Anda di halaman 1dari 14

SURAT UNTUK AKSO

Dan
3 CERPEN LAINYA

Hendrik MB

LELAH AKU
Aku melihat semuanya terperangkap gelap yang timbul entah dari mana.
Tapi aku jelas melihat mereka. Hanya mereka – entahlah - mencari-cari dan
meneriakiku. Memanggil namaku berulang kali. Aku dekati mereka satu persatu. Ku
rabai mereka satu demi satu. Ku jawabi mereka masing-masing. Tapi benar-benar
aneh. Mereka terus saja meraba-raba dalam kegelapan itu. Memanggili namaku
terus. Aku resah. Aku jengah. Aku bosan. Aku marah. Tapi apa kataku bila mereka
terus begitu? Aku resah mencari jawaban. Padahal telah ku ketahui semua
jawabannya. Untuk masing-masing mereka tentunya.
Aku tau siapa itu Bosan. Aku kenal Risau. Aku tau sipa itu Putus Asa. Aku
bertemu Kedengkian di simpang gang sempit. Aku sapa Egoisitas yang berdiri di
pinggir-pinggir jalan. Aku bertamu di asrama-asrama berisi Dendam. Semuanya aku
tau. Apa yang tak aku tau dari apa yang aku buat? Aku seka semua air mata
mereka. Ku lapi liur Hedonisme. Ku sejuki panasnya Kedengkian yang berjemur di
bawah cipratan gossip Gengsi. Pokoknya aku tau semua mereka. Di dalam gelap
itu. Titik.
Tapi mereka terus saja meneriakiku. Aku bosan. Telah kusuruh mereka diam
berteriak. Tapi terus saja mereka melakukan hal yang sama. Kali ini mereka malah
menambahkan segala macam tetek bengek dalam teriakan mereka itu. Sepintas
terdengar berbeda inti teriakan mereka itu. Tapi menurutku hanya satu yang
mereka mau. Melihat.
Melihat. Aku telah katakan kepadanya untuk melakukan apa yang mereka
mau. Tapi ia enggan dan sedikit takut-takut. Ia malah berasumsi bahwa aku lebih
membela mereka semua itu. Ia protes. Karena memang ia takut. Tapi memang
jelas. Selalu saja bila kutugaskan, Melihat selalu pulang dengan rupa mengenaskan.
Tak tanggung-tanggung. Kadang ia pulang tanpa gigi. Sesekali hidungnya bengkok.
Atau pernah juga digunduli. Kata mereka ia buronan. Ia disekap. Kaki dan
tangannya diborgol. Dan ia benar-benar tak bisa melakukan apa-apa. untungnya
setelah diselidiki ia korban salah tangkap. Itulah maka Melihat enggan bertugas
lagi.
Aku tak tau apa lagi yang harus kubuat supaya mereka keluar dari kegelapan
itu. Aku dikejar deadline. Memang! Sebab salah-salah semua semut-semut bisa
punah. Tanah-tanah yang mereka pijaki bisa sekarat. Karena selama kegelapan itu
menutupi mereka, mereka tak bisa tenang. Seolah-olah pantat mereka bisul,
sehingga susah duduk. Mereka terus saja bergerak kesana – kemari. Mereka tak
peduli dengan apa yang mereka pijaki. Peduli setan, begitu kata mereka. Apalagi
belakangan telinga mereka pun mulai tuli.
Aku duduk dengan rasa sesak yang menumpuk-numpuk. Mataku perih
karena debu yang dihasilkan oleh keributan mereka. Padahal telah kuteriaki
berulang-ulang bahwa, semakin mereka bergerak dan berteriak semakin kegelapan
itu menutupi mereka. Tapi itulah, mereka tuli. Lelah aku. Ditambah Melihat minta
pensiun lebih dini. Praktis aku sendiri. Semakin sendiri karena aku kena radang
tenggorokan akibat keseringan meneriaki mereka. Sudahlah mungkin sebaiknya
aku beristirahat dulu. Kebetulan villaku baru selesai derenovasi. Lelah aku.

