Anda di halaman 1dari 35

PREEKLAMPSIA PADA IBU HAMIL

DISUSUN OLEH :
I Dewa Gede W (1510721035)
Putri Indah Lestari (1510721029)
Yogi Iskandar (15107210031)
Uswatun Hasanah (1510721032)
Tri Puspito W (1510721034)
Netia Ruhayati S (1510721036)

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAKARTA

2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekitar

delapan

juta

perempuan/tahun

mengalami

komplikasi

kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana
99% terjadi di negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan di negara maju yaitu 1 dari 5.000 perempuan,
dimana angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di negara berkembang, yaitu
1 dari 11 perempuan meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.
AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara
Asia Tenggara, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Millenium

Development Goals (MDG) menargetkan penurunan AKI menjadi 102 per


100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKI di Indonesia turun secara
bertahap dari 390 (1997) menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup dalam
kurun waktu 10 tahun (1997 - 2007). Namun, hal ini masih jauh dari target
MDG. Berdasarkan prediksi BPS, AKI pada tahun 2015 masih sebesar 163 per
100.000 kelahiran hidup. Peningkatan jumlah penduduk dan jumlah kehamilan
berisiko turut mempengaruhi sulitnya pencapaian target ini. Berdasarkan
prediksi Biro Sensus Kependudukan Amerika, penduduk Indonesia akan
mencapai 255 juta pada tahun 2015 dengan jumlah kehamilan berisiko sebesar
15 - 20 % dari seluruh kehamilan (KEMENKES, 2015).
Preeklampsia/eklampsia
perdarahan

merupakan

penyebab

kedua

setelah

sebagai penyebab langsung yang spesifik terhadap kematian

maternal (Kelly, 2007). Pada sisi lain insiden dari eklampsia pada negara
berkembang sekitar 1 kasus per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700
kehamilan. Pada negara Afrika seperti Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dam
Etiopia bervariasi sekitar 1.8% sampai dengan 7.1%. Di Nigeria prevalensinya
sekitar 2% sampai dengan 16.7% (Osungbade, 2011). Preeklampsia
didefenisikan sebagai gangguan yang terjadi pada trimester kedua kehamilan
dan mengalami regresi setelah kelahiran, ditandai dengan kemunculan

sedikitnya dua dari tiga tanda utama, yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria
(Billington & Stevenson 2010).
Preeklampsia-eklampsia merupakan kesatuan penyakit yang masih
merupakan penyebab utama kematian ibu dan penyebab kematian perinatal
tertinggi di Indonesia. Sehingga diagnosis dini preeklampsia yang merupakan
pendahuluan eklampsia serta penatalaksanaannya harus diperhatikan dengan
seksama. Disamping itu, pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin
untuk mencari tanda preeklampsia yaitu hipertensi dan proteinuria sangat
penting dalam usaha pencegahan, disamping pengendalian faktor-faktor
predisposisi lain. Penanganan preeklampsia dan kualitasnya di Indonesia
masih beragam di antara praktisi dan rumah sakit. Hal ini disebabkan bukan
hanya karena belum ada teori yang mampu menjelaskan patogenesis penyakit
ini secara jelas1, namun juga akibat kurangnya kesiapan sarana dan prasarana
di daerah (KEMENKES, 2015).
Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat berperan sebagai
pendidik, konselor dan bekerjasama dengan tim kesehatan lainnya. Oleh
karena itu pentingnya peran ibu untuk mengurangi / mencegah resiko
terjadinya pre eklampsia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu defenisi preeklamsia ?
2. Apa itu etiologi preeklampsia ?
3. Sebutkan klasifikasi preeklampsia !
4. Sebutkan tanda dan gejala preeklampsia !
5. Sebutkan patofiologis preeklampsia !
6. Sebutkan pencegahan preeklampsia !
7. Sebutkan faktor resiko preeklampsia !
8. Sebutkan penatalaksanaan preeklampsia !
9. Sebutkan komplikasi preeklampsia !

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat mengetahui defenisi preeklamsia
2. Mahasiswa dapat memahami etiologi preeklampsia
3. Mahasiswa dapat memahami klasifikasi preeklampsia
4. Mahasiswa dapat memahami tanda dan gejala preeklampsia
5. Mahasiswa dapat memahami patofiologis preeklampsia
6. Mahasiswa dapat memahami pencegahan preeklampsia
4

7. Mahasiswa dapat memahami faktor resiko preeklampsia


8. Mahasiswa dapat memahami penatalaksanaan preeklampsia
9. Mahasiswa dapat memahami komplikasi preeklampsia

BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Preeklampsia didefenisikan sebagai gangguan yang terjadi pada
trimester kedua kehamilan dan mengalami regresi setelah kelahiran, ditandai
dengan kemunculan sedikitnya dua dari tiga tanda utama, yaitu hipertensi,
edema, dan proteinuria (Billington & Stevenson 2010)

