Anda di halaman 1dari 24

3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hepar
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang
lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di
bawah kerangka iga (Sloane, 2004).
Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis
tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis
dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium,
dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra
(Snell, 2006).
Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus
bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis
hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah
cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara selsel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

Gambar 2.1.1 : Hati, Hepar; di tempat lipatan, peritoneum dilepaskan; tampak cranial
(Putz, R & Pabst R, 2007).

Gambar 2.1.2: Hati, Hepar; bagian-bagian diafragma tetap dipertahankan untuk memperlihatkan
bersatunya hati dan diafragma; Lig. Falciforme dan Lig. Teres hepatis disayat; tampak ventral
(Putz, R & Pabst R, 2007).

Gambar 2.1.3: Hati, Hepar; porta hati, porta hepatis; pita pengikat yang memfiksasi hati dan
pembuluh-pembuluh darah disayat; tampak dorsal. (Putz, R & Pabst R, 2007).

2.2 Histologi Hepar


Selsel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag
yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit
berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa
dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan
beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah
diantara

lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati

(Junquiera et al., 2007).


Sinusoid hati adalah saluran yang berlikuliku dan melebar, diameternya tidak
teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam
sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik
dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk
menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran
darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa
darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung
(Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007).
Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah
yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus
portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar
adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat
arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik.
Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur
itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira et al., 2007).
Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik.
Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini
terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari
traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona,
dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak

menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya
menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3.
Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira et al., 2007).

Gambar 2.2.1 Lobulus hati (pandangan menyeluruh, potongan transversal). Pulasan :


Hematoksilin dan eosin. Pembesaran lemah. (Eroschenko, 2010)

2.3 Fisiologi Hepar


Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
a. Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam
jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,
dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme
karbohidrat.
b. Metabolisme lemak
Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:
mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain,

membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak


dari protein dan karbohidrat.
c. Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain
dari asam amino.
d. Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin,
hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang
digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
2.4 Virus Hepatitis B
Virus Hepatitis B

(HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan

merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan
pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak
dapat menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi
simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang
terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan terdiri dari 4 gen. Virus
hepatitis B dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42
nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan
panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat
dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B
surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core
dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcSg) yang membungkus DNA, DNA
polymerase, transcriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang
terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk

adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan terutama hati.
HBeAg merupakan pertanda tidak langsung dari derajat beratnya infeksi (Arief, 2012).

2.5 Definisi Penyakit Hepatitis B


Hepatitis adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula
menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian (Sudoyo et
all, 2009).
Hepatitis B akut adalah infeksi virus hepatitis B dengan masa inkubasi 15-180
hari (rata-rata 60-90 hari) dengan viremia yang berlangsung selama beberapa minggu
sampai bulan setelah infeksi akut, dimana pada 1-5% dewasa, 90% neonates dan 50%
bayi akan berlangsung menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. (Sudoyo et
all, 2009)
Hepatitis B kronis adalah adanya Hepatitis B surface antigen (HBsAg) persisten
selama lebih dari 6 bulan setelah kontak awal dengan virus. Hepatitis B kronis dapat
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas dengan menjadi sirosis hepatis dan kanker
hati pada sampai 40% orang yang terinfeksi. (Troung and Walker, 2013)
2.6 Epidemiologi Penyakit Hepatitis B
Menurut World Health Organization (WHO) VHB terjadi di seluruh dunia.
Jumlah tertinggi karier HBsAg ditemukan di negara berkembang dengan fasilitas
kesehatan yang terbatas dan belum modern. Di Afrika dan Asia, penyebaran infeksi
sering terjadi pada bayi dan anak-anak, jumlah karier HBsAg antara 10% sampai 15%.
Prevalensi terendah di negara dengan standart kehidupan yang tinggi, seperti di Kanada,
Amerika Serikat, Skandinavia, dan beberapa negara di Eropa lainnya. (WHO, 2015)
Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar
kedua setelah di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar.
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, studi dari uji saring darah donor PMI maka
diperkirakan antara 100 orang di Indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatitis B

atau C. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang
terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta orang berpotensi untuk menjadi kronis dan dari
yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hati. (Kemenkes
RI, 2014). Di Indonesia, 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis B dengan risiko
penularan maternal kurang lebih 45%. (IDAI, 2002)
2.7 Patogenesis Penyakit Hepatitis B
Menurut WHO (2012), model transmisi hepatitis B adalah sama dengan model
transmisi untuk Virus Human Immunodeficiency (HIV). Tetapi, virus hepatitis B 50
sampai 100 kali lebih menular. Tidak seperti HIV, virus hepatitis B dapat bertahan hidup
di luar tubuh dan stabil pada permukaan lingkungan setidaknya selama tujuh hari.
Selama waktu ini, virus tetap dapat menyebabkan infeksi jika memasuki tubuh orang
yang tidak dilindungi oleh vaksin. Inokulasi langsung virus hepatitis B dapat terjadi
melalui benda mati seperti sikat gigi, botol bayi, mainan, pisau cukur, peralatan makan,
peralatan rumah sakit dan benda - benda lain serta melalui kontak dengan selaput lendir
atau kulit yang terluka. Masa inkubasi dari virus hepatitis B rata-rata adalah 90 hari,
tetapi dapat bervariasi 30-180 hari. Virus ini dapat dideteksi 30 sampai 60 hari setelah
infeksi dan berlangsung selama periode variabel waktu tertentu.
Patogenesis dan manifestasi klinis dari hepatitis B adalah karena interaksi antara
virus dengan sistem imun sel inang. Sistem imun menyerang virus hepatitis B dan
menyebabkan terjadinya luka pada hati. Limfosit CD4+ dan limfosit CD8+ yang
teraktivasi mengenali berbagai peptida virus hepatitis B yang terletak pada permukaan
hepatosit, dan reaksi imunologis pun terjadi. Reaksi imun yang terganggu (pelepasan
sitokin, produksi antibodi) atau status imun yang relatif toleran dapat mengakibatkan
terjadinya hepatitis kronik. Keadaan akhir penyakit hepatitis B adalah sirosis. Pasien
dengan sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B cenderung untuk mengembangkan
karsinoma hepatoseluler (Fan, et al., 2012).
Pada saat awal infeksi hepatitis B terjadi toleransi imunologi, dimana virus
masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa

