Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN FORTIFIKASI MAKANAN UNTUK

MENGATASI PERMASALAHAN GIZI MIKRO

Tugas MK:
Isu-Isu Gizi Global
Dosen :
Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Sc

Oleh :
Sadar Ginting
I162150061

PROGRAM STUDI ILMU GIZI MANUSIA


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016

KEBIJAKAN FORTIFIKASI MAKANAN UNTUK


MENGATASI PERMASALAHAN GIZI MIKRO
I.

Pendahuluan
Di Indonesia, program fortifikasi pangan didasarkan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam hal ini pemerintah menetapkan
persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan gizi pangan tertentu yang diedarkan
dan dikonsumsi masyarakat, terutama yang berekonomi lemah. Program
fortifikasi pangan juga tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2010-2014. Di banyak negara, fortifikasi merupakan
program andalan untuk mencegah gizi mikro, yaitu kekurangan vitamin dan
mineral yang banyak diderita penduduk, terutama anak dan ibu hamil. Selama ini
pemerintah telah memberlakukan kewajiban fortifikasi bagi garam dengan
yodium sejak tahun 1994. Kemudian fortifikasi wajib tepung terigu pada tahun
2001 dan 2008, yaitu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin BI dan B2.
Beberapa negara menetapkan target untuk menghilangkan kekurangan zat
gizimikro pada tahun 2000. Tujuan dasar dari semua program-program zat gizi
mikro nasional adalah untuk manjamin bahwa zat gizimikro yang dibutuhkan
tersedia dan dikonsunsi dalam jumlah yang cukup, oleh penduduk (terutama
penduduk yang rentan terhadap kekurangan zat gizimikro tersebut). Strategistrategi yang digunakan harus tepat untuk menjawab kebutuhan dan harus
menggunakan sistem dan teknologi yang tersedia. Kombinasi beberapa intervensi
mencakup promosi pemberian ASI, modifikasi makanan (misalnya meningkatkan
ketersediaan pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan
suplementasi.
Fortifikasi pangan (pangan yang lazim dikonsumsi) dengan zat gizimikro
adalah salah satu strategi utama yang dapat digunakan untuk meningkatkan status
mikronutrien pangan. Fortifikasi harus dipandang sebagai upaya (bagian dari
upaya) untuk memperbaiki kualitas pangan selain dari perbaikan praktek-praktek
pertanian yang baik (good agricultural practices), perbaikan pengolahan dan
penyimpangan pangan (good manufacturing practices), dan memperbaiki
pendidikan konsumen untuk mengadopsi praktek-praktek penyediaan pangan
yang baik.

II. Klasifikasi Fortifikasi Pangan


Fortifikasi

Pangan

di

Indonesia

Fortifikasi

pangan

merupakan

penambahan zat gizi mikro (vitamin dan/atau mineral) pada bahan makanan
dalam proses pengolahan, untuk meningkatkan nilai gizi pangan yang
bersangkutan. Fortifikasi pangan ini merupakan bagian dari perbaikan gizi.
Perbaikan gizi ditempuh dengan mengkonsumsi makanan keluarga seharihari berdasarkan gizi seimbang. Namun, sayangnya tidak semua keluarga dapat
memenuhi gizi seimbang karena masalah ekonomi ataupun kurangnya
pengetahuan. Oleh sebab itu, fortifikasi merupakan salah satu upaya untuk
memenuhinya, ungkap Prof. Soekirman Guru Besar Ilmu Gizi sekaligus ketua
Yayasan Kegizian Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia (KFI) dalam
seminar gizi nasional di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu.
KFI didirikan dengan misi menyebarluaskan pengetahuan tentang
fortifikasi pangan, mengadvokasi pentingnya fortifikasi pangan sebagai bagian
dari berbagai upaya untuk memperbaiki keadaan pangan dan gizi, kesehatan,
kecerdasan serta produktivitas, menjadi mitra pemerintah dalam formulasi
kebijakan, peraturan dan hukum serta implementasinya dalam fortifikasi pangan
dan menyediakan data dan informasi ilmiah tentang fortifikasi pangan. Di
Indonesia fortifikasi pertama kali dilakukan pada garam yang bertujuan untuk
mengatasi masalah kurang yodium.
Pada tahun 1999 dilanjutkan dengan fortifikasi tepung terigu yang
ditambahkan zat besi, lalu dua tahun kemudian Standar Nasional Indonesia(SNI)
mewajibkan tepung terigu difortifikasi dengan zat besi, seng, vitamin B1 dan B2.
Pada awalnya program fortifikasi ini dianggap tidak berguna oleh pemerintah,
namun setelah kami menunjukkan beberapa penelitian mengenai ini akhirnya
pemerintah menerima dan mendukung fortifikasi pangan, tutur Prof. Soekirman.
Pada dasarnya fortifikasi terdiri dari tiga jenis, yaitu fortifikasi sukarela, fortifikasi
wajib dan fortifikasi khusus.
Fortifikasi sukarela merupakan inisiatif produksi oleh produsen, bukan
pemerintah. Komoditi pangan dan fortifikan yang dipakai ditentukan oleh
produsen, sasarannya adalah semua orang yang sanggup membeli. Fortifikasi
wajib adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi

