Semua realitas di atas bukannya tanpa sebab, sebab di dunia ini selalu berlaku hukum
kausalitas, ada sebab pasti ada akibat. Politik pendidikan nasional sejatinya memberi
andil, untuk tidak dikatakan menjadi penyebab utama, karena apa yang terjadi di
lapangan adalah manifestasi dari regulasi yang ada.
Setiap undang-undang sistem pendidikan nasional pastilah tidak steril dari berbagai
kepentingan, utamanya kepentingan pragmatis dan kepentingan ideologis. Kepentingan
pragmatis dapat berupa upaya mempertahankan kekuasaan atau mengeruk materi,
sedangkan kepentingan ideologis berkaitan dengan upaya menggiring masyarakat pada
ideologi atau paham tertentu yang dikehendaki penguasa.
Demikianlah pendidikan sejati semakin sulit ditemukan di negeri ini, kebijakan
pendidikan terjebak pada pragmatisme. Pendidikan sejati sebagai sebuah pemanusian
manusia semakin tidak terdengar gaungnya. Yang tersisa hanyalah pendidikan untuk
mengisi job tertentu di industri atau birokrasi. Dunia pendidikan kini ‘bertekuk lutut’
pada market demand, permintaan pasar. Akibatnya sering terjadi booming lulusan dengan
spesifikasi atau jurusan yang sama, yang pada akhirnya merugikan jurusan itu sendiri,
seperti ditutup atau dihapusnya jurusan tertentu di perguruan tinggi. Penutupan atau
penghapusan jurusan sebenarnya adalah sesuatu yang aneh karena kebijakan ini berarti
menafikkan kajian ilmu tertentu.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang kedua adalah dimasa orde baru, yakni dengan
dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan
kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada
sentralisasi dan birokratisasi. Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan
tangan dari pusat sangat kental. Orang-orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga
menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu bertaklid buta terhadap kepentingan pusat.
Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya daya kritis, daya kreatif dan daya
inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho dhawuh’. Bahkan sistem pada masa
ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau cendekia yang idealis, kritis, dan
inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah,
dan kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang
tersisa hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka
Tunggal Ika yang sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai
menjadi sesuatu entitas yang seragam, ya serba seragam.
Kebijakan politik pendidikan nasional yang ketiga adalah kebijakan pendidikan di era
reformasi. Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional N0 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada
desentralisasi dan demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan
secara top-down diubah dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga
pola yang berjalan adalah bottom-up. Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini
ternyata belum memberi angin segar bagi dunia pendidikan, bahkan banyak potensi untuk
diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi dan desentralisasi.Demokrasi
telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit
mengakses pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang
demokratis dan mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang
masih terpusat, kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses
pendidikan semakin memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini. Dalam
konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik
eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan
kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan peradaban bangsa ini.
Perbedaan antara soft power dan hard power dapat dilihat dalam tiga hal: ciri, instrumen,
dan implikasinya. Soft power berciri mengooptasi dan dilakukan secara tidak langsung,
sedangkan hard power bersifat memaksa atau memerintah dan dilakukan secara langsung.
Instrumen soft power berupa nilai, institusi, kebudayaan, kebijakan, sementara hard
power antara lain militer, sanksi, uang, suap, bayaran. Karenanya tidak seperti soft power
yang berimplikasi mengooptasi, hard power kerap mengundang munculnya perlawanan.
Ramalannya terbukti. Irak yang telah ditaklukkan pemerintahannya justru menjadi ladang
aktivitas kaum teroris yang beraksi tiap hari (daily terrorism). Teror yang bagi mereka
dimaksudkan untuk menandai perlawanan terhadap kaum “kafir” yang disimbolkan
dengan Amerika dan pemerintahan anteknya. Ini membuktikan bahwa kekerasan yang
telah mengawali setiap tindakan untuk meraih tujuan akan berujung pada kekerasan yang
tidak kunjung selesai.
Setiap kesuksesan di awali dan diakhiri dengan pendidikan. Kesuksesan dalam politik,
ekonomi, sosial, budaya, dan agama dibangun di atas pondasi pendidikan.