Hendrik MB

SELANGKANGAN DAN PISTOL BERPELURU DELAPAN

“ Bisa! “
“ Kalau tidak?”
“ Kita bicarakan lagi. Kau bukan tipe orang yang bisa dipercaya.”
“ Aku lebih suka dikatakan plin-plan.”
Kayana bangkit dari sofa butut itu dengan jengkel. Ia berjalan ke jendela
yang sedari tadi kordennya tertutup. Diselipkannya rokok kretek di sela kedua
bibirnya yang kering dan hitam. Ia lalu menyibak sedikit korden itu, membuat
sejumpul cahaya seketika menyeruak menembusi kaca jendela yang kusam dan
mulai kuning itu. berdiri saja ia di situ. Memandang ke luar sejenak sambil
membuang asap kreteknya. Kemudian memalingkan wajahnya memandang Juan
yang sedang mengisap setan dari kertas perak di atas sebuah meja kecil.
Disandarkan badannya di dinding samping jendela.
“ Aroma segitiga emas. Aku suka ini, Yana.”
“ Aku tak punya banyak. Terlalu mahal. Dan tak cocok untukmu.”
“ Hei….”
“ Orang kere tidak cocok pake itu.”
Juan terdiam. Tapi kembali ia mengisap yang sisanya. Diusap-usapnya
hidungnya karena masih ada sedikit yang menempel.
“ Sudahlah, Yana. Masa pacarmu sendiri kau bilang kere. Kita sama-sama
saling membutuhkan, kan?”
“ Tidak! Apa yang kau butuhkan dari aku? Seks? Kita sama-sama senang
dalam hal ini. Tak ada yang saling membutuhkan. Malah aku pikir kalau selama ini
kau hanya benalu. Datang bila bosan tiduri pelacur. Untung selama ini tak satu pun
penyakit yang kau idap.” Kayana membuang asap rokoknya dengan kasar. Lalu
tersenyum sinis ke arah Juan.
“ Jadi? “
“ Aku pikir-pikir dulu.”
“ Aku butuh banyak, Yana.”
“ Aku butuh uang, Juan. Apa yang kau belikan untuk aku selama ini? Cincin?
Rantai? Bahkan bunga setangkai pun tak bisa kau beli. Malah sekarang aku rasa
kelaki-lakianmu sudah menguap. Mengemis dari perempuan.”
Juan membanting bong ke lantai. Dengan wajah memerah berdiri dan ke luar
dari kamar Kayana yang berantakan itu. Ia membanting pintu dengan kasar.
Kayana menghembuskan asap rokoknya dengan santai. Menarik korden. Lalu
tertawa sekerasnya.
*
“ Tak ada yang perlu kau takutkan, Kayana. Kehidupan itu milik manusia.
Milik aku. Milik kamu. Namun bila suatu saat kehidupan itu mengkudeta dirimu,
buatlah ia hanya punya pistol berpeluru delapan. Dan kau punya semuanya yang
mampu membombardirnya dan membuatnya bersembunyi di selangkanganmu.”
Kayana hanya tau ketiak. Karena teman-teman mengatai ketiaknya bau.
Belakangan baru ia mencari tahu apa itu selangkangan. Dan ketika remaja baru ia
benar-benar paham. Teman-teman perempuannya sering mendiskusikan itu ketika
berceritera tentang malam mingguan mereka di puncak atau bersembunyi di kamar
kost yang sumpek bersama pacar meraka.
Kayana tak pernah malam mingguan. Ia sendiri tak tau apa itu malam
minggu. Apa yang mereka buat ketika di puncak atau di kamar kost. Apa yang ia
pedulikan? Toh, ia sendiri tak tau apa itu selangkangan yang sering teman-
temannya perbincangakan. Yang ia tau laki-laki yang datang setiap malam ke
rumahnya tidak menanyakan selangkangannya. Mereka tidak pernah basa-basi.
Sebab malam-malam yang sering Kayana lalui bukan malam remeh temeh yang
hanya patut dihabiskan karena sekedar bermalam minggu atau malam basa-basi
yang mengharu biru. Ini lebih rumit. Ini soal bagaimana ia menaklukan hidup di
balik selangkangan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
Kehidupan itu bukan sebuah ceritera fiksi yang bisa dibedah atau diresensi.
Begitulah Kayana tau dari ibunya. Kehidupan itu angin. Badai. Kerikil. Batu. Debu.
Air. Kering. Kerdil. Takut. Marah. Keberanian. Keputusan. Kemunafikan. Penipuan.
Permainan. Dan semua tetek bengeknya. Seperti juga selangkangan. Kayana tidak
pernah melihat itu sebagai hal-hal remeh yang aneh atau patut dipertimbangkan.
Karena pertimbangan hanyalah imajinasi. Ketakutan. Kesesatan dan ateisme
kehidupan. Apa pertimbangan pernah peduli pada kehidupan? Tidak! Kayana
menyadarinya itu. Sama seperti ia harus berbaur dengan semua sohib
perempuannya. Yang selalu berbicara tentang pertimbangan-pertimbangan. Kenapa
harus beli baju ini. Kenapa sepatu ini. Kenapa menyukai laki-laki itu. kenapa harus
ke sini. Kenapa tidak ke sana. Karena ini. Karena begitu. Ia bosan. Ia benci. Tapi ia
harus tetap menyukai semuanya. Karena hidup itu munafik.
“ Pertimbangan itu ateisme. Jangan pernah percaya dengan pertimbangan.
Percaya pada apa yang sekarang membuatmu bisa sekolah. Apa yang bisa
membuatmu makan.”
Kayana mengangguk.
“ Jangan pernah peduli dengan apa yang kau lihat. Mereka bisa menipu.
Sebelum itu terjadi, jadilah penipu dan kalahkan apa yang kau lihat.”
Kayana tersenyum. Bola matanya memantul di mata ibunya yang mulai tua.
“ Dalam hidup tak ada yang saling membutuhkan. Ketika kau membutuhkan
orang lain kau akan jatuh. Dalam kehidupan hanya ada kemauan yang harus
dipenuhi. Tak peduli dengan siapa dan dengan apa. Tak tergantung pada siapa-
siapa akan membuatmu kuat dan berdiri seperti Jenghis Khan menaklukan separuh
bumi.”
Kayana menutup komik remaja yang sedari tadi dibacanya.
“ Kayana mau tidur, bu.”
“ Besok sekolahnya jam berapa?”
“ Nggak tau. Liat besok.”
Kayana beranjak ke kamarnya. Komiknya dibiarkannya tetap di atas meja
rias ibunya. Ibunya memandangi punggungnya sampai tertutup kain pintu kamar.
Ibunya tersenyum. Mengambil sebatang kretek menyulutnya lalu mengembuskan
asapnya tinggi-tinggi.

