Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

DENGUE SHOCK SYNDROME

DISUSUN OLEH:
CHAIRUNNISA RIFKA WINDIPUTRI
FITRIA FADZRI
SASADARA PRAMUDITA

PEMBIMBING:
dr. Baralangi Tambing Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RS TK.II MOH. RIDWAN MEURAKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 18 JULI 2016 24 SEPTEMBER 2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah,
rahmat, nikmat dan hidayah-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW
pembawa rahmat bagi seluruh alam, suri tauladan seluruh umat di dunia.
Atas berkat rahmat dan hidayah serta mengucapkan syukur kehadirat Ilahi
Rabbi sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul:
DENGUE SHOCK SYNDROME. Referat ini diajukan dalam rangka memenuhi
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan kepaniteraan ilmu kesehatan Anak.
Terwujudnya referat ini adalah berkat bantuan dan dorongan semangat baik
berupa bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini,
penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Christina N Sp. A selaku Ketua SMF Anak RS. Moh. Ridwan Meuraksa
2. dr. Baralangi Tambing Sp. A selaku Pembimbing yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis disaat padatnya aktivitas beliau dan selalu
meberikan masukan, arahan, dan petunjuk yang berguna dalam penyusunan
referat ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
kepada dokter sekeluarga.
3. SMF Anak RS. Moh. Ridwan Meuraksa, dr. Amin Husni, Sp.A, dan dr. Nur,
Sp.A,
4. Sahabat KOAS RS. Moh. Ridwan Meuraksa, Sari, Deza, Amalia, Relanfa dan
Ade Agustia.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manisfestasi klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia
sejak abad ke

-18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter

berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang
dikenal sebagai penyakit demam lima hari kadang-kadang disebut juga sebagai demam
sendi. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit
ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Pola penyebaran penyakit infeksi
virus Dengue sejak 1780 1949 memiliki kecenderungan epidemic dan lebih banyak
di daerah tropis.
Saat ini, infeksi virus dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian
paling banyak dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya. Setiap tahun, di seluruh
dunia, dilaporkan angka kejadian infeksi dengue sekitar 20 juta dan angka kematian
berkisar 24.000. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta
dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Pada DBD terjadi perembesan plasma
yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh tanda renjatan atau syok dapat berakibat
fatal. Kegawatdaruratan DBD dinyatakan sebagai salah satu masalah kesehatan global.
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding,
komplikasi, hingga bagaimana penatalaksanaannya.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Definisi
Dengue shock syndrome (DSS) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria

DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. DSS adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
- Penurunan kesadaran, gelisah
- Nadi cepat, lemah
- Hipotensi
- Tekanan nadi < 20 mmHg
- Perfusi perifer menurun
- Kulit dingin
- lembab.
2.2

Etiologi
Virus dengue merupakan small single stranded RNA. Infeksi dengue
disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus
(Arbovirus) yang sekarang dikenal dengan genus Flavivirus, famili Flaviviride,
dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe


yang bersangkutan, sehingga tidak memberikan perlindungan memadai terhadap
serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi 3-4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa rumah sakit
menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan versirkulasi sepanjang
tahun di Indonesia. Serotipe Den-3 merupakan serotipe yang dominan dan
diasumsikan banyak menimbulkan manifestasi klinis yang berat.
Aedes aegypti adalah vektor utama nyamuk demam beradrah. Nyamuk ini
merupakan nyamuk yang berada di daerah tropis dan subtropis. Nyamuk dewasa
biasanya berada di ruangan tertutup dan menggigit pada siang hari. Mereka
beradaptasi dan berkembang biak di sekitar tempat tinggal manusia, dalam
kemasan air,vas, kaleng, ban bekas, dll.
Virus berkembang di nyamuk selama 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum menularkan kembali ke manusia. Di tubuh manusia, virus
memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incibation period) sebelum
menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia ke nyamuk hanya terjadi bila
nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas sampai 5 hari sebelum timbul demam.
Virus DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti
betina yang infektif. Nyamuk medapatkan virus saat menghisap darah manusia
yang terinfeksi virus dengue. Setelah masa inkubasi, nyamuk yang terinfeksi
dapat menularkan virus selama sisa hidupnya. Bahkan nyamuk betina yang
terinfeksi juga dapat menularkan virus kepada anak-anak mereka dengan

transovarial (melalui telur) transmisi, tetapi peran penularan virus ke manusia


belum didefinisikan.