Kesuksesan tanpa proses pendidikan adalah hayalan. Hayalan yang berkembang dalam
diri dan memiliki gap yang besar akan membuat stress atau bahkan gila. Pendidikan yang
kurang memadai jika dibarengi dengan tumpukan hayalan sebagaimana yang ditawarkan
oleh sinetron dan iklan di media cetak dan elektronik akan membuat sebagian masyarakat
menjadi benar-benar gila. Gila jabatan, gila harta, gila kecantikan, dan lainnya. Bukan
hanya rakyat jelata yang terserang penyakit ini tetapi juga politisi, penguasa, pengusaha,
guru, dosen, dan kyai. Trend kegilaan ini bisa ditemukan dalam kehidupan nyata. Mereka
yang mestinya digugu dan ditiru malah membuat adegan saru dan menjadi tontonan
publik. Pertikaian karena rebutan “roti” kejayaan menunjukkan bahwa mereka tidak akan
pernah meraih kejayaan itu.
Pendidikan merupakan soft power, kekuatan sejati yang tidak kasat mata, tetapi semua
orang memerlukan dan merasakan kekuatannya. Pendidikan memberikan pengaruh
politis yang amat besar dalam kehidupan manusia. Manusia yang terdidik dengan baik
dan sehat ia akan mampu mengkreasi diri untuk mengubah pendidikan menjadi media
berpolitik adiluhung dan sekaligus mampu mendidik politik lewat pendidikan.
Pendidikan politik dan politik pendidikan bisa berintegrasi, interkoneksi, tetapi juga bisa
bermusuhan.
Meskipun belakangan soft power menjadi arus global, jauh hari Jepang telah
menerapkannya untuk membangun kembali hubungan baik dengan negara-negara bekas
jajahan termasuk Indonesia. Jepang menggunakan soft power berupa bantuan ekonomi
atau pinjaman lunak untuk memikat hati negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan
perjanjian bilateral yang mengikat sehingga ketergantungan kepada Jepang meningkat.
Misal, di bidang pendidikan Jepang memberikan beasiswa untuk belajar di universitas-
universitas di Jepang. Juga, pembuatan pusat kebudayaan Jepang sebagai sarana infiltrasi
budaya. Ini berbeda dengan Amerika yang menerapkan soft power berupa tindakan-
tindakan responsif, rhetorical support untuk demokrasi dan HAM, penguasaan opini
publik dan kredibilitasnya untuk menguasai percaturan politik dunia.
Berbeda dengan revolusi industri di Eropa, peristiwa demonstrasi mahasiswa
memanfaatkan kunjungan PM Kakuei Tanaka dan kerusuhan sosial anti-modal asing
yang berubah menjadi Malari 1974 bisa dikatakan awal investasi Jepang ke Indonesia
dalam kontek IGGI, CGI, dan pinjaman bilateral. Indonesia banyak memetik manfaat
selama 50 tahun hubungan bilateral meskipun Indonesia menjadi objek soft power
Jepang.
Bantuan Jepang untuk pembangunan semasa Repelita tidak bisa dipungkiri, meskipun
melahirkan konsekuensi pemasokan LNG sampai sekarang. Penandatangan EPA
beberapa waktu lalu merupakan perspektif baru hubungan Indonesia-Jepang. EPA
merupakan perjanjian ekonomi yang konprehensif yang memuat kesepakatan
pengurangan atau penghapusan tarif impor, meningkatkan kapasitas investasi Jepang di
Indonesia, dan program-program capacity-building untuk indusri dan SDM.
Oleh karena itu, walaupun AMM akan segera dibubarkan, Uni Eropa akan tetap
bekerjasama dengan Aceh. Selama ini masyarakat Aceh memiliki pendapat yang baik
terhadap AMM dan Peter Feith, oleh karena itu apapun yang terjadi ke depan mereka
akan tetap berkomitmen untuk membantu Aceh. "Ada ataupun tidak AMM, Peter Feith
dan orang-orang yang terlibat akan selalu bersedia membantu jika Aceh membutuhkan,"
ucap Glyn. Dia juga menyampaikan hal yang sama tentang komitmen Uni Eropa di Aceh.
Presiden SBY memilih tempat menarik untuk pertama kali menyampaikan pandangannya
mengenai soft power, di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat. Dalam pidato resmi
di depan elite politik AS yang diorganisasi US-Indonesia Society (USINDO), Presiden
SBY mengimbau AS agar lebih menekankan soft power ketimbang hard power dalam
kiprahnya di kancah internasional.
