Anda di halaman 1dari 22

KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI PANGAN DI INDONESIA

I. Pendahuluan
Pada tahun 2025 diperkirakan populasi penduduk Indonesia mencapai
273,1 juta. Laju pertumbuhan penduduk setelah tahun 2025 rata-rata 1%, maka
pada tahun 2050 penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 340 juta jiwa. Hal
tersebut berpotensi menimbulkan krisis pangan, sehingga produksi pangan perlu
ditingkatkan agar memenuhi kebutuhan tersebut. Tingginya permintaan (demand)
terkadang tidak diimbangi dengan pertumbuhan produksi (supply), sehingga
untuk menutup defisit tersebut pemerintah diharuskan untuk melakukan impor
beras. Impor beras yang dilakukan dapat mengakibatkan inflasi pada
perekonomian dan pelemahan nilai kurs mata uang.
Defisit yang terjadi dapat ditutup dengan beberapa cara diantaranya
intensifikasi, ekstensifikasi, dan program diversifikasi pangan. Pemerintah
cenderung memilih program diversifikasi pangan karena langkah tersebut
membutuhkan waktu yang lebih pendek jika dibandingkan intensifikasi dan
ekstensifikasi. Selain itu, program diversifikasi pangan mendorong masyarakat
lebih kreatif dalam memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang
dapat menjadi bahan makanan pokok selain padi seperti jagung, ketela, dan umbiumbian lainnya.
Sebenarnya upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah
dilaksanakan sejak tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan
konsumsi bahan pangan pokok selain beras. Kemudian di akhir Pelita I (1974),
secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan
melalui Inpres No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat
(UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari
instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi konsumsi
pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Selanjutnya

program diversifikasi konsumsi pangan dilakukan secara parsial baik dalam


konsep, target, wilayah dan sasaran, tidak dalam kerangka diversifikasi secara
utuh.
Proses diversifikasi pangan masih sangat sulit diterapkan meskipun
program tersebut memiliki beberapa dampak positif. Salah satu kesulitan tersebut
disebabkan oleh pola pikir masyarakat. Berdasarkan hal tersebut penyusun perlu
untuk membahas lebih lanjut mengenai program diversifikasi pangan di
Indonesia. Sehingga permasalahan yang terjadi dalam program diversifikasi
pangan dapat diketahui dan diberikan alternatif pemecahan masalah.
II. Diversifikasi Pangan di Indonesia
2.1. Pengertian Diversifikasi Pangan
Definisi diversifikasi konsumsi pangan yang telah ditetapkan dalam PP No.
17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi adalah upaya peningkatan
konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Prinsip dasar dari
diversifikasi konsumsi pangan adalah bahwa tidak ada satupun komoditas atau
jenis pangan yang memenuhi unsur gizi secara keseluruhan yang diperlukan oleh
tubuh. Belum lagi dengan adanya peranan pangan sebagai pangan fungsional
seperti adanya serat, zat antioksidan dan lain-lain sehingga memilih jenis makanan
tidak semata-mata pertimbangan unsur gizi seperti kandungan energy, protein,
vitamin dan mineral tetapi juga mempertimbangkan fungsional lainnya seperti
telah disebutkan di atas.
2.2. Pengukuran Diversifikasi Konsumsi Pangan
Sejalan dengan keragaman konsep/definisi yang digunakan oleh para
peneliti/pakar, alat ukur yang digunakan untuk mengukur diversifikasi konsumsi
pangan juga sangat beragam. Seperti Jackson (1984) dan Lee (1987)
mendenifisikan diversifikasi konsumsi pangan sebagai jumlah jenis makanan yang
dikonsumsi, sehingga semakin banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan
semakin beranekaragam. Cara ini memang sederhana, namun memiliki kelemahan
karena belum memperhitungkan kuantitas zat gizi dari setiap jenis pangan,
sehingga dalam konteks analisis ketahanan pangan tidak layak dijadikan ukuran
(Ariani, 1999).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur diversifikasi