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang


ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. (Kemenkes RI, 2015)
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
Preeklampsi berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria
dan atau disertai udema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Asuhan
Patologi Kebidanan : 2009).
B. KLASIFIKASI
Pembagian preeklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat,
berikut ini adalah penggolongannya (Rukiyah dan Yulianti, 2010):
1. Preeklampsia Ringan
Preeklampsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria
dan atau edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
kehamilan. Gejala ini dapat timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu pada penyakit trofoblas, penyebab preeklampsia ringan belum
diketahui secara jelas, penyakit ini dianggap sebagai maladaptation
syndrome akibat vasospasme general dengan segala akibatnya
(Rukiyah dan Yulianti, 2010).
Gejala preeklampsia ringan meliputi:
a. Kenaikan tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan
tekanan darah
b. diastolik 90-110 mmHg
c. Proteinuria secara kuantitatif >0,3 gr/l dalam 24 jam
d. Edema pada pretibial, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau

2.

tangan
e. Tidak disertai dengan gangguan fungsi organ
Preeklampsia Berat
Preeklampsia Berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai
proteinuria dan atau edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih
(Rukiyah dan Yulianti, 2010).

Gejala klinis preeklampsia berat meliputi:


a. Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik
>110 mmHg
b. Trombosit <100.000 /mm3
c. Proteinuria ( >3 gr/ liter/24 jam) atau positif 3 atau 4,

pada

pemeriksaan kuantitatif bisa disertai dengan:


Oliguria (urine < 400 ml/24 jam)
Keluhan serebral, gangguan pengelihatan
Nyeri abdomen
Gangguan fungsi hati
Gangguan perkembangan Intrauterine
C. ETIOLOGI
Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama.
Preeklampsia terjadi pada 14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari
satu dan 30% pasien mengalami anomali rahim yang berat. Pada ibu yang
mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapai 25%
(Bobak, dkk., 2005).
Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui
secara pasti, tetapi pada umum nya disebabkan oleh (vasospasme arteriola).
Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya
preeklampsia antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,
molahidatidosa, multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18 tahun
atau lebih dari 35 tahun serta anemia (Maryunani, dkk, 2012).
Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari
kelainan tersebut sehingga kelainan ini sering dikenal dengan The disease of
theory adapun teori-teori tersebut antara lain :
1. Peran prostasiklin dan tromboksan S
Pada Preeklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler sehingga
terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI-2) yang pada kehamilan
normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis. Aktivasi
trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TxA2) dan serotonin
sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran faktor imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama, hal ini dihubungkan
dengan pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta yang

tidak sempurna. Beberapa wanita dengan Preeklampsia mempunyai


kompleks imun dalam serum. Beberapa study yang mendapati aktivasi
komplemen dan system imun humoral pada Preeklampsia.
3. Peran faktor genetik / familial
Beberapa bukti yang mendukung factor genetik pada Preeklampsia antara
lain:
a. Terdapat kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia.
b. Kecenderungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia pada anak cucu
ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia dan bukan ipar mereka.
c. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron-System (RAAS).

Penyebab lain yang diperkirakan terjadi, adalah :


a. Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,
b.
c.
d.
e.
f.
g.

dan mola hidatidosa.


Bertambahnya frekuensi seiring makin tuanya kehamilan.
Timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.
Kelainan aliran darah menuju rahim.
Kerusakan pembuluh darah.
Masalah dengan sistem ketahanan tubuh.
Diet atau konsumsi makanan yang salah.

Jika tidak ditangani secara tepat dan cepat, preeklamsia akan segera berubah
menjadi eklamsia yang berakibat fatal pada bayi dan ibu, yaitu infeksi dan
perdarahan yang menyebabkan kematian. Maka pencegahan yang bisa
dilakukan

adalah

memastikan

pemeriksaan

rutin setiap bulan agar

perkembangan berat badan serta tekanan darah ibu dapat terpantau secara
baik.
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia ialah
iskemia plasenta. Akan tetapi, dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua
hal yang bertalian dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor,
melainkan banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia.
Diantara faktor-faktor yang ditemukan sering kali sukar ditemukan mana yang
sebab mana yang akibat (Ilmu Kebidanan : 2005).

Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui. Membicarkan


patofisiologinya tidak lebih dari mengumpulkan temuan-temuan fenomena
yang beragam. Namun pengetahuan tentang temuan yang beragam inilah
kunci

utama

suksesnya

penanganan

preeklampsia

sehingga

preeklampsia/eklampsia disebut sebagai the disease of many theories in


obstetrics (Dewi & Sunarsih, 2010).

D. PATOFISIOLOGI
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola
glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya
sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua
arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tenanan darah akan naik
sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat
dicukupi. Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh
penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui
sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan
oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Sinopsis
Obstetri, Jilid I, Halaman 199, 2003).
Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan
respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,tromboxan)
yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan
trombus dan perdarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai
dengan sakit kepala dan defisit syaraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomelurus dan proteinuria. Kerusakan
hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan
peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi
penurunan volume intavaskuler, meningkatnya kardiakoutput dan peningkatan
tahanan

pembuluh

perifer.

Peningkatan

hemolisis

microangiopati

menyebabkan anemia dan trobositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta


menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam
rahim (Michael,2005).