Di depan anggota Kongres, pejabat tinggi, pengusaha, dan pakar AS, Presiden SBY
menyatakan, meski AS adalah negara adidaya yang kekuatan militernya tidak tertandingi,
AS perlu lebih memproyeksikan soft power ketimbang hard power: "The US has no
shortage of soft power: in terms of culture, values, sports, entertainment, business,
education, science and technology, living standard, media, the US has tremendous appeal
to the international community." SBY mengingatkan, "Remember: the use of soft power
charms and disarms. Hard power, on the other hand, if it is used incorrectly, provokes
resistance and, sometimes, resentment."
Presiden SBY juga mengingatkan, governance tidak kalah penting dibanding demokrasi,
dan toleransi-bahkan kadang lebih penting-dari freedom. Itulah bentuk-bentuk soft power
yang perlu dikembangkan AS di masa depan.
Uniknya, pidato SBY itu mendapat apresiasi luar biasa dari elite politik AS. Seusai
pidato, Presiden SBY mendapat standing ovation hadirin, termasuk Senator Kitt Bond
yang langsung bangkit dari kursi, memberi selamat Presiden SBY yang baru turun
panggung.
Banyak kalangan menilai pesan Presiden Indonesia di Washington DC itu amat strategis
dan fundamental, khususnya di tengah situasi dunia yang terus bergolak dan selalu
dihantui politik kekerasan. Namun, pesan yang terkandung dalam pidato SBY itu
sebenarnya juga berlaku bagi diri kita, yakni Indonesia perlu terus mengembangkan
potensi soft power di masa datang. Dalam pemikiran Presiden SBY, stabilitas
internasional akan lebih terjamin jika negara-negara dunia berlomba mengembangkan
soft power ketimbang bersaing menumbuhkan hard power.
Saya pernah menanyakan, mengapa soft power penting dalam pergaulan internasional.
Jawab Presiden, "Hard power menimbulkan aneka benturan, namun soft power
menimbulkan jaringan-jaringan. Hard power dapat mengakibatkan persaingan negatif,
namun soft power dapat menghasilkan sinergi positif."
Pengembangan soft power memang cocok bagi politik bebas aktif yang kita anut karena
tampaknya di sinilah letak kekuatan diplomasi kita serta daya tarik Indonesia dalam
pergaulan internasional. Pengaruh dan reputasi Indonesia di masyarakat internasional
lebih banyak ditentukan oleh prestasi, pesona, persuasi kita ketimbang karena faktor
kekuatan militer.
Pemerintah Indonesia terbukti selalu gagap dalam menghadapi kaum teroris karena
mereka pada saat yang sama juga tidak mampu memenangkan suatu yang penting, yaitu
memberi keyakinan pada rakyatnya bahwa mereka aman bukan hanya secara politik,
tetapi juga ekonomi (kesejahteraan). Tambahan lagi, semaraknya pemikiran agama yang
menyimpang dengan ideologi kekerasan yang dibawanya juga disebabkan oleh
kemiskinan masyarakat yang semakin meluas. Rakyat yang kurang terdidik, karena
memang mereka dibatasi dalam akses pendidikan, dan juga karena kurangnya pendidikan
demokrasi yang mereka terima, membuat pemikiran anti-objektif semarak di masyarakat.
Penjelasan yang sekenanya, tidak objektif, juga dibumbui dengan rasialisme dan
sentimen kelompok, membuat ideologi kekerasan mudah merebak di masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah juga lebih menekankan pada aspek politik
keamanan (hard power). Pada hal yang paling dibutuhkan adalah pemahaman masyarakat
tentang kehidupan keberagamaan. Keberagamaan yang hanya jadi ritualitas dan cuma
menjadi kesemarakan dalam media komersial seperti TV ternyata juga tidak mampu
membawa pemahaman masyarakat pada hakekat agama sebenarnya. Pada titik inilah,
potensi pemikiran fundamentalisme menemukan persemaiannya. Pemerintah terlalu
banyak menghabiskan dana bagi pendekatan militeristik dan politik keamanan tersebut,
dan tidak memperhatikan pentingnya pembangunan pendidikan dan penyadaran.
Minimnya anggaran untuk pendidikan adalah suatu contoh nyata dari kelemahan itu.
Hal yang sama juga terjadi secara internasional. Dengan berakhirnya Perang Dingin,
sebenarnya Amerika Serikat pernah tertarik dalam mengeluarkan anggarannya bagi
pembangunan soft power-nya. Berbagai dana dikeluarkan untuk menarik perhatian
masyarakat dunia tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang menjadi warisan para
pendirinya. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001, tindakan militeristik justru
ditingkatkan. Bahkan biaya militer sebesar 400 kali lipat dibanding pengeluaran untuk
pendekatan non-militer (Nye, 2004).
Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan
bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting
untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara. Bangsa yang politik pendidikannya
buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk. Sebaliknya, negara yang politik
pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga akan bagus. Pertanyaannya kini,
bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini? Mengatakan bahwa agenda
kebangsaan terakbar terletak pada pendidikan, bukanlah sesuatu yang tanpa alasan atau
mengada-ada, melainkan didasarkan pada fakta bahwa seluruh sektor kehidupan bangsa
merupakan concern sumber daya manusia (human resource) yang dihasilkan dari output
dunia pendidikan.
Oleh karenanya, semenjak negara Indonesia berdiri, founding fathers bangsa ini sudah
menanamkan semangat dan tekad untuk memperjuangkan keadilan bagi seluruh warga
negara, termasuk di dalamnya untuk memperoleh hak pendidikan yang layak dan
mumpuni. Cita-cita luhur tersebut kemudian dituangkan ke dalam rumusan mukaddimah
UUD 1945 sebagai salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(het doel van de staat), yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan Indonesia itu? Maknanya
adalah, jelas ada something wrong (masalah) dalam sistem pendidikan Indonesia.
Ditinjau secara perspektif ideologis (prinsip) dan perspektif teknis (praktis), berbagai
masalah itu dapat dikategorikan dalam 2 (dua) masalah yaitu :
Pertama, masalah mendasar, yaitu kekeliruan paradigma pendidikan yang mendasari
keseluruhan penyelenggaran sistem pendidikan. Akibatnya, upaya-upaya perbaikan
pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan berada di antara “mitos” dan
“realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan dinyatakan sebagai sub-sistem
pembangunan nasional [sebagai entitas sistem secara keseluruhan], tetapi di sisi lain
program-programnya tidak memiliki konsep yang cukup jelas untuk menjawab
paradigma pembangunan yang berorientasi pada pola dan permasalahan kehidupan global
yang menuntut kontribusi pendidikan yang dinamis dan bervariasi [Ade Cahyana,
Ibid.http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/.] Untuk itu, arah kebijakan pendidikan kedepan,
seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi “realitas” perubahan pendidikan
di Indonesia.
Walhasil, jika pendidikan kita diumpamakan mobil, mobil itu berada di jalan yang salah
yang sampai kapan pun tidak akan pernah menghantarkan kita ke tempat tujuan (masalah
mendasar/paradigma). Di samping salah jalan, mobil itu mengalami kerusakan dan
gangguan teknis di sana-sini : bannya kempes, mesinnya bobrok, AC-nya mati, lampu
mati, dan jendelanya rusak (masalah cabang/praktis).
Kepustakaan
Cahyana, Ade, Indonesia 2010: Merubah Mitos menjadi Realitas Pembangunan, From:
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia 2010 Ade Cahyana.htm,
sabtu, 16/9/ 2006, jam. 13.10.
Freire, Paulo, 1995, Pendidikan Kaum Tertindas, Terjemahan, Utomo Dananjaya,
LP3ES, Jakarta.
Kelompok Kerja Pengkajian dan Perumusan, Rangkuman Filosofi, Kebijaksanaan dan
Strategi Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, 1999, Jakarta.
Mastuhu, 2003, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21,
Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
Musa, Ibrahim, Otonomi Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah, From:
http://202.159.18.43/jp/22ibrahim.htm, Akses, 5 Juni 2002
Nomida Musnir, Diana, 2000, Arah Pendidikan Nasional dalam Perspektif Historis,
dalam Buku: Sindhunata [editor], 2000, Menggagas Paradigma Baru
Pendidikan, Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, Kanisius,
Yogyakarta.
Purbo, Onno W., Pergeseran Drastis Paradigma Dunia Pendidikan, From:
http://bebas.vlsm.org/v09/onno-ind-1/application/education/pergeseran-
drastis-paradigma-dunia-pendidikan-1998.rtf, 7/11/2003.
Sanaky, Hujair AH., 2003, Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat
Madani Indonesia, Safiria Insania dan MSI, Yogyakarta.
--------, 2005, Sertifikasi dan Profesionalisme Guru di Era Reformasi Pendidikan, Jurnal
Pendidikan Islam [JPI], Volume XII TH VIII Juni 2005, ISSN: 0853-7437,
Jurusan Tarbiyah Fakultas Ilmu Agama UII, Yogyakarta.
