Anda di halaman 1dari 4

0317

Perpustakaan yang Ideal adalah Perpustakaan yang Terpadu

PENDAHULUAN
Di era Internet sekarang ini perpustakaan telah mendapat pesaing yang sangat tangguh, yaitu warung Internet (warnet).
Bahkan orang-orang yang memiliki komputer (baik desk computer alias komputer yang diletakkan di atas meja maupun laptop
alias komputer yang diletakkan di atas pangkuan) dengan modem dan tersambung ke Internet adalah juga pesaing yang sama
tangguhnya. Jika perpustakaan dalam artian tradisional (yakni gedung yang menampung deretan-deretan rak berisi buku-buku
yang bisa dipinjam dan yang biasanya dilengkapi dengan ruang baca), tidak mau ditinggalkan oleh pecintanya, ia harus
berbenah diri.
Betapa pun beratnya persaingan dengan Internet, perpustakaan tradisional tetap harus ada. Bukan karena alasan
“kepatutan” atau properness (“Masak negara/provinsi/kota tidak punya perpustakaan? Malu ah ….”) tetapi lebih alasan
“keharusan” atau necessity. Artinya, bahwa Internet bisa menyediakan berjuta ragam informasi, perpustakaan toch tetap
dibutuhkan. Jika perpustakaan dikelola dengan baik (artinya: koleksi buku-buku baru selalu diusahakan namun buku-buku lama
tetap dipelihara dengan baik dan tetap tersedia), ia bisa menjadi partner Internet. Internet lebih akan berperan sebagai
“pembuka jalan”. Misalnya, si A membutuhkan informasi X, dia akan membuka Internet. Di dalam Internet hanya tersaji
informasi dalam bentuk ringkas (istilah Inggrisnya: in a nutshell). Tetapi Internet merujuk ke berbagai perpustakaan tradisional
di mana informasi itu dalam bentuk lengkapnya dapat ditemukan.
Jika saja perpustakaan tetap dapat menjalankan perannya dengan baik, kita tanpa ragu akan setuju dengan apa yang
pernah dikatakan oleh Thomas Carlyle (1795-1881), sejarawan Inggris ternama, bahwa “Universitas sejati dewasa ini adalah
kumpulan buku.” [Cohen, 99] Tidak salahlah, menurut hemat saya, kalau kita menafsirkan ‘kumpulan buku’ itu sebagai
‘perpustakaan’.

PERMASALAHAN
Sudah disinggung di atas bahwa masalah yang dihadapi perpustakaan dewasa ini
adalah persaingan dengan warnet atau Internet secara umum. Namun demikian persaingan itu tidak akan menjadi begitu berat
andaikata sejak dulu perpustakaan umum (public library, baik yang berada di ibukota provinsi maupun kabupaten) sudah
menjadi tempat favorit bagi warga yang membutuhkan data-data ilmiah, informasi ringan, maupun bahan bacaan hiburan yang
sehat, bahkan menjadi tempat yang nyaman untuk nongkrong menghabiskan waktu luang secara positif.
Perpustakaan-perpustakaan umum di daerah (provinsi maupun kabupaten) kebanyakan terkesan seperti “gudang buku”.
Buku-buku yang ada di rak diselimuti debu dan biasanya tidak tertata rapi. Yang ada di dalam lemari kaca pun berdebu dan
lemari kacanya yang biasanya kusam itu membuat orang segan membukanya. Itu masih ditambah dengan ruang baca yang
kurang nyaman, mungkin kursinya keras atau penerangannya kurang. Para pustakawannya tampaknya juga kurang enjoy
bekerja di situ. Ya maklumlah mereka umumnya berstatus ‘pegawai negeri’, bukan pustakawan sejati. Mereka mungkin bekerja
di perpustakaan itu karena penempatan, bukan karena mencintai buku dan ingin selalu “bergaul” dengan buku.
Image yang buruk inilah yang harus diubah total. Dan kalau memungkinkan: dalam waktu yang tak terlalu lama. Jika
dibiarkan berlarut-larut, dalam lima tahun mendatang perpustakaan mungkin akan menjadi “situs purbakala” saja. Peran dan
fungsinya sebagai “universitas” (menurut Carlyle) lalu hanya tinggal kenangan belaka, just a thing from the past.

