Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman

Salmonella typhi atau Salmonella parathyphi.1 Organisme ini hampir selalu masuk melalui jalan
oral, biasanya dengan mengkontaminasi makanan dan minuman.2 Demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penykit menular yang
tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah.3
Demam tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota maupun desa.
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat, sanitasi dan
lingkungan yang kurang baik. Selain masalah di atas ada beberapa masalah lain yang akan turut
menambah besaran masalah penyakit demam tifoid di Indonesia diantaranya adalah angka
kemiskinan di kota dan desa Indonesia yang mencapai 11,66%. Penyakit ini bersifat endemik dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan angka prevalensi
tifoid yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan adalah 0,795. Sebesar 20-40% kasus demam tifoid
harus menjalani perawatan di rumah sakit. Penderita demam tifoid berpotensi menjadi carrier
atau pembawa menahun setelah penyakitnya disembuhkan.4
Permasalahan yang muncul ialah gejala klinik bervariasi dari sangat ringan sampai berat
dengan komplikasi yang berbahaya, komorbid atau koinfeksi dengan penyakit lain, resistensi
yang meningkat terhadap obat yang lazim dipakai, meningkatnya kasus karier atau relaps, dan
masih sulit dibuat vaksin yang efektif, terutama untuk masyarakat yang tinggal di daerah
endemik. Dewasa ini penyakit demam tifoid harus mendapat perhatian yang serius karena
permasalahannya yang makin kompleks sehingga menyulitkan upaya pengobatan dan
pencegahan.5

1.2.

Tujuan Penulisan
1

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca mengenai


demam tifoid dan sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian
Interna RSUP Dr. Pirngadi Medan.

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2

2.1.

Definisi
Demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi,

Salmonella Paratyphi A, Salmonella Paratyphi B, Salmonella Paratyphi C, disebut pula


sebagai demam enterik dan tifus abdominalis. Demam tifoid merupakan penyakit yang dapat
bermanifestasi klinis berat karena komplikasinya dan mampu menyebabkan karier.5
2.2

Etiologi
Basil penyebab tifoid adalah Salmonella typhi dan paratyphi dari genus Salmonella.

Basil ini adalah gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tetapi
memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif. Ukuran antara (2-4) x 0,6m. Suhu
optimum untuk tumbuh adalah 37oC dengan Ph antara 6-8. Basil ini dapat hidup sampai
beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampai debu. Sedangkan reservoir
satu-satunya adalah manusia yaitu seseorang yang sedang sakit atau karier. Basil dibunuh
dengan pemanasan suhu 60oC selama 15-20 menit pateurisasi, pendidihan, dan klorinisasi.
Masa inkubasi tifoid 10-14 hari pada anak. Masa inkubasi berkisar 5-40 hari dengan
perjalanan penyakit kadang-kadang juga tidak teratur.5
2.3

Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuma. Sebagian kuman dimusnahkaan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus selsel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dn difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum
distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.
3

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental,
dan koagulasi.
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan
(S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasis akibat akumulasi selsel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang
hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernafasan, dan gangguan
organ lain.3
2.4

Gejala Klinis
Gambaran klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala sangat ringan (sehingga

tidak terdiagnosis) atau dengan gejala yang khas (sindrom demam tifoid) sampai dengan
gejala klinis berat yang disertai komplikasi.4 Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut
sindrom demam tifoid.5 Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah:
1. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama demam tifoid. Pola demam tifoid
secara klasik digambarkan sebagai berikut: pada awal sakit demam tidak terlalu
tinggi lalu akan makin meningkat dari hari ke hari, suhu pagi dibandingkan sore atau
malam hari lebih tinggi (step ladder fashion). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam
akan terus-menerus dan demama akan turun pada akhir minggu ke-3 dan minggu ke4 sampai mencapai suhu normal. Perlu diperhatikan bahwa demam yang khas tifoid
tersebut tidak selalu ada. Tipe demam menjadi tidak beraturan mungkin karena
intervensi pengobatan atau komplikasi yang dapat terjadi lebih awal.

