Anda di halaman 1dari 4

DUNIA MUSIK INDONESIA: DUNIA BADUT ATAU ORANG LATAH?

Oleh: Hendrikus MB Lamenty

Era digital dalam dunia musik telah melahirkan terobosan baru dalam
bermusik, baik dalam skala dunia maupun dalam skala tanah air. Seketika itu mulai
banyak bermunculan pelaku-pelaku baru dalam dunia musik tanah air. Ada yang
sekali muncul langsung eksis terus dan adapula yang langsung mandek bahkan
sekaligus hilang. Pelaku-pelaku baru ini cenderung membawa model atau warna
musik yang sama. Warna-warna musik ini memiliki kecenderungan pada selera
pasar dan menduakan kualitas secara keseluruhan dari sebuah lagu. Fenomena
bermusik seperti ini malah turut pula menginfeksi pelaku-pelaku musik lama yang
sudah dikenal memiliki kualitas dan ciri bermusik sendiri. Merka menciptakan
alasan simpel bahkan cenderung naif: ingin mencoba hal baru atau alasan pasar.
Lantas kualitas menjadi nomor dua yang penting kuantitas dan kesenangan pasar.
Musisi seperti ini bisa saya sebut sebagai musisi cengeng atau manja.
Sebagai seorang penikmat musik, saya bisa katakan bahwa sekarang sudah
sangat sulit mendapatkan kraya-karya musisi tanah air yang menghibur sekaligus
berkualitas. Hal ini dikarenakan budaya latah dan budaya badut-badutan yang terus
menggrogoti kualitas bermusik tanah air. Kenapa saya katakan demikian? Kita
ambil contoh saja ketika Peterpan meledak albumnya di pasaran, mulai banyak
band baru yang mengikuti jejak bermusik mereka. Dan seperti kerbau dicocor
hidungnya, pelaku-pelaku musik tersebut mengkopi abis-abisan gaya bermusik dan
style personal anggota band beraliran pop alternatif tersebut. Maka pantas bila di
sebut dunia musik Indonesia juga merupakan dunia badut-badutan. Bahkan ada
yang style personil bandnya sangat tidak sesuai dengan aliran musik yang
dibawakan. Kalau yang ini lebih badut lagi.
Kualitas musik Indonesia saat ini melahirkan banyak pertanyaan dan
keprihatinan, baik dari para pakar musik maupun para penikmat musik. Dunia
musik Indonesia seperti kehilangan identitas diri. Budaya latah dan badut-badutan
malah telah menjadi pembodohan dalam dunia seni musik bagi para pelaku baru
maupun penikmatnya. Musisi-musisi sekarang selalu menginginkan keberhasilan
instant tanpa memperhatikan kualitas. Meskipun demikian bila ditanya siapa atau
kelompok mana yang menjadi inspirator band tersebut pasti selalu menyebutkan
nama-nama yang luarbiasa gemanya di dunia permusikan internasional dan tanah
air. Sayangnya inspirator dalam hal apa, tidak mereka dalami. Apakah dalam
kualitas bermusik atau kuantitas? Atau dua-duanya? Tidak usah jauh-jauh, cobalah
untuk belajar dari sosok Iwan Fals atau grup band SLANK.
Mereka adalah dua contoh dari segelintir kesuksesan dalam dunia musik
tanah air yang tidak pernah mengabaikan kualitas dan ciri dalam bermusik. Mereka
tetap konsisten dalam kualitas bermusik mereka. Tidak sekalipun mereka
melakukan pergeseran atau upaya coba-coba yang keluar dari jalur mereka. Iwan
Fals yang humanis dan kritis selalu menyisipkan kritikan sosial di setiap lagunya.
Bahkan banyak lagunya yang 100% berisi kritikan sosial. Meskipun demikian bukan
berarti kualitasnya menjadi rendah. Kita lihat saja dalam album SWAMI I dan II yang
digarap bersama Sawung Jabo dan musisi-musisi yang lain, merupakan albumnya
yang luar biasa berwarna, berkualitas dan tetap menunjukan dirinya sebagai Iwan
Fals. Atau album Kantata Tawa yang berkolaborasi dengan WS Rendra untuk film
dengan judul yang sama, membuat antrian panjang di semua toko kaset. Itu artinya
musiknya diterima oleh semua orang. Tapi bukan berarti kualitasnya pas-pasan.
Bagi Iwan Fals bermusik adalah hidupnya sendiri. Itulah sebabnya semua orang
tetap menunggu setiap hasil karnyanya yang tentu saja everlasting.
Sama halnya dengan Iwan Fals, SLANK adalah kumpulan orang-orang yang
memiliki visi dan misi bermusik yang luar biasa. Mereka memiliki jutaan penggemar
di dalam dan luar negeri. Musik mereka diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Mereka adalah inspirator bagi banyak kaum muda untuk meninggalkan narkoba.
Dalam bermusik mereka memang memiliki kuantitas yang sangat bagus tapi
kualitas pun tidak mereka sepelekan. Dari lirik dan warna musik sangat klop dan
humanis. Tidak keluar dari trek, meskipun kadang mereka mencoba hal-hal baru
dalam bermusik tapi kualitas dan ciri bermusik mereka tetap terjaga.
Dua contoh di atas mewakili banyak figur dan kelompok yang konsisten
