Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Teori Asfiksia Neonatorum
1. Pengertian Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonaturum merupakan suatu keadaan pada bayi baru lahir yang mengalami
gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sehingga bayi tidak dapat
memasukkan oksigen dan tidak dapat mengeluarkan zat asam arang ditubuhnya. (Dewi,
2011)
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan hipoksia
dan hiperkapnu serta berakhir dengan asidosis. Asfiksia akan bertambah buruk apabila
penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna, sehingga tindakan perawatan
dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut
yang mungkin timbul. (Arief dan Sari, 2009)
Menurut WHO, asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. (Depkes RI, 2008)
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi dimana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia,
hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis. (Marmi, 2014)
2. Etiologi
Penyebab asfiksia secara umum disebabkan adanya gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah
lahir. (Arief dan Sari, 2009)
Menurut Prawirohardjo (2009), penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada
bayi adalah:
a. Faktor ibu
1) Hipoksia ibu
Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ini
dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anesthesia dalam.
2) Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangya
pengaliran oksigen ke plasenta dan demikian pula ke janin. Hal ini sering

ditemukan pada keadaan seperti kontraksi uterus misalnya hipertoni, hipotensi


mendadak pada ibu perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsia.
b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhii oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya
solusio plasenta, perdarahan plasenta.
c. Faktor fetus kompresi umbilicus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan
janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat
menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
dan lain-lain.
d. Faktor neonatus
Depresi pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu:
1) Pemakaian obat anastesi atau analgetik yang berlebihan pada ibu secara langsung.
2) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
3) Kelainan konginetal pada bayi, misalnya herni diafragmatik, atresia saluran
pernafasan, hipoplasia paru.
Menurut Marmi (2014), berikut adalah beberapa faktor penyebab asfiksia
neonatorum:
a. Faktor ibu
1) Hipoksia ibu dan gangguan aliran darah uterus.
2) Pre eklamsia atau eklamsia.
3) Perdarahan antepartum.
4) Partus lama.
5) Demam selama hamil.
6) Infeksi berat (malaria, sifilis, dan TBC).
7) Postmature.
b. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila ada gangguan mendadak pada palsenta, misalnya
solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
c. Faktor fetus

1) Kompresi umbilicus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam


2)
3)
4)
5)

pembuluh darah umbilicus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin.
Lilitan tali pusat.
Tali pusat pendek.
Simpul tali pusat.
Prolapsus tali pusat.

d. Faktor neonatus
1) Bayi premature.
2) Mekonium dalam ketuban.
3) Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir yang terjadi karena beberapa hal,
yaitu pemaaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu seara langsung
dapat menimbulkan depresi pusat pernapasan janin, trauma yang terjadi pada
persalinan, kelainan kongenital pada bayi.

3. Patofisiologi
Menurut Maryunani dan Puspita (2013), patofisiologi asfiksia neonatorum, dapat
dijelaskan dalam dua tahap yaitu sebagai berikut:
a. Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
1) Sebelum lahir, paru-paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida.
2) Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen
3) Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada
sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara
dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami
relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah berkurang.
4) Keadaan relaksasi tersebut dan penigkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan
tekanan darah pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik
sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran duktus arteriosus
menurun.
5) Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paruparunya untuk mendapatkan oksigen.
b. Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal

1) Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara kedalam paruparunya.
2) Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi kontriksi arteriol pada organ
seperti usus, ginjal, otot, dan kulit namun demikian aliran darah ke jantung dan
otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.
Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan
menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain
atau kematian.
4. Klasifikasi, Tanda, dan Gejala Asfiksia
Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009), atas dasar pengalaman klinis dan menurut
penilaian APGAR, asfiksia neonatorum dibagi dalam:
a. Asfiksia ringan (nilai APGAR 7-10)
Pada kasus asfiksia ringan bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan
apapun tetapi juga dilihat dari nilai APGAR bayi, tanda dan gejala yang muncul pada
asfiksia ringan meliputi:
1) Frekuensi jantung lebih dari 100 kali permenit.
2) Tonus otot kurang baik atau baik.
3) Bayi tambpak sianosis atau biru.
4) Reflex masih ada.
b. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6)
Pada asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul meliputi:
1) Frekuensi jantung lebih dari 100 kali per menit.
2) Tonus otot kurang baik atau baik.
3) Bayi tampak sianosis
4) Reflek iritabilitas tidak ada.
c. Asfiksia berat (nilai APGAR 0 - 3)
Pada asfiksia berat, tanda dan gejala yang muncul meliputi:
1) Frekuensi jantung kurang dari 100 kali permenit
2) Tonus otot buruk
3) Bayi tampak sianosis berat dan kadang-kadang pucat.
4) Refleks iritabilitas tidak ada.
5. Diagnosa
Aspek yang sangat penting dari resusitasi adalah menilai bayi, menentukan tindakan
yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan. Nilai APGAR pada umumnya
dilaksanakan pada 1 menit, 5 menit, 10 menit sesudah bayi lahir dan penilaian bayi harus

