Anda di halaman 1dari 8

K A M I

Hendrik MB

Aku mulai kisah ku dari cinta. Anggaplah saja itu sederhana, seperti aku bernafas setiap
saat dan makan-minum di waktu yang telah ditentukan. Begitu saja, demikian mudahnya. Cukup
menarik nafas, mengisi paru-paru dengan oksigen, dan darah baru yang segar akan segera
mengikatnya lalu membawanya ke sekujur tubuh. Darah yang kaya oksigen itu akan membagi-
bagi kekayaannya untuk semua bagian tubuh sesuai porsi yang wajar dan yang telah digariskan.
Sederhana, karena memang harus demikian kodratnya.
Dari cinta, ibuku memulainya dengan pria yang ia cintai. Yang ia panggil suamiku
setelah janji suci di gereja kecil di kampungku. Dengan gaun putih yang simpel dan pria berjas
old style dengan yakin ia bilang: “ya saya bersedia mencintai dan menghargainya sebagai
kepala keluarga dan imam ku sampai ajal menjemput.”
Untuk mengucapkan itu ibuku tak perlu menghafal, ia cukup membaca dari buku panduan yang
sudah ada. Sekali lagi, sederhana. Mungkin karena cinta mereka bukanlah upacara gereja atau
resepsi dengan penampilan orkes kampung. Cinta mereka lebih dari itu; sebuah tanggung jawab.
Di sinilah aku temukan kerumitan yang lama tak aku jumpai sampai setelah aku mengenal dia.
Perempuan yang menyesah asumsi-asumsi ku dengan kejam.
“Hubungan kita bukan sekedar karena kau membutuhkan aku atau sebaliknya. Ini lebih
dari itu. Kau tau itu, Lintar?”
Dia katakan, dia tanyakan juga; demikian dalam dengan nada suara yang begitu aneh.
Meskipun tak ada yang aneh hari itu, sama persis dengan hari-hari sebelumnya. Dia duduk agak
jauh dariku dan aku bersandar di batu karang yang hitam sambil memandang bibir pantai yang
mulai hitam dan horizon yang semakin jingga.
“Aku tau. Selalu kau ulangi itu setiap aku meminta pelukan, atau ciuman, bahkan
menggenggam tanganmu. Sebagian orang mungkin menganggap ini aneh di zaman yang tidak
lagi menuhankan pingit-memingit. Tapi aku tak peduli.”
Dia memang demikian, sebagai perempuan yang tidak lebih tua ia sanggup meredam
naluri hewaniku. Menurutnya, manusia menjadi hewan seharusnya setelah mengucapkan janji di
depan altar. Menikmati naluri hewani seharusnya dengan dasar kasih sayang dan tanggung
jawab, sebab kita bukan makhluk primitif atau masih berkelakuan kera.
Dia benar-benar rupa yang sungguh aku mau. Mungkin karena terperangkap rasa ingin
laki-laki ku. Namun lebih dari itu ia begitu sungguh perempuan dengan candu terbaik yang
selalu dicari pria mana pun. Aku beruntung memacarinya dengan sungguh.
“ Lintar, “dia memandangku dengan teduh, begitulah dia mencanduiku. “ aku ingin hamil
tiga kali.”
“Bukankah harus dua?”
“Aku merasa lebih bahagia dengan tiga anak. Mereka yang mengatakan harus dua,
apakah mereka bisa menakar kebahagiaan kita dari itu?”
Selalu dia lebih cerdas selangkah dari aku. Aku malah merasa sedikit terpojokan sebagai
lelaki. Atau mungkin aku sendiri mulai mempertanyakan kejantanan ku? Aku risau – sedikit
risau - dia minta tiga kali hamil. Bukannya apa-apa, tapi pikirku terlalu dini untuk
mengharapkan itu. Tiga kali hamil, bukan sekedar dua manusia berbeda kelamin yang
melakukan pembuahan, tapi lebih dari itu tentang hidup yang tidak selalu lurus.