----------, Paradigma Pembangunan Pendidikan di Indonesia Pasca Reformasi Antara
Mitos dan Realitas.
Suryadi, Ace, Pengelolaan Pendidikan Perlu Paradigma Baru, From:http://www.
Kompas.com/kompas-cetak/0010/16/DIKBUD/peng09.htm.,akses, Sabtu,
23/8/ 2003.
Suyanto & Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta.
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional [Dalam Percaturan Dunia Global], PSAP
Muhammadiyah, Jakarta.
Soedjiarto, 1999. "Memahami Arahan Kebijakan GBHN 1999-2004 tentang Pendidikan
Sebagai Upaya Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban
Negara bangsa Indonesia", Makalah, Primagama-IPSI-PGRI, Yogyakarta.
Tilaar, H.A.R., 1998, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam
Perspektif Abad 21, Tera Indonesia, Magelang.
Yacub, Muhammad, From: http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/27/suatu opini mengenai
reformasi_s.htm, akses, Rabu,20/9/2006, jam.13.35.
Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Adipura, Yogyakarta.
Insentif bagi Industri yang Lakukan Pelatihan, Kompas, Kamis, 26 Juni 1997
Tempo, 7 Januari 2001
Lewat Persentase Anggaran, Belajar dari Negara Lain, Kompas, Sabtu, 2 Mei 1998
Kabupaten dan Kota Menjadi Basis Pengelolaan Pendidikan Dasar, Kompas, Rabu, 24
Februari 1999
Sekolah Plus, Menghitung Dengan Dollar, Suplemen, Tempo, 18 Maret 2001
Kasrai, Reza, Corporate University, CFS-Quebec Education Action, edisi musim gugur
2001. http://www.newyouth.com/archives/campaigns/mexico/UNAM.asp
RUU BHP, Skenario Neoliberalisme, SUARA PEMBARUAN DAILY, September 5,
2007
BHMN, Neoliberalisme Pendidikan, Suara Pembaruan March 15, 2007
Muhammad Roqib, M.Ag , Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
Memajukan Bangsa, Jumat, 2008 Agustus 08
Pan Mohamad Faiz (New Delhi) , Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan,
Dimuat pada H.U. Seputar Indonesia (05/05/07)
Pan Mohamad Faiz , Menanti Political Will Pemerintah di Sektor Pendidikan, Pikiran
Rakyat Bandung , October 05, 2006
Abu Khaulah Zainal Abidin , “Ideologi Pendidikan Kita” Maret 22, 2008, Posted by
rumahbelajaribnuabbas in Pendidikan.
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of
International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of
International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education,
US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no.
2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in
http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher
Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-
journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and
Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November
2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of
the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals
of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US
Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2,
June 2000.
Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar , Tuesday, March 18, 2008
http://www.fppm.org/Info%20Anda/pendidikan%20yang%20membebaskan.htm.
Mansour Faqih dan Toto Rahardjo. Pendidikan yang membebaskan, 09 Agustus 2002
http://www.pikiran-rakyat.com/Artikel/0802.htm.
Ahmad Dahidi & Miftachul Amri. Potret Pendidikan di Jepang, Sebuah Refleksi. 22 Mei
2003.
Agus Syafii <agussyafii@yaho...>, Problem Pendidikan di Era Reformasi, February 18,
2008
Kepentingan Politik Masih Terlihat Lebih Menonjol, http://www.kompas.co.id/kompas-
cetak/0708/08/humaniora/3750060.htm
Pendidikan Indonesia Alami Proses Involusi, Harian Kompas, 4 September 2004
Agung Pramanto (JIP'98)/Redaksi AP, Dilema Otonomi Pendidikan: Catatan Dari
Seminar Otonomi Pendidikan Nasional 2001 SMFSUI
Otonomi Pendidikan Masih Hadapi Banyak Kendala, Jakarta, Sinar Harapan, 2003
St Kartono , Memahami Otonomi Pendidikan beserta Implikasinya, SUARA
PEMBARUAN DAILY , 2002
Uni Eropa: Perdamaian Aceh Bukti Kekuatan Soft Power, TEMPO Interaktif, Jakarta,
Rabu, 13 Desember 2006 | 21:15 WIB