Juan bukan satu-satunya laki-laki yang Kayana piara. Ia memiliki banyak yang
telah ia sembunyikan di balik selangkangannya. Tapi ia tak pernah resah meskipun
semua mereka pergi. Karena ia begitu yakin dengan apa yang ia punyai. Mereka
hanya punya pistol berpeluru delapan. Ia punya semua yang mampu
membombardir mereka untuk kembali ke selangkangannya. Kayana tak pernah
mengurusi basa-basi mereka yang remeh-remeh itu. Ia tidak suka
mempertimbangkan apa yang mereka basa-basikan. Ia hanya peduli pada setiap
penipuan yang ia buati untuk mereka. Sebuah kesenangan yang heboh. Sama
seperti laki-laki itu membanggakan penipuan yang mereka lakukan untuknya.
Berkoar-koar dengan pistol berpeluru delapannya.
Kayana tertawa keras di kamarnya yang sumpek dan berantakan. Duduk saja
di atas lantai yang penuh abu rokok dan kertas-kertas kotor. Ada bong yang pecah.
“ Kayana ingat pesan ibu. Laki-laki itu penuh basa-basi. Tapi mereka hanya
punya pistol berpeluru delapan. Sama seperti ayahmu, mereka pecundang”
Kayana mengisap kreteknya dalam-dalam. Membuang asapnya dengan
nikmat. Lalu tertawa lagi pelan-pelan.