mikro yang banyak terdapat pada kelompok masyarakat tertentu (misalnya


masyarakat miskin). Sedangkan fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib,
hanya sasarannya kelompok masyarakat tertentu, seperti anak-anak, balita atau
anak sekolah. Pemerintah Indonesia mencanangkan fortifikasi wajib pada
beberapa produk, yakni terigu dan minyak goreng, pada minyak goreng misalnya
harus mengandung vitamin A sebanyak 45 IU. Tambah Prof. Soekirman. Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu ada masalah
gizi mikro mendesak, bahan pangan yang akan difortifikasi dikonsumsi sebagian
besar masyarakat, diproduksi oleh pabrik atau produsen yang jumlahnya terbatas,
dan ada teknologi fortifikasi sesuai pedoman WHO. Selain itu, fortifikasi juga
tidak boleh merubah rasa, warna, konsistensi, dan tidak menambah harga secara
signifikan serta secara ilmiah dibuktikan fortifikasi efektif mengatasi masalah gizi
mikro.
III. Jenis-Jenis Fortifikasi Pangan
Menjelaskan jenis-jenis fortifikasi pangan yang dilakukan di Indonesia,
seperti: fortifikasi yodium, fortifikasi besi, dan fortifikasi vitamin A.
1.

Fortifikasi Yodium
Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversibel itu
sebabnya penganekaragaman makanan dengan menggunakan pangan yang
tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan menggunakan pangan yang sama
tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun komunitas.
Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka
panjang adalah fortifikasi pangan dengan Yodium.
Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies yang
telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu,
gula, dan air telah dicoba Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum
yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab garam digunakan secara
luas oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah sederhana dan tidak
mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan
Kalium Iodat (KID3). Iodat lebih stabil dalam impure salt pada penyerapan
dan kondisi lingkungan (kelembaban) yang buruk penambahan tidak
menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang dengan

program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang


berkesinambungan akan prevalensi GAKI.
Pada kenyataannya, program yodisasi garam di Indonesia dalam upaya
menanggulangi GAKY sampai saat ini masih menghadapi berbagai kendala
meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk
menunjang program yodisasi garam tersebut. Di antara penyebab hal ini
adalah lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah.
Permasalahan ini menunjukkan diperlukannya suatu

cara yang dapat

mengeliminasi peredaran garam yang tidak beryodium.


Situasi dan kondisi di Indonesia menunjukkan betapa sulitnya mengatur
produsen garam kecil untuk mendukung USI. Yodisasi garam di negara
Indonesia dimulai sejak penjajahan Belanda pada tahun 1927, kemudian
terhenti di tahun 1945 ketika monopoli garam dibubarkan. Pada tahun 1976
usaha untuk melenyapkan GAKY dimulai lagi dengan bantuan dari UNICEF,
tetapi tidak berhasil karena minimnya tanggung jawab dan koordinasi di
antara para menteri dan sektor swasta di dalamnya.
Beberapa faktor yang dapat menjadi penghambat adalah:
a. Harga garam beryodium yang lebih mahal dibandingkan dengan garam
yang tidak beryodium, membuat masyarakat lebih memilih garam yang
tidak beryodium untuk konsumsi sehari-harinya.
b. Minat dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap garam
beryodium,
c. Kurangnya kesadaran produsen untuk memproduksi garam beryodium
sesuai dengan nilai kandungan minimal sehingga banyak garam
beryodium yang tidak memenuhi syarat,
d. Lemahnya pengawasan mutu yang dilakukan oleh pemerintah,
e. Ketersediaan garam beryodium yang memenuhi persyaratan belum
memadai.
2.