Komplikasi demam tifoid terjadi pada fase demam di akhir minggu ke-2 dan
ke-3. Hati-hati apabila terjadi penurunan suhu tubuh di akhir minggu ke-2 dan ke-3
karena dapat merupakan tanda dan gejala komplikasi perdarahan dan perforasi
saluran cerna.
2. Gangguan saluran pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir
kering dan kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor ditutupi selaput kotor (coated
tongue), ujung dan tepi lidah tampak kemerahan, serta lidah tampak tremor. Pada
anak balita tanda dan gejala ini jarang ditemukan. Pasien sering mengeluh nyeri
perut, terutama regio epigantrium (nyeri ulu hati), disertai nausea, mual, dan muntah.
Sering dijumpai meteorismus, konstipasi, dan/atau diare.
3. Gangguan kesadaran
Umumnya dijumpai gangguan kesadaran, kesadaran berkabut, penurunan
kesadaran karena tifoid ensefalopati dan meningoensefalitis. Sebaliknya mungkin
dapat ditemukan gejala psikosis.
4. Hepatosplenomegali
Hati dan limpa ditemukan sering membesar. Pada perabaan hati teraba kenyal
dan nyeri tekan.
5. Bradikardi relatif dan gejala lain
Bradikardi relatif jarang ditemukan pada anak. Bradikardi relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan
yang sering dipakai adalah setiap peningkatan 1 oC tidak diikuti peningkatan
frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan
pada demm tifoid seperti rose spot biasanya ditemukan di regio abdomen atas.4
2.5

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi
1. Darah tepi
Pada pemeriksaan hitung leukosit total terdapat gambaran leukopeni (30005000/L), limfositosis relatif, monositosis, aneonsinofilia, dan trombositopenia
ringan. Leukopenia terjadi akibat depresi sumsum tulang oleh endotoksin dan
mediator endogen yang lain. Angka kejadian leukopenia dipekirakan sebesar 25%,
beberapa laporan lain menyebutkan hitung leukosit sering dalam normal atau
5

leukositosis ringan. Kejadian trombositopenia diduga akibat produksi yang menurun


dan destruksi yang meningkat pada sistem retikuloendotelial. Sedangkan anemia
dapat disebabkan oleh produksi hemoglobin yang menurun serta kejadian
perdarahan intestinal yang tidak nyata (occult bleeding). Perlu diwaspadai bila
terjadi penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4, karena bisa
disebabkan oleh perforasi usus yang menimbulkan peritonitis dan perdarahan dalam
abdomen.
Pemeriksaan Mikrobiologi
1. Biakan bakteri
Spesimen untuk biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang, feses, dan
urin. Pemilihan jenis spesimen tergantung patogenesis penyakit dan lama masa
sakit. Ketentuan umum pengambilan spesimen adalah:
- Spesimen diambil pada saat pertama kali datang ke dokter.
- Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik.
- Spesimen diambil secara aseptik.
- Menggunakan wadah yang steril, tertutup, dan tidak mudah bocor.
- Volume spesimen cukup (sesuai jenis spesimen).
a. Darah
Spesimen darah dapat diambil mulai demam minggu pertama. Sebaiknya
darah diambil pada saat pasien demam. Darah pada pasien anak diambil sebanyak
2-5 ml (10% dari berat badan) dan pada pasien dewasa 10 ml, masing-masing
sebanyak 2 tabung spesimen yang diambil dari 2 tempat pungsi vena yang berbeda
(lengan kanan dan kiri). Darah diambil secara aseptik lalu dimasukkan ke dalam
botol biakan darah yang berisi 50-100 ml kaldu empedu (perbandingan specimen :
medium = 1:9) atau menggunakan medium dalam botol tertutup yang tersedia
secara komersial.
b. Sumsum tulang
Spesimen sumsum tulang harus diambil oleh seorang ahli yang kompeten dan
dilakukan di ruang khusus. Spesimen diambil secara aseptik sebanyak 0,5-2 ml dan
langsung dimasukkan ke dalam medium cair.
c. Biakan Tinja
Spesimen tinja diambil pada minggu ke-2 dan minggu-minggu selanjutnya.
Spesimen tinja yang digunakan harus yang segar, tidak tercampur urin atau air.
6

Jumlah spesimen yang diambil adalah sebanyak 10 gram atau sebesar telur burung
puyuh. Bila tinja encer diambil sebanyak 10 ml atau 2 sendok makan. Spesimen
dimasukkan ke dalam wadah tinja yang bersih dan kering, bermulut lebar, dapat
ditutup rapat, dan tidak mudah bocor atau pecah. Spesimen tinja segera dibawa ke
laboratorium pemeriksa dalam waktu kurang dari 2 jam, sebaiknya pada suhu dingin.
Pemeriksaan kultur tinja dapat digunakan untuk pembuktian karier tifoid.
Untuk tujuan tersebut, tinja harus diambil sebanyak 3 kali dengan jarak
waktu beberapa hari atau sekitar 2 minggu.
3. Biakan Urin
Spesimen urin dapat diambil pada minggu ke-2 dan minggu berikutnya.
Spesimen urin diambil sebanyak 10 ml lalu secara steril diputar dan endapannya
dikultur .Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan adalah biakan dan uji kepekaan
bakteri terhadap antibiotik.
a. Spesimen darah atau sumsum tulang di dalam medium kaldu empedu atau botol
komersial diinkubasi dalam inkubator dengan suhu 35oC-37oC selama 22-24
jam. Hari kedua, dari biakan dilakukan pewarnaan Gram dan diinokulasi pada
medium padat selektif (agar Salmonella-Shigella) dan dibiakkan pada suhu
35oC-37oC selama 22-24 jam. Apabila pada hari ketiga biakan negatif,
dilakukan biakan ulang dari medium cair sampai biakan positif atau sampai
dengan hari kelima. Apabila telah didapatkan biakan positif, dilakukan
pemurnian koloni tersangka Salmonella sp. dan dilanjutkan uji identifikasi
secara biokimia serta uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik. Apabila
digunakan biakan darah di dalam botol komersial menggunakan inkubator
khusus