10

PATHWAY
Tekanan
Darah
Meningkat TD
>140/90

Normal
Hamil >20
minggu
Kejang
(-)

Hamil <20
minggu
Hipertensi
kronik

Superimpose
d
preeklampsi

Kejang
(-)

Preeklampsi
eklampsia
a

Vasospasme pada pembuluh


Areus aorta (body
darah
reseptor/baroreseptor)
Penurunan pengisian darah di ventrikel
kiri
Cardiac output
Vol.&TD
Merangsang medulla
oblongata
Sistem saraf
simpatis
jantung
Kompensasi
saraf
simpatis
meningkat
HR, kontraktilitas
meningkat
(berdebar)
Gg.irama
jantung
diaphoresis
Aliran
turbulensi
timbul
emboli
MK. Gg.rasa
nyaman
nyeri

paru
Penumpuka
n darah

Pembuluh
darah
vasokontrik
si
metabolisme

GI. track

kulit

HCL

Keluar
keringat
berlebih

Peristaltik

LAEDP
Akral dingin
Kongesti
vena
pulmonal
Proses
perpindahan
cairan krn
perbedaan
tek.

MK:Perubaha
n perfusi
jaringan
perifer

Timbul oedem
gg.fungsi alveoli
(ronchi,rales,takipnea
,POCO2 turun
MK. Resiko
kerusakan
pertukaran gas

Akumulasi
gas

MK.Ggn
pemenuha
n nutrisi

konstipas
i
MK.Ggn
eliminas
i bowl
MK.
Kekuranga
n volume
cairan

11

E. MANIFESTASI KLINIS
Kemudian tanda dan gejala preeklampsia menurut (Maryunani, dkk, 2012)
adalah:
1. Hipertensi dengan tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih, diukur
2.

minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat.


Proteinuria 5 gram/ 24 jam atau lebih, +++ atau ++++ pada

3.
4.
5.

pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, urine 400 ml / 24 jam atau kurang
Edema paru-paru, sianosis
Tanda gejala lain yaitu sakit kepala yang berat, masalah pengelihatan,
pandangan kabur dan spasme arteri retina pada funduskopi, nyeri

6.
7.

epigastrium, mual atau muntah serta emosi mudah marah


Pertumbuhan janin intrauterine terlambat
Adanya HELLP syndrome (H= Hemolysis, ELL= Elevated Liver
Enzym, P= Low Plat
Kriteria menentukan adanya edema adalah: nilai positif jika edema di

daerah tibia, lumbosakral, wajah (kelopak mata), dan tangan, terutama setelah
bangun tidur dipagi hari.
Biasanya tanda-tanda

pre eklampsia

timbul

dalam

urutan

Pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan


akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala
gejala subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah
prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah. Gejala gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.
Secara klinis, gejala-gejala preeklamsia adalah:
1. Peningkatan tekanan darah. Sebagai patokan digunakan batasan tekanan
darah lebih dari 130/90 mmHg.
2. Terjadi pembengkakan di daerah kaki dan tungkai. Pada kondisi yang lebih
berat pembengkakan terjadi di seluruh tubuh. Pembengkakan ini terjadi
akibat pembuluh kapiler bocor, sehingga air yang merupakan bagian sel
merembes dan masuk ke dalam jaringan tubuh dan tertimbun di bagian
tertentu.
3. Kadar protein tinggi dalam urin karena gangguan ginjal. Gejala
preeklampsia ringan menunjukkan angka kadar protein urin yang tinggi,
yaitu lebih dari 500 mg per 24 jam.
4. Kenaikan berat badan lebih dari 1,36 kg setiap minggu selama trimester
kedua, dan lebih dari 0,45 kg setiap minggu pada trimester ketiga.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
12

a. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah;


Penurunan hemoglobin (Nilai normal hemoglobin untuk wanita
hamil adalah 12-14 gr%)
Hematokrit meningkat (Nilai rujukan 37 43 vol%)
Trombosit menurun (Nilai rujukan 150 450 ribu/mm)
b. Urinalisis; Ditemukan protein dalam urine.
c. Pemeriksaan Fungsi hati;
Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl )
LDH (Laktat dehidrogenase) meningkat
Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 ul.
Serum Glutamat pirufat transaminase (SGPT) meningkat ( N= 15

45 u/ml )
Serum glutamat oxaloacetic trasaminase (SGOT) meningkat ( N=

<31 u/l )
Total protein serum menurun ( N= 6,7-8,7 g/dl )
d. Tes kimia darah; Asam urat meningkat ( N= 2,4-2,7 mg/dl )
2. Radiologi
a. Ultrasonografi
Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intra
uterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit.
b. Kardiotografi
Diketahui denyut jantung janin lemah.
3. Pemeriksaan fungsi hati (Bilirubin,
aminotransferase,

dan

sebagainya).

