Anda di halaman 1dari 4

0004

Topik pilihan : Membangun Masyarakat cinta perpustakaan


PENGOKOHAN PERPUSTAKAAN KELILING KIKISNYA PRIMARY ORALITY MENUJU INDONESIA
KOMPETITIF
PENDAHULUAN
Dalam upaya menciptakan keunggulan-keunggulan, maka pendidikan perlu mengadopsi prinsip-prinsip
pengelolaan pendidikan yang baik (good governance). Dengan pengelolaan yang baik, harapan untuk menciptakan
dan mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan kompetitif akan berhasil karena tidak mungkin
produk yang dihasilkannya berkualitas kalau “mesin produksi” tidak berkualitas (Suprayogo,2009).
Menanggapi hal ini, salah satu mesin produksi yang harus di kualitaskan adalah masyarakat Indonesia.
Dimana sumber daya manusia dari para masyarakatlah yang di ukur agar menjadi berkualitas dan kompetitif.
Membudayakan membaca yang masih sangat minim di kancah Nasional menjadi tolak ukur bagi penulis untuk
menghidupkan pustaka Indonesia menuju bangsa dan Negara yang kompetitif.
Membaca adalah salah satu kegiatan yang sangat simple dan ringan didengarkan. Tapi, siapa sangka
membaca merupakan salah satu aktifitas yang sangat membosankan bagi sebagian besar orang. Termasuk para
pelajar dan intelek.
Menurut pandangan penulis, sebagian masyarakat Indonesia umumnya dan khususnya para Pelajar masih
berada dalam taraf Primary Orality (The Primary Orality merupakan ciri khas masyarakat pra-agraris maupun
agraris, yang mana, pada era ini, masyarakat dunia belum membudayakan budaya baca dan tulis dan
pengetahuan manusia masih bersumber kepada pola tutur). Maksudnya ada sebagian masyarakat yang masih
memiliki budaya lisan yang tak tersentuh oleh budaya baca tulis yang dipengaruhi oleh produk langsung dari
industry media seperti radio dan televisi (Lassa, 2007).
Perpustakaan di Negara Indonesia sudah tidak terhitung banyaknya mulai dari perpustakaan Nasional
hingga ke perpustakaan-perpustakaan unit terkecil yang di bangun di pelosok-pelosok desa maupun di sekolah-
sekolah bahkan perpustakaan pribadi dalam lingkup rumah tangga. Walaupun masih ada sebagian daerah
maupun pelosok desa tertentu yang belum memiliki fasilitas perpustakaan, namun itu terhitung reletif sedikit.
Masyarakat Indonesia yang masih banyak menyandang primary Orality rupanya menjadi faktor kurangnya
kesadaran membaca dalam masyarakat. Imbasnya perpustakaan yang dibangun menjadi sepi dan cendrung tidak
dijamah. Yang menjadi pertanyaan besar kemana seharusnya para pembaca bijak ini tahu akan pengetahuan?
Munculnya teknologi komunikasi yang canggih menjadi jawabannya. Masyarakat telah terlena dengan teknology
hingga Primary Orality tidak dapat dihindari lagi. Namun sadarkah para Primary Orality technology berpengaruh
terhadap pola hidup mereka? Topic ini akan menjadi sebuah topic yang sangat layak digali demi terwujudnya
masyarakat sehat jasmani maupun rohani.
Para pustakawan tak henti-hentinya juga giat membangun perpustakaan yang tumbuh kian hari kian
meningkat namun pembaca malah lari terbirit-birit oleh adanya perpustakaan dadakan di daerah-daerah kecil.
Sudah saatnya perpustakaan keliling dengan service menarik kita kokohkan. Dengan munculnya perpustakaan
keliling akan membantu masyarakat membangun kecintaannya terhadap membaca. Inilah sebenarnya tugas
pustakawan yang cenderung terlupakan.

RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan Pendahuluan yang telah dipaparkan, rumusan permasalahan dalam karya tulis sebagai
berikut:
1. Apa pengaruh Primary Orality terhadap kehidupan sehari-hari dan bagaimana pustaka Indonesia menyikapi
Primary Orality yang sudah membudaya?
2. Perpustakaan keliling seperti apa dan apa saja langkah yang harus diambil untuk membentuk masyarakat
cinta perpustakaan menuju Indonesia yang kompetitif?