“Aku tidak tau, Akso,” aku mencoba sedikit lebih bijak.” Apakah aku juga bahagia
dengan tiga anak, atau malah juga kamu sebaliknya. Harapan tidak pernah memberi seratus
persen.”
“Ataukah kau takut?”
“Tentang.....?”
“Tentang banyak hal. Tiga anak. Makan-minum. Tidur; nafkah lahir batin. Semuanya,
setelah kita punya tiga anak.”
Aku menatapnya dengan sungguh. Mencari sesuatu yang mungkin sedang ia
sembunyikan, sesuatu yang entah apa. Tigasetengah tahun kami menjadi sepasang kekasih, aku
malah merasa mengenalnya hanya enam bulan belakangan ini. Tidak ada romantisme model
budaya urban; french kiss, pelukan hangat, atau sekedar cium kening. Katanya: itu bukan rasa
sayang.
Aku mengenal banyak hal selama di kota. Diskotik, perempuan malam, minuman keras,
dan french kiss. Aku kira akan menemukan itu bersamanya, ternyata begitu pragmatisnya aku
beasumsi. Hal-hal itu membuatku terlambat mengenalnya.
Memang benar, kami bukan lagi berkutat dengan rasa cinta yang abstraktif. Teori cinta
yang monyet-monyetan tidak lagi bisa mengisi kotak hidup kami. Kami telah sampai pada
jenjang tanggung jawab; tanggung jawab pada hidup. Ini juga tentang usia yang tidak lagi
mudah, memopa kami untuk semakin dewasa. Hal ini tidak aku pikirkan selama dua tahun di
kota. Dia mengajarkan aku pelan-pelan dengan telaten; aku bisa. Namun sekali lagi, baru enam
bulan belakangan ini.
Sampai akhirnya hari ini, ia minta tiga anak, aku bilang tidak selalu demikian harapan
menjadi kenyataan. Ia balik bertanya, apakah aku takut tentang tiga anak, makan-minum, nafkah
lahir batin, dan banyak hal lain setelah punya tiga anak. Tidak demikian juga – sebagai lelaki aku
aku hanya ingin berpikir lebih masuk akal. Seberapa banyak pun anak tidak bisa menjawab
kebahagiaan. Kebahagiaan adalah takaran abstraktif kehidupan, ia bisa dimulai dengan harapan
tapi tidak bisa dijawabi dengan seratus persen menjadi kenyataan. Nilai usaha dalam harapan
adalah hal yang paling penting dan menjadi kebahagiaan yang paling esensial dalam hidup.
Paling tidak demikian yang aku tau.
Saat ini dia meminta lain. Sebagai laki-laki aku tak perlu berkata banyak dengan
argumentasi yang panjang-panjang. Cukup saja aku memahami hal itu sebagai harapannya. Saat
ini aku hanya cukup mengiyakan harapannya itu tanpa harus berbohong dengan janji-janji
picisan yang sering diucapkan pria-pria sejati yang ternyata amatiran dalam mencintai seorang
wanita. Pria-pria demikian itu sering aku jumpai di kota. Dan mereka sangat menjijikan namun
tetap bisa menjadi santapan nikmat bagi beberapa wanita kota yang tolol karena romantisme
sampah.
Setelah saat itu – pembicaraan tiga anak – aku semakin mengenalnya. Semakin hari
pengenalan itu semakin intens – diluar berapa lama kami menjalin hubungan. Semakin aku
mengenalnya selalu akan aku temukan hal-hal baru darinya yang harus aku kenal lebih akrab.
Hal-hal yang demikian itu yang semakin mengukuhkan rasa ingin memilikinya selamanya. Tapi
disamping keinginan yang menggebu, aku sadari bahwa semua itu perlu kemapanan. Dalam
semua hal, tidak hanya material, lebih dari itu adalah loyalitas tanggung jawab, bayaran yang
seharusnya aku lakukan setelah mengatakan: aku cinta kau sepenuh hati. Kemudian
mengesampingkan banyak kemungkinan untuk menjadi sangat egois suatu saat. Bagaimanapun
laki-laki selalu demikian setelah memiliki seorang perempuan, merasa bak raja kehidupan. Aku
tak ingin seperti itu sebab aku juga puanya seorang adik perempuan.