Fortifikasi Besi
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi
gizi besi, fortifikasi zat gizi besi dipandang oleh beberapa peneliti merupakan
strategi termurah untuk memulai, mempertahankan, mencapai atau mencakup
jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatan jangka panjang
(Cook and Reuser, 1983). Fortifikasi zat besi tidak menyebabkan efek

samping pada saluran pencernaan. Inilah keuntungan pokok dalam hal


diterimanya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang diperkaya
dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang
rentan defisien zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk
mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989). Pilihan pendekatan ditentukan
oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977). Tahapan
kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa
besi yang dapat diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus
diperhatikan bahwa wanita hamil membutuhkan zat besi sangat besar selama
akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa fortifikan yang umum
digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat,
besi ammonium sulfat, dan lain-lain.
Dibandingkan dengan zat gizi mikro lain, zat besi dikatakan sebagai mineral
yang paling sulit difortifikasi. Permasalahan utamanya adalah senyawa besi
larut air seperti besi sulfat, besi laktat dan sebagainya, yang diketahui paling
mudah diserap tubuh, seringkali menyebabkan perubahan warna dan bau
yang tidak diinginkan pada pangan pembawanya. Sebagai contoh,
penambahan pada garam kualitas rendah dengan cepat akan mengakibatkan
perubahan warna dan bau tidak sedap, akibat reaksi antara ion besi dengan
udara dan senyawa pengotor seperti magnesium klorida dan magnesium
sulfat. Disisi lain senyawa tidak larut air seperti besi elemen tidak
menimbulkan perubahan warna dan bau, namun sulit diserap oleh tubuh
sehingga nilai gizinya sangat rendah. Selain itu, permasalahan utama lainnya
adalah terjadinya reaksi antara iodium dengan besi yang mengakibatkan
berkurang atau hilangnya kandungan iodium.
Oleh karenanya, pada pengembangan teknologi fortifikasi garam beriodium
dengan zat besi, kedua permasalahan ini harus diatasi agar didapatkan garam
fortifikasi yang dapat diterima secara organoleptik dan memiliki nilai gizi
yang tinggi.
3.

Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk


mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan membandingkan antara
asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah
strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersia (secara kimia) identik
dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin
yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk
larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang
dapat disatukan atau digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral
atau secara langsung ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling
penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat.
Vitamin A dalam bentuk retinol atau karoten (sebagai beta-karoten dan betaapo-8 karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke
pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, teh, sereal,
dan monosodium glutamat (MSG) telah difortifikasi oleh vitamin A.
Meskipun vitamin A ada pada buah dan sayuran, tetapi jumlah yang
dikonsumsinya harus banyak. Beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk
penanggulangan kekurangan vitamin A adalah diversifikasi pangan,
suplementasi vitamin A dosis tinggi, dan fortifikasi pangan. Pemberian
suplemen atau kapsul vitamin A masih tergolong mahal bagi masyarakat,
salah satu solusi yang dapat digunakan adalah fortifikasi vitamin A.
Permasalahannya adalah mencari vehicle atau kendaraan yang tepat untuk
fortifikasi. Kandidat Bahan pangan yang dapat digunakan untuk fortifikasi
saat ini adalah minyak goreng. Beberapa alasan yang membuat minyak
goreng potensial sebagai kendaraan fortifikasi vitamin A adalah karena
minyak goreng merupakan komoditas kedua setelah beras yang dikonsumsi
oleh lebih dari 90% penduduk, konsumsi minyak goreng per kapita yang
mencapai > 23 gram (lebih dari 10 gram jumlah minimun untuk fortifikasi),
rumah tangga rata-rata menggunakan 1-3 kali minyak goreng untuk
penggorengan, stabilitas vitamin A selama penyimpanan dan penggorengan
juga telah teruji (retensi selama penggorengan tinggi), dan dibuktikan dengan