TUJUAN
Adapun tujuan dari karya tulis berdasarkan rumusan permasalahan di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh Primary Orality dlam kehidupan sehari-hari dan mengetahui sikap yang harus di ambil
oleh pustaka Indonesi untuk menyikapi budaya Primary Orality.
2. Mengetahui perpustakaan keliling dan langkah-langkah yang di ambil untuk membentuk masyarakat cinta
perpustakaan menuju Indonesia yang kompetitif
LANDASAN TEORI
Membaca merupakan suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi ( a recording and decoding
prosess), berlainan dengan berbicara dan menulis yang justru melibatkan penyandian (encpding). Sebuah aspek
pembacaan sandi (decoding) adalah menghubungkan kata-kata tulis (writtem word) dengan makna bahasa lisan
(oral language meaning) yang mencakup pengubahan tulisan/cetakan menjadi bunyi yang bermakna. (Anderson
1972 : 209-210)
Istilah decoding dan encoding akan lebih mudah dimengerti kalau kita dapat memahami bahwa bahasa
adalah sandi yang direncanakan untuk membawa/mengandung makna (meaning). Membaca sebagai suatu
penafsiran atau interpretasi terhadap ujaran yang berada dalam bentuk tulisan adalah suatu proses pembacaan
sandi (decoding prosess). Beberapa ahli lebih cenderung memakai istilah recording (membaca) sebab pertama
sekali lambing-lambang tertulis diubah menjadi bunyi, kemudian barulah sandi itu dibaca. (Tarigan, 2008 : 8)
Membaca lebih kepada memahami pola-pola bahasa dari gambaran tertulisnya (Lado1976 : 132)