konsumsi pangan seperti indeks Herfindahl, indeks Simpson dan indeks Entropy.
Indeks-indeks tersebut umumnya menghasilkan performa diversifikasi konsumsi
yang tidak banyak berbeda (Lee dan Brown, 1989), sehingga banyak peneliti
hanya menggunakan salah satu saja yaitu indeks Entropy (Erwidodo et al., 1999).
Aspek yang diukur juga beragam seperti pengeluaran pangan, tingkat konsumsi
energi, tingkat konsumsi protein dan kuantitas pangan yang dikonsumsi.
Diversifikasi konsumsi pangan juga dapat dinilai tanpa melalui ukuran
indeks, tetapi dengan melihat pola pengeluaran keluarga atau arah perkembangan
konsumsi pangan. Pemusatan proporsi pengeluaran untuk jenis-jenis komoditas
tertentu menunjukkan bahwa konsumsi keluarga tersebut tidak beranekaragam.
Dalam skala makro, kondisi ini dapat dilihat dari kecenderungan konsumsi jenis
pangannya (Pakpahan, 1990). Pendekatan yang lebih representatif dan banyak
digunakan oleh pakar pertanian dan gizi yaitu dengan pendekatan konsumsi energi
penduduk melalui rumusan Pola Pangan Harapan (PPH) yang diperkenalkan oleh
FAO-RAPA (1989).
Pola Pangan Harapan didefinisikan sebagai komposisi dari kelompok
pangan untuk dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan energi dan akan
memberikan semua zat gizi dalam jumlah yang mencukupi. Dalam PPH, susunan
hidangan makanan dianggap baik karena mengandung 10-12 persen energi dari
protein, 20-25 persen energi dari lemak dan sisanya dari karbohidrat. PPH tidak
hanya digunakan untuk mengukur tingkat keragaman konsumsi pangan tetapi juga
dapat memberikan patokan bagi perencana produksi pangan dan pertanian untuk
mengetahui kelompok pangan yang harus ditingkatkan produksinya sesuai dengan
keadaan ekologi dan ekonomi suatu wilayah (Suhardjo, 1992). Di Indonesia,
konsep tersebut mengalami penyesuaian sebagai respon dari perbedaan situasi
konsumsi pangan, budaya dan kondisi sosial ekonomi. Komposisi energi yang
dianjurkan untuk penduduk Indonesia sesuai konsep PPH dan dipakai sebagai
acuan oleh para pengambil kebijakan di bidang pangan dan gizi. Semakin tinggi
skor PPH berarti semakin beranekaragam, dan nilai skor tertinggi adalah 100,
yang berarti diversifikasi konsumsi pangan sangat sempurna.

III. Kendala Diversifikasi Konsumsi Pangan


Kendala diversifikasi konsumsi pangan Walaupun upaya diversifikasi
sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an, namun sampai saat ini masih belum berjalan
sesuai dengan yang diharapkan. Pola pangan lokal seperti jagung dan ubikayu
telah ditinggalkan, berubah ke pola beras dan pola mie. Kualitas pangan juga
masih rendah, kurang beragam, masih didominasi pangan sumber karbohidrat
terutama dari padi-padian.
Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan
meningkatnya tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan
upaya diversifikasi konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang
mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan adalah sama dengan faktor yang
mempengaruhi konsumsi pangan yaitu sosial, budaya, ekonomi, pengetahuan,
ketersediaan pangan dan lain-lainnya, namun setiap orang mempunyai penekanan
yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh Hardjana (1994) bahwa dalam
hal konsumsi pangan, konsumen bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan
ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti
kebutuhan, kepentingan dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial.
Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan
konsumen didasari pada nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan
pengetahuan, namun tampaknya unsur-unsur prestise menjadi sangat menonjol.
Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya diversifikasi konsumsi pangan.
Ariani (2006) menunjukkan kendala tersebut adalah : 1) beras memang lebih enak
dan mudah diolah, 2) adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan
kalau belum makan nasi, 3) beras sebagai komoditas superior, 4) ketersediaan
beras melimpah dan harganya murah, 5) pendapatan rumah tangga, 6) terbatasnya
teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan lokal), 7) kebijakan
pangan yang tumpang tindih dan 8) adanya kebijakan impor gandum, jenis
product development cukup banyak dan promosi yang gencar.

VI. PENTINGNYA DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN


VII. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DIVERSIFIKASI PANGAN
o Mengevaluasi kebijakan diversifikasi pangan berdasarkan hasil-hasil penelitian
terdahulu.
o Mengkritisi program yang ditawarkan dalam mewujudkan diversifikasi pangan
Harap program2 yang disajikan bukan hanya yang saat ini
diimplementasikan..tetapi juga yang telah dilakukan sejak tahun 1964 (ANP,
DPG) dsn...juga ungkapkan beberapa Inpres dan Perpres yang telah
diterbitkan untuk mendorong dilaksanakannya Program Diversifikasi Panga.
Berikan alasan mengapa inpres dan Perpres tersebut tidak efektif.

Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat


nasional, regional (daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah
dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari
pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut (Rahardjo, 1993). Saat itu pemerintah
mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Yang
menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberasjagung. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu 1)
campuran beras dengan jagung, dan 2) penggantian konsumsi beras pada waktuwaktu tertentu dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap
krisis pangan yang terjadi saat itu. Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara
eksplisit pemerintah mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui
Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan
Rakyat (UPMMR), dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud
dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan
meningkatkan mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam
perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai
usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi
pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada
keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak bermunculan

berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan bahan baku


nonberas seperti dari sagu, jagung, ubikayu atau ubijalar, dengan harapan
masyarakat akan beralih pada pangan nonberas. Namun kenyataanya usaha
tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan nonberas dan mengubah
pola pangan pokok masyarakat. Setelah sekian lama tidak terdengar gemanya,
secara eksplisit baru pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen
Pertanian mulai menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi
Pangan dan Gizi (DPG). Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang sematamata karena terjadi krisis pangan, DPG dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah
mencapai swasembada beras, dan masyarakat tergantung pada beras. Program
DPG bertujuan untuk (1) mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga, dan (2) mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama
di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi
seimbang. Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan
kelompok rawan pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan
pada jangkauan sasaran wilayah program yang terbatas, sehingga upaya yang
dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan keanekaragaman pangan di tingkat
rumah tangga (Irawan, et al. 1999). Kemudian pada tahun anggaran 1998/1999
dilakukan revitalisasi program DPG untuk memberikan respon yang lebih baik
dalam rangka meningkatkan diversifikasi pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan
dengan perubahan orientasi dari pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan
untuk menyediakan aneka ragam kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu
pemanfaatan pekarangan/kebun sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal
alternatif. Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga
meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal
alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat (Program DPG Pusat, 1998).
Tidak

dipungkiri,

Departemen

Kesehatan

juga

melaksanakan

program

diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan


gizi yang tujuan utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi
Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia
(Kodyat et al., 1993). Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung
yang terkait dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh

pemerintah melalui berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai
contoh gerakan sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen
Kesehatan, program diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian
(1993-1998) dan lain-lain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet
Pembangunan VI juga dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang
meluncurkan slogan Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996
telah lahir Undang-undang no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002
muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era
Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang
dipimpin langsung oleh Presiden (Suyono, 2002). Kepres ini kemudian
diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun 2006 tentang Dewan ketahanan pangan,
dimana mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan
termasuk tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.
Konsumsi Sumber Karbohidrat Tingkat partisipasi konsumsi beras di
berbagai wilayah cukup tinggi, yaitu ratarata hampir mencapai 100 persen, yang
berarti hampir semua rumah tangga telah mengkonsumsi beras (Tabel 2).
Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah tangga perkotaan tetapi
juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat partisipasi di desa
masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau, maka tingkat
partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau
yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang masih rendah
hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah dengan
ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen).
IX. REKOMENDASI KEBIJAKAN
Mencoba memberikan alternatif kebijakan yang palingda unggul dibanding
dengan alternatif kebijakan yang lain dalam upaya mewujudkan diversifikasi
pangan.
XI. PENUTUP
Diversifikasi pangan pada pemerintahan Indonesia menjadi salah satu cara
untuk menuju swasembada beras dengan minimalisasi konsumsi beras sehingga
total konsumsi tidak melebihi produksi. Pada dasarnya diversifikasi pangan

mencakup tiga lingkup pengertian yang saling berkaitan, yaitu diversifikasi


konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan pangan, dan diversifikasi produksi
pangan. Keppres No. 68 tentang Ketahanan Pangan pasal 9 disebutkan bahwa
diversifikasi pangan diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan
dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (Hanafie
2010).
Diversifikasi pangan diartikan sebagai pengurangan konsumsi beras yang
dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non-beras diiringi
dengan ditambahnya makanan pendamping. Diversifikasi konsumsi pangan juga
dapat didefinisikan sebagai jumlah jenis makanan yang dikonsumsi, sehingga
semakin banyak jenis makanan yang dikonsumsi akan semakin beranekaragam.
Dimensi diversifikasi konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok
tetapi juga pangan jenis lainnya, karena konteks diversifikasi tersebut adalah
meningkatkan mutu gizi masyarakat secara kualitas dan kuantitas, sebagai usaha
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
2.2 Pentingnya Diversifikasi Pangan
Ketergantungan konsumsi pangan terhadap beras tidaklah menguntungkan
bagi ketahanan pangan, terutama yang terkait dengan aspek stabilitas kecukupan
pangan.Dampak positif dari kebijakan diversifikasi konsumsi pangan antara lain:
1.

Memperkuat ketahanan pangan


Masalah ketahanan pangan menjadi isu penting oleh karena itu upaya
menurunkan peranan beras dan menggantikannya dengan jenis pangan lain
menjadi penting dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dalam jangka
panjang. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengembengkan dan
mengintroduksi bahan pangan alternative pengganti beras yang berharaga murah
dan memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan beras.

2.

Meningkatkan pendapatan petani dan agroindustry pangan


Petani akan memproduksi komoditas yang banyak dibutuhkan oleh
konsumen dan yang memiliki harga cukup tinggi. Mereka tidak akan lagi
tergantung pada komoditas padi sebagi sumber pendapatan usaha taninya, tetapi
dapat mencoba tanaman lain yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.

3.

