Anda di halaman 1dari 16

KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI PANGAN DI INDONESIA

Tugas MK:
Analisis Kebijakan Pangan dan Gizi
Dosen :
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Sc

Oleh :
Sadar Ginting
I162150061

PROGRAM STUDI ILMU GIZI MANUSIA


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI PANGAN DI INDONESIA


I. Pendahuluan
Pada tahun 2025 diperkirakan populasi penduduk Indonesia mencapai
273,1 juta. Laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka
pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Hal
tersebut berpotensi menimbulkan krisis pangan, sehingga produksi pangan perlu
ditingkatkan agar memenuhi kebutuhan tersebut. Tingginya permintaan (demand)
terkadang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi (supply), sehingga untuk
menutup defisit tersebut pemerintah diharuskan untuk melakukan impor beras.
Impor beras yang dilakukan dapat mengakibatkan inflasi pada perekonomian dan
pelemahan nilai kurs mata uang.
Defisit yang terjadi dapat ditutup dengan beberapa cara diantaranya
intensifikasi, ekstensifikasi, dan program diversifikasi pangan. Pemerintah
cenderung memilih program diversifikasi pangan karena langkah tersebut
membutuhkan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Selain itu, program diversifikasi pangan mendorong masyarakat
lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang
dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi seperti jagung, ketela, dan umbiumbian lainnya.
Sebenarnya upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah
dilaksanakan sejak tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan
konsumsi bahan pangan pokok selain beras. Kemudian di akhir Pelita I (1974),
secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Inpres No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat
(UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari
instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi
pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Selanjutnya

program diversifikasi konsumsi pangan dilakukan secara parsial baik dalam


konsep, target, wilayah dan sasaran, tidak dalam kerangka diversifikasi secara
utuh.
Proses diversifikasi pangan masih sangat sulit diterapkan meskipun
program tersebut memiliki beberapa dampak positif. Salah satu kesulitan tersebut
disebabkan oleh pola pikir masyarakat. Berdasarkan hal tersebut penyusun perlu
untuk membahas lebih lanjut mengenai program diversifikasi pangan di
Indonesia. Sehingga permasalahan yang terjadi dalam program diversifikasi
pangan dapat diketahui dan diberikan alternatif pemecahan masalah.
II. Diversifikasi Pangan di Indonesia
2.1. Pengertian Diversifikasi Pangan
Definisi diversifikasi konsumsi pangan yang telah ditetapkan dalam PP No.
17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi adalah upaya peningkatan
konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Prinsip dasar dari
diversifikasi konsumsi pangan adalah bahwa tidak ada satupun komoditas atau
jenis pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan yang diperlukan oleh
tubuh. Belum lagi dengan adanya peranan pangan sebagai pangan fungsional
seperti adanya serat, zat antioksidan dan lain-lain sehingga memilih jenis makanan
tidak semata-mata pertimbangan unsur gizi seperti kandungan energy, protein,
vitamin dan mineral tetapi juga mempertimbangkan fungsional lainnya seperti
telah disebutkan di atas.
2.2. Pengukuran Diversifikasi Konsumsi Pangan
Sejalan dengan keragaman konsep/definisi yang digunakan oleh para
peneliti/pakar, alat ukur yang digunakan untuk mengukur diversifikasi konsumsi
pangan juga sangat beragam. Seperti Jackson (1984) dan Lee (1987)
mendenifisikan diversifikasi konsumsi pangan sebagai jumlah jenis makanan yang
dikonsumsi, sehingga semakin banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan
semakin beranekaragam. Cara ini memang sederhana, namun memiliki kelemahan
karena belum memperhitungkan kuantitas zat gizi dari setiap jenis pangan,
sehingga dalam konteks analisis ketahanan pangan tidak layak dijadikan ukuran
(Ariani, 1999).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur diversifikasi


