupakan salah satu alat ukur kualitas air dengan berbagai

macam parameter dimana hasil pengukurannya dapat diperlihatkan secara bersamaan.


Parameter-parameter tersebut adalah pH, ORP, DO, konduktivitas, salinitas, TDS, Suhu,
kekeruhan, dll. Tak terbatas pada kemampuan tersebut diatas, untuk horiba tipe U 52G dan U
53G disertai kemampuan GPS.
Alat ukur kualitas air horiba U 50 series ini mempunyai cover yang tahan terhadat
goncangan dan sangat mudah dari sisi operasional. Dengan ukuran layar yang lebar sehingga
hasil pengukuran dapat mudah untuk dilihat secara bersamaan. Selain itu fitur auto
calibration untuk pH, DO, dan turbidimeter juga dibenamkan pada horiba U 50 series ini.
4.3. Modul Mangrove
- Hasil Observasi Mangrove
Kerapatan Pohon
No.

Nama Spesies

Aegiceras corniculatum (L.)


Blanco

Avicennia sp.

Lumnitzera racemosa Willd.

Rhizophora mucronata Lmk.

Rhizophora stylosa Griff.

Jumlah Individu per plot


4
5
21

10

25

7
1

5
33

79

65
Jumlah

Jumlah
Total

11

221

11

10

265

32

Jumlah individu total adalah 265 individu. Sedangkan luas area pengamatan
yang diambil berdasarkan kalkulasi Google Earth adalah 1190 m 2. Setelah dimasukkan
ke dalam rumus kerapatan didapat kerapatan pohon 0.22268 individu/m 2.
Jika dalam 1190 m 2 terdapat 265 individu, maka dalam 1 ha (hektar) terdapat
2226.8

2227 individu. Berdasarkan Tabel Kriteria Baku Kerusakan Mangrove (tabel

2), kriteria baku mutu mangrove adalah baik (sangat padat) karena kerapatannya

1500

pohon/ha.
Potensi Regenerasi
Nama Spesies

Semai

Aegiceras corniculatum (L.)


Blanco
Avicennia sp.
Lumnitzera racemosa Willd.
Rhizophora mucronata Lmk.
Rhizophora stylosa Griff.

Jumlah Individu
Pohon Muda Pohon Dewasa

Kriteria
Regenerasi

13

7
0
0
34

0
1
0
174

0
5
6
17

P
P
P
G

Kriteria:
G = Good regeneration (semai
F = Fair regeneration (semai

pohon muda

pohon dewasa)

atau pohon muda pohon dewasa)

P = Poor regeneration (tidak ada semai, pohon muda

atau = pohon dewasa)

Kriteria Baku Mutu per Individu

No.

Nama Spesies

Penutupan (%)

Kriteria

1
2

Aegiceras corniculatum (L.) Blanco


Avicennia sp.

6.896551724

Rusak (jarang)

Rusak (jarang)

Lumnitzera racemosa Willd.

17.24137931

Rusak (jarang)

Rhizophora mucronata Lmk.

20.68965517

Rusak (jarang)

Rhizophora stylosa Griff.

37.93103448

Rusak (jarang)

Rhizophora sp.

17.24137931

Rusak (jarang)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa kriteria baku mutu semua spesies yang
ditemukan di region barat Pulau Pari adalah rusak (jarang) karena kerapatan pohonnya
< 50%.

33

Analisis

Menurut literatur (Noor, Yus),

Aegiceras corniculatum (L.) Blanco memiliki toleransi yang tinggi terhadap


salinitas, tanah dan cahaya yang beragam. Mereka umum tumbuh di tepi daratan
daerah mangrove yang tergenang oleh pasang naik yang normal, serta di bagian
tepi dari jalur air yang bersifat payau secara musiman.

Avicennia sp. merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung,
memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasangsurut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis
tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut.

Lumnitzera racemosa Willd. tumbuh di sepanjang tepi vegetasi mangrove.


Menyukai substrat berlumpur padat. Mereka juga terdapat di sepanjang jalur air
yang dipengaruhi oleh air tawar.

Rhizophora stylosa Griff. tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang
surut: lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi
juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari
mangrove.

Pada umumnya hampir semua jenis mangrove yang ditemukan di region barat Pulau
Pari cocok di habitat pasang-surut, sesuai dengan kondisi pantai Pulau Pari. Itu artinya
secara ekologi, jenis-jenis tersebut seharusnya tumbuh baik di region barat Pulau Pari
namun dari hasil observasi didapat kriteria baku mutu semua jenis adalah rusak. Hal
tersebut disebabkan oleh jumlah pohon dewasa yang masih terlalu sedikit di region
tersebut.
Berdasarkan hasil observasi kerapatan pohon mangrove di region barat Pulau
Pari, Kepulauan Seribu, didapat bahwa kriteria baku mutu mangrove adalah baik
(sangat padat) dan dipadati oleh beberapa spesies mangrove, yaitu Aegiceras
corniculatum (L.) Blanco, Avicennia sp., Lumnitzera racemosa Willd., Rhizophora
mucronata Lmk., dan Rhizophora stylosa Griff. Dilihat dari jumlah individu semai, pohon
muda, dan pohon dewasa, didapat potensi regenerasi mangrove yang baik pada spesies
Aegiceras corniculatum (L.) Blanco dan Rhizophora stylosa Griff.
Sampah yang ada di kawasan mangrove akan menyebabkan pH air laut menjadi
asam, sedangkan baku mutu daerah mangrove yang baik ada pada kisaran pH 7-8. Kawasan

34

mangrove yang menjadi daerah pengamatan kelompok kami terkontaminasi beberapa


sampah, yang kebanyakan terdiri dari sampah-sampah plastik dan alumunium. Sampahsampah tersebut dapat mengakibatkan mangrove menjadi rusak dan sulit untuk bertumbuh.

Dari literatur (Noor, Yus R., 2006)

Sebagian besar jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur,
terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi (Chapman, 1977).