Menghemat devisa Negara


Keberhasilan diversifikasi konsumsi tidak hanya memperkuat ketahanan
pangan masyarakat tetapi juga bermanfaat bagi penghematan devisa Negara yang
berarti meringankan beban keuangan Negara apalagi disaat terjadi krisis ekonomi
ini.
Menurut Hutabarat dan Pasandaran (1987), Pasandaran dan Simatupang
(1990) dan Amang dan Sawit (2001), untuk mengembangkan diversifikasi pangan
perlu dilakukan upaya melalui:
1.

Pengembangan dan pembangunan agroindustri bahan pangan non-beras, agar


konsumen dapat mengkonsumsi secara langsung. Agroindustri komoditas
pangan non-beras tersebut sebaiknya dibangun di daerah-daerah pedesaan,
dengan harapan akan dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat
desa dan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mutu gizi masyarakat.
Meningkatnya daya beli masyarakat akan berpengaruh terhadap makin
beragamnya jenis pangan yang dikonsumsi, makin banyak pangan yang
mengandung nilai gizi tinggi dikonsumsi dan cenderung makin berkurangnya
proporsi pendapatan yang dipergunakan untuk pangan. Diversifikasi pangan
dapat berjalan baik bila dikaitkan dengan pembangunan agroindustri,
khususnya yang berlokasi di pedesaan.

2.

Kampanye intensif tentang diversifikasi pangan disertai dengan penyediaan


dan kemudahan untuk mendapatkan bahan pangan non-beras yang siap
dikonsumsi tersebut di pasaran, harganya terjangkau dan dapat bersaing dengan
harga beras serta adanya kesinambungan dalam penyediaannya.

3.

Peningkatan produksi pangan non-beras perlu lebih ditingkatkan lagi, tetapi


tidak mengganggu kemantapan produksi beras.
Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk menggantikan beras, tetapi

mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi


lebih banyak jenis pangan.
2.4 Kendala Diversifikasi Konsumsi Pangan
Walaupun upaya diversifikasi sudah dirintas sejak dasawarsa 60-an,
namun sampai saat ini masih belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Pola
pangan lokal seperti jagung dan ubikayu telah ditinggalkan, berubah ke pola beras

dan pola mie. Kualitas pangan juga masih rendah, kurang beragam, masih
didominasi pangan sumber karbohidrat terutama dari padi-padian.
Ketergantungan akan beras yang masih tinggi dikalangan masyarakat dan
meningkatnya tingkat partisipasi dan konsumsi mie secara signifikan menjadikan
upaya diversifikasi konsumsi pangan seperti mengalami stagnansi dan salah arah.
Banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut dan diantara faktor tersebut saling
berkaitan satu dengan yang lain. Pada hakekatnya faktor-faktor yang
mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan adalah sama dengan dengan faktor
yang

mempengaruhi konsumsi pangan

yaitu

sosial,

budaya, ekonomi,

pengetahuan, ketersediaan pangan dan lain-lainnya, namun setiap orang


mempunyai penekanan yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan oleh
Hardjana (1994) bahwa dalam hal konsumsi pangan, konsumen bertindak tidak
hanya atas dasar pertimbangan ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai
penalaran dan perasaan seperti kebutuhan, kepentingan dan kepuasan baik bersifat
pribadi maupun sosial.
Soehardjo (1995) menekankan bahwa walaupun selera dan pilihan
konsumen didasari pada nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya, agama dan
pengetahuan, namun tampaknya unsur-unsur prestise menjadi sangat menonjol.
Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya diversifikasi konsumsi pangan.
Ariani (2006) menunjukkan kendala tersebut antara lain:
1.

Beras memang lebih enak dan mudah diolah

2.

Adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum
makan nasi

3.

Beras sebagai komoditas superior

4.

Ketersediaan beras melimpah dan harganya murah

5.

Pendapatan rumah tangga

6.

Terbatasnya teknologi pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan


lokal)

7.

Kebijakan pangan yang tumpang tindih

8.

Adanya kebijakan impor gandum, jenis product development cukup


banyak dan promosi yang gencar.

BAB III. PEMBAHASAN

Diversifikasi Konsumsi Pangan pada Masyarakat Indonesia


Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan

penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman


konsumsi pangan masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain dengan
meningkatkan usaha diversifikasi secara horizontal melalui pemanfaatan sumber
daya yang beraneka ragam dan diversifikasi vertikal melalui pengembangan
berbagai hasil olahan pertanian serta diversifikasi regional melalui upaya
penganekaragaman produk yang dihasilkan untuk dikonsumsi berdasarkan potensi
pangan lokal.
Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat
nasional, regional (daerah) maupun keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah
dirintis sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari
pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai
menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras sehingga yang
menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberas jagung.Ada dua arti dari istilah itu, yaitu campuran
beras dengan jagung, dan penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu
dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan
yang terjadi saat itu. Pada akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah
mencanangkan kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden
(Inpres) No. 14 tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR),
dan disempurnakan melalui Inpres No.20 tahun 1979. Maksud dari instruksi
tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan
mutu gizi makanan rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha
untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih
ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan
diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan
pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak
bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan

bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan
harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya
usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan
mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Pada tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai
menggarap diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi
(DPG). Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena
terjadi krisis pangan, DPG dilakukan tatkala Indonesia sudah pernah mencapai
swasembada beras, dan masyarakat tergantung pada beras. Program DPG
bertujuan untuk mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah
tanggadan mendorong meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan
untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.
Fokus program DPG lebih diarahkan pada upaya pemberdayaan kelompok rawan
pangan di wilayah miskin dengan memanfaatkan pekarangan pada jangkauan
sasaran wilayah program yang terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah
meningkatkan ketersediaan keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga.
Pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program DPG untuk
memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan diversifikasi
pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari
pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam
kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun
sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif.
Pembinaannya pun tidak terbatas pada aspek budi daya tetapi juga
meliputi aspek pengolahan dan penanganan pasca panen agar pangan lokal
alternatif ini dapat memenuhi selera masyarakat (Program DPG Pusat, 1998).
Departemen Kesehatan juga melaksanakan program diversifikasi konsumsi
pangan secara tidak langsung melalui program perbaikan gizi yang tujuan
utamanya untuk menurunkan angka prevalensi Kurang Energi Protein (KEP),
Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia
Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait
dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui
berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh gerakan

sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program
diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lainlain. Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga
dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan Aku
Cinta Makanan Indonesia (ACMI). Pada tahun 1996 telah lahir Undang-undang
no. 7 tentang Pangan, kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang
Ketahanan Pangan. Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah
dibentuk Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden
(Suyono, 2002). Kepres ini kemudian diperbaharui melalui Perpres No 83 tahun
2006 tentang Dewan ketahanan pangan, dimana mempunyai tugas untuk
mengkoordinasikan

program

ketahanan

pangan

termasuk

tujuan

untuk

mengembangkan diversifikasi pangan.


Dalam usaha perwujudan ketahanan pangan pada umumnya dan
diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam Undangundang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)
melalui Program Peningkatan Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya
bertujuan untuk menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih
beragam (Krisnamurthi, 2003). Dari tahun ke tahun pola konsumsi masyarakat
Indonesia terus mengalami perubahan.
Berikut ini dipaparkan pola konsumsi zat gizi pada masyarakat di
Indonesia pada Konsumsi Sumber Karbohidrat. Tingkat partisipasi konsumsi
beras di berbagai wilayah cukup tinggi, yaitu rata-rata hampir mencapai 100
persen, yang berarti hampir semua rumah tangga telah mengkonsumsi beras
(Tabel 2). Kecenderungan tersebut tidak hanya terjadi pada rumah tangga
perkotaan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, walaupun umumnya tingkat
partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila dilihat antar pulau,
maka tingkat partisipasi konsumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu
dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang
masih rendah hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah
dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen.
Jumlah orang yang mengkonsumsi beras selama tahun 1990 sampai 1996
dapat dikatakan relatif tidak berubah, karena perubahannya masih sangat kecil,

dibawah satu persen. Kecenderungan tersebut terjadi di semua pulau, baik di kota
maupun di desa. Perbedaanya adalah kalau di kota, tingkat partisipasi konsumsi
beras pada kurun waktu tersebut menunjukkan sedikit penurunan, sebaliknya di
desa masih menunjukkan peningkatan. Laju tingkat partisipasi konsumsi beras
secara agregat di kota tahun 1990-1996 adalah -0,1 persen per tiga tahun,
sedangkan untuk desa lajunya 1,1 persen per tiga tahun.
Berdasarkan keragaman produk yang ada, seharusnya tingkat partisipasi
konsumsi pada rumah tangga perkotaan menurun secara signifikan, dikarenakan
di wilayah ini banyak terdapat produk-produk alternatif yang dapat berperan
sebagai subsitusi beras, baik dalam bentuk mentah maupun olahan, tersedia dalam
berbagai kemasan yang praktis, mudah diperoleh dan dihidangkan. Kenyataanya
beras masih mendominasi dalam pola konsumsi pangan masyarakat, sehingga
perubahannya sangat kecil. Berdasarkan data perkembangan tingkat partisipasi
konsumsi beras tersebut dapat diartikan bahwa program diversifikasi konsumsi
pangan yang salah satu tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras
dapat dibilang masih jalan di tempat.
Tingkat konsumsi beras sekitar 100 kg/kapita/tahun walaupun cenderung
menurun dari tahun ke tahun dengan laju penurunan sebesar 4,2 persen pada
periode 1999-2004 (Tabel 3). Demikian pula untuk konsumsi umbi-umbian juga
cenderung menurun. Peningkatan laju konsumsi ubi jalar sebetulnya lebih
disebabkan peningkatan konsumsi pada tahun 2004, yaitu dari 2,7 kg menjadi 3,3
kg/kapita/tahun. Selera masyarakat terhadap pangan berubah seiring dengan
semakin maraknya jenis pangan olahan yang siap saji dan praktis, serta dapat
diperoleh dengan mudah. Belum lagi adanya perubahan gaya hidup masyarakat
yang jelas berpengaruh pula pada gaya makan. Mungkin orang akan gengsi
mengkonsumsi jagung dan ubi kayu karena komoditas tersebut sudah
mempunyai trade mark sebagai barang inferior, yang hanya cocok untuk kalangan
bawah.
Masyarakat mengalihkan fungsi jagung dan ubi kayu, tidak lagi sebagai
makanan pokok tetapi sebagai makanan selingan atau snack, sehingga jumlah
yang dikonsumsi juga sangat terbatas. Keragaan data tersebut menunjukkan
bahwa pangan lokal seperti jagung dan ubi kayu telah ditinggalkan oleh