***
Satu tahun kemudian. Entah pembicaraan tentang harapan, imajinasi tentang rumah berisi
tiga anak atau lebih menjadi sering kami bicarakan. Harus aku katakan dengan jujur bahwa rasa
bosan mulai menghantui. Menggelantung bak mimpi buruk di benakku. Dia terasa seperti
pendongeng kala berkata-kata. Dan aku benci dongeng, sebuah fatamorgana kehidupan yang
pernah aku temui di kota.
Aku mulai merasa ia terlalu sering bermimpi. Apakah ia sudah tidak lagi berpijak pada
bumi? Kehilangan orientasi kenyataan dan patokan hidupnya adalah mendewakan mimpi. Aku
kian lelah dan mulai merasa renta ketika melihat dia semakin bocah, bak gadis
empatsetengatahun yang mengulum lolipop sambil menikmati film kartun.
“Aku ingin rumah yang mungil,” katanya dengan bersemangat dan senyum yang
girang.”Tiga anak akan terasa melegakan dengan rumah yang seukuran mungil.”
Entah apa yang harus kukatakan. Hanya senyum.
“Lintar?..”
“Ya?”
“Kau kelihatan kurang bersemangat. Senyum yang kau tempelkan di bibirmu begitu
kaku. Ada apa?”
Kau tau, aku merasa suasana hubungan kita semakin menyebalkan. Tidak dengan
bersuara.
“Ah, itu perasaanmu saja. Atau mungkin secangkir kopi pagi tadi terlalu pahit sementara
aku belum juga sarapan.” Dia tetap terlihat tidak yakin dengan jawaban seperti itu. Dengan
tatapan tajam dia menacari-cari apa yang aku sembunyikan dibalik senyumku. Membaca
ekspresi wajahku yang dengan susah payah aku sembunyikan.
“Kau berbohong!”
Dia tau. Aku tidak peduli. Laki-laki punya cara menyembunyikan kebohongan, dan aku
sang spesialis. Dia hanya akan berceracau, mencari-cari di gurat wajahku. I don’t care!
Aku bosan dengan semua ini. Gairah terhadapnya pelan-pelan memudar. Rumah. Tiga
anak. Pernikahan. Gaun putih. Jas pria yang klasik. Untuk apa membanyangkan semua itu. Tidak
satupun yang menjadi masuk akal. Aku mulai merasa hubungan ini seperti bercinta dengan
seorang wanita frigid. Malah aku mulai mengingat Yuli – perempuan aneh setengah baya – yang
hanya berusaha menyelesaikan cerita kamar losmen dengan dua kondom dan uang seraturibu
tanpa harus mendesah atau orgasme. Kemudian dengan tergesa membereskan pekerjaan terakhir,
berdandan, dan kembali ke pinggir trotoar. Sangat menjengkelkan. Tidak ada yang istimewa
dengan seratusribu.
Dia begitu menganggungkan mimpi-mimpi. Aku inginkan passion. Dan dia memberikan
kemustahilan, sama rasanya ketika membuang seratusribu bersama Yuli. Kebosanan yang kian
menggelayut itu tiba-tiba berubah menjadi racun tikus. Aku seperti tikus yang sedang sekarat
dengan sepotong keju yang menggiurkan bertabur racun tikus. Ajal di depan mata!
Aku tikus yang nyaris mati. Spesies yang akan segera punah. Berada disampingnya
dengan ocehan mimpi-mimpi yang membuatku membayangkan dongeng pertamaku ketika di
bangku taman kanak-kanak. Aku mau mengakhiri skratul maut ini ketika perempuan itu datang
bak oase di tengah zahara. Perempuan yang membuatku melihat siapa aku dengan sangat yakin
tanpa harus berasumsi atau bertanya apakah ini aku. Aku merasa aku menemukan kembali
kesejatianku sebagai tikus jantan!