10

adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV,
HBsAg, HBeAg, dan anti -HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus
selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak, yang dinamakan sebagai
pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis sehingga terjadi
kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau
berkembang menjadi hepatitis kronik (Arief, 2012).
2.8 Gambaran Klinis Hepatitis B
Masuknya virus hepatitis B kedalam keadaan tubuh seseorang dapat menimbulkan
penyakit mulai dari asimptomatik, subklinik, hepatits akut sampai kronik, pengerasan
hati sampai karsinoma hati primer dengan keluhan-keluhan dimana sebagian besar
tanpa keluhan dan sebagian kecil dengan keluhan dengan gejala dan tanda penyakit
hepatitis B. (Arief, 2012)
2.8.1 Hepatitis B akut
Keadaan akut dari hepatitis B sering sembuh spontan setelah 4-8 minggu.
Kebanyakan pasien mengalami perbaikan tanpa komplikasi. Walaupun prognosisnya
tidak pasti, khususnya pada penderita dewasa yang dapat berkembang menjadi
fulminan, kasus fatal dari nekrosis hepatic akut. Banyak pada anak anak yang
terinfeksi sebelum usia tujuh tahun akan menjadi karrier hepatitis B kronik. (WHO,
2015)
Masa inkubasi bervariasi biasanya antara 45 sampai 120 hari, dengan rentang
60-90 hari. Variasi ini berhubungan dengan jumlah virus, cara transmisi dan faktor host.
(WHO, 2015)
Tanda dari virus hepatitis akut adalah peningkatan aktivitas transaminasi
(aminotransferase) serum. Peningkatan aminotransferase, khususnya ALT, selama
hepatitis B akut bervariasi mulai peningkatan ringan/sedang yaitu kelipatan 3-10 kali
sampai peningkatan yang mencolok sampai 100 kali lipat. (WHO, 2015)

11

Pada pasien dengan gejala klinis, gejala biasanya tersembunyi dengan kelelahan,
anoreksia, nyeri perut, mual dan muntah, kadang kadang atralgia dan duam, sering
menjadi ikterus. Panas mungkin tidak ada atau ringan. (WHO, 2015)
Pada fase ikterus, hepatitis virus akut biasanya mulai pada hari ke 10 dengan
gejala awal dengan munculnya urin berwarna gelap diikuti dengan tinja pucat dan
warna kuning pada membrane mukosa, konjungtiva, sclera dan kulit. Ikterus mulai
terlihat secara klinis ketika bilirubin total mencapai 20 sampai 40 mg/l. Hal tersebut
dapat diikuti dengan hepatomegali dan splenomegali. Setelah 4-12 minggu, warna
kuning menjadi tidak terlihat dan gejala klinis berkurang dengan perkembangan yang
alami, anti-HBs, sekitar 95% pada orang dewasa. (WHO, 2015)
Pada presentase kecil, penderita meninggal dengan hepatitis B akut. (WHO,
2015)
2.8.2 Hepatitis B kronis
Gambaran klinis Hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak
didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada
sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda
penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema Palmaris dan spider nevi, serta pada
pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal
itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan konsentrasi bilirubin yang
normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali pada kasus-kasus
yang parah. (Sudoyo et al, 20019)
Manifestasi klinis hepatitis B kronis dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :
1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (Hepatitis B kronik aktif). HBsAg positif
dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT yang
menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit
hati kronik. Pada biosi hati didapatkan tanda peradangan yang aktif. Menurut
status HBeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif
dan hepatitis B kronik HBeAg negatif.

12

2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini HBsAg
positif dengantiter DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 10 5 kopi/ml. Pasien
menunjukkan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan keluhan. Pada
pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang minimal. Sering sulit
membedakan Hepatitis B Kronik HBeAg negative dengan pasien carrier VHB
inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin.
Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu
yang cukup lama.
Pemeriksaan biopsy untuk pasien Hepatits B Kronik sangat penting terutama
untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai normal tertinggi
atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk
meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respons histologik).
Sejak lama diketahui bahwa pasien Hepatitis B kronik dengan peradangan hati yang
aktif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami progresi, tetapi gambaran histologik
yang aktif juga dapat meramalkan respons yang baik terhadap terapi imunomodulator
atau antivirus. (Sudoyo et al, 20019)
2.9 Pemeriksaan Laboratorium pada Hepatitis B
Untuk mengetahui secara tepat stadium yang diderita, maka dibutuhkan biopsi
hati. Biopsi hati merupakan gambaran pemeriksaan secara pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium ini memungkinkan diagnosis jaringan hepatitis. (Robinson,
1994)
Tes terhadap\ fungsi hati abnormal, seperti alanin aminotransferase serum (ALT/
SGPT) dan bilirubin, membantu oenemuan klinik, patologik, dan epidemiologik. Nilainilai transminase pada hepatitis akut berkisar antara 500-2000 satuan dan hampir tidak
pernah di bawah 100 satuan. Niala ALT biasnya lebih tinggi dari aspartat transaminase
serum (AST/ SGOT). Suatu kenaikan tajam dari ALT dalam waktu 35-200 hari
menunjukkan infeksi virus hepatitis B. (Robinson, 1994)