Manusia yang terinfeksi virus adalah pembawa utama dan pengganda virus,
karena sebagai sumber infeksi bagi nyamuk yang tidak terinfeksi. Virus beredar
dalam darah manusia yang terinfeksi selama dua sampai tujuh hari, sekitar waktu
yang sama mereka mengalami demam, nyamuk Aedes bisa mendapatkan virus
saat periode ini.
2.3

Epidemiologi
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,
dimana suhu panas dan praktik penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi
Aedes aegypti besar dan permanen. Pada keadaan ini infeksi dengan virus dengue
dari semua semua tipe sering ada, dan infeksi kedua dengan tipe heterolog sering
terjadi. Sesudah umur 1 tahun hampir semua penderita dengan sindrom syok
dengue mempunyai kenaikan sekunder antibodi terhadap virus dengue, yang
menunjukkan infeksi sebelumnya dengan virus yang terkait erat.

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad 18. Pada masa itu
infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang
tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, penyakit ini
menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Dalam kurun waktu lebih dari 35
tahun terjadi peningkatan yang pesat, baik dalam jumlah penderita maupun
daerah penyebaran penyakit. Sampai akhir tahun 2005, DBD sudah ditemukan di
seluruh profinsi di Indonesia dan 35 kabupaten/kota telah melaporkan adanya
kejadian luar biasa (KLB). Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100.00
penduduk pada tahun 1968, menjadi 43,42 per 100.000 pendududuk pada akhir
tahun 2005.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran kasus

DBD sangat kompleks, yaitu :

Pertumbuhan penduduk yang tinggi


Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali

Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah

endemis
Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai


faktor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk transmisi
virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Pola berjangkit virus dengue dipengaruhi iklim dan kelembaban udara. Pada suhu
panas (28-32oC) dengan kelembaban tinggi, nyamuk aedes aegypti akan tetap
bertahan hidup untuk jangka waktu yang lama. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi
pada anak perempuan daripada anak laki-laki. Di Indonesia pengaruh musim
terhadap demam berdarah dengue tidak begitu jelas, namun secara garis besar
jumlah kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai
puncaknya pada bulan Januari.
2.4

Klasifikasi
Grade I
Demam dan gejala konstitusional
Uji torniket +
Grade II
Grade 1 + Perdarahan spontan (pada kulit ataupun perdarahan
lainnya)
Grade III
Kegagalan sirkulasi, tekanan nadi < 20mmhg
Tekanan Sistolik normal
Grade IV
Syok mendalam
Hipotensi, tekanan darah tidak terdeteksi
Grade III dan IV adalah sindrom syok dengue
Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah yang membedakan DBD grade
I dan II dengan Demam dengue

2.5

Manifestasi Klinis
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan

demam berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai tingkat renjatan. Terjadinya renjatan pada
DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam menurun yaitu diantara hari
ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamis. Penyakit ini memiliki
spektrum klinis yang setelah masa inkubasi, dilanjutkan dengan 3 fase yaitu fase
demam, kritis dan resolusi/pemulihan.
Fase pertama yang relatif ringan dengan demam mendadak , malaise, mual,
muntah, nyeri kepala, anoreksia. Pada fase kedua, biasanya terdapat ekstremitas
dingin, lembab, badan panas, muka merah, keringat banyak, gelisah, iritabel, nyeri
mid epigastrium. Seringkali ptekie tersebar pada dahi dan tungkai. Pernafasan cepat
dan sering berat. Nadi lemah, cepat, kecil dan suara jantung halus. Hati mungkin

membesar dibawah tepi kosta dan biasanya keras dan agak nyeri. Kurang dari 10%
penderita menderita ekimosis atau perdarahan saluran cerna yang nyata, biasanya
pasca masa syok yang tidak terkoreksi.
1. Fase demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40 oC dan dapat
terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket meningkatkan
kemungkinan demam dengue.

2.