dengan

detector

pertumbuhan,

maka

pada

saat

terdeteksi

adanya pertumbuhan langsung dilakukan pewarnaan Gram dan inokulasi pada


medium padat selektif.
b. Spesimen tinja dan urin ditanam langsung pada medium cair selektif untuk
Salmonella (misalnya kaldu Selenit) dan medium padat selektif (misalnya agar
Salmonella Shigella/agar SS). Bila terdapat pertumbuhan, maka dilakukan
pemurnian koloni tersangka Salmonella sp.dan dilanjutkan uji identifikasi dan
uji kepekaan bakteri terhadap antibiotik.
Pemeriksaan Serologi
7

Pemeriksaan serologi untuk pendukung diagnosis demam tifoid yang saat ini
tersedia adalah pemeriksaan antibodi pada serum pasien, yaitu anti-Salmonella IgM
(misalnya Tubex, Immuno-chromatography Test) atau IgM-IgG (Widal, Immunochromatography Test).4
1. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi. Pada uji
Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan antibodi
yang disebut aglutinin. Ntigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam
tifoid, yaitu:
- Aglutinin O (dari tubuh kuman)
- Aglutinin H (flagela kuman)
- Aglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4, dan tetap
tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O
masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan
penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) Pengobatan dini
dengan

antibiotik,

2)

Gangguan

pembentukan

antibodi

dan

pemberian

kostikosteroid, 3) Waktu pengambilan darah, 4) Daerah endemik atau non-endemik,


5) Riwayat vaksinasi, 6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid di masa lalu atau vaksinasi,
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan starin
Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.3

Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan. Tidak sama pada masingmasing daerah, tergantung endemisitas daerah masing-masing dan tergantung hasil
penelitian. Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya berdasarkan kesepakatan atau
perjanjian satu daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut. Kebanyakan pendapat
bahwa titer antibody terhadap antigen O sebesar 1/320 sudah menyokong kuat
diagnosis demam demam tifoid. Reaksi Widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis
demam tifoid.
Diagnosis pasti demam tifoid adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat
pada pemeriksan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi reaksi Widal, sehingga mendatangkan hasil yang keliru, baik
negatif palsu atau positif palsu. Hasil tes negatif palsu seperti pada pembentukan
antibodi yang rendah, dapat ditemukan pada keadaan gizi buruk, konsumsi obatobatan imunosupressif, penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma lanjut,
dll. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, terdapat
riwayat infeksi subklinis, reaksi aglutinasi silang, dll.4
2. Uji Tubex
Uji Tubex merupaka uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibofi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan anatara IgM anti O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna lipopolisakarida. Uji Tubex hanya dapat mendeteksi
IgM dan tidak mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas
utuk mendeteksi masa lampau.3
Interpretasi hasil uji Tubex
Sko

Interpretasi

r
<2

Negatif

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif

Borderline

Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi


pengujian, apabila masik meragukan lakukan
pengulangan beberapa hari kemudian

2.5

4-5

Positif

Menunjukkan infeksi tifoid aktif

>6

Positif

Indikasi kuat infeksi tifoid

Komplikasi
9

Pada minggu ke 2 atau ke-3, sering timbul komplikasi demam mulai dari yang ringan
sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya:
1. Perdarahan, perforasi intestinal, dan peritonitis
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbetuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Bila msudah menembus
dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membtuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat
dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor hemostasis dalam
batas normal.3 Perforasi intestinal ditandai dengan nyeri abdomen akut, tegang, dan nyeri
tekan abdomen (paling nyata di kuadran kanan bawah). Pada pemeriksaan perut didapatkan
tanda distensi abdomen, defans musckular, ileus paralitik, bising usus melemah,dan pekak
hati menghilang. Perforasi dipastikan dengan pemeriksaan foto abdomen 3 posisi (diafragma,
left lateral decubitus, dan plain abdomen).4 Pada foto ditemukan udara pada rongga
peritoneum atau subdiaafragma kanan.3 Perforasi intestinal adalah komplikasi demam tifoid
yang serius karena sering menimbulkan kematian. Pada peritonitis, ditemukan gejala
abdomen akut yakni nyeri perut hebat, kembung, serta nyeri pada penekanan. Nyeri lepas
(rebound phenomenon) khas untuk peritonitis.4
2. Komplikasi hematologi
Berupa