Jenis Rhizopora stylosa tumbuh dengan baik pada substrat berpasir, bahkan pada pulau
karang yang memiliki substrat berupa pecahan karang, kerang dan bagian-bagian dari
Halimeda (Ding Hou, 1958).

Beberapa jenis dapat tumbuh pada salinitas tinggi seperti Aegiceras corniculatum pada
salinitas 20 40 o/oo dan R. Stylosa pada salinitas 55 o/oo (Chapman, 1976a).
Pernyataan ini sesuai dengan kondisi air laut di region barat Pulau Pari yang memiliki
salinitas 28 - 30 .

35

4.4. Modul Sanitasi dan Sampah


4.4.1 Hasil Transek Sampah sepanjang 100 m
Hasil sampling sampah yang dilakukan melalui transek area sepanjang 100 meter terdapat pada Tabel 4.2
Kategori

Jenis

Kantong
hitam
tali rafia
botol
minuman

10

Tambang plastik

tali jemuran

Tutup botol
plastik

tutup aqua

12

karung
botol dan
gelas plastik

20

10

15

20

12

17

Kresek
Tali rafia
Botol kaca

Plastik

Kelompok 1

Jumlah Sampah
Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Karung
Botol aqua tipis
Plastik mika
Sedotan
Botol shampo
Jerigen
Plastik kemasan
tebal

pembungkus
makanan
sedotan
botol
shampo
tutup ember

36

Kemasan/sachet
Styrofoam
Ember
Spanduk
Lain-lain
Alat makan
Logam

Kertas

Tutup botol
logam
Alat masak
Lain-lain
Buku
Kertas nasi
bungkus
Bungkus rokok
Tetrapack

Tekstil
Kaca

Alat makan
Cermin
Botol kaca

B3

Lampu dan
elektronik
Aki dan baterai
Medis

kemasan
mie

117

31

44

33

88

13

26

18

44

10

25

19

30

1
-

6
-

2
2
-

1
-

30
-

1
1
-

bohlam

baterai

bekas
makanan
ember
sandal,
sepatu
sendok
garpu
tutup botol
obat
centong
kertas nasi
bungkus
kertas rokok
susu dan teh
botol
sambal

37

Hasil Komposisi Sampah Transek 100 meter


Pulau Pari
Plastik
Logam
Kertaas
Tekstil
Kaca
B3

4.4.2 Analisis
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan yaitu melalui analisis sampling
sampah melalui transek sejajar dengan garis pantai sepanjang 100 meter, di area ujung garis
transek yang terdapat mangrove di dalamnya memiliki jenis sampah yang relatif lebih
beragam dibandingkan dengan area yang berada di tengah. Area yang berada di tengah tidak
memiliki mangrove dan jenis sampah yang dihasilkan berdasar hasil sampling didominasi
oleh kemasan plastik. Hal ini diakibatkan oleh adanya mekanisme filtrasi oleh mangrove
sehingga sampah yang berasal dari darat maupun sampah kiriman dari pulau lain terbawa
gelombang yaitu sampah yang berukuran menengah hingga ukuran besar sehingga tertahan
di permukaan akar-akar mangrove seperti jenis sampah botol plastik, tutup ember, hingga
sepatu. Sedangkan di area yang tidak memiliki mangrove akan memiliki jenis sampah yang
ragamnya lebih sedikit karena sampah dapat dengan mudah terbawa gelombang dari daratan
menuju lautan lepas. Selain filtrasi, mangrove juga memiliki kemampuan mengendapkan
sedimen yang terbentuk sebagai output degradasi polutan ataupun sedimen hasil degradasi
biota perairan yang sudah mati sehingga dapat menurunkan turbiditas air laut (Furukawa et
al., 1997; Wolanski et al., 1997).
Berdasarkan hasil sampling sampah di lautan dihasilkan identifikasi jenis sampah
yaitu sebagian besar berupa sampah plastik yang dihasilkan dari sampah domestik rumah
tangga. Namun pada penelitian ini belum dapat diperkirakan secara pasti timbulan sampah
dominan penduduk Pulau Pari karena metode sampling harus dilakukan di area sumber
penghasil limbah secara langsung. Jenis sampah plastik menjadi dominasi dikarenakan
tingkat dekomposisinya lebih rendah dibandingkan jenis sampah organik. Semakin
kompleks senyawa pembentuk materi maka laju dekomposisi yang terjadi akan semakin

