Anda di halaman 1dari 4

Membaca Bersama

Putu Laxman Pendit

Media massa sering mengutip ungkapan bahwa salah satu indikasi minat baca yang
rendah adalah jumlah kunjungan ke perpustakaan yang kecil, selain tingkat konsumsi buku
yang sedikit. Seorang Duta Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, suatu hari
mengatakan “Kondisi perpustakaan tidak mendukung dan jumlah koleksi buku juga
terbatas”1. Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari logika yang mengaitkan “kunjungan ke
perpustakaan” dan “minat baca” dan “jumlah buku”?
Kita memang selalu ingin mengaitkan antara membaca dengan kunjungan ke
perpustakaan berdasarkan dua pandangan atau harapan yang dominan. Pertama, kita berharap
perpustakaan menjadi institusi budaya; sebuah tempat ke mana seseorang berkunjung untuk
mengembangkan dan memelihara budayanya, dalam hal ini budaya berbasis tulisan. Kita
berharap, perpustakaan menjadi tujuan orang-orang yang ingin menimba nilai-nilai penting
dari sebuah budaya. Ini mirip dengan institusi budaya lain seperti sekolah, tempat ibadah,
atau keluarga. Untuk dapat menjadi institusi budaya seperti ini, perpustakaan harus
menjalankan fungsi memproduksi, menjaga, dan menyebarluaskan nilai-nilai budaya
membaca2. Fungsi ini tentu sulit dicapai kalau perpustakaan dikelola lebih sebagai tempat
menyimpan buku, atau kalau pustakawannya tidak memposisikan diri sebagai fasilitator
penciptaan nilai-nilai keberaksaraan. Pada kenyataannya, perpustakaan seringkali
ditempatkan hanya sebagai bagian (terkecil) atau hanya pendukung teknis dari institusi lain,
seperti yang terjadi di perpustakaan sekolah atau perpustakaan rumah ibadah.
Kedua, kita rupanya berharap agar koleksi perpustakaan berfungsi sebagai memori
kolektif; sebuah kenangan bersama yang digunakan oleh anggota-anggota masyarakat untuk
mempertahankan warisan kebudayaan (cultural heritage) mereka. Ini mirip dengan fungsi
museum atau cagar budaya. Agar dapat menempati posisi seperti ini, tentu saja perpustakaan
harus memiliki koleksi yang dipercaya oleh masyarakatnya. Pada kenyataannya, pengelola
perpustakaan umum di Indonesia sulit memperoleh kepercayaan apalagi kewibawaan sebagai
penjaga warisan budaya mengingat posisi mereka yang pada umumnya adalah pegawai
administrator pemerintahan. Pembangunan di Indonesia sudah menghasilkan gedung-gedung
perpustakaan, namun belum berhasil mengangkat posisi pustakawan ke tingkatan yang serupa
dengan, misalnya, juru dakwah, mantri, atau kepala polisi desa.
Sebenarnya, kekurang-populeran perpustakaan umum saat ini bukanlah persoalan di
Indonesia belaka. Sebuah penelitian yang diprakarsai pemerintah Inggris3 pada tahun 2000
memperlihatkan bahwa setelah berusia 150 tahun institusi perpustakaan umum di Inggris
pada akhirnya tetap kurang diminati masyarakat umum. Di Jepang, negara yang dinobatkan
sebagai terkaya di Asia, memang sudah 90 persen kota besarnya memiliki perpustakaan
umum, tetapi masih ada 72 persen pedesaan yang belum punya perpustakaan umum4. Di
Jerman, negara dengan konsumsi buku yang tinggi, hanya 15 sampai 20% penduduknya

1
Lihat Tempo Interaktif Jum’at, 28 Juli 2006 http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/07/28/
2
Dalam teori sistem budaya Talcott Prasons, fungsi ini dikenal sebagai latent pattern maintenance and tension
management (lihat Putranto, 2005).
3
lihat http://www.la-hq.org.uk/groups/csg/si/si7.html
4
lihat http://ifla.org/IV/ifla62/62-kawy.htm

