Anda di halaman 1dari 9

UNTITLED I

Aku mencari oase di Gobi yang kering


Muak aku melihat tawa segar
Dan aku mau terasing, aku mau sendiri.
Ada yang menulis ceritera dengan mimpi-mimpinya di hari-hari yang penuh kaca
Penuh keresahan dan air mata yang hilang oleh keinginan hampa
Begitulah jejak-jejak hidup mereka terpanggang panasnya ambisi

Munafik mereka yang berkoar dengan agung


Sementara fals mereka nyanyikan hidup.

Untuk apa ke hutan kalau takut pada singa?


Atau harus di dalam goa sementara takut pada gelap?

Ah…!!! Aku mau lari saja menerobos savana liar Afrika


Melawan auman singa yang jumawa
Mencakar hari-hari yang pekat
Menari bebas di antara tiang-tiang ilalang
Tapi aku melihat gagak makan bangkai
Jadi penakut saat manusia datang, terbang bak pecundang di meja judi

Aku melihat topeng-topeng


Dan aku lebih memilih ke Niagara
Menjalin cinta dengan sepi
Berteriak melawan dentuman air yang membelah karang

Hendrik MB

Untitled II

Telah semakin siang


Dan semakin takut pada kehilangan
Menemukan sesuatu pada hawa yang diam
Pada setiap kesempatan yang ketakutan lantas pergi
Kau begitu; kau selalu berceritera
Liwat matamu yang selalu menghujamkan pandangan penuh madu
Selalu pahit, selalu disetiap tetes madu
Di setiap waktu yang tercipta
Di setiap kata yang mau terucap
Tapi suatu saat, di suatu purnama yang telah lama terbayangkan
Aku akan memulai, bukan karena diriku
Tapi dirimu
Karena sesuatu itu ada pada dirimu
Lantas pada jiwamu, kelak aku mengenalmu
Itulah!
Hendrik MB

KAU (I)

Kalau orang memberiku pertayaan tentangmu


Aku bilang kau perempuanku, karena aku laki-lakimu

Aku telah mengenal banyak perempuan


Begitulah aku terlahir dari rahim ibuku, dia perempuan
Begitu kaca, begitu abu-abu
Dan kalau aku menceriterakan perempauan
Itulah artinya aku mencarimu

Di alam mimpi kau sering memanggilku dengan keras, dengan sayang


Di pantai yang ombaknya pecah di bibir-bibirnya
Kau berlari, kau berputar dengan rambut yang terkibas
Dengan jejak-jejak kaki yang selalu terhapus ombak
Kau biarkan aku duduk, memandangmu dengan bergairah
Itulah ketika kau membuat jeruji-jeruji untukku

Bila banyak orang memilih menikmati malam di bar-bar


Aku lebih memilih menghabiskan malam di matamu, di rambutmu
Dan kalau mereka bertanya, aku diam
Karena jawabannya selalu sama, selalu kamu.

Hendrik MB

KAU (II)
Kemarin kau datang.
Lalu semakin sering, semakin perih
Kalau cinta berarti aku tahu ia begitu menyakaitkan
kau tahu perihnya seperti belati, belati yang selalu tak terlihat
Kau bukan seseorang, kau sesuatu
Menyiksaku untuk mengenalmu, menyimpanmu di hati
Sesuatu yang teramat indah, tapi aku harus selalu sendiri dengan rasa yang biru
Semestinya kau ada, jadikan sesuatu itu utuh
Tapi selalu kau ciptakan fragmen-fragmen penuh belati tajam
Selalu, semakin sering, semakin perih
Dan aku selalu kalah oleh bibirmu

Hendrik MB

KAU YANG MEMBUAT CERITERA


(selalu begitu)

Kita bertemu pada angin yang dingin


Berdiri pada kaki-kaki yang keluh
Matamu begitu bundar, begitu sejuk
Dan aku kehilangan kata-kata yang selalu terlintas bila melihatmu dari jauh

Kalau aku katakan aku terperangkap


Itulah mengapa aku lebih memilih mengenalmu dari jauh
Tapi lantas semuanya jadi pekat
Jadi kering, dan waktu jadi kemarau

Selalu jadi abu-abu bila memilih


Jadi biru, jadi tak ada
Karena lidah keluh, bibir begitu dingin

Selalu kau, selalu matamu


Kesekian kalinya kita berada, dan kita selalu berbeda
Berdiri pada jarak yang selalu menyakitkan

Sudahlah!
Biar semuanya pergi, toh tak ada sesuatu dan tak pernah

Kita bertemu pada angin yang dingin


Kita pergi saat angin mulai kemarau
Semuanya jadi kering, jadi debu yang terbang.
Selalu begitu.
Dan akan tetap begitu.

Hendrik MB
BLUE BALLAD

Apakah seharusnya semuanya pergi?