38

lambat (Petersen and Cummins, 1974). Dekomposisi material di laut dilakukan oleh detritus
natif yang berasal dari lautan. Laju dekomposisi sampah di lautan juga sangat dipengaruhi
oleh keberadaan oksigen terlarut (dissolved oxygen), semakin sedikit kadar oksigen terlarut
dapat menghambat aktivitas dekomposisi oleh detritus (Chauvet, 1997). Semakin tinggi
gelombang yang terjadi, dapat meningkatkan laju dekomposisi material sampah. Hal ini
dikarenakan pergerakan air akibat gelombang akan menyebabkan kontak antara air dan
udara sehingga dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air.
Di Pulau Pari sudah terdapat tempat sampah terpilah untuk pewadahan sampah yang
dihasilkan, namun untuk proses pengelolaan sampah selanjutnya seperti pengumpulan dan
pengangkutan menuju ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) tidak dilakukan karena
tidak terdapat TPS di Pulau Pari. Sedangkan pengangkutan sampah dari Pulau Pari menuju
TPS yang berada di tempat lain yang belum terjangkau pelayanannya, sehingga masyarakat
Pulau Pari melakukan pengelolaan sampah melalui pembakaran dan dikubur di dalam tanah.
Jika sampah yang ada di lautan terlalu banyak dan melebihi daya tampung
lingkungan akan pencemaran, maka keadaan perairan berubah menjadi kondisi bentik
(anaerob) sehingga nutrien didalam air akan terdegradasi secara anaerobik sehingga
menghasilkan metana yang merupakan gas rumah kaca 21 kali lipat lebih banyak
dibandingkan karbon dioksida yang merupakan produk dari degradasi aerobik. Selain itu,
jika perairan dalam keadaan bentik, maka akan tumbuh algae dalam keadaan berlebihan dan
menyebabkan kompetisi konsumsi oksigen dengan biota perairan. Jika terus berlanjut akan
menyebabkan kematian biota laut.
Masyarakat Pulau Pari belum memiliki sistem pengolahan air limbah yang layak,
karena teknologi yang digunakan hanya cubluk, sehingga efluen limbah cair langsung
mengalir ke tanah hingga ke perairan lepas dan nutrien yang terkandung dalam efluen
limbah cair akan sangat mempengaruhu kualitas air laut. Untuk memenuhi kebutuhan air
bersih masyarakat Pulau Pari menggunakan air tanah untuk keperluan mandi dan cuci,
sedangkan kebutuhan air minum menggunakan air mineral karena air tanah yang ada di
Pulau Pari memiliki salinitas tinggi sehingga tidak memenuhi standar baku mutu air minum.
Di Pulau Pari belum tersedia saluran drainase sama sekali walaupun jika terjadi
hujan pemukiman penduduk tidak mengalami banjir, namun air yang menggenang terlalu
lama dapat mengakibatkan erosi terhadap fasilitas jalan dan berkurangnya nilai estetika serta
timbulnya jentik-jentik nyamuk yang dapat menularkan penyakit demam berdarah, malaria,
dan sebagainya.

39

Proses dekomposisi material di ekosistem akuatik terdiri dari tiga tahap yaitu
leaching, conditioning, dan fragmentation (Petersen and Cummins, 1974). Material sampah
dan limbah cair yang masuk ke perairan akan melepaskan senyawa-senyawa anorganik dan
organik yang akan mempengaruhi kualitas air laut. Sampah memiliki berbagai jenis senyawa
termasuk logam berat dan senyawa organik. Lahan basah (wetland) yang terdiri dari
mangrove merupakan sumber daya yang melibatkan mekanisme-mekanisme pada vegetasi,
tanah, dan aktivitas mikroorganisme untuk terjadinya proses purifikasi (ObarskaPempkowiak and Klimkowska, 1999). Ekosistem wetland mangrove ini berperan untuk
mendegradasi nutrien, logam berat, dan polutan lain yang ada di perairan. Nutrien dan
logam berat akan terakumulasi pada mangrove dan dikonversi menjadi biomassa (Jia-En
Zhang, 2009).

4.5 Modul Wawancara


5. Hasil
Data Narasumber 1
Nama

Minen

Usia

60 tahun

Jenis Kelamin

Pekerjaan

Nelayan

Tempat Tinggal

di sekitar pantai perawan

Lama Tinggal

4 tahun

Gambar 4.7 Eva dan Putri bersama Bapak Minen

40

Data Narasumber 2
Nama

Yuniharti

Usia

33 tahun

Jenis Kelamin

Pekerjaan

Pedagang

Tempat Tinggal

di sekitar pantai perawan

Lama Tinggal

33 tahun

*cat : dokumentasi bersama Ibu Yuniharti tidak kami dapatkan saat wawancara
Jawaban
No
Pertanyaan
Narasumber 1
Narasumber 2
Kondisi Alam
Bagaimana kondisi Pulau Pari Cukup terjaga, banyak
Cukup terjaga, hanya
sekarang? (keadaan pulaunya, orang
memanfaatkan
sampah yang hanyut
tercemar lingkungannya atau masih pantai untuk mencari
1
dari suatu kawasan
cukup terjaga, terjadi erosi atau ikan. Tidak pernah
tertentu.
tidak)
terjadi erosi.
Apa bencana alam yang pernah
terjadi dan adakah bencana alam Belum ada bencana
Tidak ada.
2
yang baru pertama terjadi di Pulau apapun yang terjadi.
Pari?
Skala : 4 5 m
Skala : Alasan : Ada reklamasi Alasan : Reklamasi (penambahan daratan
untuk
kebutuhan
3
baru) di sekitar Pulau Pari.
pengunjung, contohnya
berfoto-foto.
Karena hanya terdapat
nelayan
saja
yang
mencari ikan, dulu
Bagaimana keadaan laut di sekitar
Tidak ada pemukiman
kondisinya gelap karena
pulau
(apa
ada
perbedaan
pada
dulu
kala,
masih
merupakan
kecerahan laut antara dahulu
sekarang banyak usaha
4
hutan, jalan setapak
dengan sekarang? Hubungkan juga
home stay jadi banyak
sekarang sudah seperti
dengan sampah).
sampah.
di kota dan lebih cerah.
Sampah dulu tidak ada,
sekarang banyak.
Bagaimana dampak konservasi
5
mangrove di sekitar Pulau Pari?
Apakah terasa ada penambahan
penumpukan sampah disekitar
pulau? (Kapan waktu terjadinya Ya, setiap hari.
Konstan.
6
jumlah sampah kiriman itu paling
banyak)
Bagaimana
dampak
sampah Susah
dalam
7
terhadap jumlah tangkapan ikan memperoleh ikan, jadi

41

nelayan di Pulau Pari?


Bagaimana pengaruh pariwasata
terhadap kondisi alam Pulau Pari?
(tetap bisa dijaga atau semakin
8
rusak
setiap
tahun
akibat
wisatawan)
Kehidupan Penduduk
Apakah seluruh masyarakat di
pulau merupakan orang asli Pulau
Pari atau berasal dari tempat lain?
1
(Kalau
beragam,
bagaimana
interaksi antar penduduknya)
Apa
keseharian
dan
mata
pencaharian penduduk di Pulau
2
Pari?
3

harus mencari ikan di


daerah bersih.
Menjadi
sampah.

banyak Tidak ada pengaruh.


Tetap bisa dijaga.