PEMBAHASAN

a. Primary Orality dalam kehidupan membaca


Dalam kondisi globalisasi dan modernisasi, manusia banyak disuguhkan dengan hal-hal yang mudah
didapatkan, bahkan tanpa beraktifitas apapun. Budaya membaca menjadi sangat minim akibat pengaruh
modernisasi. Menonton dan mendengar atau biasa disebut orally culture artinya orientasi pembelajar yang
hanya bersumber dan berpusat pada sumber-sumber lisan serta kentalnya budaya tutur. Orientasi belajar
dengan tutur lisan ini sederajat dengan yang biasa disebut paternalis. Yakni orientasi belajar yang bersumber
pada apa kata orang-orang atas (diktat-diktator).
Kampus atau institusi pendidikan tinggi, sekolah, dan pusat-pusat pendidikan sebagai masyarakat
membaca memiliki status atau predikat yang sudah selayaknya secara otomatis melekat. Terdapat dua istilah
yakni Literaly Culture dan Reading Society. Kedua istilah ini, memiliki arti yang saling menjelaskan dan
ketergantungan yakni harapan menuju terciptanya komunitas yang bukan sekedar sudah mengenal tulisan,
tapi lebih kepada terbentuk reading society – masyarakat yang memiliki budaya baca dan menulis dan
membaca secara kritis yang oleh Michael Rutz adalah sebagai upaya regenasi untuk menutupi defisit
manusiawi. Tentu saja, menutupi defisit bukanlah tujuan utama tetapi lebih dari itu, sebagaimana tujuan
pendidikan yang universal adalah agar tiap orang dapat memahami dirinya dan semesta serta dapat
menentukan secara cermat peran apa yang harus dilakukan serta bagaimana melakukannya dengan
konsekuensi-konsekuensi yang ada, serta terjadinya multiplikasi pengetahuan yang berkontribusi bagi
kemanusiaan.
Sebagaimana cita-cita besar kemerdekaan kita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dan ini berarti
seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi dalam menuju cita-cita tersebut. Dengan membaca dapat
merupakan salah satu jalan menuju kecerdasan kehidupan bangsa.
Tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa hobinya adalah membaca. Tapi, kebanyakan orang yang
hobinya membaca tersebut lupa bertanya kepada dirinya sendiri: apa yang telah dia dapat dari kegiatan
membacanya? Dan tak sedikit orang yang secara rutin melahap buku-buku–baik itu novel, kumpulan cerita
pendek, atau buku yang lain kadang merasa kosong atau hampa tidak mendapatkan apa-apa usai membaca.
Memang, membaca saja tanpa memahami apa yang dibaca sudah sangat bermanfaat bagi otak.
Membaca adalah “mengolahragakan” otak, melatih otak untuk bekerja secara aktif. Ahli linguistik, Dr. Stephen
D. Krashen, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orang yang jarang membaca, dan setiap hari hanya
menonton televisi, tidak mungkin memiliki otak yang dapat digunakan untuk berefleksi (memikirkan sesuatu
secara sangat mendalam). “Otak orang ini,” kata Dr. Krashen, “adalah otak yang dangkal.” (Hernowo 2007)
Namun, ada baiknya kita tidak hanya berhenti pada sebatas hanya menjalankan kegiatan membaca.
Jadikan kegiatan membaca kita sebagai sebuah cara untuk menumbuhkembangkan pelbagai potensi diri.
Dengan tibanya zaman yang sangat cepat berubah seperti saat ini, membaca dapat kita tata sehingga
membuat diri kita tidak akan ketinggalan zaman.
Apabila setiap kali ada keinginan membaca dan setelah selesai membaca kita menggunakan AMBAK
(bertanya tentang apa yang diperoleh dari membaca), ada kemungkinan besar, kegiatan membaca kita
menjadi dapat kita tata. Misalnya, kita dapat memilih buku yang benar-benar “bergizi”. Kita juga dapat
mencicipi dulu buku-buku yang tidak akan menyiksa diri kita. kemudian, kita dapat membaca secara “ngemil”
(mencicil) dan setiap kali usai “ngemil”, hasil membaca kita itu kita “ikat” (dituliskan secara bebas dalam bentuk
personal/subjektif).
Salah satu tujuan terpenting dari membaca adalah mengobarkan gagasan dan upaya kreatif (Hernowo,
2005). Peristiwa membaca yang terbaik pada hakikatnya adalah siklus hidup mengalirnya ide pengarang ke
dalam diri kita, dan pada gilirannya ide kita mengalir balik ke seluruh penjuru dunia dalam bentuk benda yang
kita hasilkan, pekerjaan yang kita lakukan, dan orang-orang yang terkait dengan kita.
Tony Buzan, dalam buku Use Both Side of Your Brain, menyebutkan ada tujuh macam kegiatan membaca,
berurutan sebagai berikut:
1. Pengenalan, ketika kita membacabuku, kita harus mengenali dahulu simbol-simbol yang ada dalam
buku. Pengenalan yang cermat atas symbol sebuah buku akan membuat kita lebih nyaman dan cepat
dalam membaca.
2. Peleburan, Setelah mengenal, kita mulai masuk kedalam proses penyesuaian atau asimilasi.
3. Intra Integrasi, Setelah mengenal dan menyesuaikan diri dengan apa yang kita baca, kitapun
melakukan proses menghubungkan antara materi yang satu dengan materi yang lain. Mencoba
memadukan semua hal yang disampaikan buku dengan sisi-sisi pengalaman yang sudah kita miliki.
4. Ekstra Integrasi, Pengambilan keputusan. Kita melakukan analisis, apresiasi, seleksi dan kritik.
5. Penyimpanan, Kita harus menyimpan apa yang kita peroleh dari sebuah buku.
6. Pengingatan, ini merupakan proses penting setelah penyimpanan. Menggunakan apa yang kit abaca
untuk dapat dikeluarkan lagi
7. Pengomunikasian, Tahap terakhir ini menyiratkan arti bahwa membaca buku juga berarti mendengar
aktif (active listening). Suara-suara yang masuk kedalam diri kita, dan suatu saat suara-suara itu akan
kita sampaikan kepada orang lain.
b. Membentuk Masyarakat cinta perpustakaan
Menurut para ahli syaraf (neurology) makanan rohani terbaik adalah dengan membaca. Dengan membaca
sel-sel syaraf otak kita bekerja dalam tingkatan yang paling tinggi. Bahkan ada sebuah penelitian yang
menunjukan bahwa dengan membaca yang kontinyu dan konsisten dapat menghindarkan kita dari penyakit
demensia (kerusakan jaringan saraf otak) bahkan membaca dapat mengompensasi jaringan saraf yang rusak
(Hernowo, 2007)
Penjelasan yang cukup panjang lebar diatas menunjukan betapa kegiatan membaca sangat di tuntut di era
globalisasi, dimana dengan membaca wawasan kita akan terbuka bahkan dapat menjangkau masa depan
yang cerah. Jelaslah dengan membaca kita, sebagai warga Negara dengan tujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dapat mewujudkan Negara Indonesia yang kompetitif. Pengetahuan telah jadi makanan kita sehari-
hati,jika pengetahuan ada, maka sangat tidak mustahil Indonesia akan menjadi sebuah Negara yang
berkualitas dan kompetitif. Tentunya tidak hanya membaca tapi juga diamalkan apa yang telah dibaca.
Melalui langkah-langkah tersebut mulailah kita efektifkan membaca. Membaca apa saja yang telah
tersedia oleh budaya massa. Membaca tidak hanya berkonotasi pada buku atau majalah dan tulisan semata.
Televisi dan radio atau bahkan internet merupakan objek baca yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan
skill agar dapat berkompetisi.