masyarakat, dan pangan global seperti mie menunjukkan kebalikannya. Harapan


diversifikasi konsumsi pangan untuk meningkatkan konsumsi pangan lokal, maka
tampaknya salah jalan, arah diversifikasi konsumsi pangan telah melenceng.
Sebaliknya dengan maraknya jenis mie dengan berbagai harga, rasa dan jenis
telah mampu mempengaruhi konsumen untuk mencoba dan menyenanginya.
Konsumsi mi ini terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan rata-rata konsumsi
mi instant mencapai 28 bungkus per tahun
Perkembangan menarik dalam konsumsi pangan karbohidrat adalah
cenderung berubahnya pola konsumsi pangan pokok kelompok masyarakat
berpendapatan rendah, terutama di pedesaan, yang mengarah kepada beras dan
bahan pangan berbasis tepung terigu, termasuk mie kering, mie basah, mie
instan.Perubahan ini perlu diwaspadai karena gandum adalah komoditas impor
dan belum diproduksi di Indonesia, sehingga arah perubahan pola konsumsi itu
dapat menimbulkan ketergantungan pangan pada impor.
Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti
beras secara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga
masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya.
Pangan yang dikonsumsi akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia
terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk
pangan pokok yang dikenal dengan Pola Pangan Harapan (PPH). PPH yang
diharapkan mencapai angka 100, namun PPH penduduk Indonesia sampai pada
tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun
2009, pada tahun 2015 PPH mencapai 95, yang berarti setiap tahun harus
meningkat sekitar 2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang untuk setiap hari
dianjurkan mengkonsumsi pangan seperti berikut:
1.

Padi-padian 275 gr

2.

Umbi-umbian 100 gr

3.

Pangan hewani150 gr

4.

Minyak+Lemak 20 gr

5.

Buah/biji berminyak 10 gr

6.

Kacang-kacangan 35 gr

7.

Gula : 30,0 gr

8.

Sayur + buah : 250 gr


Data tersebut mengindikasikan bahwa dalam setahun kebutuhan dari

kelompok padi-padian yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi
langsung penduduk sebesar 99 kg/kapita.
Memperhatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras,
jagung dan terigu untuk tahun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang berarti lebih
besar dari seharusnya. Belum lagi bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan
tersebut yang sangat bisa pada beras. Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari
padi-padian

dapat

dilakukan

dengan

mengurangi

konsumsi

beras

dan

meningkatkan konsumsi pangan dari komoditas jagung. Untuk terigu, karena


bahan baku gandum harus diimpor maka sebaiknya konsumsi terigu dan
turunannya dikurangi.

Sementara konsumsi dari umbi-umbian seharusnya

sebesar 36 kg/kapita/tahun yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu dan umbiumbi lainnya. Namun kenyataannya 71 Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010
ISBN: 978-979-8940-29-3 baru 16,2 kg/kapita/tahun yang berarti masih kurang
dari setengahnya.
Kebijakan

terakhir, pemerintah

menetapkan

kebijakan

percepatan

diversifikasi konsumsi pangan berbasisi sumberdaya lokal dengan dua strategi


yaitu internalisasi penganekeragaman konsumi pangan dan pengembangan bisnis
dan industri pangan lokal. Proses internalisasi dilakukan melalui dua cara yaitu
advokasi, kampanye dan sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam,
bergizi seimbang dan aman pada berbagai tingkatan kepada aparat dan masyarakat
serta pendidikan konsumsi pangan melalui pendidikan formal dan non formal.
Sementara, pengembangan bisnis dan industri pangan lokal dilakukan melalui
fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan
baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji yang aman berbasis
sumberdaya lokal dan advokasi, sosialisasi dan penerapan standar mutu dan
keamanan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha skala rumahtangga
dan UMKM.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu
kembali ke masalah desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun
konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya terhadap total energi

masih diatas 60 persen sedangkan umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar


3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang cukup luas untuk
dikembangkan

sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan

bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses


dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image
pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior.
Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan
diversifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh
ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi
permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan
program diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk
ini merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara
lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada
sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan
setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan
maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang
terbaik.