Ada pendatang dari


Ada beberapa berasal
Jawa,
Bugis,
dari tempat lain.
Tangerang, dsb.

Nelayan & Pedagang

Skala : Fasilitas yang ada di Pulau Pari Alasan : sudah memadai.


Bagaimana kondisi sosial ekonomi
Ekonomi
masyarakat
masyarakat
sebelum
ada
masih
tinggi
pada
pengembangan pariwisata bahari di
dahulu.
Pulau Pari?
Dulu ekonominya lebih
Bagaimana kondisi sosial ekonomi
baik dari sekarang.
masyarakat
sesudah
adanya
Kalau sekarang kapal
pengembangan pariwisata bahari di
nelayan banyak yang
Pulau Pari?
dialihfungsikan.
Bagaimana pengelolaan sampah di
Pulau Pari? (Kaitannya dengan Sampah dikumpulkan
TPA dan sistem pembuangan lalu kemudian dibakar.
sampah)
Tidak
ada
gotong
Bagaimana partisipasi masyarakat
royong, hanya kegiatan
dalam menjaga lingkungan Pulau
masing-masing
Pari?
individu.
Bagaimana pendidikan bagi anak- Ada, hanya SD saja,
anak di Pulau Pari? Adakah sekolah kalau SMP&SMA ke
SD-SMP-SMA?
pulau lain.

Penyakit parah apa yang pernah


terjadi pada penduduk Pulau Pari? Tidak ada.
Jelaskan!

10

Bagaimana keadaan sumber air


bersih untuk masyarakat Pulau Air bersih dari sumur.
Pari?

Nelayan & Pedagang


Skala : Alasan : Belum terdapat
mushola

Lebih buruk, hanya


pencari rumput laut.

Lebih baik, banyak


untuk dari berdagang.

Sampah dikubur.
Tidak ada partisipasi
setelah ada petugas
kebersihan, dulu ada
kegiatan Jumat Bersih.
Hanya ada SD & SMP,
SMA terdapat di pulau
lain.
Sempat ada penyakit
malaria cukup lama,
banyak yang meninggal
pada saat itu.
Mencuci, memasak dari
air sumur, sedangkan
untuk
air
minum
membeli air galon.

42

ANALISIS
Kondisi Pulau Pari
Pulau Pari ini awalnya adalah tempat mencari ikan bagi nelayan Pulau Tidung yang
lama kelamaan akhirnya menetap di Pulau Pari hingga turun temurun sampai sekarang.
Sebelumnya, pulau ini merupakan pulau pengungsian bagi pelarian warga sekitar yang
menolak dijadikan pekerja paksa oleh Belanda. Kini, Pulau Pari menjadi sentra di bagian
Timur pulau ini merupakan wilayah pemukiman masyarakat, dan di Bagian Barat pulau ini
merupakan wilayah yang diperuntukan bagi kelestarian hayati dan penelitian di bawah
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Gambar 4.8 Kondisi Pulai Pari (Pantai Perawan)


Pulau Pari memiliki luas 41,32 ha yang peruntukannya menurut Perda Provinsi DKI
Jakarta No.6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI
Jakarta difungsikan untuk perumahan walaupun sekarang pengembangan Pulau Pari lebih ke
arah wisata mengingat usaha budidaya rumput laut yang merupakan mata pencaharian utama
masyarakat Pulau Pari sudah mengalami penurunan.

Bencana alam yang pernah terjadi


Dari hasil wawancara, kedua narasumber menyebutkan bahwa tidak pernah terjadi
bencana serius di Pulau Pari. Berdasarkan referensi berita pada Oktober 2015, Blooming
Algae sempat terjadi di Pulau Pari. Blooming Algae merupakan kejadian pertumbuhan lebat
plankton/fitoplankton di air laut yang dapat menyebabkan kematian massal dan

43

mengontaminasi ikan atau biota laut dengan toxic yang dikeluarkan oleh fitoplankton.
Adanya fitoplankton beracun yang muncul didalam perairan dapat membahayakan
kehidupan organisme konsumen seperti ikan dan biota laut lainnya, bahkan sampai pada
manusia yang kebetulan memakan produk laut yang mengandung racun yang berasal dari
fitoplankton. Hal ini disebabkan oleh suhu dan arus laut dan pencahayaan yang membuat
kondisi jenis fitoplankton tertentu hidup dan tumbuh lebih banyak dari biasanya.
Menurut Kepala Kantor Penanggulangan Bencana Kabupaten Kepulauan Seribu,
terjadi Blooming Algae di Perairan bagian selatan Pulau Pari, sehingga masyarakat sekitar
dihimbau agar tidak mengkonsumsi ikan yang ditemukan dalam keadaan mati karena dapat
mengakibatkan keracunan, mual, sakit kepala, bahkan dapat mengakibatkan kematian.
Kantor

Penanggulangan

Bencana

Kabupaten

Kepulauan

Seribu

pun

telah

berkoordinasi dengan pihak LIPI untuk mengantisipasi dan menangani kejadian ini serta
telah mensosialisasikan kepada Camat, Lurah, RW, RT dan masyarakat di wilayah yang
terdampak agar nantinya dapat bahu-mambahu mengantisipasi dampak dari kejadian.

Reklamasi (penambahan daratan baru) di sekitar Pulau Pari


Pulau Pari tidak pernah mengalami reklamasi disekitar wilayahnya sesuai dengan hasil
wawancara. Malahan terdapat 4 pulau di sekitar Pulau Pari yang kabarnya menghilang
akibat terjadinya muka laut naik dan dataran pulau mengalami penurunan.