berbagai penelitian bahwa konsumsi minyak goreng berfortifikasi vitamin A


terbukti mampu meningkatkan status vitamin A anak usia sekolah.
IV. Keunggulan dan Kelemahan Program Fortifikasi Pangan
a. Keunggulan
Amerika serikat merupakan negara pertama yang melakukan fortifikasi,
yaitu pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan tentang fortifikasi garam
dengan zat iodium. Fortifikasi pangan terbukti sebagai strategi yang paling efektif
untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di Eropa, Amerika Utara dan
Amerika Latin serta beberapa negara maju lainnya. Sebagai contoh, program
fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil menghilangkan riketsia di Inggris,
Kanada, dan Eropa Utara. Untuk di Indonesia sendiri pada tahun 2001, Komisi
fortifikasi Indonesia (KFI), UNICEF, Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB
dan Forum Komunikasi Pangan di Indonesia bekerjasama melakukan studi
fortifikasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil yang didapat dalam studi tersebut
yakni fortifikasi pada beberapa jenis bahan pangan dapat berperan untuk
mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di Indonesia. Adapun beberapa
yang menjadi kelebihan fortifikasi pangan ini, populasi sasarannya luas, tidak
diperlukan sarana program khusus dalam pemberian, serta tingkat penerimaan dan
tingkat kesinambungannya tinggi. Untuk fortifikasi zat besi sendiri telah berhasil
menurunkan prevalensi anemia defisiensi besi secra drastis di Swedia dan Eropa
dengan menggunakan tepung sebagai bahan pangannya.
Di negara berkembang, yang memiliki masalah gizi dan kemampuan
ekonomi masyarakat rendah, maka fortifikasi merupakan program wajib
(intervensi pemerintah). Program pemerintah ini tentunya akan terlaksana dengan
baik apabila didukung semua pihak, termasuk di dalamnya industri dan para
pelaksana teknis di lapangan. Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan
untuk penanggulangan anemia gizi besi, fortifikasi pangan dipandang oleh para
ahli gizi sebagai strategi yang paling praktis, ekonomis dan efektif untuk
memenuhi kebutuhan asupan harian zat besi.
Fortifikasi pangan dianggap sebagai suatu metode yang sukses untuk
mengurangi defisiensi mikronutrien dan merupakan salah satu elemen penting
dalam kebijakan pangan di negara-negara Asia dan Pasifik. Fortifikasi pangan

telah digunakan sebagai langkah intervensi yang menjamin keamanan pangan bagi
seluruh penduduk dengan biaya yang efisien dan berkelanjutan. Salah satu faktor
sukses pada program fortifikasi adalah pemilihan makanan pembawa (carrier)
dan fortifikan yang tepat.
Di Indonesia, fortifikasi zat besi misalnya telah diberlakukan pada
beberapa produk pangan seperti mie instant, susu bubuk dan terigu. Namun
demikian, sampai sekarang fortifikasi masih belum banyak berperan dalam
penanggulangan anemia gizi besi di masyarakat, terlihat dengan masih tingginya
angka prevalensi anemia gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah karena bahan
pangan yang digunakan sebagai wahana (vehicle) belum dikonsumsi secara luas
dan kontinyu oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat ekonomi
lemah.
Tabel 1. Keuntungan
Fortifikasi
Pangan
dibandingkan
dengan
Suplementasi Dosis Tinggi
Suplementasi
Fortifikasi
Keefektifan
Efektif
untuk
jangka Efektif
untuk
jangka
panjang
menengah dan panjang
Delivery
System hearth delivery yang Pangan
pembawa
requirment
efektif
(foovehicle) yang cocok dan
fasilitas pengolahan yang
terorganisir
Kerelaan
Memerlukan motivasi yang Tidak memerlukan kerja sama
(Compliance)
berkelanjutan dari partisipan yang inisiatif dan kerelaan
pribadi
masing-masing
individu.
Biaya
Relative
membutuhkan Biaya rendah
pemeliharaan
biaya yang tinggi
Biaya eksternal
Dukungan
eksternal Teknologi yang memadai dan
dibutuhkan
untuk mudah ditransfer
memperoleh suplemen
Kesinambungan Tergantung pada kemauan Fortifikasi
(senyawa
dan sumber daya yang ada
fortifikasi) mungkin perlu di
import
b. Kelemahan
Kondisi penanganan, penyimpanan dan pengolahan bahan pangan
fortifikasi yang berhubungan dengan aspek fisikokimia seperti suhu, tekanan,
kelembaban, oksigen, cahaya, pH, katalis, serta adanya kontaminan atau bahan

