Anda di halaman 1dari 3

Problematika Penahanan Dan Reformasi KUHAP

Oleh : F.Willem Saija.

Penahanan pimpinan KPK non aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah
beberapa waktu telah menuai keprihatinan dan kecaman berbagai elemen masyarakat.
Beragam pendapat pro dan kontra atas penahanan itu mendominasi berita utama di berbagai
media massa. Bahkan Presiden pun turun tangan dengan membentuk Tim Independen
Verifikasi Fakta terkait kasus mantan petinggi KPK yang diduga melakukan tindak pidana
penyalahgunaan wewenang dan penyuapan. Kini kedua mantan pimpinan KPK itu sudah
ditangguhkan penyidik. Namun masih menyisahkan pertanyaan, adakah masalah dengan
penahanan itu? Tulisan ini tidak bermaksud menilai keabsahan tindakan penyidik pada kasus
itu, tetapi lebih menyoroti aturan syarat penahanan yang menjadi landasan hukum bagi aparat
penegak hukum dalam proses peradilan pidana.
Seperti diketahui, pasal 7 ayat (1) butir dan pasal 20 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberi kewenangan kepada penyidik untuk
menahan tersangka yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
Selain penyidik, penuntut umum dan hakim juga berwenang menahan tersangka/terdakwa
(pasal 20 ayat 2 dan 3). Syarat penahanan pun sudah ditentukan secara limitatif yaitu syarat
subjektif : ada kekhawatiran terdangka melarikan diri, merusak/menghilangkan barang bukti
dan atau mengulangi tindak pidana (pasal 20 ayat 1). Syarat objektif : dikenakan pada tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan pasal-pasal tertentu
dalam KUHP maupun diluarnya yang ditentukan pasal 21 ayat 4 butir b.
Syarat diatas nampak mudah dipahami dan terkesan tidak memerlukan penafsiran.
Bahkan dalam penjelasan pasal tersebut, disebutkan “cukup jelas”. Pertanyaannya, apakah
memang demikian? Harus diakui bahwa dalam praktek, ketentuan pasal 20 ayat (1) yang
memuat syarat subjektif sangat elastis sifatnya, cenderung digunakan sesuai persepsi dan
kemauan penegak hukum. Hal ini paling sering menimbulkan rasa ketidakadilan bagi
pencari keadilan. Tentu saja sikap penegak hukum itu tidak dapat begitu saja disalahkan
sebab syarat demikian pada dasarnya dapat ditafsirkan seperti itu. Disisi lain tersangka
mungkin berpendapat sebaliknya dilihat dari sisi keberadaannya yang responsif dalam proses
pemeriksaan. Bercermin dari kasus penahanan Bibit- Chandra maupun kasus penahanan lain
yang sering menjadi polemik maka ke depan diperlukan langkah konkrit pada tataran regulasi
yakni pembaruan KUHAP. Hal ini didasari pemikiran bahwa KUHAP yang kini menjadi
payung hukum beracara dalam proses peradilan pidana sudah tidak mampu menampung
dinamika hukum dalam masyarakat karena telah berusia lebih dari seperempat abad. Solusi
ini penting untuk mencegah terulangnya kasus penahanan kontroversial yang mungkin
terjadi dimasa mendatang sekaligus lebih menjamin kepastian hukum.
Pertama, syarat penahanan perlu dirumuskan lebih jelas dan terukur. Jadi ukurannya
lebih objektif dikaji dari aspek hukum maupun rasa keadilan. Hal ini penting untuk
menghindari tafsiran bersifat subjektif. Misalnya syarat keseimbangan kepentingan hukum
dan keadilan dari sisi penegak hukum yang mewakili kepentingan umum maupun tersangka
selaku individu yang dijamin hak asasinya sesuai asas praduga tak bersalah pada proses
peradilan pidana yang adil dan fair. Bahwa upaya hukum penahanan tidak selalu harus
dilihat dari sisi kewenangan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan tetapi
dari sisi kondisi situasional tersangka/terdakwa. Seperti sikap dan iktikad baik tersangka