Penambahan penumpukan sampah disekitar pulau, dan Dampak sampah terhadap


jumlah tangkapan ikan nelayan di Pulau Pari
Dampak lain yang menjadi perhatian dalam pengembangan wisata di Pulau Pari,
adalah soal sampah. Setiap hari dan akhir pekan, sampah dari wisata ini semakin bertambah
dan harus dikelola secara lebih komprehensif. Masih terkait sampah, ratusan bahkan ribuan
sampah plastik dari kiriman gelombang dari Kota Jakarta sampai saat ini masih terus
menyerang pesisir Pulau Pari. Setiap pagi, sebagian warga harus memunguti sampah yang
terdampar di pantai Pulau Pari yang dikirimkan dari Jakarta. Bahkan anak-anak terpaksa
harus ikut membantu memunguti sampah yang terdampar.

Dampak konservasi mangrove di sekitar Pulau Pari


Narasumber masih belum mengetahui mengenai konservasi mangrove dan merasa
tidak menerima dampak yang besaar. Akan tetapi, perlindungan daerah mangrove yang

44

berdekatan dengan muara-muara sungai dilakukan untuk menjaga keseimbangan daerah


estuaria yang merupakan ekosistem produktif, tetapi bersifat mudah terganggu (fragile)
sehingga sangat perlu untuk konservasi.
Perlindungan daerah mangrove yang berdekatan dengan aktivitas kegiatan nelayan di
mana daerah tersebut merupakan daerah kegiatan pengambilan ikan dan udang. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi tempat pembiakan, berpijah, maupun daerah ruaya dari
berbagai jenis ikan dan udang.
Perlindungan daerah

mangrove

yang berdekatan dengan pemukiman

yang

masyarakatnya sangat menggantungkan kebutuhan hidupnya dari hasil kayu bakar.


Perlindungan daerah-daerah mangrove rawan dalam arti kata jika daerah tersebut
dibuka/dikonversi akan menimbulkan dampak negatif yang besar, seperti timbulnya intrusi
air asin, abrasi, erosi, banjir dan lain-lain.
Perlindungan daerah mangrove yang masih asli, utuh dan mempunyai permudaan yang
baik. Hal ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekologis. Perlindungan daerah
mangrove di pulau-pulau kecil yang khas dan luasnya kurang dari 10.000 hektar.
Perlindungan daerah mangrove yang untik sebagai contoh antara lain mangrove yang hidup
di atas terumbu karang dan mangrove yang hidup di air tawar. Daerah mangrove yang
merupakan habitat satwa seperti mamalia dan burung air.

Pengaruh pariwasata terhadap kondisi alam Pulau Pari


Rendahnya kesadaran wisatawan yang datang ke Pulau Pari, masih menjadi
pemandangan yang banyak ditemui oleh Mongabay-Indonesia. Membuang sampah
sembarangan, menjadi ritual keseharian para wisatawan yang berdandan sangat modis saat
berwisata. Tanpa sadar, mereka memutus rezeki wisata warga Pulau Pari secara pelan-pelan.

Daerah asal masyarakat Pulau Pari dan interaksi sesama masyarakatnya


Pulau Pari memiliki 1 RW yaitu RW 04 dan terdiri dari 4 RT degan jumlah penduduk
seanyak 930 jiwa serta jumlah kepala keluarga sebanyak 265 KK. Penduduk Pulau Pari
merupakan pencampuran dari berbagai macam suku, yaitu Bugis, Betawi, Jaawa, Sunda, dan
Bima, sehingga penduduk setempat menggunakan bahasa khas Kepulauan Seribu yang
merupakan perpaduan bahasa dari suku-suku tersebut. Penduduk Pulau Pari 100% memeluk
Agama Islam, sehingga kehidupan sosial-budayanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur
Agama Islam.

45

Keseharian dan mata pencaharian penduduk di Pulau Pari


Penduduk Pulau Pari mayoritas bermata pencahayaan sebagai nelayan sekitar 80%
yang setiap weekend beralih profesi sebagai tour guide. Sedangkan sisanya adalah pedagang,
buruh, PNS, wiraswasta, dan petani. Sejak pariwisata dikembangkan di Pulau Pari, roda
ekonomi penduduk Pulau Pari yang asalnya terpuruk kini sudah mulai bangkit lagi. hal ini
dikarenakan hancurnya sektor budidaya rumput laut.

Fasilitas yang ada di Pulau Pari


Jenis sarana transportasi yang ada di Pulau Pari terdiri dari transportasi darat dan
transportasi laut. Sarana transportasi darat meliputi sepeda motor, semeda, motor gerobak,
dan gerobak. Sarana transportasi tersebut didukung dengan prasarana jalan yang terbuat dari
paving block dengan lebar jalan untuk jalan desa 2m dan untuk jalan gang 1m. Jalan tersebut
dibangun pada tahun 2001 oleh Pemda DKI Jakarta dan hingga saat ini kondisinya terbilang
masih cukup baik.
Sarana penerangan yang ada di Pulau Pari awalnya menggunakan listrik dari PLTD
namun sekarang sudah melalui jaringan kabel listrik bawah laut sehingga listrik dapat
menyala selama 24 jam. Sistem pembayaran listrik melalui listrik prabayar dengan voucher,
masing-masing rumah sudah dilengkapi dengan instalasi listrik dengan besaran 900 watt per
rumah. Sarana penerangan jalan di Pulau Pari masih sangat minim sehingga jalan-jalan
mayoritas masih gelap pada saat malam hari.
Sarana kesehatan terdiri dari sebuah Pos Kesehatan dan sebuah Posyandu, sementara
untuk Puskesmas harus menempuh perjalanan laut selama satu jam menggunakan kapal
motor ke Pulau Lancang Besar. Petugas kesehatan yang ada di Pulau Pari terdiri 1 orang
dokter umum, 3 orang bidan, dan 1 orang paramedis.