1
memakai jasa perpustakaan umum secara teratur. Dari 16.000 pemerintahan daerah di
Jerman, hanya sekitar 2.000 yang menyediakan perpustakaan umum5.
Negara-negara tersebut sebenarnya tidak memiliki persoalan keberaksaraan.
Perpustakaan umum di Inggris justru memiliki persoalan dominasi elit yang terlalu
mengedepankan nilai-nilai kelas menengah dan kulit putih (mainstream middle class, white
and English values) sehingga kurang diminati masyarakat lain, terutama masyarakat yang
non-kulit putih dan masyarakat kelas bawah. Akibat kenyataan ini, Inggris langsung
mengubah strategi perpustakaan umum mereka. Demikian pula Jepang tidak punya masalah
“minat baca”. Tetapi di negeri ini memang terjadi desakan oleh masyarakat umum (terutama
ibu-ibu) kepada pemerintah daerah untuk mendirikan perpustakaan. Akibatnya, terjadi
peningkatan cukup signifikan dalam jumlah perpustakaan. Dalam dua dekade sejak 1970an,
jumlah perpustakaan meningkat dari 847 menjadi 1.898 (dua kali lipat lebih). Tetapi tetap ada
keluhan sebab jumlah peminjaman buku per orang rata-rata baru mencapai 2,51 –sebuah
jumlah yang amat kecil di tengah masyarakat yang amat doyan membaca. Hal ini
menunjukkan bahwa perpustakaan umum di Jepang masih belum populer.
Contoh-contoh di atas menunjukkan kepada kita bahwa sulit menghubungkan begitu saja
antara kunjungan ke perpustakaan, kondisi koleksi, dan budaya membaca. Di Indonesia,
problemnya lebih rumit karena pustakawan seringkali gamang menempatkan posisi mereka
dalam keseluruhan sistem budaya membaca. Kedudukan pustakawan yang lebih merupakan
administrator, mengurangi peluang untuk dapat langsung terlibat dalam urusan baca-
membaca. Guru, wartawan, atau sastrawan lebih punya kompetensi dan peluang untuk
terlibat dalam “gerakan membaca”.
Harus ada penegasan posisi dan peran perpustakaan dalam kebudayaan membaca, dan
hal ini mulai terlihat dalam bentuk gerakan-gerakan di masyarakat yang bersifat mandiri.
Pendirian rumah-rumah baca oleh berbagai kelompok masyarakat dapat dilihat sebagai reaksi
terhadap ketidaksiapan “perpustakaan-perpustakaan resmi” milik pemerintah dalam
mengembangkan budaya membaca. Fenomena ini jelas beriringan dengan berubahnya
pandangan tentang membaca. Mulailah muncul pandangan bahwa nilai-nilai yang ada dalam
kegiatan membaca berkaitan dengan nilai-nilai budaya lainnya, seperti keterbukaan,
demokrasi, dan penghargaan terhadap pengetahuan ilmiah. Kesemuanya ini memerlukan
kegiatan yang sebenarnya berupa membaca bersama, semua orang punya kesempatan sama
dalam membaca hal yang sama.
Mulailah muncul perpustakaan komunitas (community libraries)6 dan inisiatif-inisiatif
pribadi di berbagai tempat di Indonesia. sebagian dari perpustakaan yang didirikan pribadi-
pribadi itu tentu punya gerak sempit, dan seringkali hanya dapat melayani kelompok tertentu
dalam masyarakat. Pertumbuhan kepustakawanan ini juga sporadis, dan beberapa di
antaranya menciptakan kolaborasi “aneh” antar pedagang, cendekiawan, dan penguasa.
Contoh paling kongkrit untuk ini adalah Perpustakaan Yayasan Idayu yang didirikan oleh
pengusaha toko buku, tetapi dalam perkembangannya merangkul para cendekiawan, dan

5
lihat http://ifla.org/VII/s8/annual/cr00-de.htm
6
Istilah “perpustakaan komunitas” memang agak aneh jika dikaitkan dengan perpustakaan umum, sebab semua
jasa perpustakaan umum sebenarnya adalah untuk komunitas. Di Inggris, istilah “perpustakaan komunitas” ini
berkembang sesuai pandangan-pandangan anti-kemapanan yang marak tahun 1970an dan merupakan bagian
dari gerakan sosial yang difokuskan pada masalah-masalah migran, pengangguran, dan persoalan-persoalan
kelompok marjinal lainnya.