Perempuan itu penuh passion. Ia bak anggur terbaik yang dipanen dan diolah di tempat
yang tepat. Aku bilang rasnya begitu khas. Sangat berbeda. Kami bertemu saat aku sedang di
Kuta. Seekor tikus yang hampir mati berada di bibir kuta dan datanglah peri kecil dengan tongkat
sihirnya dan mengubah segalanya. Semua terasa penuh gairah. Makan. Minum. Tidur. Dan kami
berjalan-jalan menikmati Bali. Aku berada dalam sebuah dongeng. Bukan pangeran kodok dan
putri cantik, tapi tikus sekarat dan peri kecil.
Ini yang aku sebuat titik balik. Dia – perempuan itu – kami semakin akrab. Kami berbagi,
dan aku yakinkan kami semakin cocok. Aku tidak lagi harus mendengar banyak mimpi dari
mulut orang lain. Dia telah katakan, kami masing-masing memiliki mimpi yang berbeda. Kami
akan berjalan dengan mimpi-mimpi kami, mewujudkannya tanpa harus menginjak mimpi yang
lain. Setiap hal dalam harapan memiliki hak kehidupannya sendiri. Baginya hubungan laki-laki
dan perempuan bukan sekedar menikah. Punya anak tiga atau berapa pun. Punya rumah.
Bercinta. Bekerja. Lak-laki dan perempuan itu sebuah korelasi yang tidak bisa disamakan dengan
hukum Archimedes. Tidak ada konstanta. Yang ada hanya tak terhingga dimana kemungkinan
dan harapan adalah candu terbaik.
Aku mengerti apa yang ingin dia sampaikan. Cinta laki-laki dan perempuan bukan
sekedar deklarsi mimpi-mimpi tapi keyakinan yang tulus. Bukan must be tapi have to. Dengan
demikian akan selau ada pilihan-pilihan dimana langkah kaki tidak selalu dalam cetakan.
Aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengan perempuan pertama setelah
kepulanganku dari Bali. Aku katakan sejujurnya – demikian seharusnya seorang laki-laki,
berkata bohong juga berkata jujur pada waktu yang tepat. Aku melihatnya menangis dan dengan
jujur harus kukatakan itu benar-benar melukaiku. Tapi setiap luka selalu memiliki misteri
dimana jawabannya ada dalam perjalanan hidup. Pencarian tanpa batas. Aku melepaskanya
bukan untuk memberinya luka abadi tapi sebuah kesempatan baginya untuk menemukan seorang
tabib yang tepat untuk lukanya itu. Terantuk itu memang selalu meyakitkan, tapi dengan
demikian rasa sakit telah menjadi seorang guru. Aku membisikan itu dengan tulus. Hanya
anggukan darinya. Dan selesai.
***
Aku dan perempuan kedua adalah pasangan penuh ceritera yang mendebarkan. Bak
membaca novel Dan Brown, adrenalin kami terpacu kencang. Dia selalu sisipkan kejutan-kejutan
di setiap hari baru. Selalu ada yang baru. Selalu ada candu terbaik setiap pagi. Intensitas
hubungan kami semakin menuju titik yang diidamkan semua pasangan. Aku telah berpikir untuk
bercinta di malam pengatin yang klasik. Keinginan yang kurasa sudah sangat benar. Bukankah
kami sudah sangat cocok saat ini?
“Apakah pernikahan cukup baik diakhir tahun ini, Maryam?”
Dengan mata bulatnya dia memandangku dengan tatapan entahlah. Saat itu kami berada
di sebuah kamar hotel kecil dalam perjalanan pulang dari jogja.
“Apakah hubungan seperti ini tidak kau sukai?”
Aku tidak mengerti maksud dari pertanyaannya. Bukankah selama ini kami berpacaran?
Aku bahagia.
“Maksudmu?”
