Anda di halaman 1dari 6

1.

KKNI berdasarkan tujuan dibentuknya berupaya memberikan informasi tentang jenjang


pendidikan perawat yang telah memenuhi standar sehingga meningkatkan daya saing
dalam dunia kerja. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat
KKNI, dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2012 adalah
kerangka

penjenjangan

kualifikasi

kompetensi

yang

dapat

menyandingkan,

menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan


kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai
dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Merujuk hal tersebut, maka perawat sebagai
salah satu profesi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya
dalam bidang kesehatan dituntut untuk senantiasa mengembangkan keilmuan dan
meningkatkan kemampuan kerja secara berkesinambungan. Perawat dalam melaksanakan
tugas memiliki banyak peran dan fungsi, secara umum yaitu sebagai perawat pelaksana di
pelayanan kesehatan dan sebagai pendidik atau pengajar. KKNI telah mengatur level atau
tingkat pendidikan berkelanjutan bagi perawat, namun dalam pelaksanaanya tidak serta
merta terlaksana sebagaimana esensi yang diharapkan. Dalam kenyataannya terdapat
keanehan yang kemudian menjadi pertanyaan besar, yakni penetapan level atau tingkat
bagi perawat pada taraf Ners Spesialis dan Magister, dimana kedua level tersebut berada
pada level 8, namun pada pelaksanaanya Jenjang bagi spesialis dapat dicapai oleh
seorang perawat setelah melalui proses Magister sehingga terdapat ketumpang tindihan.

2. Pendidikan tinggi Pendidikan keperawatan di indonesia mengacu kepada UU No. 20


tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional. Jenis pendidikan keperawatan di

Indonesia mencakup; Pendidikan Vokasional, yaitu jenis pendidikan diploma sesuai


dengan jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia. Pendidikan Akademik, yaitu pendidikan tinggi program
sarjana dan pasca sarjana yang diarahkan terutama pada penguasaan disiplin ilmu
pengetahuan tertentu. Pendidikan Profesi, yaitu pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan
keahlian khusus. Sedangkan jenjang pendidikan keperawatan mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor. Pada dasarnya, sistem
pendidikan keperawatan di Indonesia sudah jelas, akan tetapi dalam pelaksanaannya
masih banyak kendala untuk mencapai hasil yang maksimal. Sebgai contoh, pelaksanaan
Uji Kompetensi untuk perawat, beberapa daerah mungkin masih awam akan pelaksanaan
uji kompetensi ini, pun jika dilihat dari hasil uji kompetensi yang saat ini menjadi tolok
ukur utama bagi lembaga kesehatan dalam menerima tenaga perawat masih sangat
rendah. Hal tersebut tentu tidak bisa terpisahkan dengan pendidikan yang didapatkan oleh
perawat selama proses belajar. Mudahnya dapat dikatakan uji kompetensi merupakan
salah satu acuan kualitas sistem pendidikan bagi perawat walaupun banyak faktor lain
yang menjadi penentu.

3. Pada saat ini, karir keperawatan yang menjadi sorotan paling banyak adalah semakin
sulitnya lulusan keperawatan yang dapat terserap menjadi tenaga keperawatan, sebab
terbentur tidak memiliki surat tanda registrasi akibat dari tidak lulus menjalani uji
kompetensi. Bukan uji kompetensi yang menjadi masalah, akan tetapi kesiapan
mahasiswa dalam menghadapai ujian yang menjadi standar acuan bagi lulusan perawat
tersebut. Maka, terkait dengan masalah uji kompetensi yang menjadi salah satu masalah
yang menghambat perkembangan karir perawat, peserta didik perawat perlu dipersiapkan
lebih matang tidak hanya dalam menghadapai uji kompetensi, namun juga dalam
menghadapi dunia kerja dengan banyaknya persaingan. Salah satu upaya yang mungkin
dapat menjadi solusi adalah dengan memberikan atau mengadakan workshop dalam
menyiapkan peserta didik perawat guna menghadapi uji kompetensi, serta lebih
menggiatkan kegiatan try out.

4. Jika melihat sistem yang berlaku dalam dunia pendidikan tinggi keperawatan, seharusnya
setiap bentuk kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pendidikan dapat
dipertanggungjawabkan denngan baik. Merujuk pada regulasi yang mengatur didalamnya
dimana setiap perguruan tinggi wajib mengikuti segala bentuk pertanggungjawaban
kegiatan yang berlangsung. Hal ini semakin diperkuat dengan adanya standarisasi
pelaksanaan atau penyelenggaraan pendidikan tinggi keperawatan melalui akreditasi
institusi pendidikan pada setiap jenjang. Namun pada kenyataannya, masih sangat banyak
perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi keperawatan dipertanyakan
akuntabilitasnya, sebagai bukti, menurut laporan berdasarkan forlap yang diterbitkan oleh
dikti, per 10 0ktober 2015 saja ada 211 Perguruan tinggi yang berstatus non-aktif. Status