2
bahkan menjadi mapan ketika Gubernur Ali Sadikin mengijinkan penggunaan fasilitas negara
(Gedung Kebangkitan Nasional) untuk lokasi perpustakaan7.
Beberapa rekayasa sosial yang dicobakan lewat perpustakaan, misalnya dalam bentuk
gerakan Perpustakaan Masjid di awal 1990an juga tak berumur panjang. Demikian pula
perpustakaan-perpustakaan pribadi cenderung berumur sepanjang usia inisiatornya, atau
dikelola oleh yayasan-yayasan yang punya berbagai kegiatan lain. Seringkali kegiatan
yayasan induk inilah yang lebih dikenal dibandingkan perpustakaannya. Perpustakaan
Yayasan Idayu dan Perpustakaan Bung Hatta, misalnya, langsung memudar ketika pendiri
atau pendukung awalnya sudah tiada, baik karena meninggal dunia maupun karena tidak lagi
aktif terlibat.
Ciri yang sempat muncul dari kepustakawanan komunitas ini adalah keberpihakannya
pada bagian dari masyarakat yang dianggap kurang mampu atau mengalami hambatan ke
akses pendidikan. Salah satu contohnya adalah perpustakaan Yayasan Pustaka Kelana.
Perpustakaan ini digerakkan oleh para “relawan” (Reksodiputro, 2002) dan dengan demikian
menunjukkan ciri-ciri gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ciri-ciri LSM
“progresif-revolusioner” atau “anti-kemapanan” yang muncul di masa Orde Baru –terutama
menjelang keruntuhannya- memang belum menular ke kepustakawanan komunitas di
Indonesia. Namun, sebagai praktik-praktik sosial, kepustakawanan komunitas menunjukkan
kedekatan ke kelompok masyarakat marjinal. Bahkan secara fisik banyak di antara
perpustakaan ini berada di lingkungan penduduk miskin di perkotaan (urban poor), di desa-
desa terbelakang, atau di tempat-tempat yang mengalami eksklusi sosial (misalnya di lokasi
pelacuran).
Setelah Orde Baru tumbang, muncul fenomena yang sekilas seperti melanjutkan
gerakan-gerakan sosial di bidang perpustakaan sebelumnya. Di Bandung muncul berbagai
“rumah baca” yang menempel ke toko buku atau menjadi bagian dari aktivitas kelompok-
kelompok penggemar bacaan (kelompok literer). Sejak awal tahun 2000an, fenomena ini
meluas ke Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan kota-kota besar di Jawa lainnya. Walaupun
belum dikatakan telah membentuk praktik sosial yang berkelanjutan, namun fenomena ini
menunjukkan kemunculan sistem sosial baru. Berbeda dari sistem kepustakawanan yang
selama ini digerakkan oleh pemerintah, “rumah baca” ini digerakkan oleh aktor-aktor baru
yang menggunakan prinsip-prinsip masyarakat sipil (civil society) dalam kiprah mereka8.
Sebenarnya, reaksi yang ingin mengoreksi pemerintah dalam urusan membaca bersama
ini bukan hanya ada di Indonesia. Inggris pun mengalaminya, walau reaksi yang muncul agak
berbeda. Ketika perpustakaan umum dan kebiasaan membaca bersama di perpustakaan yang
telah berkembang di sana selama lebih dari satu abad itu terancam ditinggalkan
masyarakatnya, pemerintah berupaya mengatasi persoalan ini dengan mengadakan berbagai
perbaikan. Selain memperbaiki sistem pelayanan (termasuk jangkauan pelayanan), Inggris
berupaya mengadakan transformasi besar-besaran yang mengandung beberapa strategi
penting, misalnya:
7
Lihat Pendit, M. (2002). Tokoh-tokoh yang ikut membina Perpustakaan Idayu cukup beragam, misalnya: Prof.
Dr. Sumantri Hardjo Prakoso, Prof. Sunarjo SH, Dr. R. Suharto, Husein Mutahar SH, Jend. Pol. Drs. Hoegeng
Iman Santoso, Prof. Dr. Bahder Djohan, H.B. Jassin, Ibu S.K. Trimurti, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Prof. Dr. Sri
Edi Swasono, Rachmawati Soekarnoputri, Let. Jen. Ali Sadikin, Mastini Hardjo Prakoso.
8
Mungkin terlalu dini memakai konsep “masyarakat sipil” untuk gerakan ini, sebab konsep itu sendiri masih
diperdebatkan keberadaannya di Indonesia. namun perlu dicatat bahwa fenomena “rumah baca” memperlihatkan
praktik-praktik khas masyarakat sipil, seperti berdiskusi tentang masalah aktual di ruang publik,
menggabungkan keseriusan dan hiburan (menempatkan kafe dan perpustakaan di satu lokasi), dan terang-
terangan mengusung ideologi progresif (salah satu rumah baca di Bandung mengkhususkan diri pada
marxisme).