protein

serum,

Pemeriksaan

fungsi

aspartat
ginjal

(ureumdankreatinin). Uji untuk meramalkan hipertensi Roll Over test


Pemberian infus angiotensin II.
G. KOMPLIKASI

Menurut Khatteryn & Laura (1995) dalam Anik Maryunani dan


Yulianingsih (2012) komplikasi ibu dengan preeklampsia meliputi : cerebral
vascular accident, kardiopulmonari edema, retardasi pertumbuhan, kematian
janin intra uterine yang disebabkan oleh hipoksia dan premature.
Komplikasi preeklampsia yang lain adalah : Ablatio retinae, gagal
ginjal, perdarahan otak, gagal jantung dan edema paru (Dewi & Sunarsih,
2010).
Hipertensi

gestasional

dan

preklampsia/eklampsia

berhubungan

dengan risiko hipertensi dan penyakit kardiovaskular pada masa yang akan
datang. Pada tahun 1995, Nissel mendapatkan riwayat kehamilan dengan
komplikasi hipertensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, berhubungan
13

dengan risiko hipertensi kronik 7 tahun setelahnya. Penelitian yang dilakukan


oleh Jose, dkk menunjukkan kejadian hipertensi 10 tahun setelahnya.
Shammas dan Maayah menemukan mikroalbuminuria yang nyata dan risiko
penyakit kardiovaskular Irgens, dkk melakukan studi kohort retrospektif pada
626.272 kelahiran hidup di Norway antara tahun 1967 1992. Dari studi
tersebut didapatkan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular pada
wanita dengan preeklampsia.
Dari metaanalisis 4 (empat) penelitian menunjukkan pada wanita
dengan preeklampsia memiliki risiko stroke, menunjukkan risiko relatif
menderita kanker payudara pada wanita dengan riwayat preeklampsia namun
hal ini tidak berbeda bermakna, menunjukkan wanita dengan preeklampsia
memiliki peningkatan risiko kematian, dimana preeklampsia < 37 minggu
memliki risiko relatif yang lebih tinggi (Kemenkes, 2015).
H. PENATALAKSANAAN
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria
diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan
normal.
1. Penegakkan Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 4-6 jam pada
wanita yang sebelumnya normotensi.
Derajat hipertensi berdasarkan tekanan darah diastolik pada saat datang,
dibagi menjadi ringan (90-99 mmHg), sedang (100-109 mmHg), dan berat
( 110 mmHg). Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah
sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik.
Alat tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, namun
apabila tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau
tensimeter otomatis yang sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan
pengukuran tekanan darah menggunakan alat otomatis sering memberikan
hasil yang lebih rendah.
14

Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan


duduk tenang selama 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan
darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk atau
telentang, posisi lateral kiri, kepala ditinggikan 30o, posisi manset
setingkat dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar
bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi).
Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga senantiasa diperlukan
agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.22 Pemeriksaan
tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan pada
kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi. 20
Mengurangi kesalahan pemeriksaan tekanan darah:

Pemeriksaan dimulai ketika pasien dalam keadaan tenang.


Sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa atau yang setara, yang

sudah tervalidasi.
Posisi duduk atau terlentang miring kiri, kepala ditinggikan 30o

sehingga manset sesuai level jantung.


Gunakan ukuran manset yang sesuai.
Gunakan bunyi korotkoff V pada pengukuran tekanan darah diastolik.
2. Penentuan Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam
24 jam atau tes urin dipstik positif 1, dalam 2 kali pemeriksaan berjarak
4-6 jam. 20,23 Proteinuria berat adalah adanya protein dalam urin 5 g/24
jam.
Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat
dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel
urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin. Kuo
melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstik
positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2 berkisar 7004000mg/24jam.
Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi,
seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif palsu 6783%.27 Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan
pembersih, dan urin yang bersifat basa.22 Konsensus Australian Society
for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang
dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan
15

sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau
rasio protein banding kreatinin.
Pada telaah sistematik yang dilakukan oleh Cte dkk disimpulkan bahwa
pemeriksaan

rasio

protein

banding

kreatinin

dapat

memprediksi

proteinuria dengan lebih baik.


Mengurangi kesalahan penilaian proteinuria:

Konfirmasi hasil tes positif 1 dipstik dengan mengunakan pemeriksaan


urin tampung 24 jam atau menggunakan rasio protein:kreatinin.

3. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat


Diagnosis preeklampsia berat ditegakkan bila ditemukan keadaan
hipertensi berat/hipertensi urgensi (TD160/110) dengan proteinuria berat
( 5 g/hr atau tes urin dipstik positif 2), atau disertai dengan keterlibatan
organ lain.24 Kriteria lain preeklampsia berat yaitu bila ditemukan gejala
dan tanda disfungsi organ, seperti kejang, edema paru, oliguria,
trombositopeni, peningkatan enzim hati, nyeri perut epigastrik atau
kuadran kanan atas dengan mual dan muntah, serta gejala serebral menetap
(sakit kepala, pandangan kabur, penurunan visus atau kebutaan kortikal
dan penurunan kesadaran).
Kriteria Diagnosis Preeklampsia
1. Kriteria minimal preeklampsia:
TD 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu
Ekskresi protein dalam urin 300 mg/24 jam atau +1 dipstik,
rasio protein:kreatinin 30 mg/mmol
2. Kriteria preeklampsia berat: (preeklampsia dengan minimal satu gejala
dibawah ini)
3. TD 160/110 mmHg
4. Proteinuria 5 g/24 jam atau +2 dipstik
5. Ada keterlibatan organ lain: - Hematologi:

trombositopenia

(<100.000/ul), hemolisis mikroangiopati - Hepar: peningkatan SGOT


dan SGPT, nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas - Neurologis: sakit
kepala persisten, skotoma penglihatan - Janin: pertumbuhan janin
terhambat, oligohidramnion - Paru: edema paru dan/atau gagal jantung
kongestif - Ginjal: oliguria ( 500 ml/24 jam), kreatinin 1,2 mg/dL
(Kemenkes, 2015)

