Anda di halaman 1dari 15

POLITIK PENDIDIKAN INDONESIA

Oleh : Rum Rosyid


Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain
dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human
Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan,
dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia
Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di
bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000),
Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57
negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama
Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53
negara di dunia.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di
Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program
(DP).

Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum
kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi
andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di
lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai
kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan
pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi,
sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada
ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Demikianlah pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini, kebijakan
pendidikan terjebak pada pragmatisme. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian
manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk
mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’
pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan
spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri,
seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau
penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti
menafikkan kajian ilmu tertentu.

Lebih memprihatinkan lagi dari waktu kewaktu pendidikan nasional semakin


menunjukkan kegagalannya dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Yang ada
hanyalah out put dengan outcome rendah, fragmentasi masyarakat ‘sakit’, utamanya
masyarakat yang menderita schizofrenia yakni masyarakat yang tahu hukum tetapi suka
melanggar, tahu larangan tetapi diterjang, dan tahu kewajiban namun senantiasa
ditinggalkan. Pemikiran kritis tentang upaya reengineering pendidikan selalu
dimentahkan dan hanya dianggap sebagai macan kertas. Yang berartipula dunia
pendidikan gagal membangun wawasan kebangsaan.

Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan


nasional telah mengalami tiga kali perubahan. Yang pertama adalah kebijakan pendidikan
di era orde lama ditahun 1954. Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu
nasionalisasi dan ideologisasi. Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena
masa tersebut masa krusial pasca kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah
pada separatisme dan terjadi interplay (tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan
agamis.
Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya
masyarakat yang berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut
sejatinya berupaya menjadi win-win solution dengan mengakomodasi semua
kepentingan. Di sini terjadi konfesi (pengakuan) terhadap keanekaragaman baik budaya,
seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya membangun nasionalisme melalui pendidikan
relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi dengan kebijakan yang lain sehingga
kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.

Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan
dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan
kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada
sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan
tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga
menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat.
Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya
inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa
ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan
inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah,
dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang
tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka
Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai
menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.

Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era
reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada
desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan
secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga
pola yang berjalan adalah bottom-up. Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini
ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk
diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi
telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit
mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang
demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang
masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses
pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini. Dalam
konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik
eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan
kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan peradaban bangsa ini.

Pendidikan Sebagai Soft Power


Istilah soft power telah dipopulerkan sejak penghujung 1980 oleh Joseph S Nye, guru
besar Kennedy School of Government Universitas Harvard, AS. Dalam dua karyanya:
Bound to Lead (1990) dan The Paradox of American Power (2002), Nye lalu
mengembangkan ide soft power ini dan merelevankannya dengan AS.
Adalah Joseph Nye, pemikir yang sangat teguh mengkritik berbagai kebijakan Amerika
Serikat yang selalu melawan gerakan garis keras Islam dengan cara-cara kekerasan
seperti serangan bom ke Irak dan Afgnanistan beberapa tahun lalu. Tokoh intelektual
yang juga menjadi rektor Harvard’s Kennedy School of Government ini sejak awal telah
mewanti-wanti bahwa serangan fisik untuk melawan kaum teroris tidak akan cukup
efektif dalam mencapai tujuan. Ia mengungkapkan soft power sebagai kemampuan
mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi tindakan koersif. Di tataran
hubungan internasional, soft power diawali dengan membangun hubungan kepentingan,
asistensi ekonomi, sampai tukar-menukar budaya dengan negara lainnya.
Penjelasan Nye yang lebih terperinci mengenai soft power ditulisnya secara
komprehensif dalam karyanya: Soft Power: The Means to Success in World Politics
(2004). Dalam buku tersebut Nye mendefinisikan dimensi ketiga kuasa ini sebagai
"kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat
dan mengooptasi pihak lain agar rela memilih melakukan hal yang kita kehendaki tanpa
kita memintanya." (Nye, 2004: 5). Nye menyebutkan bahwa soft power suatu negara
terdapat terutama dalam tiga sumber: kebudayaan, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar
negerinya.

Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen,
dan implikasinya. Soft power berciri mengooptasi dan dilakukan secara tidak langsung,
sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung.
Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan, kebijakan, sementara hard
power antara lain militer, sanksi, uang, suap, bayaran. Karenanya tidak seperti soft power
yang berimplikasi mengooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.

Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditaklukkan pemerintahannya justru menjadi ladang
aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (daily terrorism). Teror yang bagi mereka
dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan
dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang
telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang
tidak kunjung selesai.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan.
Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam
diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang
kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan
oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagian masyarakat
menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan
hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha,
guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka
yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan
publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua
orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh
politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik
dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media
berpolitik adiluhung dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan.
Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.

"Soft power" ialah hegemoni


Paparan di atas menunjukkan bahwa soft power sebetulnya leksikon lain dari apa yang
telah dipopulerkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) tentang hegemoni. Seperti
hegemoni, soft power merupakan upaya halus suatu mekanisme ajakan yang dilakukan
secara simpatik. Baik soft power maupun hegemoni merupakan bentuk mengooptasi
melalui instrumen-instrumen seperti kebudayaan, kebijakan, nilai, dan institusi.
Perbedaan kontras antara soft power dan hegemoni ialah latar belakang pemikirnya:
hegemoni merupakan konsep yang dipopulerkan seorang Marxis Italia dengan upaya
melakukan perlawanan kelas, soft power muncul dari akademisi AS dengan intensi
memberikan strategi-strategi jitu pada AS agar tetap melestarikan hegemoni dan
dominasinya selama ini.
Dengan istilah soft power,Nye ingin menunjukkan kenetralan konsepnya itu dan
berupaya membebaskan stigma menghegemoni yang sejak Gramsci telah dipandang
peyoratif.
AS memang kerap menghegemoni masyarakat dunia dengan jargon membela hak-hak
asasi manusia, demokrasi, kebebasan, dan keterbukaan. Sebagian besar masyarakat dunia
pun tampak terpikat oleh nilai-nilai yang kerap diklaim AS sebagai nilai mereka itu.
Layaknya Alexis de Tocqueville di abad ke-19 yang terpesona oleh "demokrasi di
Amerika", sebagian besar mereka yang pernah studi di AS pun cenderung akan
'terseduksi' AS.
Mantan sekretaris negara AS, Colin Powell, pernah mengakui kenyataan ini. Menurutnya
proses pertukaran budaya lewat program beasiswa belajar merupakan aset yang besar
bagi negerinya, terutama sebagai sarana menjadikan para 'alumni AS' itu sebagai
'diplomat AS' kelak (Nye, 2004: 44).
Tokoh politik Perancis, Hubert Vérdin dan Dominique Moisi, dalam France in an Age of
Globalization (2001) juga mengakui 'efek Tocqueville' dalam program beasiswa ini, yang
menjadikan AS mudah menciptakan hasrat-hasrat masyarakat dunia melalui citra
globalnya.
Penyebaran hasrat dan upaya penciptaan citra juga dilakukan pusat-pusat kebudayaan
asing di negeri kita, seperti CCF (Prancis), Goethe Institut (Jerman), British Council
(Inggris), Erasmus Huis (Belanda), dan lain-lain. Pusat- pusat kebudayaan ini
berkepentingan mensosialisasikan budaya, seni, citra, nilai, dan kebijakan negerinya
kepada masyarakat kita. Dengan berbagai cara lembaga-lembaga tersebut melakukan
'seduksi budaya': kursus bahasa, pemutaran film, pertunjukan seni, pemberian beasiswa,
dsb. Selain itu, media-media mereka memainkan peran penting dalam 'menggiring opini
publik', seperti dilakukan CNN, BBC, VOA, DW, dan lainnya.