Bagai angin yang terseret di lembah Bromo. Begitulah kita akan hilang.
Dalam gelap yang bersimpuh lama dalam penantian yang biru.
Ah…!!Seburuk inikah kita bertemu dan pergi.

Kau adalah angin dan aku debu.


Begitulah lama aku bercumbu dengan jelaga di setiap jatuhku.
Andai jejak-jejak kita ada pada awan, terbang dengan sayap-sayap meniduri awan
Atau berteman dengan semburan cahaya mentari yang hangat. Hanya berdua.

Semuanya telah dingin.


Betapa jengah aku dengan dogma yang melingkari detak-detak jantung kita.
Kotori nafas yang kita hela dan hembus
Kita telah lama hilang
Seperti kini kita akan mati.

Langit begitu biru. Telah lama laut itu asin.


Ah! Kenapa awan putih?

Tak bisakah kita seperti burung balam yang bebas?


Dan aku mau mencerca mereka.
Tentang apa mereka?
Tentang kita?
Kita selalu begini. Akhirnya apa yang kita pilih : tidur?
Atau sebaikanya mati?

Hendrik MB
MALINGI AKU

Kau!
Malingi hatiku
Kutunggu kau dengan jendela hari yang terbuka
Dan pintu hati tak terkunci

Hendrik MB
SAYAP-SAYAP PATAH

Harusnya mimpi ini tidak pergi


Karena malam ini belum pagi

Dalam mimpi ada bidadari


Menggambar sayap-sayapku agar bisa terbang
Tapi tiba-tiba aku jatuh

Dia pergi!
Dan sayap-sayapku patah
Sebab bidadari pergi
Sisakan gambar yang masih sketsa

Hendrik MB

TUTI

Bisakah ku cium bibirmu sebentar?


Pipimu pun boleh.
Hanya aku ingin gantungkan sebuah jawaban
Di lekuk bibirmu yang tidak merah itu

Tuti,
Sudah selesai kau dengan laki-laki itu?
Tidak seperti kemarin aku tunggu kau
Di pelataran parkir ini telah kuletakan sebuah meja kecil
Lilin kecil. Mawar merah kecil
Dan dua kursi kecil
Tak ada mobil kecil dan besar di sini
Hanya akan ada moment kecil yang indah
Hanya ada nada kita yang kecil

Tuti,
Mamimu yang cerewet itu sudah kusumpal dengan duit
Tadinya pikirku duit itu untuk menghabiskan semalam kecil denganmu
Aku mau malam yang besar denganmu
Bukankah kita sudah sedemikian kecil dalam hidup ini?

Tuti,
Bisakah ku cium bibirmu tidak untuk sebentar?
Aku tak mau pipimu
Hanya ingin habiskan lebih lama denganmu
Tidak hanya di lekuk bibirmu yang tak merah itu
Aku mau kita buat hari-hari menjadi cemburu
Bukan dicibir karena kau baru kubeli dari mamimu
Tuti,
Aku mau bulan dan matahari menjadi milik kita
Karena aku tau kau selalu menutupi wajahmu di siang hari
Katamu kau malu
Tak malukah mereka yang membuatmu begitu?
Meniduri mu setiap isteri mereka datang bulan,
Di ludahi karena frigid dan suami pulang dengan wangi parfum lain?

Tuti,
Aku mau tembok-tembok runtuh oleh kita
Dimulai di malam kecil ini
Lilin kecil ini. Meja kecil ini
Mawar merah yang kecil ini. Kursi yang kecil ini
Dan kita yang kecil ini

Tuti,
Aku tak mau lagi meniduri mu
Aku mau memilikimu
Sudah selesaikah dengan laki-laki terakhirmu?

Hendrik MB

KAU YANG DUDUK DI BAWAH PALEM

Selamat pagi untukmu


Aku melihatmu kemarin
Duduk di bawah pohon pelem diatas rerumputan dingin
Di bawah kerudung bumi yang biru putih sedikit-sedikit

Aku telah melihat bias mentari yang memantul


Di lekuk-lekuk wajahmu
Yang jelas terlihat hari ini
Di lembah-lembah matamu yang penuh kaca bening
Yang terus memintaku menerobosinya

Aku kira mentari akan marah


Begitu aku ingin lebih jelas melihatmu
Sekujur hari-harimu, setiap jengkal kau bernapas

Adakah bulan akan cemburu malam ini?