16

I. PENCEGAHAN DAN PENATALAKSANAAN


Terminologi umum pencegahan menurut (Kemenkes, 2015) dibagi menjadi 3
(tiga) yaitu: primer, sekunder, tersier. Pencegahan primer artinya menghindari
terjadinya penyakit. Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti
memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul
gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier
berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit.
1. Pencegahan Primer
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan
tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat.
Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan
bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan
untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut, namun
hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum
diketahui.
Sampai saat ini terdapat berbagai temuan biomarker yang dapat digunakan
untuk meramalkan kejadian preeklampsia, namun belum ada satu tes pun
yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang tinggi. Butuh serangkaian
pemeriksaan agar dapat meramalkan suatu kejadian preeklampsia dengan
lebih baik. Praktisi kesehatan diharapkan dapat mengidentifikasi faktor
risiko

preeklampsia

dan

mengkontrolnya,

sehingga

memudahkan

dilakukannya pencegahan primer.


Berdasarkan data dari beberapa studi, terdapat 17 faktor yang terbukti
meningkatkan risiko preeklampsia. Fakto risiko yang dapat dinilai pada
kunjungan antenatal pertama
a. Anamnesis:
Umur > 40 tahun
Nulipara
Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Kehamilan multipel
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Hipertensi kronik
Penyakit Ginjal
Sindrom antifosfolipid (APS)
17

Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio

Obesitas sebelum hamil


b. Pemeriksaan fisik:
Indeks masa tubuh 35
Tekanan darah diastolik 80 mmHg
Proteinuria (dipstick +1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam
atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
2. Pencegahan Sekunder
a. Istirahat
Istirahat 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko preeklampsia

dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas (studi kecil).


Istirahat di rumah direkomendasikan untuk pencegahan primer

preeklampsia
Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran
pada wanita hamil dengan hipertensi (dengan atau tanpa

proteinuria).
b. Restriksi Garam
Pembatasan garam untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya
selama kehamilan tidak direkomendasikan.
c. Aspirin dosis rendah
Pemberian aspirin dosis > 75 mg lebih baik untuk menurunkan
risiko preeklampsia, namun risiko yang diakibatkannya lebih

tinggi.
Aspirin dosis 75 mg atau kurang cukup aman diberikan pada
kelompok risiko tinggi untuk menurunkan risiko preeklampsia baik

sebagai pencegahan primer atau sekunder.


d. Suplementasi kalsium
Pemberian kalsium dapat diberikan pada wanita yang memiliki risiko
tinggi preeklampsia dan rendah asupan kalsium untuk mencegah
terjadinya preeklampsia.
e. Suplementasi antioksidan
Pemberian vitamin C dan E dosis tinggi tidak menurunkan risiko
hipertensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia, serta
berat lahir bayi rendah, bayi kecil masa kehamilan atau kematian

perinatal.
Pemberian vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk

diberikan dalam pencegahan preeklampsia.


3. Pencegahan Tersier
a. Manajemen Ekspektatif Atau Aktif

18

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki


luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta
memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu.
Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas
maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesarea,
atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia
kehamilan, serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit
membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan
intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata rata
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan
janin terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid
mengurangi

kejadian

sindrom

gawat

napas,

perdarahan

intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.


REKOMENDASI:
Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus
preeklampsia pada usia kehamilan 26 - 34 minggu yang bertujuan

untuk memperbaiki luaran perinatal.


Pemberian kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas
(sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular dan infeksi)

serta mortalitas perinatal.


b. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk
eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas
dan mortalitas maternal serta perinatal.
Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi
melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan
uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga
berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga
berperan dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di
otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan
masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan
sel dan dapat terjadi kejang.

19

Pemberian magnesium sulfat bermakna dalam mencegah kejang dan


kejang

berulang

dibandingkan

pemberian

plasebo.

Pemberian

magnesium sulfat tidak mempengaruhi morbiditas dan mortalitas


maternal serta perinatal.
Efek samping minor kadang dijumpai pada penggunaan magnesium
sulfat, dimana yang terbanyak ditemukan adalah flushing. Tidak
ditemukan perbedaan kejadian toksisitas akibat pemberian magnesium
sulfat dibandingkan plasebo. Penghentian pengobatan lebih sering
terjadi pada pemberian magnesium sulfat intramuskular. Hal ini
disebabkan karena nyeri pada lokasi suntikan.
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi
mengenai waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis
(loading dan pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau
intravena) serta lama terapi. Pemberian magnesium sulfat lebih baik
dalam

mencegah

kejang

atau

kejang

berulang

dibandingkan

antikonvulsan lainnya. Mortalitas maternal ditemukan lebih tinggi


pada penggunaan diazepam dibandingkan magnesium sulfat. Tidak
ditemukan perbedaan bermakna morbiditas maternal dan perinatal
serta mortalitas perinatal antara penggunaan magnesium sulfat dan
antikonvulsan lainnya.
REKOMENDASI :

Pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia berat berguna

untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang.