Fase kritis

Akhir fase demam merupakan fase kritis , anak terlihat seakan sehat, hati-hati
karena fase tersebut dapat sebagai awal kejadian syok. Hari ke 3-7 adalah fase kritis.
Dimana kebocoran plasma bisa terjadi kurang dari 24-48 jam.
Progresif leukopenia diikuti penurunan jumlah trombosit mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Pada fase ini, pasien yang tidak mengalami kebocoran
plasma akan membaik keadaannya, sedangkan yang mengalami kebocoran plasma
sebaliknya karena kehilangan volume plasma. Ascites dan efusi pleura bisa terdeteksi
tergantung dari keparahan kebocoran plasma dan volume terapi cairan.
3. Fase resolusi
bila dalam waktu 24-48 jam pasien berhasil melewati fase kritis, keadaan
umum dan nafsu makan membaik, status hemodinamik stabil.
Semua nilai lab kembali normal secara perlahan.

Demam
Demam tinggi mendadak, terus menerus, berlangsung 2-7 hari, naik turun
tidak berpengaruh dengan antipirektik. Suhu tubuh bisa mencapai 40 oC dan dapat
terjadi kejang demam. Kadang terdapat muka yang merah, eritema, myalgia,
arthralgia, dan sakit kepala. Pada beberapa pasien pun bisa ada gejala nyeri
tenggorok, infeksi pada konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah sering juga
dikeluhkan. Sulit membedakan demam karena infeksi dengua dengan demam non
dengue pada fase awal seperti ini, tetapi dengan positifnya uji torniket meningkatkan
kemungkinan demam dengue.

Tanda-tanda perdarahan
Ptekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva. Ptekie merupakan tanda
perdarahan yang paling sering ditemukan. Ptekie muncul pada hari pertama tetapi
dapat juga pada hari ke 3,4,5 demam. Perdarahan lain seperti epistaksis, perdarahan
gusi, melena dan hematemesis. Kadang terdapat juga hematuria.

Hepatomegali
Umumnya dapat ditemukan apada permulaan penyakit. Pembesaran hepar
bervariasi dari yg hanya teraba sampai 2-4cm di bawah arkus kosta.

Nyeri sendi
Pada demam berdarah dengue terdapat gejala pada nyeri pada tulang disebabkan
replikasi virus dan dekstruksi seluler pada sumsum tulang. 14 Pada kira-kira sepertiga
kasus, setelah demam berlangsung beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba
memburuk. Hal ini terjadi pada saat atau setelah demam menurun, yaitu diantara hari
sakit ke 3-7.
Syok
Adanya gangguan permeabilitas vaskular yang terus menerus, memicu
terjadinya hipovolemi dan syok. Hal ini terjadi dimana suhu tubuh mulai menurun
hingga normal, yaitu rata-rata pada hari ke 3-7. Pada tahap awal syok, mekanisme
kompensasi yang mempertahankan tekanan darah normal sistolik juga menyebabkan
takikardi dan vasokontriksi perifer dengan penurunan perfusi pada kulit menyababkan
akral menjadi dingin dan lambatnya cappilary reffill.

Demam turun disertai keluarnya keringat, perubahan pada denyut nadi dan
tekanan darah, akral dingin, disertai kongesti kulit. Perubahan ini menandakan gejala
gangguan sirkulasi, sebagai akibat dari perembesan plasma yang dapat bersifat ringan
atau sementara. Terdapat tanda kegagalan sirkulasi: kulit teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung jari dan kaki, sianosis disekitar mulut, pasien menjadi gelisah,

nadi cepat dan lemah dan kecil sampai tidak teraba. Sesaat sebelum syok seringkali
pasien mengeluh nyeri perut.
Syok ditandai dengan :
Denyut nadi cepat dan lemah
Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor, dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral

Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat dan
lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.

Tekanan nadi menurun (20 mmhg atau kurang)


Hipotensi Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau
kurang

Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang
insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.

Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis

Syok dapat terjadi dalam waktu yang singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu
12-24 jam atau sembuh cepat setelah mendpat pergantian cairan yang memadai.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok timbul. Nyeri
abdomen seringkali menonjol pada anak besar yang menderita sindrom syok dengue.
Gejala ini patut diwaspadai oleh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan
gastrointestinal. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk.
2.6

Patofisiologi
Virus merupakan organisme yang hanya dapat hidup dalam sel hidup. Maka

demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut

sangat tergantung pada daya tahan penjamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul anti body, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi semakin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan DSS (Dengue Syok Sindrome) masih merupakan
masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien
yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog yang mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel magrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah

banyak. Hal ini akibat mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen antibodi
(virus antibodi complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas. Dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung selama 24 48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak dapat ditanggulangi secara adekuat, akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal. Oleh karena itu,
pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang
lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh manusia maupun pada tubuh
nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat
menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan
mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus
mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis
tersebut didukung oleh data epidemiologi dan laboratorium.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktifkan sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sistem endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphospat), sehingga trombosit

melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES
(reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopienia. Agregasi tromobosit
ini akan koagulopati konsumtif (KID = kaogulasi intravaskular deseminata), ditandai
dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan
faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit,
sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Disisi
lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi
aktivasi sistem kinin sehingga mamacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.

Teori Secondary Heterologous Infection / Infection Enhancing Antibody


Halstead
Teori ini ditemukan oleh Halstead pada tahun 1970. Dasar teori ini bahwa
seseorang baru terkena penyakit DBD bila terinfeksi virus dengue minimal dua kali
dari tipe virus yang berbeda (terbentuk antibodi non neutralizing). Antibodi non
neutralizing akan menyebabkan virus mudah masuk dalam sel target dan terjadi
penyebaran komplek imun. Sedangkan apabila hanya terinfeksi oleh virus satu kali
saja seseorang tidak akan menderita DBD sebab yang terbentuk adalah antibodi
neutralizing. Antibodi neutralizing sebenarnya adalah IgM sedangkan antibodi non
neutralizing adalah IgG. Kelihatannya Halstead pada tahun 1970 memperhatikan

bahwa semua penderita yang terkena DBD IgGnya positif. Sedangkan yang IgGnya
negatif tidak menderita DBD. Teori ini yang paling banyak dianut pada saat ini.
Kelemahan teori ini :
1. Secara teoritis pembentukan antibodi sebenarnya untuk memudahkan fagositosis
dari sel makrofag. Oleh karena itu suatu keanehan bila setelah terbentuk antibodi IgG
virus justru mudah untuk masuk ke sel target dan bereplikasi. Istilah neutralizing dan
non neutralizing tidak ada pada textbook alergi dan imunologi. Kalaupun kita ingin
mengatakan bahwa setelah terbentuk IgG, penyakit DBD akan semakin berat, itu
disebabkan oleh disfungsi sel makrofag akibat terinfeksi oleh virus. Sebagai akibatnya
komplek imun akan menyebar ke seluruh tubuh dan terjadi kerusakan jaringan yang
luas atau syok. Kerusakan jaringan yang luas disebabkan timbulnya sel-sel makrofag
baru yang belum terinfeksi virus dengue yang akan memfagositosis seluruh komplek
imun yang telah tersebar tersebut.
2. Halstead tidak dapat menjawab kenapa sekarang mulai banyak orang terkena DBD
hanya dengan satu kali gigitan saja (IgM positif, IgG negatif). Untuk mencoba
menjawab ini Halstead mengatakan bahwa seseorang terkena DBD tergantung
genetiknya (tidak harus dua kali atau lebih dari gigitan dari nyamuk Aedes Agypti
yang membawa virus dengue dari serotipe yang berbeda). Jadi secara tidak langsung
teori Halstead tentang secondary heterologous infection telah gugur. Menurut
T.Mudwal apa yang dimaksud genetik oleh Halstead adalah sensitif atau tidaknya
seseorang terhadap virus dengue.

2.7 Diagnosis
Demam Berdarah Dengue.
Perubahan patofisiologis pada infeksi dengue menentukan perbedaan
perjalanan penyakit antara DBD dan DD. Perubahan tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma
trombositopenia dan

yang dapat diketahui dengan adanya

peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopeni

(sedang sampai berat) dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalu


dijumpai. 4
DBD dapat menyerang segala umur, walau hingga saat ini DBD lebih banyak
menyerang anak-anak, tetapi dalam decade terakhir ini terlihat kecenderungan
kenaikan proporsi kelompok dewasa DBD.
Kriteria diagnosis DBD menurut WHO 1997 :
1. Klinis
Gejala klinis berikut harus ada, yaitu :
- Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
-

selama 2-7 hari.


Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
Uji torniquet positif.
Petekie, ekimosis, purpura.
Perdarahan mukosa, epiktasis, perdarahan gusi.
Hematemesis dan atau melena.
Pembesaran hati.

