Anda di halaman 1dari 4

Antara Perjuangan Korban dan Kebutuhan Perjuangan Sekarang

Oleh: Rudi Hartono1

Sudah 10 tahun berlalu, masa kekuasaan orde baru ditumbangkan. Akan tetapi,

cara pandang penguasa melihat sejarah bangsa ini masih buta. Memang benar

teori yang mengatakan bahwa sejarah akan selalu disusun dan berpihak kepada

klas yang berkuasa. Bangunan “Piramida” yang begitu megah berdiri selalu

mengingatkan generasi sekarang kepada keagungan sang fir’aun dan melupakan

kerja berat yang dilakukan puluhan hingga ratusan ribu budak yang meradang

nyawa ketika membangunnya. Begitulah cara pandang ilmu sejarah hari ini

dalam mendeskripsikan sudut pandang tentang masa lalu. Tepat seperti yang

pernah diungkapkan oleh Karl Manhein ”sejarah adalah cerita tentang kebesaran

tokoh-tokoh”.

Perjuangan Korban Orde Baru

Orde baru naik ke puncak kekuasaan dengan melancarkan perebutan kekuasaan

dengan jalan paksa (kudeta berdarah) dan pemutar-balikkan fakta. Rejim ini

menggunakan seluruh instrumen kekuasaannya bukan saja untuk

menyingkirkan lawan-lawan politiknya dimasa itu, tetapi juga melancarkan

serangan politik mematikan terhadap lawan politik dimasa yang akan datang.

Kita bisa menyaksikan bagaimana orde baru merekonstruksi sebuah sejarah

yang berpihak dan mengamankan kekuasaannya.

Bersamaan dengan itu, metode kekerasan fisik (pendekatan militeristik) tetap

dikedepankan. Ini selain memberikan efek jerah (takut) kepada korbannya, juga

memberikan terapi kejut kepada masyarakat luas dan kepada generasi yang

1
Pengurus DPP PAPERNAS.
akan datang. Itu mengapa mereka harus menciptakan banjir darah dan

pembunuhan massal dimana-mana. Itu bukan saja dilakukan kepada jutaan

kader dan simpatisan komunis dari PKI, tetapi juga dipraktekkan kepada

kelompok-kelompok islam sesudahnya, dan perlawanan-perlawanan rakyat

yang menganggu kekusaannya.

Kekuasan yang menggantikan orde baru masih memiliki kesinambungan baik

secara politik maupun secara ekonomi. Secara politik, mereka masih

melanjutkan sebagian politik orde baru terutama yang berkaitan dengan

persoalan sejarah dan penegakan Hak Azasi Manusia (HAM). Di bidang

ekonomi, orientasi pemerintahan baru ini (reformasi) tetap melanjutkan

ketergantungan kepada modal asing (imperialisme), meskipun pendekatan

ekonominya jauh sangat liberalistik.

Dengan situasi baru ini, tidak banyak perubahan yang dinikmati oleh korban

orde baru. Memang ada perubahan kecil seperti dihilangkannya cap ”ET” bagi

tapol 65/66, dipulihkannya hak memilih dan dipilih dalam pemilu, serta

diperbolehkannya korban dan keluarganya untuk bertarung dalam pemilihan

kepala daerah. Akan tetapi, perubahan ini masih sulit dilihat hasilnya dalam

lapangan praktek. Diskriminasi politik dan intimidasi masih terus dirasakan

korban dimana saja. Disinilah letak pertentangan dalam lapangan perjuangan

korban; disatu sisi ada keterbukaan politik dan pasang gerakan perlawanan

rakyat di berbagai sektor, sedangkan disisi lain korban orde baru belum bisa

memanfaatkan situasi baru ini untuk memenangkan tuntunnya.

Lapangan Perjuangan Baru, Taktik Baru


Beban perjuangan yang diberada dipundak korban tentu akan semakin berat,

belum lagi umur mereka yang semakin uzur. Berhadapan dengan situasi baru

seharusnya difikirkan tentang taktik-taktik baru untuk memenangkannya.