Rute administrasi magnesium sulfat yang dianjurkan adalah

intravena untuk mengurangi nyeri pada lokasi suntikan.


Magnesium sulfat merupakan pilihan utama pada

pasien

preeklampsia berat dibandingkan diazepam atau fenitoin, untuk


mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang.
c. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan
- sedang (tekanan darah 140 169 mmHg/90 109 mmHg), masih
kontroversial. Pedoman 2011 European Society of Cardiology (ESC)
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg pada wanita dengan
hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi
kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala
20

atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada
keadaan lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan
darah 150/95 mmHg.
d. Kortikosteroid pada Sindrom HELLP
Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki
kadar trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata rata
dan produksi urin. Pemberian kortikosteroroid post partum tidak
berpengaruh pada kadar trombosit. Pemberian kortikosteroid tidak
berpengaruh

pada

morbiditas

dan

mortalitas

maternal

serta

perinatal/neonatal. Deksametason lebih cepat meningkatkan kadar


trombosit dibandingkan betametason.
Rekomendasi:Kortikosteroid diberikan sebelum persalinan pada
pasien sindrom HELLP.
e. Kortikosteroid untuk Pematangan Paru
Pemberian kortikosteroid antenatal berhubungan dengan penurunan
mortalitas

janin

dan

neonatal,

RDS,

kebutuhan

ventilasi

mekanik/CPAP, kebutuhan surfaktan dan perdarahan serebrovaskular,


necrotizing enterocolitis serta gangguan pekembangan neurologis.
Pemberian kortikosteroid tidak berhubungan dengan infeksi, sepsis
puerpuralis dan hipertensi pada ibu.
Penurunan bermakna RDS didapatkan dari pemberian kortikosteroid
pada usia kehamilan 28 36 minggu, dan diberikan 48 jam 7 hari
sebelum persalinan.
Pemberian deksametason maupun betametason menurunkan bermakna
kematian janin dan neonatal, kematian neonatal, RDS dan perdarahan
serebrovaskular. Pemberian betametason memberikan penurunan RDS
yang lebih besar dibandingkan deksametason.
Pemberian kortikosteroid ulangan (jarak 1 minggu atau lebih)
berhubungan dengan penurunan bermakna RDS, penyakit paru berat,
morbiditas berat pada janin.
Rekomendasi:

Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan 28 36 minggu


untuk menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal,
dengan interval waktu pemberian hingga persalinan 48 jam 7 jari.
21

Pemberian ulangan kortikosteroid dapat dipertimbangkan, jika


kortikosteroid diberikan minimal 7 hari sebelumnya.

22

23

J. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PREEKLAMPSIA


1. PENGKAJIAN
Data yang dikaji pada ibu dengan pre eklampsia adalah :
Data subyektif :
a. Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35
tahun.
b. Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema,
pusing, nyeri epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur.
c. Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler
esensial, hipertensi kronik, DM.
d. Riwayat kehamilan : riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa,
hidramnion serta riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau
eklamsia sebelumnya.
e. Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok
maupun selingan.
f. Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan
kecemasan, oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi
resikonya.
Data Obyektif :
a. Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b. Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema.
c. Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal
distress.

24

d. Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian


SM ( jika refleks + ).
2. MASALAH KEPERAWATAN
a. Gangguan perfusi jaringan b/d penurunan kardiak out put sekunder
terhadap vasopasme pembuluh darah.
b. Resiko terjadi gawat janin intra uteri (hipoksia) b/d penurunan suplay
O2 dan nutrisi kejaringan plasenta sekunder terhadap penurunan
cardiac output.
c. Kelebihan volume cairan b/d peningkatan retensi urine dan edema
berkaitan dengan hipertensi pada kehamilan
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d masukan
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik dan menggantikan
kehilangan.
e. Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan
peningkatan tekanan darah).
f. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat hipertensi
g. Risiko cedera ibu b/d edema / hipoksia jaringan.
h. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan
b/d misinterpretasi informasi
i. Pola nafas tidak efektif b/d penurunann ekspansi paru.

3. INTERVENSI
Gangguan Perfusi Jaringan b/d Penurunan Kardiak Out Put
Sekunder Terhadap Vasopasme Pembuluh Darah
Tujuan

Perfusi jaringan otak adekuat danTercapai secara optimal.


Kriteria Hasil

Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan


Menunjukkan fungsi sesori motori cranial yang utuh : tingkat
kesadaran membaik, tidak ada gerakan involunter