Hendrik MB
SURAT UNTUK AKSO

Akso, salam jumpa. Lama kita tak berbicara lewat apapun setelah suratmu di
tahun yang tempo. Apakah kau menunggu suratku? Aku harap tak kau tunggu
telpon dariku. Sebab sekujur tubuh bumiku telah punah. Tanah kami telah
ditetapkan sebagai batas neraka. Menurutmu ada jaringan telpon di neraka?
Menulis surat ini pun kupunguti kertas di jalanan yang penuh arang. Untung kertas
ini tak angus-angus banget (maaf kalau ada bagian-bagian yang tersobek api).
Benar-benar lelah Akso. Semalaman, pernah aku bersembunyi ketakutan di
rumahku sendiri. Dinding-dinding rumahku seperti mau menghimpitku dengan
kejamnya. Mungkin mereka lupa aku yang membuat mereka hidup. Menata batu
satu-satu untuk membentuk mereka. Tapi aku pikir mereka terdesak. Mereka
bimbang untuk memilih. Mereka atau aku yang harus binasa. Sebab di daerah kami-
yang telah dinamai batas neraka ini-manusia telah dilarang untuk hidup.
Belakangan selebaran telah disebarkan oleh pengintai lucifer. Aku memang tak
membacanya. Tak sempat karena terlalu lelah untuk mencari perutku yang
kerontang dan hilang. Tapi gosip di temapatku ini sekencang gosip-gosip
dikalangan artis negerimu. Akan segera dibangun kerajaan neraka di pusat kota
kami.
Akso Aulia Puri Melatisari. Masih ingat saat kita bertemu di dunia maya yang
ramai oleh orang-orang yang tidak semuanya jujur? Kita bertegur sapa biasa saja.
Seperti biasa yang kau lakukan bila bersua dengan handai taolanmu yang banyak
dan kau katakan ramah-ramah itu. Apakah kita jujur saat itu? Menurutmu? Aku kira
tidak. Kita sama-sama berbohong karena kita hanya berceritera liwat dunia asyik-
masyuk yang dibuat oleh orang-orang seperti kita juga. Tapi kita berusaha untuk
jujur saat kita bersedia-masing-masing- untuk berbicara dari telinga ke telinga. Tapi
sayang kita berdua punya masing-masing dunia yang terisi juga oleh orang lain.
Orang-orang yang punya kepentingan berbeda dengan kita. Bukankah yang Satu-
satunya itu telah membuat semuanya demikian? Namun semuanya itu nyatanya
tidak membuat kita patah untuk terus berceritera. Kau pernah katakan bahwa
hanya ada satu alasan untuk mengakhiri semua ini. Bila semuanya berakhir dan
kita pulang kepada sosok kekal itu. Itulah mengapa aku tidak pernah sekalipun
berhenti menyuratimu.
Dunia mungkin lelah. Tapi aku tak mau lelah bertutur denganmu. Meski
semuanya sulit dan memompa keberanian kita. Semuanya sulit, Akso. Termasuk
ketika kita memulai hubungan yang rumit dan mencemaskan ini. Dan kita sendiri
tidak mungkin bermanja atau memaksa untuk dimengerti. Karena tak akan
sedikitpun kita dipahami. Apa yang dipedulikan oleh elang yang hendak memangsa
ular incarannya? Anak ular? Isteri ular? Tidak, Akso. Elang juga butuh makan.
Walaupun ia bisa makan yang lainnya. Begitu juga dengan kita. Kita tak bisa
memilih siapa yang akan memangsa hidup yang kita jalani sekarang.
Akso, aku merindukanmu liwat bayanganmu.
Banyak dari teman-temanku yang sekarang mengatakan bahwa kami
sepertinya sendiri. Masing-masing dengan diri kami masing-masing. Menjadi kerdil
dan berjibaku dengan debu dan panas di tanah kami sendiri. Apa gunanya
kedatangan malaikat-malaikat laskar Mikail di batas neraka ini bila meraka hanya
dibekali masing-masing sebuah pedang tumpul? Dan kami terus merasa sendiri.
Tapi bagiku aku berbeda. Sedikit. Aku punya kamu yang siap berbagi tutur.
Setidaknya setiap lembar suratmu adalah tetesan-tetesan hujan bagiku. Tapi
sampai kapan aku akan bertahan dengan perbedaan yang sedikit itu? Sedangkan
teman-temanku mulai memilih untuk mati. Telingaku mati ketika mendengar itu.
Karena otakku kemudian turut sekarat ketika mataku berkata : bagaiman dengan
anak isteri mereka?
“ aku lebih memilih mati untuk tak mewaris anak cucuku kematian.”
“ mati itu lebih baik bagiku. Anakku sekarat kehabisan darah dan drakula-
drakula lucifer telah mencuri pasokan darah. Aku tak ingin jabang bayi di dalam
perut isteriku kelak menikmati hidup sebagai lumbung darah para drakula.”
“ apa gunanya aku hidup? Isteriku telah dicincang-cincang oleh pedang-
pedang lucifer.”
Bla-bla-bla-bla………dan bla-bla-bla mereka mengatakan hal yang sama
dengan berbagai alasan. Lalu sejurus aku terdiam dan bertanya : apa gunanya aku
mati? Apa gunanya surat-suratmu yang kubaca bila akhirnya aku harus mati? Aku
tak pernah menyangkali kematian. Kematian tak pernah jauh dari kita. Ia punya
ceritera sendiri dan kita tak perlu mendramatisirnya. Aku sendiri hanya ingin