Demokrasi liberal paska orde baru tetap sama busuknya dengan demokrasi

kapitalis manapun. Akan tetapi, mekanisme demokrasi liberal menyediakan

kesempatan kepada kelompok akar rumput (termasuk gerakan berbasis HAM)

sebuah ruang berkompetisi, dimana kita bebas mempropogandakan tuntutan

dan program perjuangan.

Pengalaman perjuangan korban di Chile cukup menarik untuk dijadikan contoh.

Ketika rejim pinochet masih berkuasa, para korban bukan saja berjuang dengan

berkutak pada problem dilingkarannya, tetapi mulai melibatkan diri dengan

perjuangan sektor rakyat yang lain seperti gerakan buruh, petani, mahasiswa,

kelompok urban, masyarakat adat, perempuan, dan pekerja seni. Bukan itu saja,

para korban menyadari bahwa aksi massa secara rutin memang penting, akan

tetapi harus dicari jalan agar korban dan rakyat bisa mendekati pintu pembuat

kebijakan (kekuasaan). Mereka kemudian mendekati partai bukan saja partai

sosialis, tetapi juga kristen demokrat (partai yang pernah terlibat dibelakang

pinochet) guna membangun sebuah aliansi kiri dan kanan tengah yang disebut

Concertacion. Kesuksesan koalisi ini bukan saja berhasil penjatuhan rejim

pinochet, akan tetapi berhasil menghapus sedikit demi sedikit warisan politik

dari rejim pinochet yang tertuang dalam konstitusi 1980.

Selama ini, perjuangan korban masih menggelinding seputar problem tuntutan

para korban seperti rehabilitasi, repatrisi, dan kompensasi. Taktik ini memang

dibenarkan jikalau dimaksudkan untuk tujuan mendesak yakni bagaimana

mengorganisasikan para korban yang jumlahnya banyak tetapi kesadarannya


masih ekonomistik. Tetapi belajar dari situasi politik dan hambatan –hambatan

perjuangan yang dihadapi, sudah seharusnya ”korban” merumuskan bentuk

baru dari perjuangannya. Korban harus membuka diri atas problem ekonomi-

politik yang melingkupi seluruh rakyat Indonesia. Pasang kebangkitan

perlawanan rakyat dari berbagai sektor harus mampu ditangkap oleh korban

dan disatukan dengan sebuah tujuan politik umum; pergantian kekuasaan.

Karena perjuangan untuk pemulihan dan proses ganti kerugian korban orde

baru serta perjuangan untuk pelurusan sejarah hanya akan mungkin jika

terbangun pemerintahan yang lebih demokratik dan progressif.

Karena kebangkitan perlawanan rakyat belum memberikan potensi kepada

proses pergantian kekuasaan dengan jalan revolusioner, maka momentum

pemilu 2009 memiliki makna sangat krusial bagi perjuangan rakyat dan

perjuangan korban orde baru. Pemilu ini jelas tidak boleh dibiarkan begitu saja,

karena membiarkannya sama saja dengan memberikan kesempatan leluasa

kepada pemerintahan reaksioner seperti sekarang ini. Tidak bisa pula pilihan

disandarkan kepada partai-partai dan mesin politik yang sudah pernah berkuasa

dan terbukti gagal. Dan juga tidak dibenarkan korban mengambil sikap

mengikuti begitu saja proses politik yang ada tanpa ada sikap politik yang jelas.

Korban harus menyonsong pemilu dengan sikap politik yang jelas. Bukan

sekedar menjadi mesin suara, tetapi korban harus terlibat dalam membidani

kelahiran dan membesarkan partai-partai alternatif. Dalam lapangan organisasi,

korban sudah saatnya memberikan porsi lebih besar kepada kaum muda yang

masih bersemangat. Selain untuk regenarasi, juga berkepentingan untuk

menjadikan organisasi korban lebih sigap dalam menanggapi dan merespon

pekerjaan organisasi yang butuh penyelesaian cepat.

Anda mungkin juga menyukai