TUJUAN
Artikel ini bermaksud mengajak pembaca budiman untuk menyadari kembali betapa pentingnya peran perpustakaan
tradisional. Saya tetap berkeyakinan bahwa perpustakaan tradisional dengan koleksi buku yang terbuat dari kertas (bukan e-
book) tetap diperlukan di era Internet ini. Dan bahkan, seperti sudah saya utarakan di atas, jika dikelola dengan baik, bisa
menjadi partner Internet.
Artikel ini juga bermaksud mengetuk hati para muda agar sudi sesekali mampir ke perpustakaan tradisional dan melihat
koleksi buku-bukunya. Saya yakin dari sekian ribu buku yang ditawarkan pasti ada satu-dua yang menarik minat kaum muda.
Dan diharapkan setelah mereka membacanya, mereka akan juga jatuh cinta pada buku dan senang bertandang ke
perpustakaan.
Artikel ini juga dimaksudkan untuk memberi semangat para pustakawan agar berani menghadapi Internet dengan segala
keunggulannya. Perpustakaan tradisional dengan koleksi bukunya pun punya kelebihan. Jika Internet menawarkan kecepatan
dalam mendapatkan informasi, maka perpustakaan menawarkan kelengkapan atau detil dari suatu informasi.
LANDASAN TEORI
Kata perpustakaan berasal dari kata pustaka yang berarti ‘naskah’ atau ‘buku’. Dalam Bahasa Inggris perpustakaan disebut
library. Sedang kata library ini berasal dari kata Latin liber yang artinya ‘buku’. Dikenal juga istilah bibliotheca untuk menyebut
perpustakaan. Kata bibliotheca ini berasal dari kata Yunani biblio yang artinya ‘buku’ dan theke yang artinya ‘kotak’ [Morris, 129
a].
Cikal bakal Perpustakaan Nasional Indonesia adalah Bataviaash Genootschaap voor Kunsten en Watenschappen yang
didirikan di Batavia (Jakarta sekarang) tahun 1778. Melalui peraturan pemerintah Hindia Belanda tahun 1883, perpustakaan itu
diberi wewenang mengumpulkan semua karya tulis yang dihasilkan di Indonesia (saat itu bernama Hindia Belanda), termasuk
surat kabar, majalah, dan naskah.
Baru setelah Indonesia merdeka, kesadaran akan pentingnya mempunyai perpustakaan nasional muncul dan pada awal
tahun 1950-an didirikanlah Perpustakaan Negara di tiap ibukota provinsi. [Hardjoprakoso, 79-80]
Dewasa ini ada tiga jenis perpustakaan yang dikelola oleh negara, yaitu Perpustakaan Nasional yang terletak di ibukota
negara; Perpustakaan Daerah (Wilayah) yang terdapat di setiap ibukota provinsi; dan Perpustakaan Umum yang terdapat di
Dati II, kecamatan, dan desa, termasuk di dalamnya adalah perpustakaan keliling. [Hardjoprakoso, 81]. Secara keseluruhan di
Indonesia ini terdapat tak kurang dari 25 Perpustakaan Daerah dan lebih dari 280 Perpustakaan Umum ditambah 200
perpustakaan keliling. [Hardjoprakoso, 88]. Itu semua belum termasuk perpustakaan-perpustakaan khusus yang ada di
lembaga-lembaga, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi.
Yang saya sebutkan sebagai ‘perpustakaan lembaga’ itu adalah perpustakaan yang dikelola oleh yayasan non-pemerintah.
Sebagai contoh, dulu ada Perpustakaan Yayasan Hatta yang terletak di depan Gedung Wanita, di Jalan Adisucipto,
Yogyakarta. Lalu di kawasan Kotabaru Yogyakarta ada lembaga Indonesia-Belanda yang disebut Karta Pustaka yang juga
mempunyai perpustakaan yang koleksinya kebanyakan berbahasa Belanda. Di Bandung ada British Council yang juga
mempunyai perpustakaan yang baik.
Semua perpustakaan di atas adalah lumbung-lumbung ilmu dan pengetahuan yang bisa dikunjungi oleh siapapun dan
buku-bukunya pun boleh dipinjam dengan imbalan yang sangat murah. Secara teoritis, mestinya sebagian besar rakyat
Indonesia adalah orang-orang terpelajar yang mempunyai khasanah pengetahuan yang menggunung dan menjadi insan-insan
yang arif-bijaksana yang siap berkompetisi dengan bangsa lain. Bahwa kenyataannya berbeda (banyak sekali mahasiswa kita
yang pintarnya cuma berteriak-teriak dalam demo, bertengkar mulut dan berbaku hantam – sungguh memprihatinkan!),
pastilah ada yang keliru. Mungkinkah perpustakaan-perpustakaan kita tidak menarik dan karenanya tidak dilirik oleh kaum
muda khususnya? Ataukah karena mereka tidak mempunyai minat baca sama sekali? Atau karena keduanya?
Yang manapun alasannya, kita seyogyanya mulai dari perpustakaan. Marilah kita coba mendadani perpustakaan untuk
menjadikannya suatu tempat yang cantik-menarik-nyaman sehingga akan menyedot banyak pengunjung tua-muda.
Diharapkan setelah sering mengunjungi perpustakaan seseorang akan menjadi insan yang lebih baik, dalam arti: lebih
berpengetahuan, lebih pintar, lebih arif, lebih terbuka terhadap ide dan dan pendapat orang lain, lebih menghargai sesama,
dan lebih percaya diri.