Gambar 4.9 Puskesmas yang terdapat di Pulau Pari

46

Sarana peribadatan yang ada di Pulau Pari terdiri dari 1 buah masjid dan 2 buah
musholla, tidak terdapat fasilitas peribadatanagama lain karena 100% penduduk Pulau Pari
memeluk Agama Islam. Masjid yang berada di Pulau Pari bernama Masjid Al-Ikhlas yang
dibangun pada tahun 1991 hasil swadaya masyarakat.
Sarana pendukung wisata bahari yang terdapat di Pulau Pari terdiri dari home stay
yang berjumlah 42 rumah, catering, kapal motor sewa, tempat penyewaan snorekling,
banana boat, dan tempat penyewaan sepeda.
Sarana sanitasi lingkungan di Pulau Pari sudah cukup baik. Sudah terdapat saluran
pembuangan air kotor dari rumah-rumah warga langsung ke laut sehingga air kotor limbah
rumah tangga tidak menggenang di sekitar rumah, namun sayang sekali masih belum ada
instalasi pengolahan untuk air buangan tersebut.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah adanya pengembangan


pariwisata bahari di Pulau Pari
Kegiatan pengelolaan wilayah perairan yang ada adalah budidaya dalam karamba
jaring apung (KJA) di bagian utara pulau, jenis-jenis ikan yang dibudidayakan adalah kerapu
macan, kerapu lumpur, dan kerapu sunu. Pemda DKI melalui Subdit Perikanan pada tahun
2012 ini memberikan bantuan KJA kepada kelompok masyarakat Pulau Pari yang berjumlah
4 kelompok.
Kegiatan investasi yang saat ini masih berjalan adalah budidaya KJA untuk ikan
kerapu sementara untuk jenis budidaya yang lain seperti rumput laut yang sempat menjadi
primadona bagi penduduk Pulau Pari sudah tidak bisa dilakukan lagi mengingat kondisi
perairannya yang sudah tercemar limbah.
Adanya objek wisata Pantai Perawan yang dikelola oleh penduduk Pulau Pari
menjadikan roda ekonomi kembali berputar, bahkan menambah pamor Pulau Pari sebagai
daerah tujuan wisata sehingga tidaklah heran apabila setiap akhir pekan Pulau Pari selalu
ramai dikunjungi para wisatawan yang umumnya berasal dari Jakarta. Hal ini kemudian
berimbas kepada usaha home stay, catering, penyewaan alat-alat snorekling, sepeda, dan
kapal motor. Oleh karena itu, keindahan dan kelestarian Pantai Perawan perlu terus dijaga
secara bersama-sama.

47

Pengelolaan sampah di Pulau Pari


Pulau Pari sangat ramah pada backpacker, hanya saja, kelemahan di pulau ini adalah
tentang membuang sampah. Salah satu problema di kepulauan kecil yang belum memiliki
tempat pengolahan sampah. Sesuai dengan hasil wawancara menurut Bapak Minen dan Ibu
Yuniharti, yaitu sampah yang ada biasanya dibakar ataupun dikubur.

Partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan Pulau Pari


Kesadaran masyarakat yang tinggal didalamnya juga sangat mendukung dengan
kondisi Pulau Pari sekarang. Jika dibandingkan dengan beberapa pulau tetangganya, Pulau
Pari masih sangat terjaga kondisi alamnya. Kesadaran masyarakat sendiri akan pentingnya
menjaga kelestarian alam menjadi faktor penting dimana sektor wisata alam bisa
berkembang baik. Wisata Pulau Pari merupakan salah satu wisata alam yang menawarkan
keindahan pantai yang bersih dan kearifan lokal masyarakat yang ramah menjadikan Pulau
ini semakin diminati oleh wisatawan.
Pengelolaan wisata di Pulau Pari berada di tangan masyarakat secara langsung, dengan
pengaturan dilakukan oleh Forum Pemuda Wisata Pesisir di Pulau Pari sebagai badan resmi
yang mengatur wisata Pulau Pari. Dengan pengelolaan yang baik, penghasilan dari wisata
kini bisa mendukung jasa sosial lain yang berjalan untuk kepentingan masyarakat, karena
5% dari penghasilan pengelola wisata dari penyewaan penginapan, penyewaan alat
snorkling, penyewaan kapal, dan jasa catering akan dipotong untuk kas desa dan digunakan
untuk mendukung operasional madrasah, masjid, infaq, pemakaman dan aktivitas sosial
lainnya.

Pendidikan bagi anak-anak di Pulau Pari


Sarana pendidikan yang ada di Pulau Pari terdiri dari 1 PAUD, 1 TK, 1 SD, 1
Madrasah Diniyah, dan 1 SMP. Jumlah murid sekitar 340 siswa dimana jumlah total murid
laki-laki adalah lebih banyak yakni berjumlah 174 siswa, sedangkan murid perempuan
berjumlah 166 siswa.

48

Gambar 4.10 SD dan SMP yang terdapat di Pulau Pari

Penyakit parah yang pernah terjadi pada penduduk Pulau Pari


Angka penyakit Inspeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kelurahan Pulau Pari,
Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, terbilang masih cukup tinggi. Oleh karena itu, sangat
diberlakukan kawasan bebas asap rokok untuk mengurangi penyebaran penyakit tersebut.
Beberapa lokasi yang seharusnya menjadi tempat kawasan bebas rokok sehingga
orang maupun wisatawan tidak asal merokok yang menyebabkan polusi bagi orang lain di
sekitarnya, terutama di ruang-ruang publik yang banyak terdapat anak-anak.
Seringkali, perokok pasif menjadi korban dari para perokok aktif, selain tingginya
tingkat polusi akibat semakin banyaknya kendaraan roda dua dan odong-odong di pulau
tersebut. Antisipasi yang efektif sebaiknya harus lewat penegakan perda dan sanksinya harus
dijalankan baru efektif.
Ibu Yuniharti pun menyebutkan bahwa pernah terjadinya wabah penyakit malaria di
Pulau Pari. Wabah tersebut disebabkan oleh Nyamuk Anopheles yang mengalami
metamorfosis sempurna di daerah Kabupaten Pulau Seribu, tempat perindukan nyamuk
terjadi pada kolam-kolam perendaman rumput laut yang sudah tidak di fungsikan lagi,
lagun, tambak, semur dangkal, dan genangan air (Ariati, dkk., 2007). Namun akhirnya
penyakit ini dapat diberantas akibat peran serta masyarakat.