Hubungan Antara Diversifikasi Konsumsi dan Ketahanan Pangan


Masyarakat (mayoritas bergantung pada beras)
Diversifikasi pangan pada masyarakat Indonesia masih rendah. Karena mayoritas
masyarakat masih menggantungkan beras sebagai sumber pangan utamanya. Hal
tersebut dapat kita lihat dari pola konsumsi beras yang mendominasi pola
konsumsi pangan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal, dalam
konsep ketahanan pangan, diversifikasi pangan merupakan salah satu syarat untuk
mencapai ketahanan pangan yang tangguh. Melalui penataan pola konsumsi yang
tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat
menetapkan pangan pilihan sendiri. Sehingga ketergantungan pada satu jenis
komoditas pangan dapat dihindari. Apabila terjadi gagal panen maupun masalah
distribusi pada jenis pangan tertentu, tidak akan mempengaruhi pola konsumsi
masyarakat. Karena masyarakat memiliki berbagai pilihan konsumsi.

Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu pilar ketahanan


pangan masyarakat. Langkah ini hanya membutuhkan waktu yang lebih pendek
jika dibandingkan dengan program lain, seperti ekstensifikasi dan intensifikasi.
Diversifikasi juga mendorong masyarakat (petani) lebih kreatif dalam
memanfaatkan lahan yang ada dengan menanam tanaman yang dapat menjadi
bahan makanan pokok selain padi, seperti jagung, ketela, dan umbi-umbian
lainnya.
Pola konsumsi masyarakat yang didominasi oleh beras telah menyebabkan
rendahnya daya terima terhadap pangan sumber karbohidrat lainnya, seperti
jagung, singkong maupun sagu. Padahal, ditinjau dari potensi sumberdaya lokal
wilayah, sumberdaya alam kita memiliki potensi ketersediaan pangan yang
beranekaragam, baik pangan untuk sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
dan mineral. Kita bisa mencermati hal ini, dimana setiap wilayah di Indonesia
mempunyai sumber pangan lokal tersendiri seperti Madura dan Nusa Tenggara
dengan jagung, Maluku dan Papua dengan sagu, Sumatera dengan ubi, Jawa dan
Bali serta Sulawesi Selatan dengan berasnya.
Upaya diversifikasi, kita dapat menaikkan pamor pangan lokal untuk
menggantikan atau setidak-tidaknya berdampingan dengan beras menjadi menu
utama, dan membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang
berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional. Selain konsumsi yang
beragam juga pola produksinya akan ikut beragam. Dengan demikian, jika suatu
saat terjadi kemelut salah satu bahan pangan pokok (beras) kita tidak akan
kerepotan, misal repot impor beras yang dapat menimbulkan eksploitasi ekonomipolitik oleh negara-negara eksportir.
Diversifikasi pangan dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat karena
tidak ada satu pun makanan di dunia ini yang mengandung semua zat gizi yang
dibutuhkan tubuh, selain ASI. Pola konsumsi yang beraneka ragam, maka
kebutuhan zat gizi masyarakat dapat terpenuhi dari berbagai jenis makanan yang
dikonsumsi. Terutama kebutuhan zat gizi mikro. Dengan pola konsumsi yang
beraneka ragam, kebutuhan akan vitamin dan mineral dapat terpenuhi.
Apabila mengkaji diversifikasi konsumsi pangan pokok maka perlu
kembali ke masalah desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun

konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya terhadap total energi


masih diatas 60 persen sedangkan umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar
3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang cukup luas untuk
dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan
bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi proses
dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image
pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Seringkali pemerintah
hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan diversifikasi konsumsi pangan
dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya yang
dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan konsumen, salah satu
faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program diversifikasi pangan
adalah melaksanakan product development. Produk ini merupakan upaya
menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis,
tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah
diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan setiap anggota
rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan maka bentuk
makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

Pola Konsumsi Pangan Pokok


Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbiumbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya
sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di
Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun
akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan
secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan
pergese-ran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke
pangan pokok nasional yaitu:

1. Jagung (Zea mays L.)


Jagung merupakan tanaman golongan rumputan kedua yang paling luas
dibudidayakan di Indonesia setelah padi.Komoditas ini memiliki potensi untuk
menyangga kebutuhan pangan non beras karena kandungan terbesar biji jagung
adalah karbohidrat, dan potensial digunakan sebagai bahan baku industri.