trombositopenia,

hipofibrino-genemia,

peningkatan

prothrombin

time,

peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation product sampai


koagulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam
tifoid. Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan
adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis.
Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin meyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan
endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi;
baik KID kompensata maupun dekompensata.
3. Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpi karena S. Thypi daripada S. Paratyhpi. Untuk membedakan
10

apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopalogik hati. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang.3
4. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi, gejalanya adalah sama dengan pankreatitis
akut. Penderita nyeri perut hebat, disertai mual dan muntah warna kehijauan, meteorismus,
serta bising usus menurun. Enzim amylase dan lipase meningkat.4
5. Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan EKG dapat
terjadi pada 10-15% penderita. Pasien bisa tanpa gejala atau berupa keluhan sakit dada, gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik.
6. Manifestasi neuropsikiatrik/tifoid toksik
Berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma, atau koma, Parkinson, sindrom
otak akut, mioklunus generalisata, meningismus, mania, hipomania akut, meningitis, SGB,
dan psikosis.
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak
masih dalam batas normal. Diduga faktor-faktor sosial ekonoi yang buruk, tingkat pendidikan
yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan kepercayaan yang masih
terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya menigkatkan angka
kematian.3

2.6

Penatalaksanaan
1. Istirahat dan perawatan

11

Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan mencegah komplikasi. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan
buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan
perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi
pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene
perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita
akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini
disebabkan ada pendapat bahwa usus halus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan
bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.

3. Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah
sebagai berikut:
-

Kloramfenikol

Di Indonesia kloramfenikol masih nerupakan obat pilihan utama untuk mengobati


demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500 mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak
dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat penyuntikan
terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2
hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5.
12

Pada penelitian oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki kepekaan
terhadap antibiotik ini.
- Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500
mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
- Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprin) diberikan selama 2 minggu.
- Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama
2 minggu.
- Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama setengah jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari.
- Golongan fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
13

Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari


Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan
fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
- Azitromisin
Penggunaan azitromisin menunjukkan bahwa obat ini jika digunakan dengan
fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat
inap, terutama jika penelitian mengikutsertakan pula starin MDR (Multi Drugs Resistance)
maupun NARST (Nalidixic Acid Resistant S. Typhi). Jika dibandingkan dengan seftriakson,
penggunaan azitromisis dapat mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan
konsentrasi dalam jaringan yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cenderung rendah.
Antibitika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotika ini menjadi ideal untuk
digunakan dalam pengobatan infeksi oleh S. Typhi yang merupakan kuman intraselular.
Keuntungan lain adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral maupun suntikan
intravena.3

2.7 Pencegahan
Pencegahan lebih baik daripada pengobatan dan dengan pengobatan yang baik berarti
melaksanakan pencegahan yang baik pula. Kedua ungkapan ini berlaku juga untuk tifoid,
dimana kegiatan pencegahan lebih efisien dan tanpa risiko yang membahayakan. Bila
pengobatan tifoid terlaksana dengan sempurna, maka dapat mencegah karier yang merupakan
sumber penularan di masyarakat. Ada 3 pilar strategis yang menjadi program pencegahan
yakni:
1. Mengobati secara sempurna pasien dari karier tifoid
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan
3. Perlindungan dini agar tidak tertular.
Beberapa kegiatan dalam aspek pencegahan dan pengendalian tifoid, di antaranya:
1. Langkah-langkah strategis pencegahan karier, relaps, dan resistensi tifoid
14

Masalah rumit yang sering timbul sehubungan penanganan kasus tifoid yang tidak
optimal adalah karier, relaps, dan resistensi. Karier tifoid adalah seseorang yang selalu
mengandung bakteri Salmonella sehingga menjadi sumber infeksi untuk orang lain.
Karier akan terjadi bila penderita tidak diobati atau pengobatan yang tidak adekuat,
atau ada faktor-faktor predisposisi pada penderita sehingga basil susah dimusnahkan
dari tubuh. Dianggap karier bila hasil kultur feses atau urin masih positif sampai 3
bulan setelah sakit dan disebut karier kronik bila basil masih ada sampai 1 tahun atau
lebih. Karier kronik biasanya mempunyai faktor predisposisi penyakit kronik di hati
atau ginjal.
Langkah-langkah strategis yang bermanfaat untuk mengatasi ketiga permasalahan
tifoid di atas adalah:
-

Terlaksananya monitor dan kontrol yang ketat terhadap pemakaian antibiotika yang

bebas.
Setiap RS atau institusi kesehatan lain yang merawat pasien, memiliki standar

pelayanan medis penatalaksanaan tifoid dan konsisten mengimplementasikannya.