PEMBAHASAN
Supaya masyarakat mau berkunjung ke perpustakaan, kita sebaiknya mulai berpikir tentang meningkatkan peran
perpustakaan dalam membangun bangsa secara rohaniah. Janganlah anggap bahwa perpustakaan umum, baik di tingkat
provinsi maupun kabupaten, hanya sekedar pelengkap (dalam arti: supaya ‘patut’ saja). Tetapi harus ditanamkan ide bahwa
perpustakaan adalah lumbung ilmu dan pengetahuan yang harus ada sebagai salah satu pilar penyangga negara. Apalah
bagusnya sebuah negara yang secara ekonomi cukup dan secara militer juga kuat tetapi sebagian besar rakyatnya bodoh
alias o’on, meminjam istilah anak muda.
Marilah kita lihat bagaimana sebuah perpustakaan yang cantik-menarik-nyaman yang bisa menarik minat para pengunjung
sekaligus bisa menjadi primadona objek wisata di suatu daerah. Saya pernah berkunjung ke suatu kota kecil bernama
Ketchikan di negara bagian Alaska, Amerika Serikat. Saya menyempatkan diri melongok perpustakaan kota yang ada di sana.
Perpustakaannya kecil saja namun didesain dengan indah. Letaknya di atas sebuah sungai kecil yang penuh bebatuan.
Semua dindingnya dari kaca sehingga orang yang sedang membaca bisa sesekali menikmati pemandangan sungai kecil itu di
satu sisi. Di sisi lain orang bisa menikmati pemandangan hutan semacam cemara yang kadang berkabut tipis sembari
membolak-balik halaman buku. Indah sekali.
Saya berangan-angan kita juga mempunyai perpustakaan seperti ini, yang terletak di tengah alam dan dindingnya kaca.
Sembari duduk membaca kita bisa sesekali menikmati pemandangan gunung di satu sisi dan sawah nan hijau subur di sisi lain.
Di sisi lain lagi ada pemandangan sungai dengan bebatuan besar yang airnya bening. Kebutuhan tenaga listrik perpustakaan
ini sebagian didapat dari panel-panel tenaga surya yang dipasang di atapnya. Dengan kata lain, perpustakaan ini ramah
lingkungan.
Agar pembaca merasa nyaman, ruang bacanya disatukan dengan ruang di mana terdapat rak-rak buku berjajar, mungkin
cukup dibatasi dengan dinding kayu setinggi satu meteran. Ini akan memudahkan pembaca ketika mereka perlu mencari buku-
buku yang dibutuhkan. Katalognya sebaiknya adalah katalog komputer yang bisa “bekerja” dengan cepat dan memberi banyak
informasi dalam waktu singkat, misalnya apakah bukunya ada atau tidak dan terdapat di rak mana. Kursinya adalah kursi busa
sehingga kalau ada pembaca yang harus berlama-lama, dia tidak akan merasa begitu pegal punggungnya. Supaya pembaca
tambah nyaman dan buku-bukunya tetap bersih, ruangnya dibuat sejuk dengan alat penyejuk udara (AC).
Berseberangan dengan ruang rak dan ruang baca ini ada ruang yang lebih kecil di mana terdapat beberapa komputer dan
mesin pembaca. Di dalam ruang ini pengunjung bisa membaca naskah-naskah khusus. Yang tergolong ‘naskah khusus’
adalah naskah-naskah atau buku-buku kuno dan langka yang tidak boleh lagi banyak disentuh tangan karena dikhawatirkan
akan rusak. Naskah-naskah seperti ini (seharusnya) sudah di-scan atau dipotret dengan film mikro sehingga (nantinya) hanya
bisa dibaca dengan komputer atau mesin pembaca saja. Di dekat ruang ini disediakan layanan fotokopi atau printing shop.
Pengunjung yang membutuhkan salinan naskah kuno atau langka dapat minta (dan membayar sekedarnya) untuk dibikinkan
salinannya.
Agak jauh dari printing shop ini ada coffee shop di mana pengunjung bisa santai sejenak dengan minum kopi, teh, atau
