1102012091 A8
LI 1. Malpraktek
1. Definisi Malpraktek
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah
Involves the physicians failure to conform to the standard of care for treatment of the patients
condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct
cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan
terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang
menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut
pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma
etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang
dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut
substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan
adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas
tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk
yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
2. Jenis-jenis Malpraktek
Berpijak pada hakekat malpraktek adalan praktik yang buruk atau tidak sesuai dengan
standar profesi yang telah ditetepkan, maka ada bermacam-macam malpraktek yang dapat dipiah
dengan mendasarkan pada ketentuan hukum yang dilanggar, walaupun kadang kala sebutan
malpraktek secara langsung bisa mencakup dua atau lebih jenis malpraktek. Secara garis besar
malprakltek dibagi dalam dua golongan besar yaitu mal praktik medik (medical malpractice)
yang biasanya juga meliputi malpraktik etik (etichal malpractice) dan malpraktek yuridik
(yuridical malpractice). Sedangkan malpraktik yurudik dibagi menjadi tiga yaitu malpraktik
perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan malpraktek
administrasi Negara (administrative malpractice).
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan
dengan dua cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolak ukur adanya 4 D yakni
a Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak
berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
b Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau
tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka
dokter dapat dipersalahkan.
c Direct Cause (hubungan sebab akibat yang nyata)
d Damage (kerugian)
yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
b. Malpraktik Pidana (criminal malpractice)
Malpraktik pidana terjadi, jika perbuatan yang dilakukan maupun tidak dilakukan
memenuhi rumusan undang-undang hukum pidana. Perbuatan tersebut dapat berupa
perbuatan positif (melakukan sesuatu) maupun negative (tidak melakukan sesuatu) yang
merupakan perbuatan tercela (actus reus), dilakukan dengan sikap batin yang slah (mens rea)
berupa kesengajaan atau kelalauian.
Contoh malpraktik pidana dengan sengaja adalah :
a Melakukan aborsi tanpa tindakan medik
b Mengungkapkan rahasia kedi\okteran dengan sengaja
c Tidak memberikan pertolongan kepada seseorang yang dalam keadaan darurat
d Membuat surat keterangan dokter yang isinya tidak benar
e Membuat visum et repertum tidak benar
f Memberikan keterangan yang tidak benar di pengadilan dalan kapasitasnya sebagai ahli.
Contoh malpraktik pidana karena kelalaian:
a Kurang hati-hati sehingga menyebabkan gunting tertinggal diperut
3
b
c
pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh
daya paksa.
Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar
ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena
dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa
tergugat (perawat) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak
diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.
LI 2. Informed Consent
1
Definisi
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Dari pengertian di atas PTM adalah persetujuan yang
diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun
yang akan dilakukan.
Tujuan
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga
berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat
terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan
sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan
teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus
lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Manfaat
a Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa risk of treatment ataupun error judgement.
Bentuk
a Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
b Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan
segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa
membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.
c Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi
prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan
kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.
5 Persetujuan
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat. Istilah
untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu fraudulent concealment. Pasien yang akan menjalani
operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat
saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed consent
dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed
consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis pasien.
Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak
dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed
consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan.
Otoritas untuk memberikan persetujuan
Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak
mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai
akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien. Ketika
pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk pengadilan
harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
7
tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak
rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus sebagai
keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan yang
diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi
dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika pasien,
meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter
perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan
keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan persetujuan yang sah. Pada
kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika
memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien dewasa
inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
Kemampuan memberi perijinan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan terkait
dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak
menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha
persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang
ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk bertindak
atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien
inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:
1 Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)
2 Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai berikut:
(1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.
3 Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l)
Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.
4 Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan hak
sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara kandung.
5 Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut
urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.
6 Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut urutan
hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung, d.
Saudara-saudara kandung.
Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
8
menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk
mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.
6
Isi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta
atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien baik
diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat memahaminya. Ini
mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative
terapi (Hanafiah, 1999).\
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh pasien
dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling untuk
diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan
memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus menjelaskan
beberapa hal, yaitu:
1 Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2 Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3 Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4 Alternative metode perawatan / pengobatan.
5 Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6 Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam
melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan
adalah:
1 Diagnosa yang telah ditegakkan.
2 Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3 Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4 Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5 Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6 Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran :
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
9
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang akan
melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No 290 /
Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.
KETENTUAN INFORMED CONSENT
Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1 Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (sop) dan
ditetapkan tertulis oleh pimpinan rs.
2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3 Informed consent dianggap benar :
Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat
mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of
medical procedure)
Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure)
Tentang risiko
Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative
medical procedure and risk)
Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
Diagnosis
5 Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang bersangkutan
6 Cara menyampaikan informasi
Lisan
Tulisan
7 Pihak yang menyatakan persetujuan
a Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
10
Ayah/ibu kandung
Saudara saudara kandung
c Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
Ayah/ibu adopsi
Saudara-saudara kandung
nduk semang
d Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
Ayah/ibu kandung
Wali yang sah
Saudara-saudara kandung
e Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
Wali
Kurator
f Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
Suami/istri
Ayah/ibu kandung
Anak-anak kandung
Saudara-saudara kandung
8 Cara menyatakan persetujuan
Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
Lisan; tindakan tidak beresiko
9 Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
10 Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11 Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah
satu saksi
Materai tidak diperlukan
Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi
Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya
12 Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.
LI 3. Alur
11
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang bertanggung
jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan
pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.
Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis,
MKEK wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang dibentuk
apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah. MKEK
bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai
dengan tingkat kepengurusan. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI Kepengurusan MKEK
sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK wilayah dan cabang
mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang, sesuai dengan tingkat
kepengurusan.
Tugas dan wewenang
12
Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan
yang ditetapkan muktamar.
Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur
kedokteran.
Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar, pengurus
wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia.
Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.
13
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Tatacara Pengelolaan
a Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar, musyawarah
wilayah, dan musyawarah cabang.
e
MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta
permintaan.
f MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain yang
ditentukan sendiri oleh MKEK.
MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :
1 Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2 Menetapkan sanksi disiplin.
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi Menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.
Tujuan penegakan disiplin adalah :
1 Memberikan perlindungan kepada pasien.
2 Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3 Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.
Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI
MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi profesi,
1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana hukum.
Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi profesi. Masa
bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan lagi.
Tugas MKDKI :
a menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi yang diajukan dan
b menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.
14
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
2
3
Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal ini
tidak mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya
3
4
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter
gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua
MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan
tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya
LI 4. Malpraktek dalam Hukum Islam
BENTUK-BENTUK MALPRAKTEK
Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa digolongkan
sebagai berikut:
1. Tidak punya keahlian ( jahil ).
Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau
memiliki sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki
keahlian di bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung oleh Nabi
-shallallah 'alaihi wasallam- dalam sabda beliau:
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggungjawab.
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak
orang, sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus
bertanggungjawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah
baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus
dikuasai oleh dokter saat menjalani profesi kedokteran.
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini
dan tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh
seseorang untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian
semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang
seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi
tersebut, maka ia tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya,
maka ia bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim.
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi
pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk
permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).
Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya.Misalnya
tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
18
20
AbouZahr1, Carla & Boerma1,Ties . Health information systems: the foundations of public
health in Bulletin of the World Health Organization August 2005, 83 (8)
Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.
Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC . 1998
National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available
at:wwww.cancer.gov/ClinicalTrials
World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries, 2006
Diakses dari http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent
21