Menurut Grubben dan Soetjipto (1996) jagung dapat digunakan sebagai bahan
baku berbagai industri pangan, minuman, kimia dan farmasi serta industri lainnya.
Dari 100 kg jagung dapat diperoleh 3.5-4 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil,
pakan, gluten, serat dan sebagainya, serta 64-67 kg pati, dan sisanya 15-25 kg
hilang atau terbuang. Jagung berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku
diversifikasi pangan karena mengandung Karbohidrat yang setara dengan serealia
lainnya dan fisikokimia dari pati jagung memiliki karakteristik fungsional sebagai
dietary fiber, beta karotin dan besi
2. Ubi Kayu/Singkong/Ketela Pohon (Manihot esculenta crantz)
Di Indonesia, ketela pohon menjadi pangan pokok setelah beras dan
jagung. Di beberapa tempat, tanaman ubi kayu ini dianggap sebagai cadangan
pangan dan lumbung hidup. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya
karbohidrat namun sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru
terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionin. Umbi
akar singkong banyak mengandung glukosa dan dapat dimakan mentah. Rasanya
sedikit manis, ada pula yang pahit tergantung pada kandungan racun glukosida
yang dapat membentuk asam sianida. Umbi yang rasanya manis menghasilkan
paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi akar yang masih segar, dan 50 kali
lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Pada jenis singkong yang manis,
proses pemasakan sangat diperlukan untuk menurunkan kadar racunnya. Dari
umbi ini dapat pula dibuat tepung tapioka. Ubi Jalar/Ketela Rambat (Ipomoea
batatas L.) Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis
tanaman budidaya. Bagian yang dimanfaatkan adalah akarnya yang membentuk
umbi dengan kadar gizi (karbohidrat) yang tinggi. Di Afrika, umbi ubi jalar
menjadi salah satu sumber makanan pokok yang penting. Di Asia,
selaindimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran. Terdapat
pula ubi jalar yang dijadikan tanaman hias karena keindahan daunnya. Ubi jalar
terutama yang berdaging umbi oranye atau kuning memiliki potensi unggulan
pada kandungan beta karoten (provitamin A) yang tinggi. Beta karoten atau
provitamin A dalam ubi jalar diketahui memiliki banyak manfaat bagi tubuh,
karena selain mampu memenuhi kebutuhan vitamin A juga berfungsi sebagai
antioksidan untuk melawan radikal bebas dalam tubuh.

BAB IV. PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Program diversifikasi pangan bertujuan untuk menggali dan meningkatkan
penyediaan berbagai komoditas pangan sehingga terjadi penganekaragaman
konsumsi pangan masyarakat dengan kegiatan berupa pemanfaatan sumber daya
yang

beraneka

ragam,

pengembangan

berbagai

hasil

olahan

dan

penganekaragaman produk dihasilkan untuk dikonsumsi berdasarkan potensi


pangan lokal.
Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih
ditekankan sebagai usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan
diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan
pokok, tidak pada keanakeragaman pangan secara keseluruhan. Sehingga banyak
bermunculan berbagai pameran dan demo masak-memasak yang menggunakan
bahan baku non beras seperti dari sagu, jagung, ubi kayu atau ubi jalar, dengan
harapan masyarakat akan beralih pada pangan non beras. Namun kenyataanya
usaha tersebut kurang berhasil untuk mengangkat citra pangan non beras dan
mengubah pola pangan pokok masyarakat.
Dari data yang ada tingkat partisipasi konsumsi beras di berbagai wilayah
cukup tinggi yaitu rata-rata hampir mencapai 100 persen, yang berarti hampir
semua rumah tangga baik di perkotaan maupun pedesaan telah mengkonsumsi
beras. Berdasarkan data perkembangan tingkat partisipasi konsumsi beras tersebut
dapat diartikan bahwa program diversifikasi konsumsi pangan yang salah satu
tujuannya untuk menurunkan tingkat konsumsi beras dapat dibilang masih jalan di
tempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa. Diversifikasi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras. 2010.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Beras, Banten.
Jafar,

Nurhaedar. Diversifikasi

Konsumsi

dan

Masyarakat.2012. Univesitas Hasanuddin, Makasar.

Ketahanan

Pangan

Ariani, Mewa. 2010. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung


Swasembada
Beras. http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/08.pdf (diakses
tanggal 13 mei 2015)
Setiawan, Yoga. 2010. Peningkatan Produksi Beras dan Diversifikasi Pangan
Lokal

untuk

Meningkatkan

Ketahanan

Nasional.http://yogas09.student.ipb.ac.id/files/2010/12/Diversifikasi-danOptimalisasi-Pangan-Lokal-untuk-Meningkatkan-Ketahanan-PanganNasional.pdf(diakses tanggal 13 mei 2015)

Pangan

Anda mungkin juga menyukai