Anda di halaman 1dari 2

1

Kesalahkaprahan: Kasus ‘Kronologis’


Zaim Rofiqi*

Malam yang lengang. Karena tidak ada kerjaan, saya menyalakan pesawat televisi. Di
sebuah stasiun televisi, tampak Tukul Arwana sedang memandu sebuah acara bincang-
bincang yang sekarang sedang populer. Sambil bercanda, Tukul bertanya kepada salah
seorang bintang tamu acara itu: “Kronologisnya bagaimana? Kenapa sampai kecurian
laptop itu?” Saya tercenung: ‘kronologis’? Karena bosan, saya pindah ke stasiun lain.
Sebuah acara berita. Berita tentang pembunuhan dua anak oleh ibu kandungnya sendiri.
Di tengah-tengah tayangan berita itu, seorang penyiar dengan ringan berkata: “Berikut ini
adalah kronologis pembunuhan keji itu.” Saya kembali tercenung: ‘kronologis’?

Kembali karena bosan, saya matikan tivi itu. Sambil merebahkan badan, saya mencoba
membunuh waktu dengan membuka-buka sebuah majalah yang terbit beberapa bulan
yang lalu. Lembar demi lembar tersibak, hingga akhirnya mata saya bersirobok dengan
judul sebuah tulisan yang menarik: “Kasus Pemerkosaan Upik: Sampai Sekarang Belum
Diketahui Kronologisnya.” Saya kembali termengung: ‘kronologis’? Beberapa hari
kemudian, saya membeli sebuah koran di sebuah halte, dan kembali menemukan
penggunaan kata yang sama di halaman depan koran itu: “Kronologis Pembunuhan
Munir Terungkap.”

‘Kronologis’? Apakah ini kata baru? Sinonim dari ‘kronologi’? Apakah bersama waktu,
secara diam-diam, publik telah membentuk dan menahbiskan kata ‘kronologis’ sebagai
sinonim ‘kronologi’ dan memiliki makna yang sama dengan ‘kronologi’? Apakah diam-
diam publik telah menabalkan penanda (kata/frasa/idiom) baru yang “memperkaya
bahasa Indonesia” untuk menunjuk pada petanda (makna/konsep) “urut-urutan terjadinya
sebuah peristiwa”?

Saya sadar, saya sedang berhadapan dengan salah satu contoh dari bentuk-bentuk
kesalahkaprahan publik. Dan kesadaran ini segera memunculkan berbagai pertanyaan
lanjutan dalam benak saya: Apakah kasus-kasus kesalahkaprahan publik di atas bisa
diterima? Sejauh mana kesalahkaprahan publik bisa diterima? Di wilayah mana
kesalahkaprahan publik bisa diterima—dan kadang bahkan perlu disyukuri karena
memperluas/memperkaya makna sebuah penanda?

Bagi saya, kasus-kasus kesalahan penggunaan penanda ‘kronologis’ di atas tidak dapat
diterima, meskipun bersama berjalannya waktu semakin banyak orang (baca: publik)
yang menggunakan kata itu. Mengapa? Karena penyimpangan/kesalahan penggunaan
kata ‘kronologis’ dalam contoh-contoh di atas ada dalam wilayah gramatika, bukan
dalam wilayah makna (hubungan penanda-petanda)—tentu akan rancu dan
membingungkan menganggap bahwa kata ‘kronologi’ dan ‘kronologis’ adalah sinonim;
selain itu kita akan kesulitan membedakan kata sifat dan kata benda dari penanda
‘kronologi’.
2

Dan dalam wilayah gramatika tidak berlaku hukum arbitrer—gramatika tidak serta merta
berubah hanya karena sebagian besar pengguna bahasa melakukan
penyimpangan/kesalahan yang secara langsung atau tidak langsung mengubah tata
bahasa. Bahasa bersifat arbitrer hanya dalam wilayah makna, wilayah hubungan penanda-
petanda. Dalam wilayah gramatika, semua penanda—dan semua pengguna penanda-
penanda itu, yakni pengguna bahasa—mau tidak mau harus tunduk pada aturan tata
bahasa yang sedang berlaku, aturan tata bahasa baku. Kesalahan penggunaaan kata
‘kronologis’ dalam contoh-contoh di atas berada dalam wilayah yang sama dengan
kesalahan penggunaan kata ‘keluar’ dalam kalimat “Karena gerah, ia keluar ruangan
untuk mencari udara segar”: keduanya adalah kesalahan dalam wilayah gramatika, yang
jika tidak segera dibenahi akan mengakibatkan kacaunya tata bahasa. Dan jika tata
bahasa kacau, akibat selanjutnya adalah merebaknya kebingungan atau tidak
maksimalnya komunikasi.

Kesalahkaprahan publik bisa diterima—dan masih harus dilihat apakah kemudian


bersama berjalannya waktu akan mengarah pada terbentuknya penanda baru yang
diterima dan digunakan secara umum—jika hal ini terjadi di wilayah makna (hubungan
penanda-petanda). Di wilayah inilah hukum konvensi dalam berbahasa berlaku. Di
wilayah inilah hukum arbitrer dalam bahasa berlaku: tidak ada benar-salah di situ, karena
yang menjadi pertanyaan adalah apakah bersama berjalannya waktu publik menerima
atau tidak makna dan penggunaan sebuah penanda. Kesalahkaprahan publik di wilayah
ini bahkan kadang bahkan perlu disyukuri karena sangat mungkin akan
memperluas/memperkaya makna sebuah penanda.

Saya membayangkan, jika karena alasan keumuman dan waktu kesalahan penggunaan
kata ‘kronologis’ di atas diterima begitu saja dan tidak diluruskan, kesalahan seperti ini
mungkin akan merembet ke penanda-penanda lain, mengacaukan penanda-penanda lain.
Jika karena alasan keumuman dan waktu kesalahan seperti ini dibiarkan begitu saja,
betapa kacaunya tata bahasa Indonesia.

* Zaim Rofiqi menulis puisi, cerpen, dan menerjemahkan buku.

Anda mungkin juga menyukai