Anda di halaman 1dari 2

PARA PENDOSA

Dengan apa lagi


kami bisa bertahan?

Di kota lama
kami pernah merasa seperti kunang-kunang
terbang, bersinar
menjelajahi ranah-ranah remang
ranah kelam dan bayang-bayang
ranah lengang yang membuat sinar tubuh kami
semakin cemerlang.

Di kota lama
kami pernah begitu riang
terbang, melabang
saat kota masih luas terhampar,
perbatasan belum diteguhkan
saat kami bisa memilih
melanglang ke luar,
ke ranah remang dan bayang-bayang
--seperti kelelawar, seperti kunang-kunang--
atau diam anggun di dalam
--seperti kucing, seperti anjing peliharaan.

Tapi kini kota lama hanya cerita lama


sebab dinding-dinding mulai menjulang
mematok batas
membatasi pandangan
dan di sini
kami merasa sangat tua
meski kami baru 33.

Tapi kota lama kini cuma kenangan


sebab pagar-pagar mulai bermunculan
memilah ranah
menyempitkan jalan
dan kami merasa bak patung hiasan
kusam
dan hanya bisa memandang ke depan.

Maka, kami pun terpaksa terbang


melabang, berpetualang:

Meninggalkan perbatasan
ke ranah remang dan bayang-bayang
ranah tanpa rambu tanpa pahlawan
wajah kami seperti bersinar
dan kami merasa kembali muda
meski kini, kami telah 55.

Melewati perbatasan
ke ranah-ranah lengang
ranah penuh tulah, penuh kutukan
tubuh kami seperti memancar
dan kembali kami merasa seperti kunang-kunang
terbang
memandang riang
ke belakang
ke kiri
ke kanan.

Di luar perbatasan
di gurun-gurun lengang
kami mencoba bertahan
membuka jalan-jalan baru
meski kami masih juga tak tahu
apa sebenarnya yang kami buru.

Jakarta, 2006

*Catatan: Puisi ini termuat dalam buku “Lagu Cinta Para Pendosa” karya Zaim
Rofiqi, Penerbit: Pustaka Alvabet, 2009). Bisa didapatkan di took-toko buku Online.

Anda mungkin juga menyukai