13

HbsAg disintesis pada sitoplasma sel hai dan kemungkinan dilepaskan kedalam
aliran darah. Adnaya HbsAg di dalam darah merupakan petunjuk paling dini infeksi
virus hepatitis B yang sedang berlansung. HbsAg sudah dapat ditemukan dala darah
pada masa inkubasi dan titer tertinggi dicapai pada saat timbulnya gejala klinis atau
setelah infeksi. (Robinson, 1994)
Pemeriksaan serologik yaitu suatu pemeriksaan penunjang gambaran hasil
pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan petanda-petanda serologik hepatitis B
virus. Pemeriksaan ini melakukan pengolaan yang mendekati kebenaran. Tanda-tanda
serologik HBV-Kronik. Pemerikasaan serologik yang sering dilakukan adalah
penentuan imunosorben radioimun (RIA), penemuan imunosorben yang berkaitan
dengan enzim (ELISA) dan teknik aglutinasi sel darah merah (RCA). (Hollinger, 2001)
Pertama dilakukan tes positif terhadap HbsAg (antigen permukaaan). Tes ini
menunjukan interpretasi bahwa infeksi hepatitis B virus aktif, baik akut maupunkronik
yang telak aktif dalam masa inkubasi. Biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejalagejala. Pada hepatitis akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bukan,
kemudian anti-HBS yang akan terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBs
kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HbsAg tidak hilang, dan persisten labih dari 6
bulan dinamnakan hepatitis kronik. (Hollinger, 2001)
Kedua tes positif HbeAg. Yaitu serologik HBV lain yang ditemukan pada waktu
yang sama termasuk partikel Dane (HBV), dapat dilihat dengan mikroskop elektron.
Antigen inti dan polimerase DNA virus dapat diukur dengan memecah HBV. HbeAg
terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi HbsAg. HbeAg bersama
dengan HBV DNA menandakan bahwa replikasi HBV yang masih aktif. (Hollinger,
2001)
Ketiga pemeriksaan tes positif terhadap Anti-HBs (pada keadaan tidak ada
HbsAg). Hasil tes ini menginterpretasikan perlindungan terhadap reinfeksi atau
kekebalan dan bertahan tahunan. (Hollinger, 2001)
Keempat, pemeriksaan tes positif Anti- HBc (pada keadaan tidak ada Anti-HBs).
Hasil tes ini mengintrepetasikan tidak dapat disingkirkan kemungkinan infeksi HBV

14

aktif. Infeksi HBV terakhir dapat dibuktikan dengan memeriksa bahan untuk mencari
titer IgM anti- HBc yang tinggi. (Robinson, 1994)
Meningkatnya nilai transaminase (SGC SGPT) mencerminkan kerusakan
hepatoseluler, namun enzim-enzim tersebut dimiliki juga oleh organ lain. SGPT lebih
spesifik untuk hepar dibandingkan SGOT. Karena itu pemeriksaan transaminase sering
menitik beratkan pada pemeriksaan SGPT pemeriksaan hepatitis B kronik. (Robinson,
1994)
Transaminase bisa normal pada hepatitis B kronik dan ada juga yang nilainya
meningkat. Pada waktu terjadinya eksaserbasi, reaktivitas proses replikasi ditandai
peningkatan transaminase secara bermakna. (Robinson, 1994)
Penignkatan SGPT dalam pemeriksaan hepatitis B kronik yaitu, penignkatan
nilai lebih dari dua kali batas normal, pada tiga kali pemeriksaan selang satu bulan
berturut-turut yang dilakukan selama tiga bulan. Disini menyingkirkan sebab-sebab dari
peningkatan SGPT tersebut. (Robinson, 1994)
2.10

Pengaruh Hepatitis B pada Kehamilan


Transmisi infeksi dari ibu biasanya dianggap infeksi perinatal. Menurut definisi

periode perinatal mulai dari 28 minggu gestasi dan berakhir pada 28 hari setelah
melahirkan. Oleh sebab itu, transmisi perinatal sebenarnya tidak termasuk infeksi
yang terjadi sebelum dan sesudah periode ini dan dapat diganti dengan istilah
Transmisi ibu ke anak yang menghitung semua infeksi HBV sebelum persalinan,
selama persalinan dan pada masa kanak kanak. (Sinha, 2010)
Secara teori, ada tiga rute yang memungkinkan transmisiHBV dari infeksi ibu ke
janinnya.
a. Transmisi HBV melalui transplacenta di dalam rahim
b. Transmisi natal selama persalinan
c. Transmisi post natal selama pengasuhan atau melalui ASI
Pada bayi baru lahir yang ibunya postitif HBsAg dan HBeAg, yang tidak
mendapat immunoprofilaksis setelah terpapar, resiko terinfeksi HBV kronis sekitar

15

70%-90% sampai usia 6 bulan. Vaksin Hepatitis B dapat mencegah 70%-95% infeksi
HBV pada bayi baru lahir oada ibu yang HBsAg dan HBeAg positif. Pada kebanyakan
studi mengenai profilaksis setelah terpapar, vaksin HBV diberikan pada bayi pada 12-24
jam dari kelahiran mereka. Efek maksimal dari vaksin dalam mencegah transmisi ibu ke
anak menurun seiring waktu setelah persalinan. Oleh karena itu, telah diambil
kesimpulan dan diterima secara luas, bahwa transmisi HBV ibu ke anak paling banyak
terjadi pada saat atau waktu yang dekat dengan persalinan (transmisi natai). (Harpaz et
al, 2000)
2.11

Pengaruh Kehamilan Pada Hepatitis B


Selama kehamilan, terdapat beberapa modifikasi pada sistem imun maternal,

yaitu pergerakan keseimbangan Th1-Th2, peningkatan jumlah sel T dan sebgainya yang
berkontribusi terhadap penurunan respon imun melawan HBV. Tujuan dari modifikasi
ini adalah mencegah penolakan fetus yang sebagian alogenik terhadap sistem imun ibu.
Hasil dari modifikasi tersebut adalah peningkatan HBV DNA dan pengurangan level
aminotransferase. Setelah persalinan, sistem imun mengalami perbaikan yang dapat
menyebabkan konsekuensi sebaliknya, ada peningkatan aminotransferase (ALT) dan
pengurangan HBV DNA pada periode ini. (Ter Borg, 2008)
2.12