“Pertanyaanmu sangat provokatif. Seolah kau ingin memprovokasi hubungan kita.”
“Apakah keinginan untuk menikahi kamu adalah sebuah hal yang buruk, yang kau
sebuah provokasi? Aku hanya ingin kita melangkah ke jenjang yang lebih serius.”
Aku mulai memahami guratan di wajahnya. Kebencian. Dan aku semakin tidak mengerti.
“Kau sangat yakin dengan pernikahan. Seoalah semuanya akan lebih serius setelah
menikah. Kau mencampakan semuanya, Lintar. Bercinta. Saling memahami. Makan. Minum.
Apakah semua itu hanya sekian dari banyak mainanmu?”
“Aku tidak mengerti dengan arah bicaramu, Maryam. Tidak ada permainan tau mainan.
Ini soal melegalkan hubungan kita. Bukan hanya soal menikah dan kebahagiaan kita atau soal
keseriusan yang tadi aku bicarakan. Ini juga tentang keluargamu dan keluragaku. Kita sudah
berhubungan sangat jauh. Saling mengenal antar pribadi juga keluarga. Ini sangat penting
melebihi kebebasan berpikir kita.”
Tiba-tiba dia turun dari ranjang. Dengan tubuh yang polos dia berjalan ke arah kursi yang
terletak di salah satu sudut kamar. Aku bersandar di bantal. Dia menatapku dengan tajam. Aku
melihat kebencian dan kemarahan di matanya.
Saat ini aku khilangan arah berpikirku. Aku terjerembab ketika asumsi ku berteriak: dia
membenci pernikahan. Aku memang membenci eskpektasi-eskpektasi yang tinggi soal
pernikahan. Tapi bagiku pernikahan tetap hal yang sangat penting. Mungkin dogma-dogma
pernikahan memang sangat menjengkelkan, mulai dari harus memiliki anak sampai tetekbengek
lainnya yang bagiku tidak sangat perlu. Pernikahan bagiku adalah pencapaian kebahagiaan.
Seperti bercinta dimana orgasme adalah hal yang sangat penting.
Aku berdiri dan berjalan menujunya. Duduk dibawah kakinya. Aku mencium lututnya,
hal yang selalu kulakukan setiap kami bercinta. Banyak temanku yang mengatakan hubungan
kami ini sangat jauh dari moral bangsa ini. Moral? Tau apa mereka soal moral. Perang antar
agama? Pemerkosaan hak-hak orang lain? Membenci tetangga dan tak pernah berkata jujur
lantas melegalkan budaya tusuk dari belakang? Aku dan dia tidak pernah malu untuk
mengatakan kami berhubungan badan. Mereka katakan itu free sex. Aku katakan tidak. Hanya
kami dan tidak ada lagi pria atau wanita yang lain. Aku selalu berusaha untuk tidak munafik.
Bagiku sex itu penting – terikat atau tidak dalam pernikahan. Terserah orang menilai apa. Bagiku
moralku adalah standar yang aku pakai untuk mengabdi pada Tuhan-ku. Yang paling penting aku
tidak mengganggu moral masyarakat.
Aku menatapnya dengan serius. Aku berusaha mencari sesuatu yang belum aku pahami
dari dirinya lantas berusaha untuk kupahami. Tapi entah mengapa kali ini begitu sulit membaca
gurat wajahnya. Seperti memecahkan kode morse salah satu kegiatan yang paling aku benci
dalam hidupku – aku tidak pernah lulus dalam kegiatan pramuka saat zaman sekolah.
“Apakah kau akan terus diam? Katakan sesuatu, honey. Berikan jawaban yang tidak
harus membuat kita bertengkar.”
“Espektasimu tinggi, Lintar. Aku tidak pernah berpikir sampai di situ. Aku harus katakan
bahwa selama ini ada perbedaan mendasar antara kita yang sulit untuk aku katakn. Sangat
sarkatis.”
“Katakan.”
“Apa?”
“Perbedaan bernama sarkatis itu.”