Setiap RS memiliki aturan-aturan pemakaian antibiotika yang terpola dengan baik.
Memiliki pola kepekaan yang dibuat secara berkala serta menetapkan antibiotika
yang dipergunakan sebagai terapi empiris lini pertama dan kedua, baik untuk

dewasa maupun untuk anak.


Terlaksananya monitor terhadap kemungkinan karier dengan biakan feses secara
serial. Sekurang-kurangnya pada sat pulang, 4 minggu dan 3 bulan kemudian

dilaksanakan biakan lanjutan untuk mendeteksi karier.


Bila ada kasus karier beri terapi quinolone selama 4 minggu (Siprofloksasin 2x750

mg atau Norfloksasin 2x400 mg).


Bila ada resistensi terhadap obat lini pertama, maka terapi antibiotika selanjutnya
lebih baik menurut hasil uji kepekaan.

2. Perbaikan sanitasi lingkungan


Beberapa usaha perbaikan sanitasi lingkungan adalah:
-

Penyediaan air bersih untuk selruh warga.


Jamban keluarga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Pengelolaan air limbah, kotoran, dan sampah harus benar sehingga tidak

mencemari lingkungan.
3. Peningkatan higiene makanan dan minuman
4. Peningkatan higiene perorangan
5. Pencegahan dengan imunisasi
15

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid yakni:


-

Vaksin oral Ty 21a Vivotif Berna


Vaksin tersedia dalam kapsul yang diminum selang sehari dalam 1 minggu, satu jam
sebelum makan. Kontraindikasi pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan ank kecil 6 tahun.

Lama proteksi 5 tahun.


Vaksin parenteral sel utuh: Yypa Bio Farma
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiterny. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine dan L vaccine. Pemberian 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping
yang dilaporkan adalah demam, myeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Kontraindikasi terhadap demam, hamil, dan riwayat demam pada

pemberian pertama.
Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari basil Salmonella. Dya proteksi 6070% pada dewasa dan anak 5 tahun. Dalam bentuk suntik 0,5 ml diberikan secara
intramuskular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam, dan anak lebih kecil 2 tahun.5

16

BAB III
STATUS ORANG SAKIT

ANAMNESIS PRIBADI
Nama

: Muhammad Rizki

Umur

: 15 tahun

Jenis Kelamin

: Laki laki

Status Perkawinan

: Belum menikah

Pekerjaan

: Pelajar

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Rawa GG.Giat Kelurahan Tegalasari Mandala

ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama

: Demam (+)

Telaah

: Hal ini dirasakan 7 hari ini, demam bersifat naik turun, dengan suhu
tertinggi 38,2C. Demam turun dengan penggunaan obat penurun
panas, namun demam kembali naik, demam cendrung tinggi pada
malam hari, dan menurun pada siang dan sore hari. Mengigil (-),
riwayat berkeringat setelah mengigil (-), riwayat perdarahan (-), gusi
berdarah (-), riwayat bepergian ke daerah edemis malaria (-), nyeri
kepala (+) dialami os 1 minggu ini, nyeri bersifat terus menerus,
nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, nyeri berdenyut-denyut, mual
17

(+) dirasakan os setiap kali mau makan dan minum, muntah (+)
frekuensi 2x sehari. Isi apa yang di makan dan apa yang di minum.
Batuk (-), Penurunan berat badan (-), nyeri BAB (-), riwayat nyeri
berdarah (-), BAB mencret 2x/hari selama 3 hari SMRS, BAK (+)
normal.
RPT : RPO: Tidak jelas

STATUS PRESENT
Sensorium

: Composmentis

Tekanan darah

:110/ 70 mmHg

Nadi

:88 x/i

Pernapasan

: 20 x/i

Temperatur

: 38,2 C

Refleks Fisiologis

:(+/+) Normal

Anemis

: (-/-)

Refleks Patologis

: (-) Normal

Ikterik

: (-/-)

Berat Badan

: 65 kg

Sianosis

: (-)

T inggi Badan

:170 cm

Dipsnoe

: (-)

IMT

Oedema

: (-)

BB (kg) / TB (m) x TB (m)

Pancaran Wajah

:Lemah

65 / 170x 170= 65/2.89 =


22.4
Kesan

: Normoweight

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala
18

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks


cahaya (+/+) , pupil isokor (+/+) 3 mm

Telinga

: Dalam Batas Normal

Hidung

: Dalam Batas Normal

Mulut

: Lidah kotor dengan pinggir kemerahan

Leher

: TVJ R-2 cmHO, trakhea medial, pembesaran KGB (-)