Cara penularan
Penularan Hepatitis B sering tidak disadari, padahal ada sekitar 2 milyar orang

di dunia yang menderita penyakit Hepatitis B ini. Data dari WHO menunjukkan bahwa
sejumlah 400 juta orang di dunia menderita Hepatitis B akut yang berpotensi menjadi
sirosis yaitu pengerasan hati bahkan berpotensi menjadi kanker hati. Paling tidak ada
satu juta orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Penularan Hepatitis B
lebih tinggi dibandingkan dengan penularan virus HIV. Menurut data yang diperoleh dari
WHO, Penularan Hepatitis B lebih mudah sekitar 50 hingga 100 kali dibanding
penularan virus HIV. Penularan Hepatitis B dapat terjadi melalui kontak darah dan atau
pertukaran cairan tubuh. Penularan Hepatitis B antara lain dapat terjadi melalui transfusi

16

darah, melalui jarum suntik yang digunakan lebih dari satu kali, jarum tato, jarum bor
gigi, atau alat kebersihan pribadi seperti pemakaian bersama pisau cukur, sikat gigi atau
handuk. Penularan Hepatitis B lebih sering terjadi melalui kulit atau selaput lendir,
bagian tubuh yang mengalami luka terbuka, ciuman atau hubungan seks dengan orang
yang menderita. Jadi Penularan Hepatitis B bukan melalui makanan dan minuman serta
kontak langsung (seperti bersalaman, berbicara saling berhadapan) layaknya VHA.
Penularan Hepatitis B terjadi dengan sangat mudah yaitu melalui cairan tubuh
penderita, misalnya lewat air mani, air liur, serta cairan tubuh lainnya. Mereka yang
beresiko mengalami Penularan Hepatitis B ini antara lain adalah bayi yang baru lahir,
orang yang melakukan yang tidak aman; dalam hal ini mereka yang sering berganti
pasangan atau homoseksual. Hubungan seksual memang merupakan salah satu cara
penularan hepatitis B ke pasangan. Pintu masuknya adalah lender pada vagina dan atau
air mani pengidap virus hepatitis B ( VHB ). Namun penularan cara ini kebanyakan
terjadi di negara dengan endemisitas infeksi virus hepatitis B ( VHB ) rendah. Menurut
sebuah penelitian, pasangan penderita infeksi Virus Hepatitis B ( VHB ) kronis berisiko
tertular VHB. Dan sektiar 70% homoseksual terinfeksi penyakit hepatitis B setelah lima
tahun melakukan hubungan seksual aktif. Para pengidap virus hepatitis B umumnya
tidak memperlihatkan gejala atau keluhan, sehingga mereka umumnya tidak mengetahui
bahwa dirinya mengidap VHB. Dengan demikian, jika mereka ini (pembawa carrier)
setiap kali berganti pasangan, maka potensi penularan hepatitis B ke pasangan-pasangan
seksualnya tinggi.
Selain dari itu penularan hepatitis B juga beresiko terhadap mereka yang
terbiasa menggunakan alat kebersihan secara bersama, jarum suntik, tindik, tato, dan lain
sebagainya. Penularan hepatits B ini disebut penularan parenteral. Bisa juga penularan
melalui goresan atau abrasi kulit. Penularan Hepatitis B menjadi sangat mudah karena
virus Hepatitis B dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia hingga beberapa minggu.
Penularan hepatitis B dari ibu ke janin dikenal sebagai penularan transmisi perinatal atau
vertical. Virus hepatitis B tersebut menular dari ibu ke janin yang dikandungnya atau di

17

bayi yang dilahirkannya melalui peredaran darah tali pusat, atau saat proses melahirkan,
atau setelah melahirkan.
2.13 Terapi Hepatitis B
Tujuan penatalaksanaan adalah penyembuhan total dari infeksi VHB yang ditandai
dengan hilangnya VHB dan penyembuhan radang hatinya. Keadaan ini ditandai dengan
menghilangnya HbsAg, DNA polymerase, VHB-DNA, serta nilai SGOT dan SGPT
yang menurun kedalam batas normal. Kadang kala penatalaksanaan hanya bisa
mengurangi infektifitas, menhambat replikasi virus, mengurangi kematian sel hati
akibat reaksi radang, serta mencegah transformasi sel hati kearah keganasan.
Obat-obat yang digunakan untuk menyembuhkan hepatitis B kronis antara lain
adalah obat antivirus, imunomodulator dan biological response modifiers.
1) Obat pencegah proses replikasi virus atau obat antivirus
Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum virus sempat berintegrasi ke dalam
genom penderita. Jadi, pemberiannya perlu dilakukan sedini mungkin sehingga
kemungkinan terjadi sirosis dan hepatoma depat dikurangi.
Yang termasuk obat antivirus adalah interferon tipe I (alfa dan beta), adenin
arabinoside monophosphate (ARA-MP), Ribavirin, dan Acyclovir.
a) Interferon (IFN)
Interferon merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kekebalan alamiah
disamping ikut mengatur sistem kekebalan yang didapat. Pengaruh IFN sudah tampak
jauh lebih cepat sebelum mekanisme lainnya berfungsi. Penyakit hepatitis B yang
menjadi kronis sering dihubungkan dengan produksi IFN yang berkurang atau peran
IFN yang menurun.
Telah diketahui bahwa IFN mempunyai khasiat sebagai antivirus, antiproliferatif,
dan imunomodulasi. Dengan cara DNA rekombinan, saat ini telah dapat dibuat alfa,
beta, dan gamma IFN. Alfa atau leukosit IFN dihasilkan oleh leukosit. Beta atau
fibroblas IFN dihasilkan oleh limfosit. Sementara gamma atau tipe II IFN dihasilkan
oleh limfosit T. IFN alfa dan IFN beta mempunyai reseptor yang sama, keduanya
disebut IFN tipe I. Interfeon tipe I meliputi antara lain IFN alfa leukosit, IFN alfa
limfoblastoid, IFN alfa rekombinan dan IFN beta. Obat ini pada hepatitis B kronis