menjalani semuanya dengan perjuangan yang kukuh. Aku tak ingin kehilangan
diriku sendiri hanya karena rapuh.
Aku bertemu bocah-bocah di jalanan kota. Mereka berkejar-kejaran di bawah
langit-langit debu. Tak ada garis-garis rasa sedih meski lapangan bermain bola
sepak mereka telah dibangaun pilar utama kerajaan neraka. Mereka selalu punya
dunia mereka sendiri. Sama seperti kita. Memiliki dunia kita sendiri tanpa rasa
cemas pada keadaan yang menakutkan. Malah aku berpikir bahwa kitalah yang
ditakuti. Kita punya kekuatan untuk meruntuhkan pilar-pilar besi yang menyekati
keberadaan kita. Sama dengan bocah-bocah di jalanan kotaku. Mereka telah
membuat rapuh pilar utama kerajaan neraka itu. Hingga akhirnya beberapa dari
mereka dibakar hidup-hidup untuk menyemangati perancang pilar-pilar kerajaan
neraka. Tapi aku masih melihat senyum di bibir-bibir yang mulai tak terlihat itu.
Memang, dunia mereka sungguh tak akan pernah terbakar. Sama dengan rasaku
yang tak akan pernah terberangus oleh api-api kegelisahan oleh karena keadaan
ini.
Akso, apa kau merindukan suaraku?
Suratmu sebelumnya membuatku berpikir keras belakangan ini. Aku
berusaha untuk memahami semuanya. Kau dan aku. Kita dan mereka. Kau telah
menulis bahwa kau tak mengenal siapa itu Kala. Begitu juga aku. Tapi apa kau
mengenali ku seperti isi surat mu yang begitu intim? Rumit, Akso. Kerinduan
masing-masing kita untuk bertemu mata dengan mata untuk bertutur. Aku berdiri di
batas neraka sementara dirimu pulas tenang di tanah tentram. Aku berlari dan
bersembunyi. Menulis suratmu dengan telinga yang awas dan cemas di bawah
lobang-lobang gelap. Sedangkan kau hanya perlu berjalan untuk membeli kertas
surat terbaik untukku. Duduk dengan tenang di kamarmu menuliskan kata-kata
terbaik untukku. Kita begitu berbeda. Aku hanya sebutir debu yang terus tertiup
angin. Dan aku sendiri tak tau kemana aku akan di bawa nantinya. Melankolik
memang. Tapi isi kepalaku malah letih dan kacau. Berkeringat di pertempuran jiwa.
Aku tak bisa berbohong dan berkata jujur sekalian. Aku hanya bisa katakan, aku tak
tau.
Akso. Siapa pun itu. Tak bisa menyurutkan apa yang kita rasakan sekarang.
Bahkan aku yakin Yang Mutlak pun tak punya hak untuk meneriaki takdir untuk kita.
Tapi apa yang harus kita perdebatkan dan pertahankan di sini? Cinta? Keinginan?
Tak ada satupun yang perlu. Karena kedua-duanya itu adalah kita. Kita telah
melakukan semuanya dengan baik. Walaupun semuanya tak sebaik yang kita
pikirkan. Toh, tak ada satupun yang baik bila kita tak sempat memikirkan atau
mengangankannya. Yang terpenting adalah kita baik-baik saja. Kalaupun semuanya
ini hanya sebatas ini apakah kita harus berkabung selamanya? Tidak, Akso!
Perkabunagn yang berkepanjangan adalah milik orang-orang lemah yang
sentimentil. Mereka itulah yang membuat semuanya menjadi rumit dan kacau.
Mereka hanya mendirikan sekat-sekat kebencian satu sama lain. Mereka adalah
orang-orang yang turut mengisi hari-hari kita. Tapi kita tak perlu mengisi hari-hari
mereka. Karena kita bukan pengecut.
Kau tau, bahwa sebenarnya hanya ada ketakutan dan kegelisahan dalam
sebuah konspirasi. Dan konspirasi itu rumit. Lebih rumit dari keadaan kita sekarang.
Orang-orang akan saling menggigit. Menodong. Menyalip. Mejatuhkan. Sementara
kita menjalani semuanya dengan apa adanya. Surat-surat yang sederhana. Kata-
kata yang spontan. Semuanya membuat kita lebih gampang untuk melakukan
banyak hal. Termasuk aku, untuk tetap bertahan hidup di sini meskipun tanpa
siapa-siapa. Hanya kau Akso, yang membuatku terus bertahan untuk tidak berhenti
menulis surat untukmu. Memilikimu sebagai bagian dari hidupku bukanlah sesuatu
yang remeh. Tapi sebagai kekuatan yang membuatku hidup untuk banyak hal yang
lebih berarti dari sekedar menyerah pada kematian. Seperti anak-anak di jalanan
kotaku.
Akhirnya, Akso kita akan rehat sejenak untuk bertutur. Kertas ku tak mampu
memuat lebih banyak kata-kata ceritera untukmu.
Kala bukan sekat atau tembok yang patut kau takuti. Ia hanya sesosok laki-
laki yang harus kau mengerti sebagai manusia normal. Ia telah memasuki hari-
harimu. Mungkin jalan yang ia tapaki ke sana tak serumit yang aku lalui. Tapi
sudahlah. Perbedaan itu lebih menghidupkan hidup. Selain itu Kala bukan sekat
yang berarti bagiku untuk menyambangi hari-harimu sesekali. Memang berat. Tapi
lebih ringan sekarang bila aku lebih memilih untuk bersahabat lebih akrab dengan
realita. Dunia memang selalu menyiapkan banyak menu. Salah satunya adalah kau,
aku dan Kala.