Keadaan sumber air bersih untuk masyarakat Pulau Pari


Sarana air bersih yang ada di Pulau Pari bisa didapatkan dari sumur dengan kedalaman
2m. Air tersebut oleh penduduk hanya digunakan untuk keperluan MCK saja dikarenakan
airnya yang agak berasa payau, sedangkan untuk keperluan memasak penduduk

49

menggunakan air hasil penyulingan Reserve Osmosis (RO) yang dibeli dengan harga Rp
1.000,- per jerigen (20 liter). Fasilitas RO ini merupakan bantuan yang diberikan oleh
Pemda DKI Jakarta pada tahun 2005 yang pengelolaannya diserahkan kepada penduduk
Pulau Pari.

Dari hasil wawancara dari kedua narasumber, didapatkan hasil yang kurang akurat
karena terkadang jawaban dari keduanya berbeda. Serta terdapat subjektifitas dari jawaban
keduanya dikarenakan profesi yang berbeda. Pak Minen yang bekerja sebagai petani
mengaku bahwa berubahnya Pulau Pari menjadi tempat wisata menjadikan tangkapan
ikannya menjadi berkurang dan menjadikan mata pencahariaannya sulit untuk memperoleh
pendapatan seperti dahulu. Sedangkan Ibu Yuniharti yang berprofesi sebagai pedagang
mengatakan bahwa perekonomian menjadi meningkat akibat banyaknya wisatawan yang
datang maka terdapat peluang penghasilan dari berdagang yang cukup tinggi.
Kepedulian masyarakat terhadap keadaan lingkungan sekitar juga sudah cukup baik
karena kebersihan di sekitar tempat berdagang sudah terjaga dengan baik, akan tetapi
kepedulian untuk seluruh tempat masih minim dan kurangnya sosialisasi dari lembaga
pemerintah mengenai wabah, bencana yang terjadi di Pulau Pari, maupun pengolahan
limbah yang harusnya diinfokan kepada warga secara merata belum terlaksana.

50

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
6.4 Kesimpulan
1. Tipe pantai yang terdapat di pulau pari khusus nya di wilayah kajian dari kelompok 6
adalah tipe pantai pasir dan berlumpur, dimana tipe pantai berpasir ditemukan di
wilayah awal marking dengan GPS sampai ke wilayah tengah, sedangkan di wilayah
setelahnya terdapat perbedaan yang cukup signifikan dimana ditemukan pantai tipe
berlumpur pada wilayah marking dari tengah sampai akhir wilayah marking
kelompok 6.
2. Dari pengukuran di 10 titik pengamatan diperoleh hasil pengukuran salinitas,DO,pH,
dan temperatur sebagai berikut:

Untuk parameter pH hanya pada titik 1,6,7,8 yang memenuhi baku mutu Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air
Laut, sedangkan untuk parameter DO di semua titik yang memenuhi baku mutu,

51

untuk parameter temperatur di semua titik tidak memenuhi baku mutu dan untuk
nilai salinitas semua titik memenuhi baku mutu.
3. Pada pengukuran salinitas digunakan dua alat kerja yaitu refraktometer dan "water
quality checker" seperti Horiba. Ketelitian alat ukur refraktometer ini berkisar antara
0,5 hingga 0,05 . Alat ukur ini ringkas dan sangat praktis untuk digunakan di
lapangan dengan prinsip dimana cahaya yang menembus permukaan antara dua zat
yang berbeda berat jenisnya akan mengalami pembelokan arah penjalarannya.
Peristiwa ini dikenal dengan nama pembiasan cahaya. Perbandingan antara sinus
sudut datang dan sinus sudut bias cahaya disebut indeks bias. Indeks bias air laut
merupakan fungsi dari suhu dan salinitas serta panjang gelombang cahaya. Dengan
mengukur suhu dan indeks bias air laut untuk suatu panjang gelombang cahaya
tertentu, nilai salinitas air laut dapat ditentukan. Sedangkan untuk alat ukur "water
quality checker" seperti Horiba mengukur kualitas air dengan berbagai macam
parameter dimana hasil pengukurannya dapat diperlihatkan secara bersamaan.
Parameter-parameter tersebut adalah pH, ORP, DO, konduktivitas, salinitas, TDS,
Suhu, kekeruhan, dll
4. Kondisi lingkungan wilayah pesisir Pulau Pari adalah termasuk dalam keadaan yang
cukup baik dibanding 3 Pulau lain di Kepulauan Seribu dan kini dijadikan sebagai
objek wisata yang cukup sering dikunjungi.
5. Permasalahan masyarakat di wilayah pesisir adalah pengolahan sampah yang belum
terkelola dengan baik, serta pengolahan sanitasi yang langsung dibuang ke laut tanpa
diolah. Penyuluhan dan koordinasi warga dalam menjaga lingkungan masih kurang
terwadahi oleh badan pemerintahan.
6. Perilaku masyarakat yang inisiatif dalam pengelolaan wisata bahari menjadikan
keuntungan berada di tangan warga serta kesadaran masyarakat yang muncul
menjadikan Pulau Pari dinilai masih cukup indah dan bersih.
7. Pengelolaan sampah di Pulau Pari belum memenuhi standar yang ditetapkan
sehingga menyebabkan permasalahan lain seperti pencemaran laut dan pencemaran
udara akibat pembakaran sampah yang tidak sesuai prosedur.
8. Permasalahan sampah yang tidak dikelola dengan baik akan menurunkan tingkat
kesehatan masyarakat Pulau Pari akibat emisi pembakaran sampah dan leachate
sampah yang dapat mencemari air tanah.