18

digunakan untuk menekan replikasi virus atau membasminya sehingga terjadi


penyembuhan (remisi).
Tidak semua penderita hepatitis B kronis dapat diberikan IFN. Yang dapat diberiakn
obat ini adalah penderita yang berdasarkan pemeriksaan histopatologis mengarah pada
hepatitis kronis aktif. Keadaan ini ditandai dengan aktifnya virus mengadakan replikasi
yang diketahui dengan kenaikan SGOT dan SGPT, serta HbeAg dan VHB DNA serum
yang positif pada pengamatan (observasi) selama 6 bulan.
IFN harus diberikan secara suntikan (parenteral). IFN alfa dapat diberikan secara
intravena, intramuskular, ataupun subkutan. IFN beta dan IFN gamma harus diberikan
secara intravena untuk mencapai kadar optimal di dalam serum.
Efek samping pemberian IFN tergantung pada dosis yang diberikan, bisa cepat
(dini) atau lambat. Efek samping yang timbul dini antara lain menggigil, demam, sakit
kepala, badan terasa sakit (mialgia), sakit pada persendian (arthralgia), sukar tidur
(insomnia), dan rasa lelah (fatigue).
Untuk mengatasinya penyuntikan dilakukan menjelang tidur dan diberikan
parasetamol atau obat anti inflamasi lainnya untuk menghilangkan keluhan yang timbul.
Efek samping yang timbul secara lambat muncul setelah 2 minggu. Gejalanya antara
lain kelemahan (astenia dan letargi), kadang-kadang depresi, tidak nafsu makan
(anoreksia), mual (nausea), dan rambut rontok. Jumlah leukosit dan trombosit menurun
pada 2 minggu pertama pengobatan dan normal kembali setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan dengan IFN akan berhasil lebih baik pada orang dengan kondisi berikut:
(1) Titer VHB-DNA rendah (<200). Titer yang tinggi berarti prognosa kurang baik.
(2) Nilai SGPT tinggi (>200 U). Bila nilai SGPT < 2,5 kali up-perlimit maka
pengobatannya lebih sulit.
(3) Periode hepatitis pendek. Bila infeksi sudah berlangsung lama hasil pengobatannya
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

kurang baik.
Pengobatan pada wanita menghasilkan respon lebih baik dibandingkan pada pria.
Infeksi VHB didapat setelah dewasa. Akan lebih sulit jika berlangsung sejak bayi.
Anti-VHD atau anti deltanya negatif.
Anti-HIV negatif.
Heteroseksual. Pengobatannya pada penderita homoseksual lebih sulit.
Hasil pemeriksaan histopatolgi dari biopsi hati menunjukkan hepatitis kroni aktif.
Kontra indikasi pengobatan dengan IFN adalah sirosis hati yang sudah

menampakkan tanda gagal hati (dekompensasi). Gagalnya fungsi hati ditandai dengan

19

perut membuncit berisi cairan (asites), pendarahan, dan tanda-tanda ensefalohati seperti
rasa ngantuk, linglung, dan tidak mampu mengerjakan pekerjaan sederhana.
Respons penderita hepatitis B kronis bila diberikan IFN bisa berbeda-beda. Ada 3
kemungkinan respon yang diberiak penderita:
1) Respon sementara (transient response)
Terjadi hambatan replikasi virus yang ditandai dengan hilangnya VHB-DNA dan
DNA-p selama pengobatan, tetapi HbeAg dan HbsAg dalam serum penderita tetap
positif. Pertanda tersebut muncul kembali bila pengobatan dihentikan.
2) Respon tak lengkap (incomplete response)
Hambatan repliksi virus terjadi selamanya ditandai dengan hilangnya VHB-DNA
dan DNA-p serta serokoversi dari HbeAg menjadi anti-Hbe walaupun pengobatan telah
dihentikan. Dalam serum penderita tetap terdapat HbsAg. Keadaan ini diduga timbul
karena telah terjadi integrasi DNA virus dengan sel hati (genome host).
3) Respon lengkap (complete response)
Terjadi hambatan permanen replikasi virus yang ditandai dengan hilangnya VHBDNA dan DNA-p, serta sero konversi yang menetap dari HbsAg dan HbeAg menjadi
anti-HBs dan anti-Hbe.
Pemberian Roferon A (IFN alfa-2a) pada pendrita hepatitis B kronik aktif dilakukan
secara subkutan atau intra muskuler dengan dosis 3-4,5 MIU.dalam seminggu dilakukan
3 kali pemberian. Bila respon yang diharapkan tidak tercapai setelah 8-12 minggu maka
dosis dapat dinaikkan. Pengobatan minimal dilakukan selama 6 bulan.
Selama pengobatan dengan IFN setiap bulan dilakukan monitoring terhadap SGPT,
leukosit, trombosit, dan efek samping yang mungkin timbul seperti demam, nyeri otot,
rasa lelah, mual, diare, dan lain-lain. Efek samping yang sifatnya reversibel ini bila
timbul sebaiknya segera diatasi berdasarkan keluhan yang ada. Pada bulan ke 6
dilakukan pemeriksaan SGPT, leukosit, trombosit, VHB-DNA, HbeAg, HbsAg, dan bila
perlu dilakukan biopsi hati. Keberhasilan pengobatan dinilai dari kadar SGPT yang
normal, VHB-DNA dan HbeAg HbsAg seringkali hilang 3-4 tahun setelah
pengobatan selesai.
Di Indonesia telah tersedia beberapa jenis interferon yaitu Roferon-A (Roche),
Intron-A (Schering-Plough), dan Wellferon (Wellcome). Ada beberapa kendala yang