Thorax
Paru-paru
Inspeksi

: Simetris fusiformis

Palpasi

: Sterm fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: Suara Pernapasan

: vesikuler

Suara Tambahan

: -

Abdomen
Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Soepel, Hepar/ Lien / Ren : tidak teraba , nyeri tekan (-)

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) Normal

Ekstremitas
superior

: oedema (-), akral hangat, CRT <3


19

Inferior

: oedema (-/-), akral hangat, CRT <3

Genitalia

: Laki- laki. Tidak dilakukan pemeriksaan

Rektum

: Tidak Dilakukan Pemeriksaan

PEMRIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Darah Rutin
Tanggal 22-12-2015
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW-CV
RDW-SD
PDW
MPV
P-LCR
PCT
WBC

15.75 .10/uL
4.83 . 10/uL
13.0 g/dL
38.0 %
78.7 fL
26.9 pg
34.2 g/dL
92 .10/uL
13.2 %
37.5. fL
10.3L
10.5 fL
26.9 %
0.14%
0.10 .10/uL

Tanggal 25-12-2015
WBC
RBC
HGB
HCT
MCV
MCH
MCHC
PLT
RDW-CV
RDW-SD
PDW
MPV
P-LCR

9.78 .10/uL
4.49 . 10/uL
12.3 g/dL
35.8 %
79.7 fL
27.4 pg
35.8 g/dL
149 . 10/uL
9.7%
38. fL
9.7 fL
9.5 fL
20.7 %
20

PCT

0.14%

2. Pemeriksaan KGD
Glukosa adrandom

: 82.00 mg/dl

3. Test Widal
Antigen 0- TYPHI 0

1/320

Antigen 0- P. TYPHI A

1/40

Antigen 0- P. TYPHI B

1/80

Antigen 0- P. TYPHI C

1/80

Antigen H-TYPHI 0

1/320

Antigen 0- P. TYPHI A

1/80

Antigen 0- P. TYPHI B

1/80

Antigen 0- P. TYPHI C

1/80

4. Anti Dangue IgG dan IgM


IgM Anti Dengue

Negatif

IgG Anti Dengue

Negatif

5. Pemeriksaan Urinalisa:
22-12-2015
Warna

Kuning

Kekeruhan

Keruh

Protein

Negatif

Reduksi

Negatif

Sedimen-Eritrosit

0/1 Ipb

Sedimen-Leukosit

4Ipb

Sedimen-Renal

Negatif
21

Epitel
Sedimen-Blass

Negatif

Epitel
Sedimen-

5/Ipb

Vag/Urethr.Ep
Kristal-Ca Oxalat

Negatif

Kristla T.Phospat

Negatif

Kristal-Cystin

Negatif

Silinder

Negatif

Billirubin

Negatif

Urobillinogen

Positif

pH

6.5

Berat Jenis

1.015

Nitrit

Negative

6. Pemeriksaan rontgen toraks


22-12-2015
Kesan : Tidak tampak kelainan

22

RESUME
Keluhan Utama: Demam (+)
ANAMNESIS

Hal ini dirasakan 7 hari ini, demam bersifat naik turun, dengan
suhu tertinggi 38,2C. Demam turun dengan penggunaan obat
penurun panas, namun demam kembali naik, demam cenderung
tinggi pada malam hari, dan menurun pada siang dan sore hari.
Mengigil (-), riwayat berkeringat setelah mengigil (-), riwayat
perdarahan (-), gusi berdarah (-), riwayat bepergian ke daerah
endemis malaria (-), nyeri kepala (+) dialami os 1 minggu ini,
nyeri bersifat terus menerus, nyeri kepala dirasakan di seluruh
kepala, nyeri berdenyut- denyut, nausea (+) dirasakan os setiap
kali mau makan dan minum, vomit (+) frekuensi 2x sehari. Isi apa
yang di makan dan apa yang di minum.