3
1. Memastikan penyediaan jasa bagi kelompok masyarakat marjinal, dan membuat
standar untuk jasa ini, termasuk sistem pemantauannya;
2. Melakukan strategi penyediaan sumberdaya yang mendahulukan kepentingan
kelompok masyarakat yang mengalami eksklusi sosial;
3. Penegasan kembali peran para pustakawan dengan memakai pendekatan yang lebih
responsif terhadap kondisi masyarakat;
4. Kebijakan penempatan pustakawan yang secara khusus dapat menangani persoalan
eksklusi sosial, diskriminasi, dan syakwasangka sosial;
5. Secara khusus menjadikan kelompok masyarakat marjinal sebagai kelompok sasaran
jasa perpustakaan;
6. Pengembangan pendekatan berbasis-komunitas (community-based) dalam penyediaan
jasa perpustakaan, terutama dengan berkonsultasi kepada komunitas lokal;
7. Pengembangan teknologi informasi dan jaringan yang secara aktif difokuskan kepada
kelompok masyarakat marjinal;
8. Memperbaiki citra dan identitas perpustakaan umum agar lebih berkait dengan
kondisi sosial-budaya kelompok masyarakat marjinal.
Butir ke-6 di atas, yakni pendekatan berbasis-komunitas, menjadi pilihan yang menarik.
Memang, secara lebih mendasar, di Inggris telah terjadi perubahan paradigma dalam
penyelenggaraan perpustakaan umum. Undang-undang perpustakaan umum Inggris yang
sudah berusia lebih dari seratus tahun memang sudah menciptakan sebuah sistem yang mapan
dan didukung oleh sistem kesejahteraan masyarakat (welfare society). Namun dalam
perkembangannya, sistem ini justru dianggap menimbulkan kesenjangan sosial karena hanya
dimanfaatkan oleh kelas menengah ke atas. Sebagai reaksi atas kenyataan ini, masyarakat dan
penggerak kepustakawanan Inggris mempopulerkan apa yang kemudian disebut gerakan
perpustakaan komunitas itu.
Gerakan perpustakaan komunitas ini adalah gerakan membaca bersama-sama,
menghilangkan batas antar anggota masyarakat dalam membaca, dan mengembalikan fungsi
perpustakaan sebagai tempat ke mana seseorang dapat memperoleh kembali haknya untuk
membaca buku yang ingin dibacanya. Sebenarnya, perpustakaan mengembalikan
kemerdekaan pula!
###

Untuk keperluan pengutipan, silahkan menggunakan data bibliografis berikut ini:

Putu Laxman Pendit. 2007. “Membaca Bersama”. Dalam Putu Laxman Pendit. “Mata
Membaca Kata Bersama”. Jakarta: Cita Karyakarsa Mandiri. hal. 128-135.

Anda mungkin juga menyukai