2. Laboratorium
-

Trombositopenia (100.000/l atau kurang).


Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler.
Dengan manifestasi sebagai berikut :
Peningkatan hematokrit 20%.
Penurunan hematocrit 20% dari nilai standar, setelah dilakukan
penggantian volume plasma.

Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratoris (atau hanya
peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakan diagnosis sementara DBD. Seperti
telah adanya anemia sebelumnya, perdarahan berat atau telah dilakukannya
penggantian volume plasma. Efusi pleura yang terlihat pada pemeriksaan Radiologi
atau hipoalbuminemia dapat memperkuat terjadinya kebocoran plasma.
Derajat Penyakit Demam Berdarah menurut WHO (1997) :
Derajat I

: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi


perdarahan ialah uji tourniquet.

Derajat II

: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau


perdarahan lain.

Derajat III

: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan


nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan anak tampak gelisah.

Derajat IV

: Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan
darah tidak teraba.

Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Syok biasanya terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari 3
sampai hari 7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh dalam
syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat
lemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar

sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian
cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui
atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai
penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga
memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2 3
hari, kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit.
Tanda prognostic baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG.
LABORATORIUM.
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam
dengue adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya
limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Trombositopeni dan
hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan
jumlah trombosit <100.000 / uL biasa ditemukan pada hari 3 sampai hari 7 sakit,
sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit.
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan hematocrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi
saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematocrit
dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa
menurun (leukopeni) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik
sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hypoproteinemi akibat

kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan gangguan koagulasi


tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII dan faktor XII, dan
antotrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.
Fungsi trombosist juga terganggu. Asidosis metabolik dan peningkatan BUN
ditemukan pada syok berat.
RADIOLOGIS.
Pada pemeriksaan foto thorax posisi RLD (Right Lateral Dekubitus) juga biasa
ditemukan efusi pleura. Berat ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat
ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan
bilateral.
Selain foto thorax, USG juga dapat digunakan untuk mengetahui adanya asites
maupun efusi pleura.
Selain

pemeriksaan

radiologis, pemeriksaan

paling sederhana untuk

mengetahui perkembangan asites ialah dengan mengukur lingkar perut setiap hari.
SEROLOGIS.
Dikenal 6 jenis uji serologis yang dipakai untuk menentukan adanya infeksi
virus dengue, yakni
1. Uji hemaglutinasi inhibisi (Hemagglutination Inhibition test = HI test)
Paling sering dipakai dan merupakan gold standard serologi untuk dengue.
- Uji HI ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak
-

dapat menunjukan tipe virus yang menginfeksi.


Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai lama sekali (>48 th), maka uji ini

baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi


Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesens 4x lipat dari titer serum
akut atau titer tinggi (>1280) baik pada serum akut atau konvalesens dianggap

sebagai presumptif positif, atau diduga keras positif infeksi dengue baru
terjadi (recent dengue infection).
2. Uji komplemen fiksasi (Complement Fixation Test = CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnosis secara rutin,
oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet prosedurnya juga memerlukan
tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 3 tahun).
3. Uji neutralisasi (Neutralization test = NT Test)
Uji netralisasi (NT) adalah uji yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya ujinetralisasi memakai cara yang disebut sebagai Plaque
Reduction Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari
plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir
bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi
dan bertahan lama (>4 8 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan memerlukan
waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa (IgM Captured Elisa. Mac Elisa)
Mac Elisa pada tahun terahir ini merupakan uji serologi yang banyak sekali
dipakai. Mac Elisa adalah singkatan dari IgM captured Elisa. Sesuai namanya, tes
tersebut akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada uji Mac Elisa ialah :
-

Pada hari 4-5 infeksi virus dengue, akan timbul IgM yang kemudian diikuti

dengan timbulnya IgG.


Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, akan secara cepat dapat

ditentukan diagnosis yang tepat.


Ada kalanya hasil uji terhadap IgM masih negatif, dalam hal seperti ini perlu

diulang.
Apabila hari sakit ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai hegatif.