Intervensi:
a. Monitor perubahan tiba-tiba atau gangguan mental kontinu (cemas
bingung, letargi, pingsan)
b. Obsevasi adanya pucat, sianosis, belang, kulit dingin/ lembab, cacat
kekuatan nadi perifer.
25

c. Kaji tanda Homan (nyeri pada betis dengan posisi dorsofleksi) eritema,
edema
d. Dorong latihan kaki aktif / pasif
e. Pantau pernafasan
f. Kaji fungsi GI, catat anoreksia, penurunan bising usus, muntah/ mual,
distaensi abdomen, kontipasi
g. Pantau masukan dan perubahan keluaran
Resiko Terjadi Gawat Janin Intra Uteri (Hipoksia) b/d Penurunan
Suplay O2 dan Nutrisi Kejaringan Plasenta Sekunderterhadap
Penurunan Cardiac Output
Tujuan:
Gawat janin tidak terjadi, bayi Dapat dipertahankan sampai Umur 37
minggu dan atau BBL 2500 g.
Intervensi:
a. Anjurkan penderita untuk tidur miring ke kiri
b. Anjurkan pasien untuk melakukan ANC secara teratur sesuai
dengan masa kehamilan:
1 x/bln pada trisemester I
2 x/bln pada trisemester II
1 x/minggu pada trisemester III
c. Pantau DJJ, kontraksi uterus/his gerakan janin setiap hari
d. Motivasi pasien untuk meningkatkan fase istirahat
Kelebihan Volum Cairan b/d Peningkatan Retensi Urine Dan Edema
Berkaitan Dengan Hipertensi Pada Kehamilan
Tujuan

Kelebihan volume cairan teratasi.


Kriteria hasil

Bebas dari edema dan effuse


Bunyi nafas bersih tidak ada dispneu/ortopneu
Terbebas dari distensi vena jugularis

Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas akan adanya krekels.
b. Catat adanya DVJ, adanya edema dependen
c. Ukur masukan atau keluaran, catat penurunan pengeluaran, sifat
konsentrasi, hitung keseimbangan cairan.
d. Pertahankan pemasukan total cairan 2000 cc/24 jam dalam toleransi
kardiovaskuler.
e. Berikan diet rendah natrium atau garam.
26

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d


masukan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik dan
menggantikan kehilangan.
Tujuan :

Status nutrisi normal


Berat badan meningkat
Tidak ada tanda malnutrisi

Kriteria Hasil:

Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan


Berat badan ideal seuai dengan tinggi badan
Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
Tidak terjadi malnutrisi
Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
Tidak ada tand penurunan berat badan

Intervensi:
a. Kaji alergi makanan
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
c.
d.
e.
f.

nutrisi yang dibutuhakan pasien


Anjurkan pasien untuk meningkatka intake Fe
Anjurka pasien untu meningkatkan protein dan vitamin c
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung serat tinggi untik mencegah

konstipasi
g. Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasiskan dengan ahli
gisi)
h. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
i. Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
j. Kaji kemampuan pasien mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan
peningkatan tekanan darah)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu
Kriteria Hasil :

Kesadaran : compos mentis, GCS : 15 ( 4-5-6 )


Tekanan Darah normal

27

Intervensi :
a. Monitor tekanan darah tiap 4 jam
R/. Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan
indikasi dari PIH
b. Catat tingkat kesadaran pasien
R/. Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak
c. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia ( hiperaktif, reflek patella dalam,
penurunan nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria )
R/. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak,
ginjal, jantung dan paru yang mendahului status kejang
d. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya
kontraksi uterus
R/. Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan
memungkinkan terjadinya persalinan
e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM
R/. Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk
mencegah terjadinya kejang
Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat
hipertensi
Tujuan

Nyeri mendekati normal


Nyeri terkontrol
Pasien merasa nyaman

Kriteria hasil

Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri , mampu

menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)


Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri
Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda )
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Intervensi

a. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan


b. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
28

c. Kaji penyebab nyeri


d. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
e. Evaluasi bersama pasien dan tim

kesehatan

lain

tentang

ketidakefektifan control nyeri masa lampau


f. Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
g. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan ,pencahayaan dan kebisingan
h. Kurangi factor prepitasi nyeri
i. Pilih dan lakukan penanganan nyeri ( farmakologi , non farmakologi,
j.
k.
l.
m.
n.
o.

dan inter personal )


Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Ajarkan teknik relaksasi
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Evaluasi keefektifan control nyeri
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter atau medis lain jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil


p. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
Resiko cedera ibu b.d edema / hipoksia jaringan.
Tujuan

Ibu tidak mengalami risiko cedera karena mengalami edema


Kriteria Hasil

a. Berpartisipasi dalam tindakan atau modifikasi lingkungan untuk


melindungi diri dan meningkatkan keamanan.
b. Bebas dari tanda2 iskemia serebral (gangguan penglihatan, sakit
kepala, perubahan pada mental)
c. Menunjukan kadar faktor pembekuan dan kadar enzim hepar normal.
Intervensi :
a. Kaji adanya masalah SSP ( mis; sakit kepala, peka rangsang ,gangguan
penglihatan atau perubahan pada pemeriksaan funduskopi )
R/: Edema serebral dan vasokontriksi dapat diev aluasi dari masa
perubahan gejala, prilaku atau retina.
b. Tekankan pentingnya klient melaporkan tanda2 dan gejala yang
berhubungan dengan SSP.
R/: Keterlambatan tindakan atau awitan progresif gejala-gejala yang
dapat menga kibatkan kejang tonik-klonik atau eklamsia.
c. Perhatikan purubahan pada tingkat kesadaran.
R/: Pada kemajuan HKK vasokonstriksi dan vasospasme pembuluh
darah serebral menurunkan konsumsi ogsigen 20% dan mengakibatkan
iskemia serebral
29

d. Kajia tanda2 eklamsia yang akan datang; hiperaktivitas (3+sampai 4+)