tersebut ditetapkan atas dasar ketidak-jelasan laporan yang diterima dikti oleh perguruan
tinggi bersangkutan dalam hal; Masalah Laporan Akademik, Masalah Nisbah
Dosen/Mahasiswa, Masalah Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan (PDD/PJJ tanpa
izin (kelas jauh), PRODI /PT tanpa izin, Penyelenggaraan kelas Sabtu-Minggu, Jumlah
mahasiswa over kuota (PRODI Kesehatan/kedokteran/dll), Ijasah palsu/gelar palsu,
Masalah Sengketa/Konflik internal, Kasus mahasiswa, Kasus Dosen (mis dosen status
ganda),

Pemindahan/pengalihan

mahasiswa tanpa

ijin kopertis.

Data tersebut

membuktikan perlunya tindakan nyata serta koordinasi yang lebih baik anatara
penyelenggaran pendidikan tinggi keperawatan secara internal maupun dengan lembagalembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan tinggi
keperawatan.

5. Masalah yang selalu dihadapi oleh mahasiswa yang akan praktik klinis di lahan masih
tidak jauh dari adanya gap antara teori yang diberikan dengan penerapannya secara
klinis, sebab adanya permasalahan tersebut, maka metode bimbingan yang menggunakan
model Preceptorship dengan pembimbing sebagai Preceptor Klinik dan anak didik
sebagai Preceptee diharapkan proses bimbingan dan permasalahan-permasalahan di atas
dapat diatasi. Walaupun dengan demikian, ada banyak aspek yang harus dipersiapkan dan
dibenahi. Penempatan antara perceptor (pembimbing) dan perceptee (anak didik) bukan
berarti menunjukan adanya senioritas dan bertujuan melakukan intimidasi terhadap
junior, hal ini lebih ditujukan guna memberikan kesempatan untuk fasilitator atau

pembimbing klinis keleluasaan serta kesempatan lebih banyak untuk memberikan


pelajaran klinis terhadap perceptee itu sendiri, dengan kata lain penularan ilmu klinis
dapat terlaksana lebih intense sehingga hasil maksimal yang diharapkan akan tercapai.
Sejalan dengan definisi perceptorship itu sendiri yakni Preceptorship bersifat formal,
disampaikan secara perseorangan dan individual dalam waktu yang sudah ditentukan
sebelumnya antara perawat yang berpengalaman (preceptor) dengan perawat baru
(preceptee) yangdidesain untuk membantu perawat baru untuk menyesuaikan diri dengan
baik dan menjalankan tugas yang baru sebagai seorang perawat. (CNA, 1995)

6. Dalam coaching process bidang keperawatan dikenal 2 proses utama yaitu perceptorship
dan menthorship, jika dilihat berdasarkan definisinya adalah sebagai berikut; Program
preceptorship dalam pembelajaran bertujuan untuk membentuk peran dan tanggung
jawab mahasiswa untuk menjadi perawat yang profesional dan berpengetahuan tinggi,
dengan menunjukan sebuah pencapaian berupa memberikan perawatan yang aman,
menunjukan akuntabilitas kerja, dapat dipercaya, menunjukan kemampuan dalam
mengorganisasi perawatan pasien dan mampu berkomunikasi dengan baik terhadap
pasien dan staf lainnya (CNA, 2004). Mentorship diartikan sebagai proses pembelajaran
dimana mentor mampu membuat menti (peserta mentorship) yang tadinya tergantung

menjadi mandiri melalui kegiatan belajar. Kegiatan belajar yang diharapkan terjadi yaitu
mengalami sendiri dan menemukan sendiri fenomena praktek keperawatan dimana hal ini
diharapkan dapat membangun kepercayaan diri, harga diri dan kesadaran diri yang
merupakan fundamental dalam penyelesaian masalah (Nurachmach, 2007). Memiliki
definisi yang berbeda, pada dasarnya kedua konsep tersebut bertujuan untuk membina
perawat ataupun mahasiswa keperawatan agar lebih baik dalam melaksanakan tugas
sebagai perawat. Empowerment yang secara pengertian adalah pemberdayaan, memiliki
posisi penting dalam pelaksanaan coaching process keperawatan. Pemberdayaan selalu
dilihat dari kedua pihak yakni pihak pembimbing dan yang dibimbing. Pemberdayaan
menjadi awal dan akhir dalam pelaksanaan coaching process dimana pada saat akan
memulai coaching process baik pembimbing maupun termbimbing harus dapat
memberdayakan kemampuan dan potensi agar mencapai hasil yang maksimal. Demikian
juga saat proses coaching selesai, makan pemberdayaan dari hasil perceptoring dan
menthoring harus dapat diberdayakan atau diaplikasikan sesuai dengan kebutuhan.

1.

Anda mungkin juga menyukai