Perlu dijelaskan disini bahwa IgM dapat bertahan di dalam darah sampai 2-3
bulan seletah adanya infeksi. Untuk memperjelaskan hasil uji IgM dapat pula
dilakukan uji terhadap IgG. Mengingat alasan tersebut di atas, maka uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya uji diagnosis untuk pengelolaan

kasus.
Uji Mac Elisa mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan
kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan

spesifisitas yang sama dengan uji HI.


Pada saat ini juga telah beredar uji IgM/IgG Elisa yang sebanding dengan uji
HI, hanya sedikit lebih spesifik. Beberapa merek dagang kit uji untuk infeksi
dengue seperti IgM/IgG Dengue Blot, Dengue Rapid IgM/IgG, IgM Elisa,
telah beredar di pasaran.

5. IgG Elisa
6. NS-1 (Nonstructural protein-1)
Deteksi DV nonstruktural protein 1 (NS1) telah muncul sebagai biomarker
alternatif untuk kedua serologi dan molekuler teknik berdasarkan diagnosis infeksi
DV akut. NS1 antigenemia terdeteksi dalam waktu 24 jam dan sampai 9 hari
setelah gejala awal.
Interpretasi :
Positif:
Kehadiran protein 1 antigen dengue nonstruktural (NS1) memiliki

kaitan dengan infeksi fase akut dengan virus dengue.


Antigen NS1 biasanya terdeteksi dalam waktu 1 sampai 2 hari setelah

infeksi dan hingga 9 hari setelah onset gejala.


Antigen NS1 juga dapat terdeteksi selama infeksi virus dengue
sekunder, tapi untuk durasi waktu yang lebih singkat (1-4 hari setelah

onset gejala).
Negatif:
Tidak adanya dengue NS1 antigen konsisten dengan kurangnya infeksi
akut-fase.

Antigen NS1 mungkin negatif jika spesimen dikumpulkan segera


setelah infeksi virus dengue (<24-48 jam) dan jarang terdeteksi pada 9
sampai 10 hari gejala.

ISOLASI VIRUS
Keberhasilan isolasi virus ini sangat tergantung dari kualitas spesimen yang di
pakai untuk identifikasi, serotipe virus dengue yang telah diisolasi dilakukan dengan
tes imunoflouresen dengan menggunakan antibodi monoclonal spesifik.
+ Spesimen darah / serum, plasma atau cairan buffy coat, dari fase akut jaringan
melalui biopsy atau otops dan disimpan dalam suhu 30 OC.
+ Spesimen untuk isolasi virus dapat ditanam pada biakan jaringan nyamuk.
+ Disini pertumbuhan adanya virus ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan virus
dengan ditemukannya antigen pada kepala nyamuk.

2.7

Diagnosis Banding
Pada fase demam awal sulit dibedakan dengan infeksi lain baik bakterial, viral
dan parasit. Demam chikungunya sangat sulit dibedakan dengan klinis demam
dengue dan fase awal DHF. Tanda-tanda shock sudah menghilangkan
kemungkinan demam chikungunya. Ditemukannya trombositopenia bersamaan
dengan hematokrit yang meningkat membedakan DSS dengan shock oleh karena
endotoksin seperti infeksi bakterial.

2.8

Tatalaksana
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang
utama yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma.Pasien anak
akan cepat mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. Pada penderita SSD dengan tensi tak terukur dan tekanan nadi <20 mmHg
segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml / kgBB/ jam selama 30 menit, bila
syok teratasi turunkan menjadi 10ml / kg BB.

Tatalaksana DBD grade III-IV (DSS)

2.9

Prognosis
Kematian karena DBD mortalitas nya tinggi. Prognosis baik apabila dianosa dapat
ditegakkan sejak dini dan dapat diobati dengan adekuat.

2.10

Komplikasi
Ensefalopati Dengue.
Pada umumnya ensefalopati dengue diduga terjadi sebagai komplikasi syok
dengan berkepanjangan, disfungsi hati, udema otak, perdarahan kapiler serebral,
gangguan metanolik seperti hipoksemia atau hiponatremia serta trombosis
pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari DIC.
Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau
somnolen, dengan atau tanpa disertai kejang, dan dapat terjadi pada DBD/ DSS.
Untuk memastikan adanya ensefalopati, bila ada syok harus diatasi terlebih
dahulu. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah diatasi dan kesadaran tetap
menurun (hati-hati bila jumlah trombosit <50.000/l). Pada ensefalopati dengue
dapat dijumpai peningkatan kadar transminase (SGOT / SGPT), PT, dan PTT
memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis pada analisa gas darah, dan
hiponatremia.