"Soft Power" dan Jejak Bush , Kompas, 21 Nopember 2006
Muhammad Roqib, M.Ag, Politik Pendidikan dan Pendidikan Politik Sebagai Upaya
memajukan Bangsa, http://roqibstain.blogspot.com/2008/08/politik-
pendidikan-dan-pendidikan.html
Marsudi Budi Utomo, 50 Tahun RI-Jepang, December 24, 2007
Novian Widiadharma, UIN Yogyakarta , Art, Soft Power, dan Tata Dunia Baru,
Wednesday, 13 August 2008 07:15
Nurani Soyomukti (Esai Politik): "Soft Power", Strategi Gerakan Anti Teror(Isme),
Sabtu, 2007 Agustus 25
Dino Patti Djalal Juru Bicara Kepresidenan, SBY dan "Soft Power" , URL Source:
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/13/opini/1806887.htm
Megawati: Pandangan Tentang Pendidikan Murah dan Gratis, Menyesatkan, Rabu, 05
Mei 2004
Khoirul Anwar , Membangun Moral di abad Global , 15 Juni 2008 - 17:05
Iskandar Alisjahbana , Cyberspace dari Peradaban Gelombang-Ketiga "Sifat dan Hakekat
Manusia & Masyarakat di Dalam Era-Informasi" , Edisi ke Tujuh, April 1997
Baridul Islam Pr, “Abuse of Power” Kaum Intelektual, Purwokerto, 16 Maret 2003
Anonym, Masalah Pendidikan Di Indonesia, August 29, 2007
Yusufhadi Miarso, Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di
Perguruan Tinggi, Disampaikan dalam Semiloka Pengajaran dan Program
Magang, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP-UI, 2 Mei 2008
Banathy, Bela H. (1991). Systems Design of Education. A journey to create the future.
Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Dabbagh, Nada & Brenda Bannan-Ritland. Online Learning. Concept, strategies and
application. Columbus,OH : Pearson. 2005
Miarso, Yusufhadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Pustekkom-
Kencana
Reigeluth, Charles M. and Robert J. Garfinkle. (eds.)(1994). Systemic Change in
Education. Englewood Cliffs, NJ: Educational Technology Publications
Toffler, Alvin. The Third Wave. London : Pan Books Ltd.
UNSCTD. Knowledge Society. Published for and on behalf of The Unted Nations.
Oxford,NY : Oxford University Press. 1998
Tim MWA Wakil Mahasiswa KM ITB dan Kastrat Kabinet KM ITB, Positioning Paper.
Pernyataan Sikap KM ITB terhadap RUU BHP BHP: Gaya Baru Otokrasi
Pendidikan Indonesia
NIM. Sistem Pendidikan Yang Berkarakter dan Berbudaya, February 28, 2007
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Imagined Communities: Reflections on the
Origin and Spread of Nationalism. Edition: 2, revised. Verso, 1991
Bertrand Russell. Power: A New Social Analysis. Edition: 2. W.W.Norton & company,
1938
Chantal Mouffe . Gramsci and Marxist Theory: essays. Routledge, 1979
Dewey, John, 1974, The Child and The Curriculum,and The School and Society, Chicago
and London, The University of Chicago Press.
Giddens, Anthony, The Nation States and Violence: Volume Two of a Contemporary
Immanuel Maurice Wallerstein, Immanuel Wallerstein. The Modern World-
system II. Edition: 2. Academic Press, 1980
Masinambow, EKM (ed), 1997, Koentjaraningrat dan Antropologi Indonesia, Jakarta,
AAI dan Yayasan Obor Indonesia.
McQuail, Denis, 2000, Mass Communication Theories, Fourth edition, Sage Publication,
London
Michael Wallerstein : The Political Economy of Inequality, Unions, amd Social
Democracy. New York: Cambridge University Press, 2008
Renate Holub. Antonio Gramsci: Beyond Marxism and Postmodernism. Routledge, 1992
Rudolf Ekstein, Robert S. Wallerstein. The Teaching and Learning of Psychotherapy.
Edition: 2. Basic Books, 1958
Siswanta, Relasi kekuasaan: telaah pemikiran Antonio Gramsci dalam konteks politik
Indonesia kontemporer. Media Wacana, 2006
Sutaarga, Moh. Amir. 1997/1998. Pedoman Penyelenggaraan dan Pengelolaan Museum.
Jakarta: Proyek Pembangunan Permuseuman Jakarta
Vedi R. Hadiz, Benedict Richard O'Gorman Anderson. Politik, budaya, dan perubahan
sosial: Ben Anderson dalam studi politik Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama bekerja sama dengan Yayasan SPES, 1992
FX Sugiyanto, Ilusi Kurikulum Pendidikan dalam Kuasa Neoliberalisme , Saturday, 02
August 2008