20

mengakibatkan pengguanaan interferon kurang menarik. Misalnya harga obat yang


mahal, angka keberhasilan yang relatif masih rendah, serig terjadi kambuh, pemberian
harus dalam bentuk suntikan, maupun pemakaiannya yang dalam jangka panjang.
b) Adenin Arabinoside (ARA-A)
ARA-A adalah analog pirine, suatu nukleida sintetik yang menekan proses
replikasi VHB. ARA-A kurang larut dalam air sehingga pemberiannya dilakukan
dengan infus. Bentuk yang lebih larut adalah ARA-AMP.
Kedua macam obat ini mempunyai pengaruh toksik sehingga memberikan
berbagai macam keluhan. Misalnya tidak nafsu makan, mual, muntah, mencret, dan
badan tersa lemah. Obat ini juga dapat menekan aktivitas sumsum tulang dan toksik
terhadap sistem neuromuskular.
c) Ribavirin
Obat ini suatu analog nukleosid oral yang sedang di evaluasi pemakaiannya
dengan interferon alfa.
d) Acyclovir
Pemberian IFN dengan acyclovir dilaporkan memberikan hasil sinergistik. Obat
ini diberikan secara intravena.
e) Tenofovir disoproxil fumarat (tenofovir)
Tenofovir adalah analog nukleotida (adenosin monofosfat) reverse transcriptase
dan hepatitis B (HBV) inhibitor polymerase.
f) Lamivudine (Epivir, Epivir-HBV)
Lamivudine adalah analog timidin yang menghalangi replikasi virus dengan
penghambatan kompetitif reverse transcriptase virus. Ada bukti bahwa efek
imunomodulator tidak langsung dapat diamati. Pemberian lamivudin 100 mg/hari
selama 1 tahun dapat menekan HBVDNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan
mengurangi progresi fibrosissecara bermakna dibandingkan placebo. Namun lamivudin
memicu resistensi.Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari
32% setelah terapiselama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun.
Risiko resistensiterhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian.
g) Adefovir (dipivoxil Hepsera)
Adefovir digunakan untuk mengobati penyakit hepatitis B kronis. Agen ini adalah
prodrug yang diubah menjadi garam difosfat. Obat aktif diklasifikasikan sebagai
inhibitor reverse transcriptase antivirus nukleotida. Hal ini menghambat virus hepatitis

21

B (HBV) DNA polymerase (reverse transcriptase) dengan bersaing dengan triphosphate


substrat alami deoxyadenosine (dATP) dan dengan menyebabkan pemutusan rantai
DNA setelah penggabungan menjadi DNA virus. Umumnya digunakan pada kasus
kasus yang kebal terhadap lamivudin, dosisnya 10 30 mg tiap hari selama 48 minggu.
h) Entecavir (Baraclude)
Entecavir adalah analog nukleosida guanosin dengan aktivitas polimerase virus
terhadap hepatitis B (HBV). Agen ini bersaing dengan triphosphate deoxyguanosine
substrat alami (dGTP) untuk menghambat aktivitas polimerase HBV (yaitu, reverse
transcriptase). Entecavir kurang efektif untuk lamivudine-tahan api infeksi HBV. Obat
ini diindikasikan untuk pengobatan infeksi HBV kronis dan tersedia sebagai tablet dan
sebagai larutan oral (0,05 mg / mL; 0,5 mg = 10 mL).
i) Telbivudine (Tyzeka)
Telbivudine adalah analog nukleosida disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk pengobatan hepatitis B kronis. Obat ini menghambat hepatitis B
polimerase DNA virus dan diindikasikan untuk pasien dengan bukti replikasi hepatitis B
virus dan berkelanjutan baik aktivitas aminotransferase persisten tinggi atau bukti
histologis dari penyakit hati aktif. Pertimbangkan telbivudine untuk pasien yang
kondisinya tidak atau tidak mungkin untuk menanggapi interferon atau untuk pasien
yang tidak dapat mentoleransi interferon. Munculnya resistensi adalah kelemahan utama
dari monoterapi analog nukleosida.
2) Obat imunomodulator
Bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa respon imun penderita memegang peranan
penting dalam perjalanan penyakit maupun hasil akhir infeksi VHB. Oeh karena itu,
digunakanlah obat-obat yang dapat menekan (imunosupresi) maupun merangsang
(imunostimulasi) sistem imun. Misalnya trasfer faktor, immune RNA dan imunosupresi.
Obat imunosupresi contohnya adalah kortikosteroid.
Dari berbagai macam peneliatian dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan
kortikosteroid jangka panjang tidak bermanfaat pada kasus hepatitis B kronik aktif.
Namun pemberian steroid jangka pendek yang dihentikan mendadak (withdrawal)
diikuti dengan pemberian IFN dapat meningkatkan hasil pengobatan. Hanya saja dapat
terjadi hepatitis fulminan pada pemberian kortikosteroid yang dihentikan mendadak.