dari reflek tendon dalam, klonus pergelangan kaki, penurunan nadi dan
oernafasan , nyeri epegastrik, dan oliguria (kurang dari 50ml/jam ) .
R/: Edema / vasokonstiksi umum, dimanifestasikan oleh masalah SSP
berat dan masalah ginjal hepar ,kardiovaskular dan pernapasan
mendahului kejang .
e. Implementasi tindakan pencegahan kejang perprotokol.
R/: Menurunkan resiko cidera bila kejang terjadi.
f. Pada kejadian kejang , miringkan klient; pasng jalan nafas/blok gigitan
bila mulut rileks; berikan oksigen lepaskan pakaian yang ketat ; jangan
membatasi gerakan ; dan dokumentasikan masalah motorik , durasi
kejang , dan pereilaku pascakejang.
R/: Mempertahankan jalan nafas menurunkan resiko aspirasi dan
mencegah lidah menyumbat jalan nafas, memaksimalkan oksigenasi.
(catatan ; waspada dengan penggunaan jalan nafas / blok gigitan ;
jangan mencoba bila rahang keras karena dapat terjadi cidera).

Kurang

Pengetahuan

Mengenai

Penatalaksanaan

Terapi

dan

Perawatan b/d Misinterpretasi Informasi


Tujuan

Kebutuhan pengetahuan terpenuhi secara adekuat.


Kriteria Hasil

Pasien dan keluarga menyatakan pemaham tentang penyakit, kondisi,

prognosis dan program pengobatan


Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan
perawat/tim kesehatan lainnya

Intervensi:
a. Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman atau situasi.
Dorong mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, takut
dll.
b. Mempertahankan kepercayaan pasien (tanpa adanya keyakinan yang
salah)
c. Terima tapi jangan beri penguatan terhadap penolakan
d. Orientasikan klien atau keluarga terhadap prosedur rutin dan aktifitas,
tingkatkan partisipasi bila mungkin.
e. Jawab pertanyaan dengan nyata dan jujur, berikan informasi yang
konsisten, ulangi bila perlu.
30

f. Dorong kemandirian, perawatan diri, libatkan keluarga secara aktif


dalam perawatan.
Pola Nafas Tidak Efektif b/d Penurunann Ekspansi Paru
Tujuan

Pola nafas yang efektif.


Kriteria Hasil

Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas bersih , tidak ada

sianosis dan dispneu


Mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak

ada pursed lips


Tanda tanda vital dalam batas normal

Intervensi:
a.

Pantau tingkat pernafasan dan suara nafas.

b. Atur posisi fowler atau semi fowler.


c.

Sediakan perlengkapan penghisapan atau penambahan aliran udara.

d. Berikan obat sesuai petunjuk.


e.

Sediakan oksigen tambahan

31

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Preeklampsia didefenisikan sebagai gangguan yang terjadi pada
trimester kedua kehamilan dan mengalami regresi setelah kelahiran, ditandai
dengan kemunculan sedikitnya dua dari tiga tanda utama, yaitu hipertensi,
edema, dan proteinuria yang dibagi dalam golongan ringan dan berat.
Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui secara
pasti, tetapi pada umum nya disebabkan oleh (vasospasme arteriola). Faktorfaktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya preeklampsia
antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion, molahidatidosa,
multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18 tahun atau lebih dari 35
tahun serta anemia.
Biasanya tanda-tanda

pre eklampsia

timbul

dalam

urutan

Pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan


akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala
gejala subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan sakit kepala di daerah
prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah.
B. Saran
1. Kepada pelayanan kesehatan
Agar dapat meningkatkan pelayanan ibu hamil dan bersalin, khususnya

C.Kepada pihak Akademis

pada penderita preeklampsia


2. Kepada pihak akademis
Agar dapat membimbing para tenaga dan calon tenaga kesehatan dan
meningkatkan kualitas pelayanan terhadap ibu hamil.
32

3. Kepada tenaga kesehatan


Agar dapat lebih mengoptimalkan pelayanan kesehatan mengingat
preeklamsi merupakan suatau gejala penyakit yang cukup mempengaruhi
kesehatan ibu hamil

DAFTAR PUSTAKA
Billington, M & Stevenson, M 2010, Buku Saku Bidan Kegawatan Dalam
Kehamilan-Persalinan, EGC, Jakarta
Bobak, dkk 2005, Buku Ajar Keperawatan Maternitas, EGC, Jakarta
Dewi, V.N.L & Sunarsih, T 2011, Asuhan Kehamilan untuk Kebidanan, Salemba
Medika Jakarta
Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran : Diagnosis dan Tata
Laksana Pre-Eklampsia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2015,
Jakarta
Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia 2014, Jakarta
Maryunani, A, dkk 2012, Asuhan Kegawatdaruratan Dalam Kebidanan, Trans
Info Media, Jakarta
Osungbade K, O & Ige O, K 2011, Public Health Perspectives of Preeclampsia in
Developing Countries: Implication for Health System Strengthening.
International Journal of Pregnancy, vol 20, edisi 10, hlm :1-3
Prawirohardjo, S 2014, Ilmu Kebidanan Edisi Keempat, PT. Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
Rukiyah & Lia, Y 2010, Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan, Trans Info
Media, Jakarta

33

Anda mungkin juga menyukai