Aku yakin bintang akan bersinar malu-malu
Bila malam ini kita menjadi bulan dan bintang
Itulah artinya : aku jatuh cinta

Hendrik MB
AKU DAN TUHAN

Aku mau Tuhan itu imajinasi


Ku temui terus setiap menerawang mencari ide-ide
Tapi dia itu sosok yang tertelan
Pada pencaharian panjang
Yang tak kudapati di sampah-sampah
Yang menangis, menggaris jalanan dengan air mata
Dia ada di semak-semak pikiranku
Tak kusiangi, ia tejerat onak dan kerdil

Aku percaya kemarin itu bukan esok


Ia seperti jejak
Hilang dan ada seperti malam dan siang
Begitulah aku yakin Tuhan itu bukan matahari
Hujan. Angin. Air. Laut. Ikan. Daging. Singkong.
Roti. Nasi. Tawa. Tangis. Senyum. Marah. Kecewa.
Dan sesajen di pelataran altar
Kalau ia khotbah maka pergi saja
Ia itu aku. Ia itu hariku.

Aku sungguh yakin Tuhan itu mataku


Ia bukan topengku
Ketakutanku. Kebohonganku
Ia apa yang ku tau

Aku tak percaya Tuhan duduk di kursi-kursi gereja


Telah kucari
Di kapel-kapel
Di karpet-karpet masjid
Di musollah-musollah
Di wihara-wihara
Tidak juga di klenteng-klenteng
Ia ada di mana aku berpikir

Aku sangsi Tuhan ada di launching sekolah gratis


Ia bukan pameran
Ia bukan keinginan
Ia bukan keharusan
Ia hanya setitik ketulusan
Atau sejengkal ruang di pikiran ku yang penuh onak

Aku percaya Tuhan itu sesosok


Aku katakana ia sosok yang kerdil
Disetiap aku di mana ku letakan kaki-kakiku
Di kapel-kapel
Di whara-wihara
Di klenteng-klenteng
Di masjid-masjid
Demikianlah, aku hanya manusia yang berbaju

Kembali lagi :
Aku mau Tuhan itu imajinasi
Ku dapati saat kucari ide
Ia bukan sosok yang tertelan dalam pencaharian
Di antara semak-semak
Atau sampah-sampah jalanan yang menggambar bayangan dengan air mata

Hendrik MB
TAK ADA JUDUL

Telah kau tancapkan jejakmu direlung-relung hatiku


Aku tersesah hari-hari jengah
Rindu pada matamu yang kaca
Pada rambutmu
Dan pada dapur yang telah ku pikirkan matang

Dinda, mengapa tetap saja begini


Tak bisa membaca apa yang kau patri di dadamu

Telusuri hari dengan bising hati


Adalah kamu di sudut-sudut hari
Ketika mentari baru membuka selimutnya
Aku ingin kita di sini
Mandi di telaga mentari yang hangat
Di suatu pagi yang cerah

Pulang. Pulanglah ke hatiku


Ah! Aku sadar dan gelisah pada titik yang sama
Aku mau di suatu pantai kau bersandar di pundakku
Ketika mentari mulai menutup selimutnya

Dinda, sepat di setiap kau hanya di sekujur pikirku


Tak mampu memeluk sekujur mu

Jangan buat aku menyerah


Tak ada waktu sekuat laskar ku
Atau mahkota bertahta sepi sekilau mahkotaku yang bertahta namamu
Menunggu juga indah
Seperti menanti hujan di sahara
Itulah aku di sini tanpamu
Dengan namamu

Hendrik MB
TERIMA KASIH KECIL

Terima kasih Tuhan akan hari-hari sunyi


Bersetubuh pekat keinginan-keinginan naluri
Aku tetap ingin birahi itu ada
Cukup sudah hari-hari ku sunyi, bercinta dengan makhluk-makhluk tanpa dosa (?)
Rasanya akan punah detak jantung
Oleh dogma-dogma baru, oleh pemikir-pemikir ulung
Yang masih sesekali bertamu dengan amplop berisi curhat aneh-aneh
Terima kasih Tuhan akan ketakjujuran yang ada

Aku tak punya kertas surat. Hanya punya pembalut yang tak pernah terpakai
Sering kutulis banyak kata-kata
Jawaban-jawaban, pertanyaan-pertanyaan
Kuongokan sedemikian
Sedikit sesak; lemariku hanya penuh kondom
Terima kasih Tuhan masih sempat kau bercakap dengan ku
Di kamar kecil dan lembab
Penuh bau-bauan, sebuah ranjang yang tak bisa untuk berdua
Terima kasih mau membaca surat-surat kecil ku; lemariku sedikit longgar

Terima kasih Tuhan akan nafas yang begitu murah kau beri
Tak sungkan pintu rumahmu kuketuk, sesekali
Satu dua kali, satu dua hari. Kau ada menyuguhi ku senyum dari balik pintu kusen
sederhana
Aku tetap sibuk dengan kesibukan biasa
Dengan orang-orang yang biasa
Dengan hari-hari biasa
Masih sempat Kau suguhi teh bila ku bertamu
Sedikit berceritera; bercengkarama Ayah dan anak

Tuhan kalau aku pulang aku janji tak akan bawa kondom
Aku hanya akan bawa ceritera-ceritera setiap kali ku bertamu.

Hendrik MB

Anda mungkin juga menyukai