22

3) Biological response modifiers


Golongan ini merupakan obat baru, termasuk IFN alfa dan obat baru thymosin alfa I
yang terdiri dari phospholipid, protein ukuran kecil dan sedang yang dihasilkan, serta
disekresikan oleh sel thymus sapi.
2.14 Pencegahan Hepatitis B
Pencegahan infeksi virus hepatitis B merupakan prioritas kesehatan masyarakat,
terutama bagi mereka yang merupakan kelompok yang berisiko besar menjadi pengidap
kronis. Tingkat infeksi dapat dikurangi melalui modifikasi perilaku dan meningkatkan
pendidikan masing-masing individu (Franco, et al., 2012).
Menurut Mandal (2008), berikut merupakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan untuk mengurangi risiko tertularnya hepatitis B :
1. Menguji semua darah pendonor.
2. Menjamin asepsis dalam praktek klinis .
3. Screening terhadap semua wanita hamil (membantu untuk menghindari penularan
dari ibu ke anak saat lahir).
4. Tidak memperbolehkan orang-orang berisiko tinggi menjadi donor darah.
5. Screening donor darah untuk antigen permukaan virus hepatitis B .
Menurut Franco (2012), vaksinasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah
hepatitis B. Menurut Lubis (2008), penggunaan vaksin hepatitis B ternyata dapat
menurunkan angka penularan hepatitis B hampi r 100%. Ada dua produk yang
digunakan untuk tindakan pencegahan hepatitis B yaitu :
1. Hepatitis B immune globulin (HBIG) HBIG berasal dari plasma yang
mengandung anti -HBS dengan titer tinggi dan digunakan untuk prophylaxis
postexposure. Dosis yang direkomendasikan untuk anak -anak dan dewasa: 0,06
ml/kg dan dosis 0,5 ml untuk infeksi virus hepatitis B perinatal yaitu infant yang
lahir dari ibu dengan HBsAgnya yang positif.
2. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatitis B menggunakan HBsAg yang diproduksi dari yeast
Saccharomyces cerevisiae dengan teknologi recombinant DNA dan digunakan
sebagai immunisasi preexposure dan profilaksis postexposure.

23

Ada dua vaksin hepatitis B monovalent yang tersedia, digunakan untuk dewasa
dan anak-anak yaitu Recombivax HB (Merck and Co., Inc.) dan Engerix B (SmithKline
Beecham Biologicals ). Pemberiannya secara bertahap sebanyak tiga dosis, diberikan
intramuskular pada musk ulus deltoid.
Kombinasi Hepatitis B Immune Globulin dan vaksinasi hepatitis B dimulai
dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, diikuti dengan tiga dosis imunisasi yang
jadwalnya dimulai pada usia 1-2 bulan, telah terbukti melindungi 85-95% dari bayi
yang ibunya positif untuk kedua HBsAg dan HBeAg (Geeta, and Riyaz, 2013).
Tempat injeksi dan cara pemberian merupakan faktor penting dalam mencapai
respon yang optimal. Suntikan intradermal dan administrasi di gluteus tidak dianjurkan.
Vaksin hepatitis B dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping umumnya ringan,
sementara , dan terbatas pada tempat suntikan (eritema, pembengkakan, indurasi).
Reaksi sistemik (kelelahan, demam ringan, sakit kepala, mual, nyeri perut) jarang
terjadi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keamanan vaksin hepatitis B telah
dipertanyakan, namun studi ekstensif menyimpulkan bahwa tidak ada alasan untuk
mengubah kebijakan vaksinasi.
Vaksinasi hepatitis B tidak kontraindikasi apabila diberikan pada wanita hamil
atau menyusui. Satu-satunya kontraindikasi absolut yang diketahui adalah adanya
hipersensitifitas terhadap komponen dari vaksin atau riwayat anafilaksis dengan
dosis sebelumnya (Franco, et al., 2012).
Menurut Lubis (2008), Rekomendasi Pemberian vaksin hepatitis B yaitu:
A. Preexposure
1. Seluruh infants
2. Remaja 11-12 tahun
3. Petugas kesehatan yang beresiko terpapar dengan darah atau penggunaan jarum
4.
5.
6.
7.
8.
9.

suntik
Staf pada perawatan cacat mental
Pasien hemodialisa
Homoseksual laki-laki yang aktif
Heteroseksual laki-laki dan wanita yang aktif
Pecandu obat (obat suntik)
Penerima donor darah

24

10. Anak-anak yang diadopsi dari negara endemik virus hepatitis B


B. Postexposure
1.

Infants yang lahir dari ibu dengan virus hepatitis B positif


Penelitian menunjukkan bahwa antibodi yang di induksi oleh vaksi bertahan

selama periode minimal 10-15 tahun dan bahwa durasi anti HBs berhubungan dengan
tingkat puncak tercapainya antibodi setelah vaksinasi primer dilakukan. Penelitian lebih
lanjut terhadap vaksin telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibodi biasanya
menurun dari waktu ke waktu, tetapi infeksi secara klinis jarang terjadi. Bukti juga
menunjukkan bahwa individu yang berhasil divaksinasi yang telah kehilangan antibodi
dari waktu ke waktu biasanya menunjukkan respon yang cepat bila diberikan dengan
dosis vaksin tambahan atau bila terkena birus hepatitis B. Ini berarti bahwa memori
imunologi HBsAg dapat hidup lebih lama daripada deteksi anti-HBs, dimana
memberikan perlindungan jangka panjang terhadap penyaki t akut (Franco, et al.,
2012).
Imunisasi rutin untuk pekerja kesehatan terhadap infeksi hepatitis B adalah cara
yang efektif untuk melindungi mereka. Vaksin hepatitis B sangat efektif, vaksin juga
relatif murah dan tersedia secara luas. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah:
1. Melakukan imunisasi pada petugas kesehataan pada awal mereka masuk kerja.
2. Uji serologi pre-vaksinasi tidak terlalu diperlukan, tetapi mungkin menghemat
sumber daya jika memungkinkan dan jika prevalensi kekebalan tinggi.
3. Menggunakan jadwal tiga suntikan yaitu pada 0, 1 dan 6 bulan
4. Jika memungkinkan, mengkontrol tingkat antibodi antara dua sampai enam
bulan setelah dosis terakhir diberi.
5. Jangan mengambil booster secara rutin sebagai perlindungan seumur hidup
(WHO, 2011).
Untuk pasien immunocompromised, dilakukan pemeriksaan rutin dan administrasi
booster saat kadar antibodi anti -HBs turun di bawah 10 mIU / mL . Antibodi terhadap
antigen permukaan hepatitis B terutama ditargetkan untuk mengikat asam amino daerah
hidrofilik, disebut sebagai determinan HBsAg. Vaksinasi hepatitis B memberikan