minuman ringan lain sambil mengudap penganan ringan. Tentu saja minuman dan penganan tidak boleh dibawa masuk ke
dalam perpustakaan karena di samping bisa membuat kotor juga bisa mengundang semut dan serangga lain yang pada
gilirannya bisa mengancam keutuhan buku-buku. Di dekat coffee shop ini ada deretan toilet yang bersih-rapi dan wangi.
Gedung perpustakaan ini dikelilingi oleh beberapa gedung lain, yaitu museum kecil, auditorium, gedung teater, gedung
olahraga, dan balai pameran. Dan ada lorong atau koridor yang menghubungkan perpustakaan dengan kelima gedung lain itu.
Dan kelima gedung itu juga saling terhubung dengan koridor juga.
Di dalam museum dipamerkan benda-benda bersejarah yang buku-buku tentangnya semuanya ada di dalam perpustakaan.
Jadi ketika seorang pengunjung tertarik pada suatu koleksi dan ingin sekali mengetahuinya lebih detil, dia tinggal masuk ke
perpustakaan dan mencari bukunya. Bahkan dia bisa meminjam buku itu untuk dibawa pulang, asalkan dia sudah menjadi
anggotanya.
Auditorium kecil yang berkapasitas lebih kurang 200 tempat duduk itu bisa digunakan untuk seminar, simposium, dan
sebangsanya. Jika yang berseminar adalah para pakar yang sudah menulis dan menerbitkan buku, para peserta seminar
dapat meminjam buku-bukunya lebih dulu di perpustakaan sebelum ikut seminarnya. Jika yang berseminar adalah mahasiswa,
para peserta dapat meminjam buku atau makalah dengan topik yang serupa dengan topik yang diseminarkan.
Gedung teater dapat digunakan untuk pembacaan cerpen atau novelet atau pementasan drama dari pengarang-pengarang
yang bukunya sudah diterbitkan dan kini tersedia di perpustakaan. Jadi calon penonton bisa membaca sendiri buku si
pengarang sebelum mendengarkan pembacaan cerpen atau noveletnya atau menonton pementasan dramanya. Atau gedung
itu bisa juga digunakan untuk mementaskan musik-musik etnik dari suku-suku bangsa Nusanatara maupun luar Nusantara
yang sejarahnya bisa dibaca di dalam buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
Gedung olah raga (sports hall) bisa digunakan untuk pertandingan-pertandingan olah
raga yang sejarah, peraturan permainan, organisasi, tokoh-tokoh, serta jadwal pertandingannya ada di dalam buku, majalah,
atau surat kabar yang tersedia di dalam perpustakaan.
Balai pameran digunakan untuk memajang lukisan, patung, seni pahat, dll. karya seniman-seniman yang kisah hidup dan
telaah karyanya sudah dibukukan sebagai buku biografi dan kini ada di perpustakaan. Atau bisa juga untuk memamerkan
karya anak-anak sekolah. Anak-anak sekolah yang datang menonton pameran disarankan mampir juga ke perpustakaan untuk
membaca-baca santai atau meminjam buku, setelah menjadi anggotanya tentu.
Balai pameran ini bisa juga digunakan untuk food bazaar alias pameran (dan penjualan) masakan atau penganan yang
dimasak atau dibuat oleh ibu-ibu kampong atau organisasi tertentu. Pengunjung yang tertarik untuk memasak atau membuat
sendiri dapat meminjam buku masakannya di perpustakaan.
Last but not least, balai pameran ini tentunya juga bisa untuk pameran buku. Pihak penyelenggara dapat mengundang
pengarang-pengarang yang sudah kondang (yang karya-karyanya sudah lama menjadi koleksi perpustakaan) untuk hadir dan
mengadakan jumpa fans selama pameran berlangsung. Sementara pengarang-pengarang pemula berserta karya-karyanya
dapat diperkenalkan kepada pengunjung pameran. Ini akan menjadi kesempatan emas bagi pengarang pemula untuk mulai
dikenal publik.