konsumsi pangan seperti indeks Herfindahl, indeks Simpson dan indeks Entropy.
Indeks-indeks tersebut umumnya menghasilkan performa diversifikasi konsumsi
yang tidak banyak berbeda (Lee dan Brown, 1989), sehingga banyak peneliti
hanya menggunakan salah satu saja yaitu indeks Entropy (Erwidodo et al., 1999).
Aspek yang diukur juga beragam seperti pengeluaran pangan, tingkat konsumsi
energi, tingkat konsumsi protein dan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat dinilai tanpa melalui ukuran
indeks, tetapi dengan melihat pola pengeluaran keluarga atau arah perkembangan
konsumsi pangan. Pemusatan proporsi pengeluaran untuk jenis-jenis komoditas
tertentu menunjukkan bahwa konsumsi keluarga tersebut tidak beranekaragam.
Dalam skala makro, kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan konsumsi jenis
pangannya (Pakpahan, 1990). Pendekatan yang lebih representatif dan banyak
digunakan oleh pakar pertanian dan gizi yaitu dengan pendekatan konsumsi energi
penduduk melalui rumusan Pola Pangan Harapan (PPH) yang diperkenalkan oleh
FAO-RAPA (1989).
Pola Pangan Harapan didefinisikan sebagai komposisi dari kelompok
pangan untuk dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi dan akan
memberikan semua zat gizi dalam jumlah yang mencukupi. Dalam PPH, susunan
hidangan makanan dianggap baik karena mengandung 10-12 persen energi dari
protein, 20-25 persen energi dari lemak dan sisanya dari karbohidrat. PPH tidak
hanya digunakan untuk mengukur tingkat keragaman konsumsi pangan tetapi juga
dapat memberikan patokan bagi perencana produksi pangan dan pertanian untuk
mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya sesuai dengan
keadaan ekologi dan ekonomi suatu wilayah (Suhardjo, 1992). Di Indonesia,
konsep tersebut mengalami penyesuaian sebagai respon dari perbedaan situasi
konsumsi pangan, budaya dan kondisi sosial ekonomi. Komposisi energi yang
dianjurkan untuk penduduk Indonesia sesuai konsep PPH dan dipakai sebagai
acuan oleh para pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi. Semakin tinggi
skor PPH berarti semakin beranekaragam, dan nilai skor tertinggi adalah 100,
yang berarti diversifikasi konsumsi pangan sangat sempurna.

III. Kendala Diversifikasi Konsumsi Pangan


Kendala diversifikasi konsumsi pangan Walaupun upaya diversifikasi
sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun sampai saat ini masih belum berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti jagung dan ubikayu
telah ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga
masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat
terutama dari padi-padian.
Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan
meningkatnya tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan
upaya diversifikasi konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang
mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan adalah sama dengan faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan yaitu sosial, budaya, ekonomi, pengetahuan,
ketersediaan pangan dan lain-lainnya, namun setiap orang mempunyai penekanan
yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh Hardjana (1994) bahwa dalam
hal konsumsi pangan, konsumen bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan
ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti
kebutuhan, kepentingan dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial.
Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan
konsumen didasari pada nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan
pengetahuan, namun tampaknya unsur-unsur prestise menjadi sangat menonjol.
Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya diversifikasi konsumsi pangan.
Ariani (2006) menunjukkan kendala tersebut adalah : 1) beras memang lebih enak
dan mudah diolah, 2) adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan
kalau belum makan nasi, 3) beras sebagai komoditas superior, 4) ketersediaan
beras melimpah dan harganya murah, 5) pendapatan rumah tangga, 6) terbatasnya
teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan lokal), 7) kebijakan
pangan yang tumpang tindih dan 8) adanya kebijakan impor gandum, jenis
product development cukup banyak dan promosi yang gencar.

V. Pentingnya Diservikasi Pangan


Diversifikasi pangan pada masyarakat Indonesia masih rendah. Karena
mayoritas masyarakat masih menggantungkan beras sebagai sumber pangan
utamanya. Hal tersebut dapat kita lihat dari pola konsumsi beras yang
mendominasi pola konsumsi pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal, dalam konsep ketahanan pangan, diversifikasi pangan merupakan salah
satu syarat untuk mencapai ketahanan pangan yang tangguh. Melalui penataan
pola konsumsi yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan
masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri. Sehingga ketergantungan
pada satu jenis komoditas pangan dapat dihindari. Apabila terjadi gagal panen
maupun masalah distribusi pada jenis pangan tertentu, tidak akan mempengaruhi
pola konsumsi masyarakat. Karena masyarakat memiliki berbagai pilihan
konsumsi.
Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu pilar ketahanan
pangan masyarakat. Langkah ini hanya membutuhkan waktu yang lebih pendek
jika dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi.
Diversifikasi juga mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam
memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang dapat menjadi
bahan makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian
lainnya.
Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan
rendahnya daya terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti
jagung, singkong maupun sagu. Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal
wilayah, sumberdaya alam kita memiliki potensi ketersediaan pangan yang
beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
dan mineral. Kita bisa mencermati hal ini, dimana setiap wilayah di Indonesia
mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura dan Nusa Tenggara
dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, Sumatera dengan ubi, Jawa dan
Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya.
Upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu
utama, dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang

berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain konsumsi yang


beragam juga pola produksinya akan ikut beragam. Dengan demikian, jika suatu
saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok (beras) kita tidak akan
kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomipolitik oleh negara-negara eksportir.
Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena
tidak ada satu pun makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang
dibutuhkan tubuh, selain ASI. Pola konsumsi yang beraneka ragam, maka
kebutuhan zat gizi masyarakat dapat terpenuhi dari berbagai jenis makanan yang
dikonsumsi. Terutama kebutuhan zat gizi mikro. Dengan pola konsumsi yang
beraneka ragam, kebutuhan akan vitamin dan mineral dapat terpenuhi.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu
kembali ke masalah desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun
konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya terhadap total energi
masih diatas 60 persen sedangkan umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar
3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang cukup luas untuk
dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan
bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses
dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image
pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Seringkali pemerintah
hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan
dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya yang
dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan konsumen, salah satu
faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program diversifikasi pangan
adalah melaksanakan product development. Produk ini merupakan upaya
menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis,
tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah
diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota
rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk
makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

VII. Implementasi Kebijakan Diversifikasi Pangan


Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan
penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman
konsumsi pangan masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan
meningkatkan usaha diversifikasi secara horizontal melalui pemanfaatan sumber
daya yang beraneka ragam dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan
berbagai hasil olahan pertanian serta diversifikasi regional melalui upaya
penganekaragaman produk yang dihasilkan untuk dikonsumsi berdasarkan potensi
pangan lokal.
Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat
nasional, regional (daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah
dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari
pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai
menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras sehingga yang
menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberas jagung.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran
beras dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu
dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan
yang terjadi saat itu. Pada akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah
mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden
(Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR),
dan disempurnakan melalui Inpres No. 20 tahun 1979. Maksud dari instruksi
tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan
mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih
ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan
diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan
pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak
bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan
bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan
harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya

usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan
mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai
menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi
(DPG). Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena
terjadi krisis pangan, DPG dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai
swasembada beras, dan masyarakat tergantung pada beras. Program DPG
bertujuan untuk mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah
tanggadan mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan
untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.
Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan
pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan
sasaran wilayah program yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah
meningkatkan ketersediaan keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.
Pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk
memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi
pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari
pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam
kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun
sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif.
Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga
meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal
alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat (Program DPG Pusat, 1998).
Departemen Kesehatan juga melaksanakan program diversifikasi konsumsi
pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang tujuan
utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP),
Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia
Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait
dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan
sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program

diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lainlain.
Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI
juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan
Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undangundang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68
tentang Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong
telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh
Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini kemudian diperbaharui melalui Perpres No
83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana mempunyai tugas untuk
mengkoordinasikan

program

ketahanan

pangan

termasuk

tujuan

untuk

mengembangkan diversifikasi pangan.


Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan
diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undangundang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya
bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih
beragam (Krisnamurthi, 2003). Dari tahun ke tahun pola konsumsi masyarakat
Indonesia terus mengalami perubahan.
Berdasarkan hasil survey dan studi sebelumnya menemukan bahwa tingkat
partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah cukup tinggi, yaitu rata-rata
hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir semua rumah tangga telah
mengkonsumsi beras. Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah
tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya
tingkat partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar
pulau, maka tingkat partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau
yang satu dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi
beras yang masih rendah hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang
dikenal wilayah dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen.
Jumlah orang yang mengkonsumsi beras selama tahun 1990 sampai 1996
dapat dikatakan relatif tidak berubah, karena perubahannya masih sangat kecil,
dibawah satu persen. Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota

10

maupun di desa. Perbedaanya adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi


beras pada kurun waktu tersebut menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di
desa masih menunjukkan peningkatan.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi
konsumsi pada rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan
di wilayah ini banyak terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan
sebagai subsitusi beras, baik dalam bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam
berbagai kemasan yang praktis, mudah diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya
beras masih mendominasi dalam pola konsumsi pangan masyarakat, sehingga
perubahannya sangat kecil. Berdasarkan data perkembangan tingkat partisipasi
konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi konsumsi
pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras
dapat dibilang masih jalan di tempat.
Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga cenderung menurun.
Peningkatan laju konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih disebabkan peningkatan
konsumsi pada tahun 2008, yaitu dari 2,7 kg menjadi 3,3 kg/kapita/tahun. Selera
masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan semakin maraknya jenis
pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat diperoleh dengan mudah.
Belum lagi adanya perubahan gaya hidup masyarakat yang jelas berpengaruh pula
pada gaya makan. Mungkin orang akan gengsi mengkonsumsi jagung dan ubi
kayu karena komoditas tersebut sudah mempunyai trade mark sebagai barang
inferior, yang hanya cocok untuk kalangan bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai
makanan pokok tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah
yang dikonsumsi juga sangat terbatas. Keragaman data tersebut menunjukkan
bahwa pangan lokal seperti jagung dan ubi kayu telah ditinggalkan oleh
masyarakat, dan pangan global seperti mie menunjukkan kebalikannya. Harapan
diversifikasi konsumsi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal, maka
tampaknya salah jalan, arah diversifikasi konsumsi pangan telah melenceng.
Sebaliknya dengan maraknya jenis mie dengan berbagai harga, rasa dan jenis
telah mampu mempengaruhi konsumen untuk mencoba dan menyenanginya.

11

Konsumsi mi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan rata-rata konsumsi
mi instant mencapai 28 bungkus per tahun
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah
cenderung berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat
berpendapatan rendah, terutama di pedesaan, yang mengarah kepada beras dan
bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie
instan.Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor
dan belum diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi itu
dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada impor.
Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti
beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga
masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya.
Pangan yang dikonsumsi akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia
terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk
pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan Harapan (PPH). PPH yang
diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia sampai pada
tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun
2009, pada tahun 2015 PPH mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus
meningkat sekitar 2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang untuk setiap hari
dianjurkan mengkonsumsi pangan seperti berikut: Padi-padian 275 gr, Umbiumbian 100 gr, Pangan hewani150 gr, Minyak+Lemak 20 gr, Buah/biji berminyak
10 gr, Kacang-kacangan 35 gr, Gula : 30,0 gr, dan Sayur + buah : 250 gr. Data
tersebut mengindikasikan bahwa dalam setahun kebutuhan dari kelompok padipadian yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk
sebesar 99 kg/kapita.
Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari padi-padian dapat dilakukan
dengan mengurangi konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi pangan dari
komoditas jagung. Untuk terigu, karena bahan baku gandum harus diimpor maka
sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya dikurangi. Sementara konsumsi dari
umbi-umbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/tahun yang berasal dari ubikayu,
ubijalar, sagu dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya 71 Prosiding Pekan

12

Serealia Nasional, 2010 ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2 kg/kapita/tahun


yang berarti masih kurang dari setengahnya.
VIII. Rekomendasi Kebijakan
Ketergantungan konsumsi pangan terhadap beras tidaklah menguntungkan
bagi ketahanan pangan, terutama yang terkait dengan aspek stabilitas kecukupan
pangan. Dampak positif dari kebijakan diversifikasi konsumsi pangan antara lain:
1. Memperkuat ketahanan pangan
Masalah ketahanan pangan menjadi isu penting oleh karena itu upaya
menurunkan peranan beras dan menggantikannya dengan jenis pangan lain
menjadi penting dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dalam
jangka panjang. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengembengkan dan
mengintroduksi bahan pangan alternative pengganti beras yang berharaga
murah dan memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan beras.
2. Meningkatkan pendapatan petani dan agroindustri pangan
Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh konsumen
dan yang memiliki harga cukup tinggi. Mereka tidak akan lagi tergantung
pada komoditas padi sebagi sumber pendapatan usaha taninya, tetapi dapat
mencoba tanaman lain yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.
3. Menghemat devisa Negara
Keberhasilan diversifikasi konsumsi tidak hanya memperkuat ketahanan
pangan masyarakat tetapi juga bermanfaat bagi penghematan devisa Negara
yang berarti meringankan beban keuangan Negara apalagi disaat terjadi krisis
ekonomi ini.
Menurut Pasandaran dan Simatupang (1990), untuk mengembangkan
diversifikasi pangan perlu dilakukan upaya melalui:
1.

Pengembangan dan pembangunan agroindustri bahan pangan non-beras, agar


konsumen dapat mengkonsumsi secara langsung. Agroindustri komoditas
pangan non-beras tersebut sebaiknya dibangun di daerah-daerah pedesaan,
dengan harapan akan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat
desa dan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mutu gizi masyarakat.
Meningkatnya daya beli masyarakat akan berpengaruh terhadap makin

13

beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi, makin banyak pangan yang


mengandung nilai gizi tinggi dikonsumsi dan cenderung makin berkurangnya
proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk pangan. Diversifikasi pangan
dapat berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri,
khususnya yang berlokasi di pedesaan.
2.