c. Perpustakaan keliling
Perpustakaan keliling adalah perpustakaan yang didirikan dengan tujuan agar para pemustaka mudah
mendapatkan buku bacaan dengan tidak bepergian ke gedung perpustakaan atau rumah-rumah pustaka.
Yang dimaksud pemustaka adalah pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat,
atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan (Undang-undang, No.43/2007, pasal 1 ayat
9). Sama dengan makna perpustakaan sebenarnya namun perpustakaan keliling ini identik dengan
perpustakaan berjalan. Ada alat atau kendaraan khusus untuk membawa perpustakaan keliling kota maupun
daerah terpencil menghampiri para pembaca yang telah menjadi anggotanya.
Di Indonesia, perpustakaan keliling masih bisa dihitung dengan jari. Dimana msyarakat khususnya
pustakawan masih minim untuk membuka perpustakaan keliling. Sangat banyak manfaat yang kita dapatkan
dari perpustakaan keliling ini. dan penulis yakin akan meningkatkan minat baca warga Negara Indonesia. Para
pemustaka tidak perlu banyak mengeluarkan waktu untuk sekedar berjalan menuju gedung perpustakaan,
serfis pelayanan perpustakaan kelilinglah yang akan datang membawa buku-buku bacaan. Jika ditilik dari
faktor ekonomi tentu pustakawan harus mengeluarkan banyak biaya untuk perpustakaan keliling ini. namun
jika dilihat dari tujuan yang sangat mulia, Indonesia akan berbangga menampung pembaca-pembaca yang
tentu berintelek dan kompetitif. Para pemustakalah yang bisa menjadi peluru menuju masyarakat cerdas
melalui koleksi perpustakaan.
Selain itu adanya buku-buku yang sesuai dengan minat pemustaka akan lebih meningkatkan minat baca
pemustaka dan tentu akan mudah membangkitkan masyarakat Indonesia yang cinta akan perpustakaan.
Perpustakaan keliling. Sesuai dengan peran perpustakaan sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang
nomor 43 tahun 2007 pasal 3 bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa, tidaklah
semata-mata menjadi tugas penyelenggara perpustakaan namun menjadi tanggungjawab seluruh warga yang
ingin menjadi cerdas. Pendayagunaan koleksi perpustakaan sangat tergantung adanya pemustaka dan
pustakawan. Oleh sebab itu adanya perpustakaan keliling dan juga persediaan bacaan sesuai minat
pemustaka menurut penulis akan mudah menciptakan masyarakat cinta perpustakaan. Pemustaka
menganggap buku sebagai suatu makanan dan akan melahap makanan kesukaan mereka sehingga
perpustakaan keliling layaknya pengantar pizza yang santun. Oleh karena itu, menghadirkan koleksi
perpustakaan yang sesuai keinginan pemustaka harus terus diupayakan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dengan rampungnya penulisan karya ilmiah ini tercerminlah beberapa kesimpulan yang dapat di ambil
antara lain mengoohkan kembali makna membaca pada masyarakat Indonesia yang manjadi pemustaka untuk
lebih memahami makna membaca dibalik primary orality yuang kian memanas. Dibentuknya perpustakaan
keliling juga merupakan salah satu saran mendasar yang sangat besar manfaatnya untuk menghidupkan
kembali masyarakat Indonesia cinta perpustakaan. Selain itu penyediaan buku-buku sesuai minat pemustaka
akan lebih membantu.
Demikian kesimpulan penulis yang juga merupakan saran untuk jayanya perpustakaan kita Indonesia.
Amin…

DAFTAR PUSTAKA
Hernowo. 2004. Quantum Reading. Bandung: MLC.
Hernowo. 2004. Mengikat makna mengubah paradigm membaca dan menulis secara radikal. Bandung: PT Mizan
Pustaka.
Hernowo, 2004, Andaikan Buku itu sepotong Pizza. Bandung: PT Mizan Pustaka
Lassa, Jonatan. 2007. Menuju Kampus Sebagai Basis Masyarakat Membaca, akses 18 juni 2009 dari
http://google.membaca.com.
Suprayogo, Prof. Dr. H. Imam. 2009. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN press.
Suprayogo & Rasmianto. 2008. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam. Malang: UIN press.
Tarigan, Prof. DR. Henry Guntur. 2008. Embaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Wlodkowski, Raymond J & Jaynes. 2004. Eager to Learn (Hasrat Untuk belajar). Yogyakarta: pustaka Pelajar.
http//www.google.quantum reading.com. Akses tanggal 26 September 2009.

Anda mungkin juga menyukai