Gaza, 12 dalam bulan yang pekat dan tahun yang kersang.


Ilham Rafet bin Mahhmud

Hendrik MB

RUMAH INI TAK ADA JUDUL

Seharusnya kau bicara. Aku muak melihat kau diam dengan wajah terus
tertunduk, terisak pelan-pelan. Kau kelihatan takut. Aku tak mengerti. Sementara
dengan tidak takutnya kau – seenaknya – tidur dengan laki-laki itu.
“ Berhentilah berdiam diri dan terisak. Aku lebih suka kau katakan sesuatu. “
Kau tak menjawabi apa-apa. Diam dan terisak pelan-pelan.
“ Paling tidak siapa laki-laki itu? “
Kau hanya menyeka air matamu.
Aku marah. Dengan kasar ku pegang pundakmu. Menyentak tubuhmu
dengan kasar.
“ Katakan kenapa?! Siapa laki-laki itu?! “
Kau mendorongku dengan kasar. Kau bangun dan menatapku dengan tajam.
Menusuk dan menggigiti sekujur tubuhku. Bibirmu bergetar.
“ Aku mau kau menceraikan aku! “
Aku menatap matamu dengan pandangan kosong. Sekujur tubuhku rasanya
runtuh. Aku merasa semuanya tidak pernah ada. Pernikahan yang meriah. Ranjang
penuh cinta dan ambisi. Rumah berisi cita-cita. Semuanya hanya hitam dan putih.
Kamar yang putih. Ranjang yang hitam. Cita-cita yang seketika menjadi hitam.
Menjadi hilang. Putih. Hitam.......
*
Kita habiskan lima tahun berpacaran. Dua belas tahun menjadi suami dan
isteri, ayah juga ibu. Waktu yang sangat lama untuk saling mengetahui dan
mengenali pilihan yang kita buat. Begitu rumit segala hal yang telah kita lalui tanpa
tau apa yang akan terjadi sesungguhnya pada cita-cita dan harapan kita nantinya.
Toh, kita tak segan mengambil keputusan tentang banyak hal. Mempunyai anak
ketika aku baru saja bekerja sebagai penulis lepas dengan gaji pas-pasan adalah
salah satunya, sampai kepindahan kita ke kota yang lebih menjajikan banyak hal.
Dan di sini, dari titik yang sangat nisbi kita memulai semuanya. Freelance yang
terus kutekuni. Karier mu mulai kau tata dengan sungguh di kantor barumu,
sebagai sekretaris.
Suatu ketika kita ketahui Alib mulai tumbuh menjadi anak yang harus kita
bekali lebih dari sekedar pendidikan rumah yang lazim bagi setiap orang tua. Kala
itu aku benar-benar kacau. Sebagai pria beranak dan beristeri aku seperti ditampar.
Enam tahun berkutat dengan kerjaku, tak menghasilkan perubahan apa-apa. Masih
juga dengan laptop butut dan berim-rim kertas di ruang kerja. Mengetik setiap
malam dengan gaji yang miris. Dan aku akui aku sendiri hampir tak mampu
membeli pakaian dalamku sendiri. Tapi kau tak pernah mempersoalkan itu. Kau
tetap hadir sebagai sosok isteri yang bijak dan penuh pengertian. Alib mulai kita
sekolahkan. Dan semenjak itu aku terus bebrpikir untuk berubah. Aku tidak
mungkin selamanya terkubur dalam idealisme menulisku. Aku punya kamu dan Alib
yang tidak bisa hanya hidup dari idealisme ku itu. Apa arti seorang suami bila
menyekolahkan anak pun aku tidak bisa dengan uang ku sendiri sebagai kepala
keluarga.
Dua tahun Alib sekolah. Aku sudah diterima sebagai wartawan dan penulis
sebuah rubrik tetap di sebuah koran nasional yang cukup besar. Ketika itu kita
bercinta semalaman untuk merayakan penerimaan ku di tempat kerja baru itu. Kita
begitu menikmati malam itu. Menciptakan dunia kita sendiri. Bau keringatmu dan
rasa tak sabarmu dengan setiap jengkal keinginan pubertas kita. Kita menikmati
setiap jengkal rasa haus dan penantian kita yang begitu kering dalam hari-hari yang
gersang. Ranjang ini menjadi penuh naluri dan keinginan. Harapan. Cita-cita.
Entah di tahun keberapa kala itu. Kita menjadi begitu jauh. Begitu sulit kita
bercinta. Begitu enggan kita duduk semeja untuk menikmati sarapan yang
sederhana bersama Alib. Hari-hari tanpa kata dan bercinta. Dan Alib lebih sering
terlihat sendiri bermain dengan mobil-mobilannya. Aku mulai lebih sering berkutat
dengan laptop mengejar deadline. Dan kamu, hari-harimu tak lagi ku kenal. Kita
dan seisi rumah ini telah menjadi barang-barang asing yang tak lagi saling kenal.
Hanya tegur sapa penuh basa-basi seperti yang lazim dilakukan manusia-manusia
umumnya.
Kamu mulai berani pulang malam.
“ Banyak yang harus ku selesaikan. Aku harus sering lembur.”
Pagi itu kau hanya berkata begitu. Saat aku sedang menyeduh kopi
kesukaanku yang belakangan mulai terasa pahit. Hidup kita mulai bertele-tele. Tak
berasa.
“ Mungkinkah kita terlalu sibuk untuk sekarang ini?”
Kau membenarkan rokmu yang sedikit sesak.
“ Kau mulai gemuk.”
“ Aku mulai fitness kemarin di gym.”
“ Mungkinkah kita terlalu sibuk untuk sekarang ini?”
“ Tidak.”
“ Alib. Aku kira ia mulai jengah bermain sendiri dengan mobil-mobilannya.”
“ Aku telat.”
Membenarkan kembali letak rokmu. Mencium bibirku dengan cepat. Dengan
tergesa pergi. Aku menelan liur yang terasa pahit. Meraba bibirku yang ternyata
ada tempelan bubuk kopi. Sial! Kopiku terlalu kental.
Waktu berjalan lambat menurutku. Tapi tetap saja menelurkan banyak hal
baru yang semakin lama semakin asing di seputar rumah kita. Alib mulai bosan
dengan mobil-mobilannya. Ia minta dibelikan sepeda. Rupanya ia mau bermain
bersama anak-anak sebayanya di kompleks tempat tinggal kita. Rumah bukan lagi
menjadi dunianya. Aku tau itu. Kau pun mengatakan demikian. Tapi entah mengapa
kita menjadi sangat tidak tau. Lebih sering menghabiskan banyak waktu untuk
kerja-kerja yang ringan dan berat. Bukankah Alib juga butuh uang? Tapi apakah
sangat kurang untuk kehidupan kita sekarang ini? Satu anak, satu rumah yang
lumayan besar, seorang pembantu, seorang sopir dan dua buah mobil? Aku sering
bertanya-tanya tapi lebih sering kehilangan jawabannya. Aku tak tau apakah kau
juga merotasikan hal-hal itu di otakmu. Aku sendiri. Kau sendiri. Di dalam satu
rumah, di atas satu ranjang.
Aku mulai muak dengan semua kehidupan di seputar rumah ini. Terlalu
dingin untuk desain rumah yang begitu hangat. Semakin lama semakin beku. Tak
terelakan kita jatuh. Hancur. Dan hanya debu-debu kenangan manis yang tersisa.
Aku lalu berpikir tentang Alib.
“ Papa, mama mana? “
Aku meletakan koran yang belum selesai kubaca. Pukul 12.00. Menatap mata
Alib yang bulat dan aneh menurutku. Aku baru menyadarinya. Aku menatapnya
dalam-dalam, tapi tak ada yang aku temukan. Hanya kebisuan. Hanya kesepian.
Kau belum pulang. Alib belum tidur. Aneh, kau selalu pulang larut. Aku tak
peduli. Tapi entahlah kali ini. Mungkin karena Alib bertanya.
“ Mama mungkin masih kerja.”
“ Mamanya Abdi kerja juga. Tapi selalu pulang sore. Pernah malam tapi ga
larut. Koq jam segini mama masih di kantor?”
Ah, Alib mulai pandai berbicara. Aku menarik Alib ke dalam ke dalam
gendonganku.
“ Dari mana Alib tau mamanya Abdi ga pernah pulang larut?”
“ Alib pernah bermalam di rumah Abdi. Waktu itu papa dan mama ke luar
kota semua. Bik Isah sakit. Pak Anto harus pulang karena isterinya melahirkan.”
Aku menarik nafas dalam-dalam. Alib belajar banyak ketika ia harus
kehilangan banyak hal di usia sekecil ini.
“ Alib belum mau bobo? ”
“ Alib ga mau tidur sendiri.”
“ Sama papa. Ayo.”
Aku menggendong Alib. Alib semakin berat.

