Anda di halaman 1dari 3

Menemukan Kembali Kepribadian Bangsa Indonesia : Pendidikan yang

Terjangkau dan Berprestasi


Oleh Rum Rosyid
Terkait dengan pendanaan, selain dana dari sumber yang sudah lazim, sekolah/lembaga
pendidikan dapat mengembangkan dana dari donatur (infaq-shadaqah), zakat, dan wakaf
(termasuk wakaf media pembelajaran, buku perpustakaan, dan fasilitas masjid).
Pendanaan model ini bisa diterapkan khususnya pada madrasah atau sekolah agama
apalagi keluhan madrasah yang selama otonomi daerah diibaratkan (Kompas, 11
September 2004: 10) tak lebih dari anak tiri bagi pemerintah daerah dan tak lebih dari
anak angkat bagi pemerintah pusat.
Pendidikan yang murah adalah pendidikan yang berprestasi. Prestasi ini bisa kita capai
dengan kerja keras, komitmen yang tinggi, dan kerja sama dengan berbagai pihak
termasuk pemerintah. Dukungan politik dan semakin kondusifnya peran politik
masyarakat di era reformasi ini prestasi sekolah atau lemabaga pendidikan bisa lebih
mudah direalisasikan.
Sepuluh alternatif tersebut masih perlu didiskusikan dan dilengkapi.
1. Memotong gaji memberikan kesan pemaksaan. Pemaksaan memberikan efek kurang
positif dalam pendidikan. Sebagai alternatif bisa dilakukan sosialisasi zakat profesi dan
zakat semua penghasilan yang diperoleh oleh pejabat dan tenaga profesional.
2. Menerapkan konsep bahwa bagi orang yang telah membayar zakat di atas bisa
dimasukkan sebagai bagian dari pembayaran pajak. Dengan ikatan spiritual
dimungkinkan para pengusaha lebih mudah untuk mengeluarkan dana pendidikan.
3. Melakukan kontrol secara komprehensip dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak
yang melakukan korupsi bukan hanya atas anggaran pendidikan tetapi pada semua
anggaran.
4. Memanfaatkan dan mendukung pendidikan keluarga (home schooling) dengan
optimalisasi peran ibu sebagai pendidik anak dan generasi muda.[5]
5. Membangun tradisi keilmuan/akademik di setiap lingkungan sosial dan melengkapi
sarana atau media pendidikan sehingga mudah diakses oleh masyarakat.
6. Optimalisasi fungsi masjid dan perpustakaan. Apabila perpustakaan belum ada bisa
dimachingkan dengan masjid sekaligus upaya pelengkapan buku-buku yang dibutuihkan
dan aktual bagi masyarakat.[6]
7. Membuat kelompok pemikir kependidikan di pusat dan masing-masing daerah yang
bertugas memberikan masukan dan antisipasi terhadap problem-problem kependidikan.
Hal ini karena problem yang akut akan membutuhkan biaya tinggi dan kemudian akan
membebani masyarakat.
8. Mendorong berdirinya sentra-sentra pendidikan masyarakat seperti pesantren dan
madrasah diniyah yang biasanya dikelola dengan kesadaran tinggi dan kemandirian.
9. Memilih pejabat yang berpihak dan bukan yang netral. Memilih pejabat atau pimpinan
yang berkarakter memihak rakyat dan keadilan.

Investasi Bangsa Jangka Panjang

[
[
Bagaimanapun, harus diakui bahwa pendidikan nasional merupakan “investasi” bagi
masa depan bangsa [Suyanto, 2006:xiv]. Melalui pendidikan, masa depan bangsa dapat
dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Dengan dasar ini, kita harus berusaha untuk : Pertama, “mewujudkan sistem
dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak
mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung
jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas
manusia Indonesia”. Kedua, perlu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang
dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam
pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif,
kreatif, dan selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa. Ketiga, mengembangkan
pendidikan yang memanusiakan manusia, pendidikan yang dapat mengembangkan harkat
dan martabat manusia [human dignity], dan mempersiapkan menusia menjadi khalifah
[manizing human]. Keempat, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual
tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai
dari filsafat dan tujuan pendidikan sampai ke manajemen pendidikan, kurikulum, metode
pembelajaran, substansi pengajaran, dan pendanaan pendidikan, sehingga kebijakan
pendidikan kita tidak hanya berada pada tataran “mitos”, tetapi berada pada kebijakan
“kenyataan” yang “riel” yang dapat dievaluasi dan dipertanggungjawabkan.

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan


pendidikan, sampai kapan pun dan di manapun ia berada. Pendidikan sangat penting
artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan
terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing serta memiliki budi pekerti
yang luhur dan moral yang baik.
Profesor Toshiko Kinosita, Guru Besar Universitas Waseda Jepang, mengemukakan
bahwa sumber daya manusia Indonesia masihlah sangat lemah untuk mendukung
perkembangan industri dan ekonomi. Penyebab dasarnya karena pemerintah Indonesia
selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting.
Menurutnya, tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting dikarenakan
masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah,
hanya berorientasi mengejar materi untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah
berfikir panjang dan jauh ke depan.
Bagi para penganut teori “human capital”, sebagaimana dideskripsikan oleh Walter W.
McMahon dan Terry G. Geske dalam bukunya yang berjudul “Financing Education:
Overcoming Inefficiency and Inequity” terbitan University of Illionis, bahwa nilai
penting pendidikan adalah suatu investasi sumber daya manusia yang dengan sendirinya
akan memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Itulah sebabnya investasi
pendidikan yang diperlukan bagi bangsa Indonesia sebenarnya harus terlebih dahulu
mengarah pada pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang super canggih. Berpedoman
pada apa yang telah dicanangkan oleh UNESCO, proses pendidikan pada pendidikan
dasar setidaknya harus bertumpu pada 4 (empat) pilar, yaitu learning to know (belajar
untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be
(belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani
kehidupan bersama).
Oleh karena itu, penting sekali sebagai negara berkembang seperti Indonesia untuk
menentukan metode yang terbaik bagi dunia pendidikannya, yaitu dengan jalan “invest in
man not in building”, sebagaimana telah dibuktikan hasilnya oleh negara Jepang, India,
Korea Selatan, Taiwan, ataupun Malaysia sekalipun dalam dua dekade belakangan ini.
(Wallohu A’lam Bishawab).

Anda mungkin juga menyukai