“Kau sungguh ingin mengetahuinya?” Dia bangun lantas berjalan ke sisi lain kamar.
“Ya. Katakan saja.”
“Tuhan-mu dan Tuhan-ku. Presepsi kita tentang itu akan sangat berat bila kita menikah.”
Aku terkejut. Seolah tidak yakin dengan apa yang dia katakan, aku berusaha menata arah
berpikirku kembali. Aku tidak ingin menjadi tikus sekarat lagi. Aku yakinkan bahwa saat ini
harus lebih jernih untuk berpikir.
“Lantas kau yakin Tuhan-mu dan Tuhan-ku itu merestui hubungan kita yang hanya
seperti ini? Aku sendiri tidak terlalu yakin.”
“aku juga sedang mencari tahunya. Apakah harus seperti ini atau sebaikanya kita memilih
jalan yang berbeda”.
Aku telah menjadi tikus yang sangat sekarat. Bukan karena racun tikus. Lebih dari itu,
aku terjepit perangkap tikus yang mencekik tenggorokan ku. Peri kecilku hilang. Berganti
malekat maut dengan pedang berapinya.
“Kau tidak serius selama ini, Maryam.”
“Jangan menjadi juri bagi keseriusanku, Lintar!”
“Kenyataanya demikian. Kau munafik!”
“Aku tidak munafik! Apakah aku adalah perempuan munafik saat kelaminmu dan
kelaminku bertemu?!”
Aku tidak ingin menjawab. Aku sudah menemukan jawabanya. Tiga tahun berlalu setelah
meninggalkan perempuan pertama, aku hidup dalam dunia kemunafikan. Tiba-tiba aku merasa
jijik dengan diriku sendiri. Dia seperti pelacur saat ini dalam benakku. Apakah itu asumsi
emosional? Aku tak peduli. Dia telah berubah, anggur dengan rasa khas itu telah menjadi anggur
basi penuh kebohongan labelitas. Aku seperti seorang alkoholic tolol yang dibodohi oleh label
minuman sampah.
Aku benci dengan waktu yang berlalu. Setelah dari hotel kecil itu, aku tak ingin bertemu
dengannya. Aku ingin diam sesaat, berusaha keluar dari perangkap tikus. Aku ini tikus yang
sedang sekarat. Dengan kesadaran tersisa aku harus berpikir jernih. Sebantar lagi akan ada
kucing kelaparan yang akan menyantapku bila tak segera lepas dari perangkap menyakitkan ini.
Jiwaku meronta-ronta dan alam pikirku mengalami bencana hebat. Aku tikus sekarat dalam
perangkap tikus!
Dia berusaha menghubungiku. Aku mengetahuinya dari seorang karibku. Karibku bilang,
dia – perempaun itu – datang dengan wajah depresi. Ia meminta untuk bertemu denganku. Tapi
karibku menolaknya dengan tegas. Karibku mengatakan kepadanya bahwa aku sedang ingin
sendiri. Aku sangat berterimakasih dengan tindakan karibku itu. Saat-saat ini aku memang tidak
ingin bertemu dengannya. Aku kehilangn gairah dan sedang kuusahkan untuk bertemu
dengannya. Entahlah dimana dia bersembunyi.
Waktu memang berlalu dengan cepat. Aku belum bisa keluar dari perangkap tikus.
Sampai di suatu kesempatan seorang karib yang lain datang. Ia berceritera banyak denganku.
Mungkin karena memahami keadaanku ia ingin menghiburku. Kadang ia berceritera dengan
anekdot sesekali berkelakar nakal ala kaum laki-laki. Kami juga berbicra serus dengan porsi
yang pas. Dan dia mengatakan sesuatu yang tidak mungkin aku lupakan: hari pertama tidak
selalu lebih baik dari hari kedua, demikian pun hari kedua tidak selalu lebih baik dari hari
ketiga. Setiap kesempatan tidak pernah datang dengan sempurna. Ia hanya datang untuk kita
sempurnakan, demikianlah harusnya laku manusia. Jangan menggantungkan harapan terlalu
tinggi pada setiap kesempatan, tapi pelajarilah setiap kesalahan dalam kesempatan itu.
