Anda di halaman 1dari 3

Pendidikan yang Abai Aspek Afektif

Beberapa waktu silam, beberapa 4 siswa sebuah SMA di Kepulauan Riau dikeluarkan dari
sekolah. Hal itu terjadi karena mereka melakukan penghinaan terhadap guru mereka secara
terbuka di situs jejaring sosial facebook. Selain “kenakalan” anak sekolah seperti itu, kita juga
sering disuguhkan dengan berita tawuran antar anak sekolah, bahkan tawaran sesama mahasiswa.
Kedua hal itu hanyalah sekelumit dari potret kenakalan remaja usia sekolah yang banyak terjadi di
negeri ini.

Taksonomi Bloom
Salah satu penyebab munculnya kenakalan-kenakalan tersebut adalah belum berjalannya
proses pendidikan secara sinergis dalam menggarap tiga aspek penting pendidikan, yaitu afektif,
psikomotor, dan kognitif. Ketiga aspek itu dikenal dengan istilah taksonomi Bloom. Istilah
tersebut diperkenalkan pada tahun 1956 oleh Benjamin S. Bloom, seorang praktisi pendidikan
Amerika Serikat dalam buku berjudul The Taxonomy of Educational Objectives, The
Classification of Educational Goals, Handbook I: Cognitive Domain. Dalam buku tersebut,
Bloom beserta beberapa koleganya, menguraikan tentang klasifikasi obyek pembelajaran yang
kelak dikenal dengan istilah taksonomi Bloom (Bloom’s Taxonomy).
Menurut taksonomi Bloom, pendidikan yang baik mestinya menyentuh tiga obyek
fundamental dan esensial, yaitu afektif, psikomotor, dan kognitif dalam diri peserta didik. Afektif
merujuk kepada cara peserta didik untuk bereaksi secara emosional dan kemampuan untuk ikut
merasakan kebahagiaan atau kesedihan orang lain. Psikomotor merujuk kepada kemampuan
secara fisik untuk memanfaatkan alat atau instrumen seperti tangan atau palu. Sedangkan kognitif
adalah kemampuan yang menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan pemikiran kritis dari suatu
topik tertentu
Selama ini pendidikan kita lebih menekankan pada aspek kognitif saja. Anak sering kali
hanya dinilai dari keberhasilannya dalam meraih angka terbaik. Mereka tidak dinilai dari
prestasinya untuk tetap menjunjung tinggi kebaikan hidup yang terinternalisasi dalam diri mereka.
Tak ayal, banyak anak yang pintar, tapi secara moral mereka dekaden. Akhirnya, kasus-kasus
seperti di atas pun dengan mudah bisa terjadi.
Namun, adalah tidak arif pula jika kita hanya menyalahkan pihak siswa saja. Kita juga
berkali-kali mendengar berita tentang oknum guru yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak
pantas, seperti pencabulan, kekerasan fisik, dan lain-lain. Hal itu bagaimana pun merupakan
preseden buruk bagi para murid-murid. Apatah murid akan menjadi memiliki akhlak mulia jika
gurunya saja melakukan tindakan-tindakan amoral.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional


Dalam tataran legal formal, pendidikan seharusnya melahirkan para peserta didik yang
memiliki akhlak mulia. Dengan kata lain, aspek afektif merupakan aspek yang mestinya perlu

1
diprioritaskan. Hal ini, sesuai dengan amanat Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Dalam Pasal 3, juga disebutkan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan pendidikan adalah agar peserta didik mampu
mengembangkan potensi dirinya sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Meski sudah ada amanat undang-undang tersebut, pelaksanaan sistem pendidikan nasional
kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terbukti dengan masih terjadinya banyak kasus seperti
yang diungkapkan di awal tulisan. Untuk itu, seluruh elemen masyarakat harus ikut berpartisipasi
dalam mengawasi jalannya sistem pendidikan nasional kita agar berjalan sesuai dengan amanat
undang-undang.

Pendidikan Nilai di Keluarga


Pendidikan tidak hanya diperoleh di bangku sekolah formal saja. Sekolah hanyalah salah satu
tempat anak untuk membangun tata nilai dalam dirinya. Tempat yang paling penting dan utama
adalah keluarga. Jika anak terlahir dari keluarga yang utuh, dan mendapatkan pelajaran tata nilai
moral yang baik dari lingkungan keluarganya, maka kemungkinan besar ia akan memiliki bekal
moral yang cukup saat masuk ke dalam lingkungan sekolah. Namun jika sebaliknya, ia pun bisa
menjadi anak “nakal” yang bisa melakukan tindakan-tindakan liar, bahkan melanggar hukum.
Pendidikan di dalam keluarga sejalan dengan konsep Islam yang menganjurkan untuk belajar
sepanjang hidup (long life education). Kegiatan belajar dimulai sejak dari ayunan hingga ke liang
lahad, seperti banyak dilansir dalam ucapan ulama-ulama salaf: “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan
hingga liang lahad.” Sejak dalam kandungan, anak sudah diajarkan nilai-nilai spiritual dengan
diperdengarkan ayat-ayat Alquran, shalawat, dan doa-doa. Menjelang ajal pun, orang Islam pun
tetap dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat.
Pendidikan dan penanaman nilai yang dilakukan sejak dini di lingkungan keluarga tersebut
sejalan dengan perintah Alquran untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka (QS. At-
Tahrim: 6). Perintah itu bisa dipahami pula bahwa salah satu upaya menjaga diri dan keluarga dari
api neraka adalah melalui pendidikan dan pengajaran. Anak dibekali nilai-nilai keimanan dan
akhlak mulia. Dengan demikian, diharapkan bisa berhasil menjalani hidupnya dan terhindar dari
perbuatan-perbuatan nista yang bisa mengakibatkannya mendapat siksa api neraka. Wallahu a’lam
bishawab.

2
Penulis:
Abdurrasyid Ridha, S.Ag.
Penghulu di KUA Terisi, Indramayu
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Anda mungkin juga menyukai