Meskipun belakangan soft power menjadi arus global, jauh hari Jepang telah
menerapkannya untuk membangun kembali hubungan baik dengan negara-negara bekas
jajahan termasuk Indonesia. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi
atau pinjaman lunak untuk memikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan
perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Jepang meningkat.
Misal, di bidang pendidikan Jepang memberikan beasiswa untuk belajar di universitas-
universitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang sebagai sarana infiltrasi
budaya. Ini berbeda dengan Amerika yang menerapkan soft power berupa tindakan-
tindakan responsif, rhetorical support untuk demokrasi dan HAM, penguasaan opini
publik dan kredibilitasnya untuk menguasai percaturan politik dunia.
Berbeda dengan revolusi industri di Eropa, peristiwa demonstrasi mahasiswa
memanfaatkan kunjungan PM Kakuei Tanaka dan kerusuhan sosial anti-modal asing
yang berubah menjadi Malari 1974 bisa dikatakan awal investasi Jepang ke Indonesia
dalam kontek IGGI, CGI, dan pinjaman bilateral. Indonesia banyak memetik manfaat
selama 50 tahun hubungan bilateral meskipun Indonesia menjadi objek soft power
Jepang.
Bantuan Jepang untuk pembangunan semasa Repelita tidak bisa dipungkiri, meskipun
melahirkan konsekuensi pemasokan LNG sampai sekarang. Penandatangan EPA
beberapa waktu lalu merupakan perspektif baru hubungan Indonesia-Jepang. EPA
merupakan perjanjian ekonomi yang konprehensif yang memuat kesepakatan
pengurangan atau penghapusan tarif impor, meningkatkan kapasitas investasi Jepang di
Indonesia, dan program-program capacity-building untuk indusri dan SDM.

Proses perdamaian di Nangroe Aceh Darusalam membuktikan bahwa kekuatan soft


power bisa lebih efektif menanggulangi konflik. "Keseluruhan proses perdamaian di
Aceh memerlukan biaya yang jauh lebih kecil daripada yang dikeluarkan Amerika
Serikat di Irak perjamnya," kata Ketua Misi Pemantau Pemilu Uni Eropa Glyn Ford saat
konferensi pers tentang Pilkada Aceh di Hotel Mandarin Jakarta, Rabu (13/12).
Pernyataan Ford yang sebelumnya diklaim sebagai pernyataan pribadi ini mendapat
dukungan dari Jurgen Schroder, salah satu anggota parlemen Uni Eropa yang juga hadir
dalam kesempatan ini. "Itu bukan hanya pernyataan Glyn, tapi juga pernyataan kami,"
ucap Schroder mewakili parlemen Uni Eropa.
Proses perdamaian di Aceh menurut Uni Eropa telah berjalan dengan sukses dan lancar.
"Pilkada telah berjalan lancar, pemimpin daerah telah terpilih dengan damai, ini berarti
proses perdamaian sedikit lagi mencapai puncaknya," ucap Schroder. Semua itu
menurutnya merupakan bukti dari komitmen masyarakat Aceh akan integrasi dan
konsolidasi.

Oleh karena itu, walaupun AMM akan segera dibubarkan, Uni Eropa akan tetap
bekerjasama dengan Aceh. Selama ini masyarakat Aceh memiliki pendapat yang baik
terhadap AMM dan Peter Feith, oleh karena itu apapun yang terjadi ke depan mereka
akan tetap berkomitmen untuk membantu Aceh. "Ada ataupun tidak AMM, Peter Feith
dan orang-orang yang terlibat akan selalu bersedia membantu jika Aceh membutuhkan,"
ucap Glyn. Dia juga menyampaikan hal yang sama tentang komitmen Uni Eropa di Aceh.

Indonesia dan "soft power"


Setelah perang di Afganistan dan Irak, dan berlangsung ketegangan strategis di berbagai
penjuru dunia termasuk Semenanjung Korea, Presiden SBY memandang perlu
mengingatkan masyarakat dunia tentang pentingnya elemen power yang lain, selain
kekuatan militer dan diplomasi koersif (apa yang disebut hard power). Berbeda dari hard
power yang mengandalkan kekuatan, konsep soft power mengandalkan pendekatan
persuasif dengan menggunakan aset ekonomi, kemasyarakatan, budaya, humaniter,
pendidikan, iptek, dan sebagainya.

Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya
mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi
di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden
SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam
kiprahnya di kancah internasional.
Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY
menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi,
AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no
shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business,
education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal
to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power
charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes
resistance and, sometimes, resentment."
Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi,
dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power
yang perlu dikembangkan AS di masa depan.
Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai
pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond
yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun
panggung.

Dalam konferensi internasional komunitas pertahanan (dikenal dengan "The Shangrila


Dialogue") di Singapura 3-5 Juni lalu, PM Lee Hsien Loong juga menyerukan agar AS
lebih menekankan soft power. PM Lee Hsien Loong menyatakan, AS perlu lebih
menggunakan potensi soft power-nya dalam menarik opini internasional, memperbaiki
mispersepsi, serta membangun kepercayaan dan kredibilitasnya, khususnya di kalangan
dunia Islam. Keesokan harinya Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld dalam
konferensi yang sama menyatakan sepenuhnya setuju, AS perlu mengedepankan soft
power dalam pergaulan internasionalnya meski tetap bersikeras bahwa opsi militer tetap
merupakan opsi terakhir. Diskusi setelahnya dengan Menteri Pertahanan Jepang dan
Menteri Pertahanan Korea Selatan juga diselingi tema soft power. Tampak, soft power
akan menjadi tema yang kian disorot dalam wacana strategis internasional.

Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis
dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu
dihantui politik kekerasan. Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu
sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan
potensi soft power di masa datang. Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas
internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan
soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.
Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional.
Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power
menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif,
namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."
Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena
tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam
pergaulan internasional. Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional
lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor
kekuatan militer.

Reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, misalnya,


menempatkan kita sebagai negara panutan dalam pergaulan dunia. Status Indonesia
sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar memberi kita kredibilitas dalam
menjembatani antara dunia Islam dan Barat. Keberhasilan kita membantu proses
perdamaian untuk konflik Kamboja, Filipina Selatan, dan Laut Cina Selatan
meningkatkan reputasi kita sebagai juru damai. Potensi pasar kita dengan jumlah
penduduk 220 juta juga banyak diperhitungkan orang. Sementara politik bebas aktif kita
mengukuhkan citra Indonesia sebagai negara independent-minded tidak terikat siapa pun.
Dan jangan lupa, ketangguhan dan ketabahan rakyat Indonesia yang jatuh bangun setelah
krisis moneter, kerusuhan Timor Timur 1999, konflik etnis dan separatis, serangan teror,
tsunami dan sebagainya banyak diperhatikan bahkan dikagumi masyarakat internasional.
Berbicara ihwal contoh soft power, saya teringat kunjungan Presiden SBY ke Australia
beberapa waktu lalu. Presiden SBY datang tidak dengan membusungkan dada atau
berteriak lantang, tetapi dengan apa yang dinamakan seorang wartawan Australia
membawa charm offensive, menampilkan sosok yang simpatik, rendah hati, bersahabat,
dan penuh ide.
Dalam berbagai kesempatan-gayanya yang rileks terhadap PM John Howard, kiprahnya
menjemput jenazah perwira Australia yang gugur di Nias di bandara Sydney, kunjungan
ke makam pahlawan, pidato di Parliament House-Presiden SBY dalam sekejap mengubah
citra Indonesia di mata mainstream Australia, dan mengubah suasana dan substansi
hubungan RI-Australia. Akibat kunjungan itu, hubungan RI-Australia dapat dikatakan
mencapai titik tertinggi, yang ditandai pencanangan Comprehensive Partnership antara
kedua negara. Dan Presiden SBY konon dianggap sebagai salah satu negarawan asing
terpopuler di Australia. Saya teringat komentar Presiden saat saya tanyakan apa yang
memberi nilai tambah bagi soft power suatu negara. Jawab Presiden, "Yang penting kita
menjadi bangsa yang dihormati, bukan ditakuti, bangsa yang disegani, bukan dihindari;
bangsa yang didengar suaranya karena kita menyuarakan sesuatu yang bernilai."