lain yang dapat bereaksi dengan fortifikan, atau reaksi dengan zat gizi yang
terkandung dalam pangan media pembawa.
Perlindungan fortifikan dari pengaruh lingkungan yang merupakan sangat
diperlukan untuk mendukung keberhasilan program fortifikasi secara teknis.
Perlindungan harus diberikan secara menyeluruh sehingga fortifikan dapat
mencapai system pencernaan dengan selamat atau terhindar dari kerusakan
akibat proses pengolahan penyimpanan, distribusi dan konsumsi. Sebagai contoh,
folat yang difortifikasikan ke dalam tepung dapat mengalami kerusakan selama
pengolahan menjadi berbagai berbagai produk melalui proses pemanasan seperti
ekstrusi pemanggangan atau penggorengan. Lebih lanjut, beberapa senyawa yang
sensitive terhadap asam lambung, walaupun selamat dari proses pengolahan
akan terdegradasi di dalam lambung sebelum mencapai usus halus. Perlindungan
yang diberikan haruslah memadai sehingga fortifikasi dapat mencapai targetnya.
Dalam konsep yang lebih maju, fortifikan juga diharapkan dapat berfungsi
dalam jangka waktu yang panjang di dalam tubuh sehingga tidak diperlukan
beberapa kali asupan yang cukup merepotkan. Konsep ini mengacu pada model
single dosage dalam konsumsi obat dimana obat diberikan satu kali sehari untuk
masa aktif sepanjang hari. Untuk itu, system fortifikasi juga dituntut untuk
memiliki slow released.
Dalam fortifikasi, penerimaan sensoris juga merupakan aspek teknis yang
penting. Penambahan fortifikan hendaknya tidak mempengaruhi penerimaan
sensoris, baik dari sisi tampilan, rasa, aroma maupun tekstur. Dalam beberapa
kasus, penambahan nutrient dapat mengubah warna produk seperti adanya warna
kuning pada garam yang difortifikasi dengan zat besi atau warna kuning pada
monosodium glutamate (MSG) yang difortifikasi dengan vitamin A. contoh lain,
fortifikasi zat besi dapat menyebabkan adanya rasa logam (metallic aftertaste),
timbulnya flavor yang tidak enak akibat oksidasi lemak (yang dikatalis oleh zat
besi), adanya perubahan warna bahan makanan yang tidak diinginkan (akibat
interaksi antra zat besi dan antiosianin, flavonoid dan tannin) serta adanya
degredasi vitamin dan mineral (seperti vitamin A dan C serta yoidum).
Beberapa zat gizi mikro yang banyak ditambahkan adalah vitamin A,
yodium, zat besi dan folat. Bahan makanan yang sering difortifikasi adalah gula,

10

terigu, MSG beras dan serealia lainnya, teh, air minum serta minyak dan lemak.
Sifat fungsional bahan aktif ditentukan oleh kondisi lingkungan dimana bahan
aktif tersebut berada, baik selama proses pembuatan produk, komposisi bahanbahan lain di dalam produk, kondisi penyimpanan dan kondisi di dalam system
pencernaan28,31. Dalam sebuah studi, minuman serbuk yang difortifikasi dengan
mineral (besi, seng dan yodium) dan vitamin (A, C, E, niasin, B6, B2, B12, dan
asam folat) memiliki kestabilan yang berbeda selama penyimpanan.
V. Kebijakan Fortifikasi Wajib pada Beberapa Produk yang Dicanangkan
Pemerintah
Sesuai dengan amanat pada Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, pemerintah berwenang dalam menetapkan
fortifikasi pangan dan memberlakukan secara wajib. Program pangan fortifikasi
ini merupakan program lintas sektor kementerian kesehatan, perindustrian,
perdagangan, dan lain-lain termasuk pemerintah daerah, dan dalam hal ini Badan
POM mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengawasan pangan
fortifikasi. Saat ini pemberlakuan SNI Wajib pangan fortifikasi adalah garam
beryodium atau garam konsumsi, tepung terigu dan terakhir adalah minyak
goreng sawit yang akan diterapkan mulai Maret 2015.
VI. Implementasi Kebijakan Fortifikasi
Di tahun 2001, sebuah studi pun dilakukan atas kerjasama Komisi
Fortifikasi Indonesia (KFI), UNICEF, Pusat Studi kebijakan Pangan dan Gizi IPB
dan Forum Komunikasi Pangan di Indonesia. Lokasi studi terletak di Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, dan Sumatera Utara. Studi tersebut menghasilkan kesimpulan penting
yakni fortifikasi pada beberapa jenis bahan pangan dapat berperan untuk
mengatasi masalah kekurangan gizi mikronutrien di Indonesia. Selain fortifikasi
iodium ke dalam garam konsumsi, dan fortifikasi zat besi, seng, thiamin dan asam
folat dan MP-ASI diusulkan pula untuk memfortifikasi gula dan minyak kelapa
dengan vitamin A.
Bahkan menghadapi proyeksi penduduk 2025, ketersediaan pangan
berkualitas menjadi tuntutan. Tak hanya garam atau terigu, beras pun ke depan