*
Pagi ini mobilmu di garasi. Aku melihatnya ketika hendak mengambil laporan
wawancaraku yang tertinggal di mobil. Aku akan mempelajarinya sebelum ke
kantor, setelah Pak Anto mengantar Alib ke sekolahnya.
Di kamar kau masih pulas. Melihat wajahmu yang pulas itu seperti melihatmu
pertama kali. Sedikit gurat lelah di wajamu juga mengingatkan aku ketika pertama
kali kita bercinta. Sudah sangat lama. Aku lalu berpikir tentang suatu waktu untuk
mengulang semua itu. Bersama denganmu. Bercinta sesuka kita. Mencairkan dingin
yang telah membeku di ranjang kita. Kapan?
Alib membuka pintu kamar. Menghampiriku.
“ Alib berangkat, pa. “
Aku mencium keningnya. Ia memandang ibunya yang lelap dengan
pandangan yang masih aneh. Sepertinya ia menyimpan sesuatu yang tak bisa ia
utarakan. Ia lalu pergi begitu saja, membiarkan pintu kamar tetap terbuka. Dan aku
memilih mandi.
Sial!
Pak Anto menelponku, mobilnya macet waktu pulang mengantar Alib.
Dengan kesal aku melirik jam tanganku. 08.30! Aku telat tiga puluh menit. Aku
melirik ke luar dan hanya ada mobilmu di halaman. Sudah dikeluarkan Pak Anto.
Aku akan pakai mobil mu.
Kau masih juga lelap. Aku terpaksa membangunkan mu.
“ Sayang, “ kata itu keluh di tenggorokanku, “ sayang.”
Kau membuka matamu sedikit.
“ Ga ke kantor? “
Kau hanya menggeleng. Aku tak perlu bertanya lagi. Basa-basi cukup sekali.
“ Aku pinjam mobilmu dulu. Mobilku mogok. “
“ Kuncinya di tas. “ jawabmu singkat. Serak dengan mata yang tetap
tertutup.
Sedekat ini, tiba-tiba membuatku ingin bercinta. Bau tubuhmu yang khas
membuat otakku dikocok-kocok. Tapi aku harus ke kantor. Aku lalu mengambil
tasmu. Mengambil kunci mobilmu. Tapi........
Kau selingkuh, Ranti!
Aku memilih duduk di sofa kamar kita. Memandang dirimu dari sini. Lekuk
tubuhmu jelas. Mengingat-ngingat ketika pertama kali kita bercinta membuatku
muak. Pikiranku mencari-cari kemauan-kemauanmu yang tak terpenuhi. Mencari-
cari juga cita-cita kita yang terganjal kerikil, yang akhirnya ku temukan batu.
Kau selingkuh, Ranti!
Aku mau muntah mengingat seberapa tua kita, juga seberapa besar Alib kini.
Muka ku mulai terasa panas. Hatiku mulai berbuih. Aku lalu melonggarkan kerah
bajuku. Mencoba mengingat-ngingat telah berapa kali kerah bajuku kau betulkan
atau sekedar basa-basi sebelum aku ke kantor.
Kau bergerak sedikit. Aku mengintai gerakanmu seperti pemangsa yang
kelaparan. Tangan ku telah sedari tadi berkeringat. Kau bergerak lagi. Hanya
membetulkan letak tidurmu lalu kembali pulas.
Tiga jam. Aku melirik jam tangan ku sejenak. Kau bergerak lagi. Kali ini pelan-
pelan kau membuka mata dengan berusaha menghapus kekaburan biasa setiap
bangun tidur. Matamu lalu tertuju ke padaku. Dengan tatapan heran......
“ Ga ke kantor?”
Aku diam. Menatap tajam. Kau tak peduli. Atau tak merasakannya? Bangun
dari ranjang lalu bergerak menuju wastafel. Aku mengikuti gerak tubuhmu yang
telah aku kenal lama. Dulu, itu sangat menggairahkan dan indah. Tapi pagi ini
seperti racun yang mencekik leherku.
Kau selingkuh, Ranti!
Kau kembali dengan wajah yang lebih segar.
“ Semalam kau ke mana, Ranti?”
Kau menatap ku dengan kerutan di kening.
“ Apa maksud mu? Aku selalu pulang pagi, kan?”
“ Aku tidak bertanya kenapa kau pulang pagi. Ke mana kau semalam?”
“ Kerja.”
“ Dengan sekotak kondom?”
“ Itu untuk kita.”
“ Yang sudah terpakai?”
Kau terdiam.
“ Katakan sejujurnya.”
Kau diam. Duduk kembali di ranjang. Lalu mentapku dengan pandangan yang
aneh, tak bersalah.
“ Siapa laki-laki itu?”
Kau diam lagi.
Aku diam juga sebentar. Tapi semakin lama semakin sesak dada ku.
“ Katakan siapa laki-laki itu?! Katakan, Ranti!” kali ini suara ku kasar dan
keras.
Kau menatap ku dengan tatapan tak percaya. Aku menghampirimu dengan
cepat mencekalu pundakmu, menatapmu dengan tajam.
“ Siapa laki-laki itu? Ka-ta-kan!”
Kau mulai ketakutan. Aku sadar itu karena belum pernah sekali pun akau
membentakmu seperti itu. Berlaku terlalu kasar terhadap dirimu. Aku mendorong
tubuhmu dengan kasar lalu kembali duduk di tempat ku. Berusaha menenangkan
pikiranku agar bisa berbicara lebih tenang. Satu menit....dua menit....tiga
menit.....menit-menit seterusnya, tiba-tiba kau terisak pelan-pelan. Lantas aku mau
muntah melihat kau diam dengan wajah terus tertunduk, terisak pelan-pelan. Kau
kelihatan takut. Aku tak mengerti. Sementara dengan tidak takutnya kau –
seenaknya – tidur dengan laki-laki itu.
“ Berhentilah berdiam diri dan terisak. Aku lebih suka kau katakan sesuatu.