Melawan Keyakinan Dengan Keyakinan


Perang pemikiran (ghaswul fikri) adalah tema kehidupan modern ketika demokrasi yang
dibawanya menyediakan ruang-ruang publik (public sphere) yang memungkinkan setiap
individu dapat menyalurkan pemikirannya. Kontestasi wacana akan menguji mana ide-
ide yang paling menarik dan mampu menjelaskan persoalan yang ada di masyarakat.
Dalam pengertian itu, perang melawan terorisme bukanlah benturan peradaban (clash of
civilization)—sebagaimana dikatakan Huntington yang lebih mewakili ketakutan
(oknum) penguasa Amerika Serikat sendiri. Perang terhadap terorisme harus dimaknai
sebagai perang sipil di dalam peradaban manapun antara kaum ekstrimis yang
menggunakan kekerasan untuk memaksakan visi dan tujuan mereka dengan mayoritas
kaum moderat yang menginginkan pekerjaan pendidikan, pelayanan kesehatan dan nasib
yang diusahakan sesuai dengan keyakinan yang dipraktekkan. Perang terhadap teror tak
akan menang jika pemikiran yang menginginkan keadilan dan demokrasi keyakinan tidak
menang.

Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena
mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu
memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik,
tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang
menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh
kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena
memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan
demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat.
Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan
sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat.

Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik
keamanan (hard power). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat
tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas dan cuma
menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu
membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah,
potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu
banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut,
dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran.
Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu.
Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin,
sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi
pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian
masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para
pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru
ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk
pendekatan non-militer (Nye, 2004).

Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan
bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting
untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya
buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik
pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini,
bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini? Mengatakan bahwa agenda
kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau
mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa
merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output
dunia pendidikan.
Oleh karenanya, semenjak negara Indonesia berdiri, founding fathers bangsa ini sudah
menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga
negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan
mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah
UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Problema-problema pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan


tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, nampak tidak memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan yang berkembang. Kebijakan dan perubahan-perubahan pendidikan kita,
kurang memliki “prioritas” yang ingin dicapai. Katakan saja, persoalan dana pendidikan,
persoalan manajemen pendidikan dengan konsep manajemen berbasis sekolah [MBS]
dan akreditasi, kebijakan perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP, persoalan
kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen, ujian nasional yang menuai protes dari siswa,
yang berdampak penyelesaian sekolah di Paket C. Hal yang sangat menyedihkan dalam
kebijakan pendidikan di negara yang kita cintai ini.

Indikator ini menunjukan kurang terarahnya kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa


“pakar” dan “pemerhati” pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu
dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” dan kurang menggambarkan
rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas persoalan pendidikan yang ingin dicapai
dalam jangka waktu tertentu. Sebenarnya, ada beberapa persoalan kuantitatif pendidikan
yang perlu segera ditangani secara bertahap dan tersistem (Suyanto, 2004).
Pertama, rendahnya partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia prasekolah (5 - 6
tahun) adalah 8.259.200 yang baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%). Penduduk usia
sekolah dasar (7 - 12 tahun) 25.525.000, baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%).
Jumlah usia SMP (13-15 tahun) 12.831.200, baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%).
Penduduk usia SMA (16 - 18 tahun) 12.695.800, baru tertampung 4.818.575 anak
(37,95%). Penduduk usia pendidikan tinggi (19 - 24 tahun) 24.738.600, baru tertampung
3.441.429 orang (13,91%).
Kedua, banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK
sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi
pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Sebanyak 1.234.927 guru SD yang sesuai
dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%), sedangkan 466.748 guru
SMP, yang sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08). Guru
sekolah menengah (377. 673), yang terbilang layak baru 238.028 orang (63,02%),
sedangkan dosen perguruan tinggi (210.210), yang sesuai dengan kualifikasi
pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%).
Ketiga, tingginya angka putus sekolah. Angka putus sekolah SD 2,97%, SMP 2,42%,
SMA 3,06%, dan PT 5,9%.
Keempat, banyak ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar. Ruang kelas TK
yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik 77.399 (82,67%), kelas SD
(865.258), yang masih baik hanya 364.440 (42,12%). Ruang kelas SMP (187.480), yang
masih baik 154.283 (82,29 %). Ruang kelas SMA (124.417) yang kondisinya masih baik
115.794 (93,07%).
Kelima, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf. Dari penduduk total
211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas 23.199.823 (10,99%).
Terlepas dari persoalan kuantitatif tersebut, dalam konteks pembangunan sektor
pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses
pendidikan. Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para
pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan
secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan
adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan penghargaan dan kesejahteraan yang layak
atas pengabdian dan jasanya. Sehingga, setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang
pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik.

Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya
adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari
keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan
pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan
“realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem
pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain
program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab
paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global
yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana,
Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.] Untuk itu, arah kebijakan pendidikan kedepan,
seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” perubahan pendidikan
di Indonesia.

Kedua, masalah-masalah cabang, yaitu berbagai problem yang berkaitan aspek


praktis/teknis yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, seperti mahalnya
biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya sarana fisik, rendahnya
kesejahteraaan guru, dan sebagainya. Tidak adanya "national assessment" untuk
menggambarkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang didasarkan pada suatu
ukuran kemajuan tertentu [benchmark] secara terbuka [accountable], sehingga publik
dengan mudah mengikuti dan “mengevaluasi” kemajuan pendidikan yang ada. Kedua,
program-program pendidikan yang dilaksanakan tidak diturunkan dari tujuan-tujuan yang
mengacu pada hasil-hasil yang memiliki kriteria pencapaian yang jelas dan dapat terukur
realisasinya [Ade Cahyana, From: http://www. depdiknas. go. id/Jurnal/.]

Walhasil, jika pendidikan kita diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah
yang sampai kapan pun tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah
mendasar/paradigma). Di samping salah jalan, mobil itu mengalami kerusakan dan
gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes, mesinnya bobrok, AC-nya mati, lampu
mati, dan jendelanya rusak (masalah cabang/praktis).

Gambaran di atas, menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang begitu


dilematis. Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol setinggi-
tingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan negara-negara lain.
Sementara disisi lain, dana operasional yang tersedia untuk bidang pendidikan begitu
terbatas. Perlu diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasikan sejumlah
jenis bantuan untuk dana operasional pendidikan [sekolah]. Tetapi bantuan tersebut
hanya cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan.
Sementara kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum
optimal dan hal ini berakibat pada terhambatnya upaya peningkatan mutu pendidikan itu
sendiri. (Wallahu’alam Bishawab).

Kepustakaan
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm,
sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
LP3ES, Jakarta.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Musa, Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis,
dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-
drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta.
--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta.
----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara
Mitos dan Realitas.
Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.
Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu,
23/8/ 2003.
Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP
Muhammadiyah, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan
Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.
Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai
reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.
Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
Tempo, 7 Januari 2001
Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24
Februari 1999
Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur
2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
RUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,
2007
BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007
Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08
Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,
Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)
Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran
Rakyat Bandung , October 05, 2006
Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by
rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of
International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of
International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,
US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no.
2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in
http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher
Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and
Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November
2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of
the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US
Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2,
June 2000.

Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.
Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm.
Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei
2003.
Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,
2008
Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm
Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004
Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari
Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003
St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA
PEMBARUAN DAILY , 2002
Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,
Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB
"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006
Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-
pendidikan-dan-pendidikan.html
Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007
Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,
Wednesday, 13 August 2008 07:15
Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),
Sabtu, 2007 Agustus 25
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05
Mei 2004
Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05
Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat
Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997
Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003
Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007
Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program
Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and
application. Columbus,OH : Pearson. 2005
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-
Kencana
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in
Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.
UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.
Oxford,NY : Oxford University Press. 1998
Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi
Pendidikan Indonesia
NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991
Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,
1938
Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago
and London, The University of Chicago Press.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary
Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-
system II. Edition: 2. Academic Press, 1980
Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta,
AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication,
London
Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008
Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992
Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.
Edition: 2. Basic Books, 1958
Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik
Indonesia kontemporer. Media Wacana, 2006
Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.
Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta
Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan
sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992
FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02
August 2008

Anda mungkin juga menyukai