11

perlu difortifikasi dengan mineral atau vitamin tertentu. Di beberapa negara,


fortifikasi sedang dikembangkan. Salah satunya adalah Golden Rice, padi yang
mengandung vitamin A. Di negara-negara maju, fortifikasi pangan merupakan
strategi yang terbukti paling efektif untuk mengontrol kekurangan zat gizi mikro.
Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin A berhasil
menghilangkan ricket di Inggris, Kanada dan Eropa Utara. Fortifikasi garam
dengan iodium yang merupakan program dunia yang terbukti mampu menekan
goitre secara signifikan. Sedangkan untuk zat besi, Di Swedia dan Amerika
Serikat fortifikasi pada tepung terigu berhasil menurunkan prevalensi penderita
anemia gizi besi secara dramatis (Mardliyati, 2006).
Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk penanggulangan
defisiensi besi mikro, fortifikasi merupakan strategi yang paling praktis, ekonomis
dan efektif. Dengan biaya sama atau lebih kecil, program fortifikasi memberikan
manfaat lebih besar. Keuntungan fortifikasi, selain efektif menjangkau seluruh
lapisan masyarakat, murah, juga sangat praktis dan aman karena gizi sudah
terkandung di dalam bahan pangan yang dikonsumsi. Setiap hari dalam dosis
relatif tetap, asupan gizi dalam jumlah signifikan (tidak berlebih) secara kontinu
dan jangka panjang.
Pelaksanaan fortifikasi pangan, bagaimanapun, harus dijalankan oleh
industri pangan/makanan. Akan tetapi, dalam banyak kasus departemen kesehatan
tidak dapat atau mau mengendalikan dan memotivasi industri. Umumnya
pemerintah tidak melakukan fortifikasi pangan sendiri. Hal ini adalah
tugas/tanggungjawab dari perusahaan pengolahan makanan. Pegawai pemerintah
harus bertindak sebagai penasehat, konsultan, coordinator, dan supervisor yang
memungkinkan industry pangan/makanan melaksanakan fortifikasi pangan secara
efektif dan menguntungkan. Industri pangan/makanan juga dapat memainkan
peranan yang nyata dalam strategi fortifikasi jangka panjang melalui penyediaan
teknik preservation yang dikembangkan dan melalui peningkatan (promosi)
pangan yang kaya zat gizi mikro yang tersedia secara lokal atau sebagai fortifikan.
Spesifiknya, industri pangan (baik nasional maupun multinasional) perlu untuk: a)
Berpartisipasi sejak permulaan perencanaan program, yang akan menetapkan
strategi fortifikasi yang layak; b) Mengidentifikasi mekanisme untuk kolaborasi

12

antara pemerintah, industri pangan dan system pemasarannya, dan organisasi non
pemerintah dan perwakilan donor; c) Membantu dalam mengindentifikasi pangan
pembawa dan fortifikan yang sesuai; d) Menetapkan dan mengembangan system
jaminan mutu (quality assurance system); e) Berpartisipasi dalam dukungandukungan promosi dan edukasi untuk mencapai populasi sasaran (Siagian, 2003)
Untuk mengatasi permasalahan gizi mikro dengan cara fortifikasi
diperlukan beberapa kerjasama dari beberapa pihak yang harus terlibat,
diantaranya :
a. Pemerintah : fasilitator, regulator, Quality Control dan Pembinaan, Social
Marketing
b. Industri : Proses Produksi dan Distribusi, Quality Assurance sesuai

Standar

SNI.
c. Konsumen : Partisipasi Konsumsi dan Pengawasan (Martianto, 2012)
VII.