Kelainan Ginjal.
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik
hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok
diobati dengan menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah
benar syok telah diatasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting
dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Diuresis
diusahakan >1 ml / kgbb / jam. Oleh karena bila syok belum teratasi dengan baik,

sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada
keadaan syok berat seringkali dijumpai acute tubular necrosis, ditandai penurunan
jumlah urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Udem Paru.
Udem paru komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
berlebihan (overload). Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima
sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru
oleh karena perembesan plasma masuk terjadi. Akan tetapi apabila pada saat
terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, cairan masih diberikan
(kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar hemoglobin dan
hematokrit tanpa memperlihatkan hari sakit). Pasien akan mengalami distres
pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
udem paru pada foto dada.
2.11Pencegahan
Strategi pemberantasan DBD lebih ditekankan pada (1) upaya preventif, yaitu
melaksanakan penyemprotan masal sebelum musism penularan penyakit di desa /
kelurahan endemis DBD, yang merupakan pusat-pusat penyebaran penyakit ke
wilayah lainnya, (2) strategi ini diperkuat dengan menggalakan pembinaan peran serta
masyarakyat dalam kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), (3) melaksanakan
penanggulangan focus dirumah pasien dan disekitar tempat tinggalnya guna
mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), dan (4) melaksanakan penuyuluhan
kepada masyarakyat,
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vector dianggap cara
yang paling memadai untuk saat ini. Ada 2 cara pemberantasan vector yaitu :
1. Menggunakan insektisida

Malathion untuk membunuh nyamuk dewasa, caranya dengan pengasapan


(thermal Fogging) atau pengabutan (cold Fogging).

Temephos (abate) untuk membunuh jentik, yaitu dengan menaburkan bubuk


abate ke dalam sarang nyamuk. Dosis 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10
liter air.

2. Tanpa insektisida

Menguras bak mandi atau tempat penampungan air.

Menutup tempat penampungan air.

Mengubur kaleng atau botol bekas yang memungkinkan nyamuk bersarang

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadinegoro S, Soedijanto S, Wuryadi S, et all. Tatalaksana Demam Berdarah


Dengue di Indonesia.

Departemen Kesehatan republic Indonesia Direkktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2006. Jakarta :


Departemen Kesehaan Republik Indonesia. 2006. H. 1 43.
2. Soedarno S, Garna H, Hadinegoro S, et all. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar
Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2008. H. 155 80.
3. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, et all. Infeksi Virus Dengue. Pedoman
Pelayanan Medik. Jilid 1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2010. H. 141 9.
4. Hadinegoro S, Satari H. Demam Berdarah Dengue. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.
5. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue.
BukuAjar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jilid III. Perhimpunan Dokter Spesialis
PenyakitDalam Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta. 2006
6. Pedoman Tatalaksana Klinis Infeksi
Kesehatan.Departemen Kesehatan RI. 2005

Dengue

di

Sarana

Pelayanan

7. Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic


MicrobiologyReviews. 1998.Vol 11, No 3 ;480-496

Fever.

Clinical

8. Dengue Haemorrhagic Fever : Diagnosis, Treatment, Prevention and


Control.Edition II. Geneva : World Health Organization. 1997.Available
fromhtttp://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/DenguepublicationAc
cessed December 1st , 2012.
9. Dengue Virus Infection. Centers for Disease Control and Prevention. Division of
Vector Borne and Infectious Diseases.Atlanta : 2009
10. Cook GC. Manson's Tropical Diseases. 22th Edition. United Kingdom :Elsevier
Health Sciences. 2008.
11. Rani, A.A., Soegondo, S., Uyainah, A. 2009. Panduan Pelayanan Medik
Perhimpunan
Dokter
Spesialis
Penyakit
Dalam
Indonesia.
Jakarta,InternaPublishing.
12. Sudoyo, A.R., Setyohadi, B., Alwi, I. 2006. Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam.
Jakarta, FKUI.
13. World Health Organization. 2009. Dengue Guideline for Diagnosis,Treatment,
Prevention and Control-New Edition.

Anda mungkin juga menyukai