dimulai segera sesudah bayi lahir dan bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian
pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera,
walaupun nilai APGAR tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal resusitasi,
tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bbayi dan penilaian efektivitas
upaya resusitasi, jadi nilai APGAR perlu dinilai pada awal 1 menit dan 5 menit.
(Prawirohardjo, 2009)
6. Kemungkinan Komplikasi
Menurut Maryunani (2009), komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara
lain :
a.

Edema otak & Perdarahan otak


Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah berlarut
sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke otak pun akan menurun,
keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan iskemik otak yang berakibat terjadinya
edema otak, hal ini juga dapat menimbulkan perdarahan otak.

b.

Anuria atau oliguria


Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia, keadaan ini
dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya, yang disertai dengan
perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung akan lebih banyak mengalir ke
organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
hipoksemia pada pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan
pengeluaran urine sedikit.

c.

Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran gas dan
transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O 2 dan kesulitan pengeluaran
CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tak
efektif.

d.

Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan menyebabkan
koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan perdarahan pada otak.

7. Penatalaksanaan
a. Tindakan yang dapat dilakukan pada bayi asfiksia neonatorum menurut Dewi (2010),
adalah sebagai berikut:
1) Segera memberingkan dengan kepala bayi sedikit lebih ekstensi dan penolong
2)
3)
4)
5)

berdiri disisi kepala bayi dan bersihkan kepala dari sisa air ketuban.
Memiringkan kepala bayi
Membersihakn mulut dengan kassa yang dibalut pada jari telunjuk.
Menghisap cairan dari mulut dan hidung
Melanjutkan menilai status pernafasan dengan menilai status pernafasan apabila
masih ada tanda asfiksia, caranya dengan menggosok punggung bayi (melakukan
rangsangan taktil). Bila tidak terjadi perubahan berikan napas buatan.

b. Menurut Maryunani dan Nurhayati (2009), tindakan pada asfiksia ringan adalah hisap
lendir, rangsangan nyeri selama 30-60 detik. Bila gagal, lakukan pernafasan kodok
(frog breathing) 1-2 menit yaitu, kepala bayi ekstensi maksimal beri O 2 1-2 liter per
menit melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut serta gerakan dagu keataskebawah secara teratur 20 kali permenit.
c. Menurut Marmi (2014), penatalaksanaan khusus pada bayi asfiksia neonatorum,
yaitu:
1) dengan tindakan resusitasi segera setelah lahir. Resusitasi setelah lahir bertujuan
untuk membuka jalan napas, mengusahakan agar oksigen masuk tubuh bayi
dengan meniupkan napas ke mulut bayi (resusitasi pernapasan), menggerakkan
jantung (resusitasi jantung) sampai bayi mampu bernapas spontan dan jantung
berdenyut spontan secara teratur.
2) Resusitasi dilakukan sesuai dengan tahapan resusitasi dan sangat tergantung pada
derajat asffiksia (ringan, sedang, atau berat), keadaan tidak bernapas disertai
gangguan fungsi jantung, keadaan tidak bernapas dengan jantung tidak berdenyut,
serta ada tidaknya aspirasi mekonium.
3) Pada asfiksia berat diperlukan pemasangan endotracheal tube. Natrium
Bikarbonat hanya diberikan pada keadaan asidosis metabolik dan diberikan secara
hati-hati, karena cairan ini bersifat hipertonis yang memudahkan terjadinya
perdarahan intracranial.

Terapi suportif dan terapi medikamentosa. Terapi suportif diberikan dalam bentuk cairan infuse
dextrose 5 10% untuk mencegah hipoglikemi, cairan elektrolit, dan pemberian oksigen yang
adekuat. Terapi medikamentosa dimaksudkan untuk mencegah terjadinya edema cerebri dengan
pemberian kortikosteroid (masih kontroversi) dan Phenobarbital untuk melokalisir perdarahan
dan mengurangi metabolisme serebral.

Anda mungkin juga menyukai