Rekomendasi Kebijakan
Pemerintah harus mewajibkan fortifikasi atas komoditas pangan tertentu

melalui kebijakan SNI dan merupakan bagian dari upaya penanggulangan


kemiskinan yang cukup efektif dalam penggunaan dana. Diharapkan agar pada
masa depan program fortifikasi wajib tidak terbatas pada fortifikasi wajib garam
beryodium, dan tepung terigu seperti yang ada, tetapi juga raskin, minyak goreng
curah, dan produk tepung lain yang nonterigu.
Contoh kebijakan untuk fortifikasi tepung terigu melalui kebijakan SNI
adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan dan menerapkan secara wajib Standar Nasional Indonesia tepung
terigu sebagai bahan makanan (SNI 01.3751-2000/Rev.1995 dan revisinya).
2. Perusahaan industri yang memproduksi tepung terigu sebagai bahan makanan
wajib menerapkan Standar Nasional Indonesia Tepung Terigu sebagai Bahan
Makanan dan wajib mempunyai Sertifikat Produk Penggunaan SNI sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
3. Tepung terigu sebagai bahan makanan yang diperdagangkan di dalam negeri
baik yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari impor wajib
memenuhi persyaratan (SNI 01.3751-2000/Rev.1995 dan revisinya)..
VIII. Penutup

13

Kecukupan gizi terutama yang terkait langsung dengan pertumbuhan,


kecerdasan otak dan kesehatan secara universal khususnya iodium dan zat besi
serta protein amat penting. Agar supaya Indonesia tidak kehilangan satu generasi
sebagai akibat kurangnya asupan gizi dalam diet maka sudah menjadi kewajiban
pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama terpadu guna
mengatasi kekurangan gizi sehingga diperoleh generasi yang cerdas dan tangguh.
Salah satunya adalah dengan dilakukannya program fortifikasi zat gizi pada
produk pangan.
Untuk itulah kualitas SDM memerankan peranan yang penting dalam
pengembangan bangsa. Pengembangan ilmu dan pengetahuan (IPTEK) yang
berlangsung cepat dan menjadi barometer kemajuan suatu bangsa membutuhkan
SDM berkualiats tinggi. Maka hal ini perlu dan harus didukung status gizi yang
baik dan memadai. Begitu kompleksnya akibat yang dapat ditimbulkan oleh
kekurangan gizi. Oleh karena itu untuk memenuhi kecukupan gizi perlu pula di
fahami suatu kebijaksanaan yang juga harus ditanggapi dengan sikap yaitu makan
dengan menu seimbang dan tidak berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Anisatusholihah. 2009. Modifikasi Alat Fortifikasi Yodium Portable Dan Iodine
Test Kit Untuk Menanggulangi Masalah Gangguan AKIBAT
Kekurangan
Yodium
(Gaky)
Di
Indonesia. http://benbayu.files.wordpress.com/2010/03/4-5-1anisatusholihah-modifikasi-alat-ortifikasi.pdf. Diakses tanggal 11 Mei
2016
Bauernd, JC. 1994. Nutrification of Foods. In Shils, MD.; Olsm, JA.; Shike, M.
Ed. Modern nutrition in health an disease. Lea and Febiger, 8th Edition.
Chaper Burgi, H.; Supersaxo, Z.; Selz, B. 1990. Iodine deficiency diseases in
Switernland one hundred years after Theatre Kocher's survey: A
historical review with some new goitre prevalence data. Acta
Endocrinologica. Copenhagen.
Harris, RS. 1968. Attitudes and approaches to supplementation offoods with
nutrients. J. Agr. Food Chern. 16(2), 149-152.
INNAG. 1993. Iron EDTA for food fortifikation. A report of the INAAG.
Wahongton, DC. USA.

14

WHO, Geneva, Switzernland. World Banka. 1994. Enriching Lives. Overcoming


vitamin A and mineral malnutrition in developing countries. The World
Bank. DC, USA.
WHO. 1994. Indicator for assesing iodine deficiency disorders and their controll
through salt iodization. WHO/UNICEF/ICCIDD.Doc. WHO, Geneva,
Switzernland.
WHO. 1995. Global prevalence of vitamin A deficiency. WHO Micronutrient
Deficiency Onformation Systems: Working Paper Number 2. WHO,
Geneva, Switzernland.

15

Anda mungkin juga menyukai