25

perlindungan terhadap infeksi dari semua genotipe virus hepatitis B dan bertanggung
jawab untuk kekebalan tubuh.
Beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami vaksinasi hepatitis B:
1. Setiap orang yang tinggal dengan atau memiliki hubungan seksual dengan
seseorang yang tertular hepatitis B kronik harus divaksinasi.
2. Vaksinasi diberikan pada mereka yang berisiko tinggi tertular hepatitis B, seperti
perawat; mereka yang tingkah laku seksualnya rentan terhadap virus hepatitis B
(prostitusi, lelaki heteroseksual dengan banyak pasangan, lelaki homoseksual);
orang yang kerap memerlukan transfusi darah atau produk darah (seperti pasien
cuci darah karena ginjal atau hemofilia), atau mereka yang tinggal di daerah di
mana transfusi darah tidak disaring.
3. Vaksin diindikasikan untuk bayi baru lahir yang ibunya memiliki antigen
permukaan HBV positif
4. Vaksin diberikan untuk pekerja kesehatan pasca pajanan yang sebelumnya tidak
diimunisasi.
5. Booster diberikan pada orang yang tidak membentuk antibodi permukaan HBV
(HBVsAb) pada 6 -8 minggu setelah melengkapi paket vaksinasi.
6. Hiperimunoglobulin diindikasikan untuk bayi baru lahir dari ibu yang
merupakan karier antigen permukaan hepatitis B yang juga antigen e HBV
(HBVeAb) negatif.
Paket yang dipercepat dapat diberikan dalam situasi pasca pajanan (minggu
0,2,4, dan 8). Interferon dosis rendah telah terlihat dapat mengurangi insidensi
hepatoma pada pasien dengan sirosis (Franco, et al., 2012).

2.15 Prognosis Hepatitis B dalam kehamilan


Prognosis infeksi HBV tergantung dari berat ringannya penyakit dan komplikasi
komplikasi yang terjadi. Infeksi HBV pada penderita tanpa menimbulkan gejala klinis
dan juga tidak ada penyakit lain sebagai penyerta maka prognosisnya baik. Tetapi
apabila didapatkan penyakit-penyakit lain seperti jantung, diabetes mellitus dan anemia
makan akan memperburuk keadaan penderita sehingga prognosisnya jelek. 90% dari

26

infeksi HBV pada dewasa akan sembuh sempurna, baik terjadi pada kehamilan
trimester I, II maupun wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester III, infeksi HBV
akan memberikan prognosis yang lebih buruk, didapatkan kematian ibu dan anak,
terutama apabila terjadi hepatitis fulminan. Gizi ibu hamil juga memnentukan, bila
terdapat gizi jelek maka mudah terjadi hepatitis fulminan (Ter Borg et al, 2008)

Anda mungkin juga menyukai

  • Kehamilan Post Term
     Kehamilan Post Term
    Dokumen26 halaman
    Kehamilan Post Term
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Lapsus HBV Dan Kehamilan
    Lapsus HBV Dan Kehamilan
    Dokumen34 halaman
    Lapsus HBV Dan Kehamilan
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • REFERAT
    REFERAT
    Dokumen55 halaman
    REFERAT
    satriotrihadmoko
    Belum ada peringkat
  • Bab 1 H
    Bab 1 H
    Dokumen2 halaman
    Bab 1 H
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Lapsus TBC
    Lapsus TBC
    Dokumen49 halaman
    Lapsus TBC
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1, 2 Dan Dapus
    Bab 1, 2 Dan Dapus
    Dokumen23 halaman
    Bab 1, 2 Dan Dapus
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Cor Pulmon Ale
    Cor Pulmon Ale
    Dokumen29 halaman
    Cor Pulmon Ale
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Tonsilitis Kronis
    Tonsilitis Kronis
    Dokumen18 halaman
    Tonsilitis Kronis
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Diare
    Kuesioner Diare
    Dokumen5 halaman
    Kuesioner Diare
    tnt_im1885
    100% (1)
  • PPT
    PPT
    Dokumen11 halaman
    PPT
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • DMT2
    DMT2
    Dokumen19 halaman
    DMT2
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Skillab Palpitasi
    Skillab Palpitasi
    Dokumen36 halaman
    Skillab Palpitasi
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Cirri Kepribadian Individu Yang Mudah Terjerat Narkoba
    Cirri Kepribadian Individu Yang Mudah Terjerat Narkoba
    Dokumen1 halaman
    Cirri Kepribadian Individu Yang Mudah Terjerat Narkoba
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen38 halaman
    Laporan Kasus
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kimia1
    Laporan Kimia1
    Dokumen3 halaman
    Laporan Kimia1
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Thypoid 2
    Thypoid 2
    Dokumen20 halaman
    Thypoid 2
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Belibis A17 Demam Tifoid
    Belibis A17 Demam Tifoid
    Dokumen28 halaman
    Belibis A17 Demam Tifoid
    Billy Sangpengendaramerah
    Belum ada peringkat
  • Ikterus Juk
    Ikterus Juk
    Dokumen34 halaman
    Ikterus Juk
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    Dokumen24 halaman
    LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Esai HIV
    Esai HIV
    Dokumen6 halaman
    Esai HIV
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Kasus 1
    Kasus 1
    Dokumen2 halaman
    Kasus 1
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Cor Pulmon Ale
    Cor Pulmon Ale
    Dokumen29 halaman
    Cor Pulmon Ale
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    Dokumen24 halaman
    LAPORAN KASUS Demam Berdarah Gita
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • DMT2
    DMT2
    Dokumen11 halaman
    DMT2
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Resume Sken 4
    Resume Sken 4
    Dokumen61 halaman
    Resume Sken 4
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat
  • Resume 16-C1 2008
    Resume 16-C1 2008
    Dokumen91 halaman
    Resume 16-C1 2008
    Dian Muflikhy Putri
    Belum ada peringkat