Batuk (-), Penurunan

berat badan (-), nyeri BAB (-), riwayat nyeri BAB berdarah (-),
BAB (+) normal. Konsintensi ampas = air. BAK (+) normal.
RPT : RPO: Tidak jelas

STATUS PRESENT

PEMERIKSAAN FISIK

Sensorium

: Composmentis

Tekanan darah

:110/ 70 mmHg

Nadi

: 88 x/i

Pernapasan

: 20 x/i

Temperatur
Kepala

: 38,2 C

Mata

: Konjungtiva palpebra inferior anemis


(-/-) , sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/
+) , pupil isokor (+/+) 3 mm

Telinga

: Dalam Batas Normal

Hidung

: Dalam Batas Normal

Mulut

: Lidah kotor dengan pinggir kemerahan

23

Leher

: TVJ R-2 cmHO, trakhea medial,

pembesaran KGB (-)


Thorax
Paru-paru
Inspeksi

: Simetris Fusiformis

Palpasi

: Sterm fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: Suara Pernapasan

:vesikuler

Suara Tambahan

: -

Abdomen
Inspeksi

: Simetris

Palpasi

:Soepel, Hepar/ Lien / Ren : tidak teraba ,

nyeri tekan (-)


Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+) Normal

Ekstremitas
Superior

: oedema (-), akral hangat, CRT <3

Inferior

: oedema (-/-) , akral hangat, CRT <3

Genitalia

: Laki- laki. Tidak dilakukan pemeriksaan

24

Rektum

: Tidak Dilakukan Pemeriksaan

PEMERIKSAAN

Darah rutin

PENUNJANG

22-12-2015

DIAGNOSIS BANDING

Kesan : Leukositosis dan trombositopenia


- Demam Tifoid

DIAGNOSA

- Demam Dengue
Demam Tifoid

SEMENTARA
PENATALAKSANAAN

Tirah baring

Diet M II

IVFD RL 9 % 20 gtt/i makro

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Domperidon 2x 10 mg

RENCANA

Paracetamol 3x500 mg
Urinalisa

PERANJAKAN

Widal Test dan IgG & IgM Anti Dengue

DIAGNOSTIK

Foto Toraks PA

Follow Up Harian Pasien

25

TANGGAL

Rawatan I
Tanggal 22 Desember 2015

Demam (+), mual (+), muntah (+), nyeri kepala (+)

Status present
Sens : CM
TD : 90/60 mmHG
HR : 88 x/i
RR : 24 x/i
T : 37.7 C
Mata : Conj. palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: DBN/DBN/lidah kotor
Toraks :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas :
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)

A
P

Demam tifoid dd Demam dengue


-

Tirah Baring

Diet M II

IVFD Nacl 0.9 % 20 gtt/i (makro)

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV


26

Anjuran

TANGGAL

Domperidon 2x 10 mg

Paracetamol 3x500 mg

Cek Urinalisa

Widal Test, IgG & IgM Anti Dangue

Foto Thoraks PA

Banyak Minum Air Putih

Rawatan II
Tanggal 23 Desember 2015

Demam (-), mual (+), muntah (-), nyeri kepala (+)

27

Status present
Sens : CM
TD :110/60 mmHG
HR : 79x/i
RR : 23 x/i
T : 37.1 C
Mata : conj. Palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: DBN/DBN/lidah kotor
Thorax :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigasterium (+)
Ekstremitas :
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)

A
P

Anjuran

Demam tifoid dd Demam dengue


-

Tirah Baring

Diet M II

IVFD RL 0.9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Paracetamol 3x500 mg
Cek IgG & IgM Anti Dengue

Susul Foto Thoraks PA

28

TANGGAL

Rawatan III
Tanggal 24 Desember 2015

Demam (-), mual (+), muntah (-), nyeri kepala (+)

29

Status present
Sens : CM
TD :100/60 mmHG
HR : 88 x/i
RR : 24 x/i
T : 36.7 C
Mata : conj. Palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: DBN/DBN/lidah kotor
Thorax :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigasterium (+)
Ekstremitas :
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)

Demam tifoid dd Demam dangue

Anjuran

Tirah Baring

Diet M II

IVFD RL 0 .9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Domperidon 2x 10 mg

Paracetamol 3x500 mg

30

TANGGAL

Rawatan IV
Tanggal 25 Desember 2015

Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-)

31

Status present
Sens : CM
TD :100/60 mmHG
HR : 84 x/i
RR : 20 x/i
T : 37.0 C
Mata : conj. Palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: DBN/DBN/ lidah kotor
Thorax :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigasterium (+)
Ekstremitas :
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)

A
P

Anjuran

Demam tifoid dd Demam dangue


-

Tirah Baring

Diet M II

IVFD RL 0 .9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Paracetamol 3x500 mg

32

TANGGAL

Rawatan V
Tanggal 26 Desember 2015

Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-)

Status present
Sens : CM

33

TD :110/70 mmHG
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 36.9 C

Mata : conj. Palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: DBN
Thorax :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigasterium (+)
Ekstremitas :
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)
A
P

Anjuran

Demam tifoid dd Demam dangue


-

Tirah Baring

Diet M II

IVFD RL .9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Paracetamol 3x500 mg
Cek Darah Rutin

34

TANGGAL

Rawatan VI
Tanggal 27 Desember 2015

Demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri kepala (-)

