Anda di halaman 1dari 3

SAAT TENGGOROKAN SAYA HILANG

Saya tau dia mulai bosan. Tiba-tiba dia mulai enggan untuk untuk berbicara mesra seperti
dulu. Dulu sekali itu dia banyak bicara. Bicara apa saja yang membuat saya tidak bisa menaolak
untuk sekedar memagut bibirnya atau memandang matanya yang berbinar. Kata-kata mesranya
yang dulu-dulu itu sulit sekali saya balas dengan bahasa verbal. Dan akhirnya saya memutuskan
menjawabnya dengan pagutan bibir atau sekedar menggosok pipiku ke pipinya.

Sebenarnya dulu sekali sebelum dulu-dulu itu saya bisa membalasnya dengan kata-kata
yang telah didesain khusus oleh otak dan jiwa. Namun semenjak kecelakaan mengerikan itu saya
hanya mampu membalasnya dengan pagutan atau pipi yang bergesek dengan pipinya.
Bagaimana pun modelnya itu tetap luar biasa bagi kami dulu-dulu itu.

Tiba-tiba semuanya berubah semenjak dia bosan. Dia mulai bosan berbicara. Saya tidak
tau apa yang mebuat dia bosan. Ingin sekali bertanya hanya saja tenggorokan ini sudah dicuri
takdir. Selamanya cekat, selamanya diam. Dan semenjak kebosanannya itu kelamin kami diam.

***

Awal mulanya kami bertemu di kafe dan bertegur sapa basa-basi umumnya. Umunya
laki-laki naluri saya bergelora bak pertempuran kuruksetra yang seru. Dia membenturkan
pandangannya yang penuh jerat. Seketika itu saya terjerat dan bukan rasa sakit dalam jerat ini
tapi nikmat bak ejakulasi bercinta.

Kami berbicara banyak. Tentang awal mula perkenalan kami di situs peretemanan dan
segala macam tetek bengek lainya. Kami minum tiga botol bir dan memenuhi asbak dengan
banyak puntung rokok.

Saat itu kami seperti sepasang orang gila yang tak mempedulikan apapun. Berbicara
sesuka hati, tertawa semau gue. Kami seperti berada di dunia kami sendiri. Kadang kami saling
melawak dengan riang, kadang kami menseriusi satu dua topik yang menarik. Tidak peduli
bahwa baru enam jam yang lalu kami bersua. Duduk di depan tiga botol bir. Beberapa bungkus
rokok. Dan sesekali memagut pandang.
Waktu buakanlah alasan yang tepat untuk sebuah relasi. Tidak harus lama. Menikah
muda atau di usia tua. Semua yang hadir di kolong langit adalah takdir. Dimana menurutku itu
kutukan paling menakutkan sekaligus paling menyenangkan. Waktu hanyalah bahasa sederhana
dari saat. Saat adalah momen dimana filosofi tua – manusia boleh berusaha Tuhan yang
menetukan – dijawab. Apabila itu terjadi apakah kami harus mengelak?

Kami hanya seongok daging yang kadang menjilat liur. Tapi itulah konsep manusia yang
harus kami terima. Kami bercinta. Kami makan. Kami minum dan merokok. Mencoba hal-hal
baru – mungkin itu bukan harapan kecil kami dulu. Tapi apa daya, demikianlah, kadang kami
harus menjilat liur. Cita-cita adalah candu yang kadang harus membawa kami menuju panti
rehabilitas untuk memulai hidup yang lain.

Dia dan saya demikian intens berhubungan. Dimana kami mulai mengenal satu sama lain.
Akhirnya kami semakin sadar bahwa ini bukan hanya soal hubungan kelamin. Bir tiga botol.
Bahkan berbungkus-bungkus rokok. Hubungan kami adalah realitas dimana peluh ranjang, asap
rokok dan buih bir hanyalah nada untuk menciptakan harmoni yang kami inginkan. Kemudian
kami menikah sebelum saya tau dia hamil.

Dia hamil, kemudian kami memiliki seongok daging baru yang sering merengek di
malam hari.

Namun suatu ketika dia bosan. Bosan bicara. Bahkan mulai bosan untuk berbagi kelamin
atau sekedar bermesraan. Saya kehilangan tenggorokan dalam kecelakaan mengerikan sehingga
tak bisa bertanya kenapa dia bosan.

Saya tidak tau apa alasannya. Hanya sebuah alasan yang saya mau. Betapa terdera hati
dan jiwa ketika dia bosan. Sangka-sangka mulai berdatangan bak ribuah serdadu perang yang
menyerbu Irak. Mengoyak gema janji altar dan sisakan puing tak terkira. Dia mulai sering tidak
di rumah. Tidak di ranjang. Tidak di dapur . Tidak menyusui. Saya tidak lagi menyusu.

Sangka yang menurut saya cukup lagis adalah: dia butuh suara saya kapan pun dia mau
dan saya sudah tak mampu memberikanya lagi.

Dia tentu butuh suara saat saya makan dan berkata enak atau tidak masakanya. Dia tentu
butuh suara ketika saya marah. Ketika saya tertawa. Ketika merasa sedih dan menangis. Ketika
kami berbagi kelamin. Ketika bermain dengan seongok daging baru yang mulai bertumbuh
besar. Ketika saya menyusu pada putingnya.

Tapi bagaimana saya bisa bersuara saat saya kehilangan tenggorokan. Saya tentu sangat
ingin bersuara bila tenggorokan saya masih ada. Saya ingin sekali bersuara ketika dia bertanya
apakah masakannya enak atau tidak. Bersuara ketika tertawa saat dia melawak. Ketika merasa
sedih saat dia berduka. Ketika berbagi kelamin dengannya. Ketika bermain dengan seongok
daging baru yang mulai tumbuh besar. Atau ketika saya menyusu putingnya.

Saya benar-benar tidak mengerti tentang kebosanannya. Saya juga tidak mengerti kenpa
dia tidak mengerti tentang tenggorokan saya yang hilang dicuri takdir. Bukankah harus demikian
suami dan istri? Saling mengerti?

Saya sebenarnya enggan untuk bersangaka atau memvonis sangkaan menjadi kenyataan
saat ini. Tapi saat aku tidak bersuara. Saat tenggorokanku hilang. Saat kelamin kami diam. Dia
bilang: ada seongok daging dalam perutku.

Malang, 250211
*)Untuk Yulia perempaun sepi yang bersuami tak bertenggorokan.

Anda mungkin juga menyukai