Kau tak menjawabi apa-apa. Diam dan terisak pelan-pelan.
“ Paling tidak siapa laki-laki itu? “
Kau hanya menyeka air matamu.
Aku marah. Dengan kasar ku pegang pundakmu. Menyentak tubuhmu
dengan kasar.
“ Katakan kenapa?! Siapa laki-laki itu?! “
Kau mendorongku dengan kasar. Kau bangun dan menatapku dengan tajam.
Menusuk dan menggigiti sekujur tubuhku. Bibirmu bergetar.
“ Aku mau kau menceraikan aku! “
Aku menatap matamu dengan pandangan kosong. Sekujur tubuhku rasanya
runtuh. Aku merasa semuanya tidak pernah ada. Pernikahan yang meriah. Ranjang
penuh cinta dan ambisi. Rumah berisi cita-cita. Semuanya hanya hitam dan putih.
Kamar yang putih. Ranjang yang hitam. Cita-cita yang seketika menjadi hitam.
Menjadi hilang. Putih. Hitam.......
Kau diam. Aku diam. Hanya terdengar isakmu yang semakin pelan. Lama.
Sampai kau berdiri dan bersuara :
“ Namanya Indra...”
Aku hanya menatapnya dengan pandangan tak percaya.
Kau selingkuh, Rianti.
Aku ingat nama itu. Pria yang sangat aku kenal. Sahabat yang kini menjadi
musuhku. Tapi kemudian aku ingat Alib. Aku tak peduli. Pergilah. Aku tak mau
malam-malam lain kemudian Alib bertnya:
“ Pa, mama mana?”

Hendrik MB

Anda mungkin juga menyukai