35

Status present
Sens : CM
TD :120/70 mmHG
HR : 80 x/i
RR : 20 x/i
T : 37.1 C
Mata : conj. Palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Pembesaran KGB (-)
T/H/M: dbn
Thorax :
SP:vesikuler
ST: (-)
Abdomen : Soepel, H/L/R: ttb, nyeri tekan epigasterium (+)
Ekstremitas : dalam batas normal
Superior : oedema (-), akral hangat (+)
Inferior : oedema (-), akral hangat (+)

A
P

Anjuran

Demam tifoid dd Demam dangue


-

Tirah Baring

Diet M II

IVFD RL .9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

Paracetamol 3x500 mg
PBJ Tanggal 27 Desember 2016

36

BAB IV
KESIMPULAN
Demam tipoid adalah suatu penyakit infeksi usu halus yang disebabkan
oleh salmonela tipe A, B dan C yang menular melalui oral, fecal, makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Masa inkunasi demam tipoid berlangsung selama
7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) tergntung jumlah dan stain kuman yang
tertelan. Selama masa inkubasi penderita dalam keadaan asimtomatis.
Secara garis besar, gejala tipoid adalah demam lebih dari seminggu, lidah kotor,
mual berat sampai muntah, diare atau mencret, lemas, pusing, dan sakit perut.
Hingga sampai pingsan. Penatalaksanaan Istirahat dan perawatan, Diet dan terapi
penunjang, Pemberian antimikroba (Kloramfenikol, Tiamfenikol, Kotrimoksazol,

37

Ampisilin dan amoksisilin). Pencegahan Mengobati secara sempurna pasien dari


karier tifoid, Mengatasi faktor-faktor yang berperan terhadap rantai penularan,
Perlindungan dini agar tidak tertular.

BAB V
DISKUSI
TEORI

KASUS

Demam atau panas adalah gejala utama demam Demam. Hal ini dirasakan 7 hari ini,
tifoid. Demam bisa terjadi berminggu-minggu. Demam cendrung tinggi pada malam hari,
Suhu pagi dibandingkan sore atau malam hari dan menurun pada siang dan sore hari.
lebih tinggi (step ladder fashion).
Lidah kelihatan kotor ditutupi selaput kotor Pada

kasus

ditemukan

nyeri

tekan

(coated tongue), ujung dan tepi lidah tampak epigastrium, lidah kotor (+), mual (+)
kemerahan. Pasien sering mengeluh nyeri perut, dirasakan os setiap kali mau makan dan
terutama regio epigastrium (nyeri ulu hati), minum, muntah (+) frekuensi 2x sehari. Isi
38

disertai nausea, mual, dan muntah. Sering apa yang di makan dan apa yang di minum.
dijumpai meteorismus, konstipasi, dan/atau diare.

BAB mencret 2x/hari selama 3 hari


SMRS.

Penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhi.


Antigen 0- TYPHI 0: 1/320

Kebanyakan pendapat bahwa titer antibodi


terhadap antigen O sebesar 1/320 sudah
menyokong kuat diagnosis demam demam tifoid.
Penatalaksanaan demam tifoid:
-

Antigen H- TYPHI 0: 1/320

Penatalaksanaan yang diberikan dalam

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan profesional

kasus ini:
-

Tirah Baring

bertujuan mencegah komplikasi. Diet dan

Diet M II

terapi penunjang
Diet merupakan hal yang cukup penting

IVFD RL 0 .9 % 20 gtt/i

Inj. Kloramfenikol 500mg/6 jam

dalam

penyakit

Inj. Ranitidine 50mg/12 jam IV

demam tifoid. Penderita demam tifoid

Paracetamol 3x500 mg

diberi

proses
diet

penyembuhan

bubur

saring,

kemudian

ditingkatkan menjadi bubur kasar dan


akhirnya diberikan nasi, yang perubahan
diet tersebut disesuaikan dengan tingkat
-

kesembuhan pasien.
Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba

yang

sering

digunakan untuk mengobati demam tifoid


adalah

Kloramfenikol.

kloramfenikol

masih

Di

Indonesia

nerupakan

obat

pilihan utama untuk mengobati demam


tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4x500
mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Panduan


Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI. 2006. Hal 139-141.
2. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:
Salemba Medika. 2005. Hal 366.
3. Widodo J in . At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta.
Erlangga. 2007. hal 116-117.
4. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Dan
Kesehatan Lingkungan Sistematika Pedoman Pengendalian Penyakit
Demam Tifoid. 2013. Hal 20-42.

40

5. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 364. Pedoman Pengendalian Demam

Tifoid. 2006. Hal 26-31.

41

Anda mungkin juga menyukai