Anda di halaman 1dari 6

Sejak kecil individu-individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak boleh

berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat di


sekelilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus diikuti di
atas keinginan-keinginan individual. Namun kadangkala terjadi perilaku yang menyimpang yang
dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut sebagai penyimpangan sosial.
Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sejauh mana
penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau sempit tentu akan berakibat
terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan normanorma sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah segala
macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak masyarakat.
Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap sebagai
penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha mencari kawan
yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak penyimpangan yang
dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku penyimpangan dalam
bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap norma
masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma inilah yang pada akhirnya akan
menimbulkan konflik dalam masyarakat. Maka diperlukan usaha sadar melalui langkah-langkah
tertentu untuk mengantisipasi penyimpangan yang mungkin terjadi atau akan terjadi. Dalam
konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan sebagai acuan dalam sikap dan tindakan sehingga
dapat ditemukan pola-pola penanggulangan yang efektif dan efisien.
Pengertian Paradigma Sosiologi
Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh. Dalam
kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan, pedoman,
dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan polapemecahannya.
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir,
model teori ilmu pengetahuan.
Pengertian paradigma menurut kamus filsafat adalah:
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan
dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan
sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.

4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem


riset.1
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel
Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) dan kemudian
dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology (1970). Menurut
Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought
atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik.
Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah gambaranfundamental dari pokok
bahasan dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang
harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa yang
harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit terluas
dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah dari yang lain.
Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori dan metode serta
instrument yang ada didalamnya.2
Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah
yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam masyarakat
tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika memandang
suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat dalam
memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di dalam
paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi dipandang sebagai
suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam penelitian mengenai
problem-problem sosial.
Pembagian Paradigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam.
Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat
yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang
didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan
berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat
tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran
sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar
berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Palingtidak
terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi
dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda;

Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena
obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.3
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu
terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan adanya
perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu yang
mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian,
teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan
paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut George Ritzer,4 secara garis besar ada tiga
paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas
karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta sosial
dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan Herbert
Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi. Dengan tegas
pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah obyek riset dalam
sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan bukan sesuatu yang
dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer ini menjerumuskan
sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi adalah ilmu yang
berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini, akhirnya Durkheim
membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek kajian sosiologi dengan
filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang nyata dan bukanlah ide.
Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang dilakukan dalam pemikiran
manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan penyusunan data nyata yang
dilakukan di luar pemikiran manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial.
Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial
seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar
kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan
tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang
menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu,
dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada
analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.

Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata
(material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah
memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:
A. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati.
Inti dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah
imajinatif. Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
B. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang
terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya
muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme
dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan
teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik,
teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan
oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik.
Paradigma Definisi Sosial
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action).
Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan struktur
dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang membentuk
tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan tindakan individu
yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang
lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata
tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial.5
Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan
manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber,
sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta
berbagai
hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai
sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi,
teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.
Paradigma Perilaku Sosial

Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan
individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang
konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan
perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu
di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur
sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah
satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya
meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah
memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek
dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti struktur
dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi dalam pemikiran
manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi Skinner, obyek mistik
itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu sesuatu yang bersifat
konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia adalah obyek studi
sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam paradigma ini adalah teori
behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).

Paradigma Integratif/Multi Paradigma


Seiring perkembangan analisis tiga paradigma di atas dengan berbagai macam
perdebatannya mengenai subject matter dari sosiologi, makamenurut George Ritzer, perlu adanya
paradigma yang mengakomodasi penyatuan dari ketiga paradigma tersebut,sebab teramat sulit
untuk memahami fenomena sosialyang begitu kompleks.

MakaGeorge Ritzer berusaha

mengetengahkan masalah ini dengan mengajukan konsep paradigma integratif yakni dengan
menggabungkan subject matterdari ketiga paradigma ini, yang meliputi semua tingkatan realitas,
baik tingkat makro-obyektif seperti masyarakat, hukum, birokrasi dan bahasa, tingkat makrosubyektif seperti nilai, norma dan budaya, tingkat mikro-obyektif seperti pola perilaku, tindakan,
dan interaksi, serta tingkat mikro-subyektif seperti persepsi dan keyakinan.

Ketiga paradigma ini memang berbeda subject matter-nya, namun sesungguhnya saling
memperkaya analisis. Masing-masing paradigma yang ada menjelaskan satu tingkat realitas
sosial tertentu, dan paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang
ada. Kelemahan paradigma integratif terletak pada tingkat kedalaman analisisnya. Paradigma
integratif dalam menjelaskan tingkat realitas tidak sedalam analisis pada masing-masing
paradigma yang ada. Untuk itu, dalam menentukan suatu paradigma ditentukan dari pertanyaan
penelitian yang diajukan. Hal ini berarti bahwa tidak semua masalah sosiologi memerlukan
pendekatan integratif, namun bisa juga fokus pada salah satu paradigma.
Paradigma integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L. Berger, Thomas
Luckman dan Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini berusaha menjembatani ketegangan antara
subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme dan
determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur. Kiranya
inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma jalan
tengah. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai dengan
tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.

Anda mungkin juga menyukai