Kampanye intensif tentang diversifikasi pangan disertai dengan penyediaan


dan kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan non-beras yang siap
dikonsumsi tersebut di pasaran, harganya terjangkau dan dapat bersaing dengan
harga beras serta adanya kesinambungan dalam penyediaannya.

3.

Peningkatan produksi pangan non-beras perlu lebih ditingkatkan lagi, tetapi


tidak mengganggu kemantapan produksi beras.
Kebijakan dan rekomendasi pengembangan diversifikasi pangan adalah

sebagai berikut:
1. Penurunan konsumsi beras dan terigu :
Penerapan One Week No Rice.
Pengembangan pangan pokok : beras non padi, bubur tepung dan pati,
aneka mi dan pasta.
pengembangan kudapan (snack) dari tepung, tepung-tepungan dari bahan
baku lokal.
pengembangan teknologi bioproses dan nano untuk meningkatkan
keragaman pangan.
2. Pengembangan pangan pokok non padi spesifik lokasi :
Wilayah Indonesia Bagian Barat: pangan pokok berbentuk beras.
Wilayah Indonesia Bagian Tengah: pangan pokok berbentuk bubur dari
tepung.
Wilayah Indonesia Bagian Timur: pangan pokok berbentuk bubur dari pati.
3. Pengurangan susut hasil (yield losses) dan peningkatan rendemen produk
pangan:
Perbaikan metode pengukuran susut hasil.
Perbaikan konfigurasi proses penggilingan padi.
Penerapan sistem manajemen mutu.
4. Peningkatan kualitas gizi dan keamanan pangan :
Pengembangan teknologi fortifikasi untuk pengkayaan kandungan gizi
bahan pangan konvensional.
Pengembangan teknologi bioproses dan nano pangan untuk peningkatan
kualitas gizi.

14

Karakterisasi kandungan gizi dan zat berkhasiat pada pangan fungsional


asal tumbuhan.
Formulasi makanan untuk penanggulangan malnutrisi.
Pengembangan produk baru untuk pangan darurat (MP-ASI, pangan
instan).
Peningkatan penanganan keamanan pangan.
5. Pengembangan model kawasan mandiri pangan :
Pengembangan kelembagaan agribisnis.
Pengembangan agroindustri pangan.
Pengembangan lumbung pangan desa.
Pengembangan kawasan rumah pangan lestari.
Peningkatan ketersediaan pangan pokok non padi.
IX. Penutup
Kebijakan

terakhir, pemerintah

menetapkan

kebijakan

percepatan

diversifikasi konsumsi pangan berbasisi sumberdaya lokal dengan dua strategi


yaitu internalisasi penganekeragaman konsumi pangan dan pengembangan bisnis
dan industri pangan lokal. Proses internalisasi dilakukan melalui dua cara yaitu
advokasi, kampanye dan sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman pada berbagai tingkatan kepada aparat dan masyarakat
serta pendidikan konsumsi pangan melalui pendidikan formal dan non formal.
Sementara, pengembangan bisnis dan industri pangan lokal dilakukan melalui
fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan
baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis
sumberdaya lokal dan advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan
keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha skala rumahtangga
dan UMKM.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu
kembali ke masalah desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun
konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya terhadap total energi
masih diatas 60 persen sedangkan umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar
3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang cukup luas untuk
dikembangkan

sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan

bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses


dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image
pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior.

15

Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan


diversifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh
ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi
permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan
program diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk
ini merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara
lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada
sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan
setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan
maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang
terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung
Swasembada
Beras. http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/08.pdf
(diakses tanggal 23 Mei 2016)
Ariani, Mewa. Diversifikasi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. 2010.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Beras, Banten.
Jafar, Nurhaedar. Diversifikasi Konsumsi dan Ketahanan Pangan Masyarakat.
2012. Univesitas Hasanuddin, Makasar.
Setiawan, Yoga. 2010. Peningkatan Produksi Beras dan Diversifikasi Pangan
Lokal
untuk
Meningkatkan
Ketahanan
Pangan
Nasional.http://yogas09.student.ipb.ac.id/files/2010/12/Diversifikasi-danOptimalisasi-Pangan-Lokal-untuk-Meningkatkan-Ketahanan-PanganNasional.pdf(diakses tanggal 23 Mei 2016)

16

Anda mungkin juga menyukai