KESIMPULAN DAN SARAN


Perpustakaan tradisional harus mampu bersaing dengan Internet dan bahkan menjadi partner-nya. Salah satu cara untuk
dapat “bersanding” dengan Internet adalah membuat perpustakaan itu sebuah kompleks yang integrated (terpadu), seperti
sudah diutarakan panjang-lebar di atas. Apabila membuat perpustakaan ideal seperti ini belum memungkinkan dalam waktu
dekat, kita bisa mulai dengan membenahi dan “mendadani” perpustakaan lama yang sudah ada. Ada berbagai cara. Mungkin
dengan selalu membersihkan rak-rak buku dan buku-bukunya, dengan memperluas ruang baca dan membuatnya lebih
nyaman (misalnya dengan menambahkan alat penyejuk ruangan), dengan memperbaiki sistem katalognya, dengan secara
berkala mengundang para penulis, baik fiksi maupun nonfiksi, untuk berbincang-bincang dengan pengunjung atau pembaca,
dengan mengadakan lomba baca cerpen atau lomba menulis apresiasi buku-buku yang ada di perpustakaan, dengan bekerja
sama dengan sekolah-sekolah agar secara berkala siswa-siswa sekolah itu “digiring” ke perpustakaan untuk memperkenalkan
dan mendekatkan perpustakaan kepada siswa.
Pemerintah provinsi atau kabupaten dapat membuat peraturan yang mengharuskan setiap developer untuk membangun
satu perpustakaan setiap kali mereka membangun satu kompleks perumahan. Dengan kata lain, setiap kompleks perumahan
harus dilengkapi dengan perpustakaan umum, di samping fasilitas-fasilitas yang lain tentunya. Perpustakaan umum di suatu
kompleks perumahan ini fungsinya bisa sama seperti perpustakaan umum yang lebih besar, yaitu menjadi wadah
perbincangan dan kegiatan intelektual warga perumahan itu. Sampai saat ini orang umumnya menganggap aktivitas fisik itu
lebih penting daripada aktivitas mental (otak). Buktinya: kita cukup mudah menemukan sarana olahraga di suatu kompleks
perumahan. Tetapi saya belum pernah melihat ada perpustakaan umum di kompleks perumahan (di luar negeri itu disebut
‘community library’).
Olahraga fisik memang penting. Namun “olahraga otak” semacam sarasehan, diskusi, bincang buku dan semacamnya
adalah juga penting jika kita ingin masyarakat kita, terutama kaum mudanya, tidak hanya tangguh secara fisik tetapi juga
cerdas-cendekia-arif-bijaksana. **

DAFTAR BACAAN

Cohen, M.J. The Penguin Dictionary of Quotations. Harmondsworth, Middlesex:


Penguin Books, 1960.

Hardjoprakoso, Mastini. “Buku dan Perpustakaan” dalam Buku Membangun Kualitas


Bangsa (Bunga Rampai Sekitar Perbukuan di Indonesia). Yogyakarta: Kanisius, 1997

Morris, William (ed.). The American Heritage Dictionary of the English Language.
Boston: Houghton Mifflin Company, 1976.

Anda mungkin juga menyukai