Aku mengerti apa yang ingin ia sampaikan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa,
perempuan pertama atau kedua dan atau yang lainnya tidak pernah datang dengan sempurna.
Sebab itu seharusnya aku tidak terlalu menggantungkan harapan yang tinggi pada salah satu dari
mereka. Aku sadar, laki-laki memang egois!
Aku putuskan untuk bertemu dengan perempuan kedua. Dia menungguku di sebuah ‘cafe
tempat kami biasa bertemu. Dia begitu cantik dengan busana kausal tanpa make-up sedikit pun.
Hari ini cerah dan dia pun terlihat cerah. Dia menyapaku dengan senyumnya yang khas.
“Sangat lama tidak bertemu denganmu,” Dia yang membuka percakapan ketika aku baru
saja duduk.
“Ya, sangat lama dan semuanya mulai berubah.”
“Ya. Cepat sekali berubah.”
“Kau tampak cerah.”
“Kau terlihat riang.”
“Aku tidak ingin berlama-lama.”
Dia memandangku dengan serius. Kembali tersenyum dan minum.
“Aku senang bersamamu selama hampir empat tahun. Pertama-tama, aku seorang pria
sekarat yang kau obati dengan telaten. Terima kasih.”
“Saat itu kau katakan kau tikus yang sekarat.”
“Ya. Dan sekarang aku tikus yang baru lepas dari perangkap tikus. Dan aku putuskan
untuk mencari tabib yang baru.”
Dia diam karena dia mengerti. Dengan sedikit senyum lalu kembali minum.
“Aku mengerti,” dia bersuara.”Ma’af bila hubungan ini tidak sesuai ekspektasimu. Aku
hanya tidak ingin kau bermimpi lebih dari ini.”
“Aku sudah terbangun. Dan sekarang aku adalah salah satu kananganku yang menjadi
temanku.”
Dia tersenyum kemudian menghabiskan minumanya.
Kami berpisah dengan sangat baik. Tidak ada air mata. Kami kemudian berkelakar
sebelum memesan makanan. Dia tertawa sepanjang hari itu. Aku suka tawanya, tidak ada
kebohongan.
***

Kami – aku, perempuan pertama dan perempuan kedua – bertemu di kesempatan yang
berbeda. Kami telah menciptakan fragmen kehidupan yang hanya kami yang tau dimana
akhirnya. Kami mungkin tidak pernah akan hidup bersama dalam satu rumah. Tapi kami
mendapatkan banyak pelajaran yang tidak akan hilang begitu saja.
Ayah dan ibuku mereka tidak pernah langsung bertemu lalu berdiri di depan altar gereja.
Sama seperti kami, ayah dan ibuku mungkin bertemu pada kesempatan yang kesekian. Mereka
mempersatukan harapan-harapan mereka dalam sebuah rumah kecil dengan keluarga kecil
mereka. Aku bersyukur mengenal mereka, memahami bagaimana cinta mereka tumbuh tanpa
harus bermimpi yang muluk-muluk.
Pelajaran yang kami dapatkan begitu kaya. Kami mengetahui apa itu mimpi. Bagaimana
kami harus menempatkan mimpi dalam hidup. Kami juga belajar tentang kekuranngan-
kekurangan yang harus kami perbaiki dan dengan tidak malu-malu mengakui itu.
Akso akhirnya pergi pada mimpinya. Maryam terus berkutat dengan gelora jiwa
mudanya. Aku terus saja mencari kesempatan yang mungkinsaja datang suatu ketika. Akhirnya
bukan Cuma aku tapi kami telah belajar bahwa cinta itu ada dimanapun harapan itu ada.

Malang, 14 Februari 2011


*Mengenang dua perempuan yang pernah menjadi mutira dalam hidup

Anda mungkin juga menyukai