52

9. Mangrove dapat menghambat masuknya sampah ke perairan lepas karena terdapat


mekanisme filtrasi oleh permukaan akar-akar mangrove.
10. Mangrove sebagai wetland dapat dijadikan sarana purifikasi alami oleh adanya
nutrien maupun logam berat pada air laut yang tercemar dengan mengkonversi
menjadi biomassa.
6.5 Saran
1. Dilakukannya penyuluhan dalam setiap aspek yaitu tanggap bencana maupun wabah
penyakit yang terjadi di Pulau Pari. Serta pengolahan sampah yang harus dibuat TPA
nya serta diatur organisasi pengolahan sampahnya. Air buangan yang dihasilkan dari
domestik juga sebiaknya dibuatkan pengolahan sebelum dibuang kelaut sehingga
lahan Pulau Pari serta pesisir pulau tidak tercemar.
2. Identifikasi dalam pemantauan kualitas air laut perlu ditingkatkan baik parameter
kualitas air sudah menimbulkan gangguan lingkungan maupun belum. Monitoring
dan pengawasan terhadap parameter kualitas air perlu dilakukan secara berkala untuk
mengantisipasi lebih awal sebelum mengalami perubahan
3. Diperlukan pengelolaan sampah terintegrasi di Pulau Pari, dimulai dari pewadahan,
pemilahan, pengumpulan, hingga pengangkutan ke Tempat Pemrosesan Akhir.
4. Diperlukan sistem pengolahan air limbah yang sesuai dengan kebiasaan dan budaya
penduduk Pulau Pari.
5. Diperlukan perencanaan dan pembangunan drainase untuk mengalirkan air hujan dan
air laut yang melimpas ke pesisir.

53

DAFTAR PUSTAKA

Boonsong, K., Piyatiratitivorakul, S., Atanaponpaiboon, P., 2003. Potential Use of


Mangrove Plantation as Constructed Wetland for Municipal Wastewater Treatment.
Water Science Technology. 48, 257266.
Chauvet, E., 1997. Leaf Litter Decomposition in Large Rivers: The Case of the River
Garonne. Limnetica 13, 65-70.
Dhaulkandi, Manoj., Dobhal, Asha., Bhatt, Sunil., Kumar, Munesh. 2008. Community
Structure and Regeneration Potential of Natural Forest Site in Gangotri, India.
Journal of Basics and Applied Sciences Vol. 4 No. 1 49-52.
Furukawa, K., Wolanski, E., Muller, H., 1997. Currents and sediment transport in
mangrove forests. Estuarine, Coastal and Shelf Science 44, 301310.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 Tentang
Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove
Noor, Yus R., Khazali, M., Suryadiputra, I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Bogor: Wetland International Indonesia Programme.
Petersen, R.C., Cummins, K.W., 1974. Leaf of Processing in a Woodland Stream.
Freshwater Biology. 4, 343e368.
Saut, Julianto, 2016, Modul

Kuliah Lapangan Oseanografi Lingkungan Pengukuran

Garis Pantai, Program Studi Oseanografi, Insitut Teknologi Bandung.


Schaffleke, Britta. Mellors, Jane. 2005. Water Quality in The Great Barrier Reef Region:
Responses of Mangrove, Seagrass, and Macroalgal Communities. Marine
Pollution Bulletin 51, 279-296
Wang, Mao., Zhang, Jinhan. 2010. Maintenance of Estuarine Water Quality by
Mangroves Occurs During Flood Periods: A Case Study of a Subtropical
Mangrove Wetland. Marine Pollution Bulletin 2154-2160
Zhang, J., Liu, Jin-Ling, 2009. Removal of Nutrients and Heavy Metals from Wastewater
with Mangrove Sonneratia apetala Buch-Ham. Ecological Engineering Bulletin
http://keslingkawasanpantaipesisir.blogspot.co.id/2009/11/konsep-sanitasi-lingkungankawasan.html diakses pada 29 April 2016 pukul 10.21
http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/370#pi
diakses 24 April 2016 pukul 15.00

54

http://www.bdkjakarta.kemenag.go.id/file/media/LiputanDiklatMenambahWawasanRiset
MelaluiDiklatIPAAlamTerbukadiPulauPariKepulauanSeribu.pdf

diakses

24

April 2016 pukul 15.00

55

LAMPIRAN
Minggu, 10 April 2016, merupakan waktu bagi kami untuk melepas penat sehabis
melaksanakan kuliah lapangan oseanografi lingkungan di Pulau Pari. Modul demi modul
telah kami lewati bersama, tibalah saatnya untuk plesiran ria di salah satu pulau terbesar di
kawasan Kepulauan Seribu ini. Pukul 05.00, kami bergegas untuk melihat sunrise di pantai
Perawan, Pulau Pari. Sayangnya, kami terlambat mengabadikan proses ciptaan Tuhan
tersebut. Namun demikian, bukan berarti kami tak dapat mengabadikan momen momen
ketika sang surya bergerak lebih jauh dari tempat peraduannya.

56

Waktu menunjukkan pukul 07.00, saatnya kami kembali bergegas menuju mess LIPI
guna mempersiapkan diri untuk menikmati keindahan bawah air pulau Pari. Singkat cerita,
kami telah tiba di pelabuhan dan naik ke kapal untuk menuju spot spot snorkeling di
Pulau Pari. Kualitas terumbu karang di Pulau Pari masih kalah jauh dengan destinasi
destinasi wisata yang favorit, semacam Bunaken, Derawan, Kakaban, maupun Raja Ampat.
Hal tersebut tak membuat kami menyesal karena kebersamaan lebih indah dari segalanya,
bukan?

Tak kurang dari dua spot telah kami telusuri untuk snorkeling dan sudah waktunya
untuk kami bergegas kembali ke Pulau Pari untuk persiapan kepulangan menuju Bandung.
Dua hari itu terlalu singkat untuk kami, namun apa daya tugas tugas lainnya telah menanti.
Selamat tinggal pulau Pari, semoga pengalaman kali ini akan lebih mengajarkan kami
mengenai pentingnya pelestarian terumbu karang demi anak cucu kami kelak.

57

Anda mungkin juga menyukai