1
dalam proses pemeriksaan.. Tersangka yang kooperatif mungkin menjadi pertimbangan
untuk tidak dikenakan penahanan. Selain itu perlu rumusan mengenai kelayakan tersangka
yang patut ditahan, tetapi karena penilaian subjektif penegak hukum sehingga tidak ditahan.
Sebaiknya diformulasikan persyaratan yang dapat menjadi acuan aparat penegak hukum
seperti “sensivitas rasa keadilan masyarakat”. Tentu ini tidak mudah menilainya, namun
aparat penegak hukum diharapkan dapat menangkap “sinyal keadilan” ditengah arus
informasi dan teknologi yang begitu cepat.
Kedua, perlu pengaturan mengenai prinsip penahanan yang menjadi rujukan nilai
keadilan dalam proses hukum. Prinsipnya penahanan merupakan pembatasan hak asasi
seseorang, karena itu harus dilakukan secara hati-hati dan selektif. Jadi meskipun tersangka
yang melakukan tindak pidana dan diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
sehingga memenuhi syarat objektif untuk ditahan (Pasal 21 ayat 1 UU No.8 Tahun 1981)
tetapi mengingat sifat kehati-hatian terkait pembatasan kemerdekaan dan hak asasi maka
seyogianya dipertimbangkan urgensi penahanan. Artinya tidak selalu harus dilakukan
penahanan. Contoh pada kasus kekerasan dalam keluarga, suami memukul isteri. Kasus ini
akhirnya masuk ranah hukum. Secara yuridis, perbuatan suami dapat dikenakan pasal 44 ayat
(1) UU No.23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang ancaman
pidananya 5 tahun. Dari sisi norma hukum jika suami ditahan, tentu ini sah-sah saja karena
telah memenuhi syarat objektif. Tetapi bukankah dengan penahanan itu berpotensi
menimbulkan beban psikologis yang berdampak pada keretakan rumah tangga dengan akibat
fatal berupa perceraian? Memang pada tindak pidana/kejahatan berat seperti korupsi,
terorisme, narkotika, pencucian uang, illegal logging, pembunuhan, perkosaan dan lain-lain
yang menusuk rasa keadilan masyarakat, penahanan merupakan hal penting dan tidak bisa
diabaikan. Namun untuk tindak pidana lain (kasuistis) tentu harus dilakukan secara ekstra
hati-hati. Ini dimaksudkan untuk menghindari terabainya kepentingan hukum tersangka atau
kerugian lain.
Ketiga, KUHAP mengatur tiga jenis penahanan yaitu penahanan rumah tahanan
negara (rutan), penahanan kota dan penahanan rumah (pasal 22 ayat 1). Tetapi tidak
mengatur kepada siapa dan kriteria penerapan jenis penahanan itu, kecuali perhitungan
pengurangannya setelah putusan pengadilan. Konsekuensinya aparat hukum cenderung
memilih jenis penahanan urutan pertama yaitu penahanan rutan, padahal sesungguhnya jenis
penahanan ini selalu berpotensi menimbulkan komplikasi hukum, kerugian material maupun
immaterial. Dalam pembaruan KUHAP nanti mungkin dapat dirumuskan pilihan penggunaan
ketiga jenis penahanan itu dan kriteria penerapannya tanpa mengurangi asas equality before
the law. Artinya pada kasus tertentu (kasuistis) pilihan penggunaan jenis penahanan kota atau
rumah mungkin diterapkan secara bijaksana tanpa merugikan kepentingan publik maupun
korban.
Pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa cara pandang aparat penegak hukum dan
masyarakat terhadap penanganan suatu kasus hukum bisa berbeda. Aparat Penegak Hukum
biasanya menggunakan pendekatan legal formal, merujuk pada aturan hukum tertulis demi
menjaga kepastian hukum. Sebaliknya masyarakat akan menilai atau mengukur sesuai
perasaan keadilan yang hidup dan berkembang, tanpa melihat pengaturannya dalam
peraturan hukum. Kewajiban utama setiap insan penegak hukum adalah menegakan
kepastian hukum dan keadilan, tetapi ini bukan hal mudah. Sebab seringkali keduanya tidak
bisa sejalan bahkan berseberangan. Menegakan hukum dengan cara menerapkan aturan
tertulis secara harfiah saja, ada kepastian hukum tetapi belum tentu menjamin rasa keadilan.

2
Sebaliknya menjalankan hukum dengan mengedepankan rasa keadilan semata tanpa
mengacu pada aturan hukumnya, ada keadilan tetapi belum tentu menjamin kepastian
hukum. Yang pasti butuh aparat penegak hukum yang cerdas dan empati agar mampu
menterjemahkan pasal undang-undang yang artificial dan tekstual menjadi hukum yang
berkeadilan. Aparatur hukum memang harus bertindak berlandaskan hukum, jujur dan adil
sesuai sumpah jabatannya. Tetapi yang tidak kalah penting juga adalah pembenahan
substansi hukum yang mendukung tugas pokok penegakan hukum. Dalam konteks ini sangat
diharapkan peran pembuat undang-undang untuk mendesain produk hukum acara pidana
yang mengakomodasi dinamika hukum dengan mengacu pada nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakat melalui perumusan norma hukum yang lebih tegas, jelas dan objektif
sehingga lebih menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan.

Penulis, Hakim Tinggi pada Pengadilan


Tinggi Jayapura.

Anda mungkin juga menyukai