dalam pekerjaan bermusik mereka. Meskipun jumlah mereka-mereka tersebut
sangat sedikit. Selain itu jarang sekali mereka mengeluarkan album atau singel
untuk sekarang ini. Itulah mengapa sangat sulit bagi penikmat musik tanah air
sekarang, termasuk saya, bisa mendengarkan musik-musik yang berkualitas dan
menghibur. Bukan sekedar musik-musik manja dan cengeng tapi lebih dari itu
musik-musik yang mempunyai wacana tentang sesuatu yang bernilai.
Sayangnya era digital telah merubah paradigma bermusik Indonesia menuju
keterpurukan dan kebosanan. Tidak ada lagi progres berarti yang bisa menciptakan
letupan-letupan baru. Yang ada hanyalah sederetan musik-musik picisan yang ikut-
ikutan dan seperti badut mereka mau saja tampil asal disoraki dan dapat royalti.
Rasanya keberhasilan yang seperti itu hanyalah omong kosong dan sangat
memalukan. Tidak mengherankan bila musisi-musisi baru dari ranah industri
dengan mayor label tidak memiliki kapasitas yang kuat untuk bersanding dengan
musisi-musisi hebat yang sudah bisa berbicara di tingkat internasional. Contoh
sederhana adalah SLANK, DEWA 19, PADI, SHAGGY DOG, dan masih banyak lagi.
Dan rasanya kalau terus begini maka yang terjadi adalah keterpurukan dan
frigiditas permusikan tanah air. Bukan sedang berupaya menbanding-bandingkan,
tapi paling tidak progresitas itu seharusnya mendekati atau yang lebih baik lagi
melewati para pendahulu, bukannya malah menciptakan kemunduran demi
mengejar royalti. Dalam hidup selalu ada nilai tanggung jawab, termasuk tanggung
jawab dalam bermusik secara utuh.
Dari sisi produser music, saya hanya bisa bilang: pengecut. Produser musik
sekarang cenderung mengikuti selera pasar dan bukan melawan selera pasar.
Dalam ilmu ekonomi mungkin benar tindakan para produser ini. Tapi dari sisi logika
hirarki kekuasaan, maka yang seharusnya mengendalikan pasar adalah pelaku
utamanya, yaitu produser dan pelaku musik itu sendiri. Apabila ada konsistensi dari
setiap produser untuk menyeleksi pendatang baru dalam dunia musik dengan
melihat kualitas bermusiknya secara keseluruhan, maka polemik flatnya dunia
permusikan tanah air sekarang ini tidak akan terjadi. Jangan menjadi manja oleh
teknologi dan mengabaikan kualitas. Sebab musik adalah salah satu produk
budaya. Entah itu budaya tradisional maupun budaya pop. Musik Indonesia yang
baru mendapat pengakuan dunia sebagai musik berkualitas adalah Dangdut,
Keroncong, Musik gamelan, dan beberapa musik tradisional lainnya. Termasuk
musik kontemporer yang dipelopori oleh beberapa seniman misalnya Balawan,
Djaduk Ferianto, Sawung Jabo, dan beberapa yang lain.
Produser musik yang notabene sudah dibilang sukses sekarang ini tidak
mampu memanage budaya musik urban (pop, rock, dll) menjadi salah satu produk
budaya yang berkualitas. Untuk menjadi trade mark di negri sendiri pun seperti
menulis ceritera di atas pasir. Masalah ini sebenarnya telah lama menjadi kerikil
tajam yang tidak bisa dianggap sepele lagi. Produser musik sekarang harus bisa
memilih dan dengan tegas menghadirkan sosok musik Indonesia yang
sesungguhnya. Jangan hanya slogan bakat baru atau pendatang baru yang memiliki
banyak penggemar tapi hasilnya nol. Mengeluarkan album seperti mengejar
setoran, tapi tidak ada peningkatan dalam bermusik. Ini sama saja pemerkosaan
terhadap eksistensi budaya bermusik tanah air juga pengkerdilan kreatifitas dan
pembodohan mental musisi-musisi baru. Produser musik harus segera menentukan
pilihan. Mencari keuntungan bukan berarti harus mengorbankan hal yang lebih
prinsipil, lebih penting.
Pendidikan musik juga sebenarnya menjadi masalah. Pendidikan musik yang
tidak mumpuni bagi bakat-bakat muda, baik dari segi mental bermusik maupun
musikalitasnya, menyebabkan budaya latah menjamur dan kreatifitas mati kutu.
Orientasi terakhir adalah: tampil dulu lah. Keluarin album dulu lah. Esensi dari
bermusik pun menjadi mentah lantas membusuk dan tak layak dinikmati.
Pendidikan bermusik merupakan tanggung jawab semua pihak, baik dari
lingkup mikro (keluarga) maupun makro (sekolah, dst). Pendidikan bermusik harus
bisa menciptakan banyak peluang dan orientasi yang jelas dari calon-calon pelaku
musik. Mental mereka harus ditempa dan bakat mereka harus diasah menjadi lebih
tajam. Jangan biarkan mereka memasuki dunia industri music, baru diasah. Tahap
dunia industri musik adalah tahap profesional. Yang diasah bukan lagi bakat tapi
konsistensi dalam bermusik. Bakat telah menjadi tajam sebelumnya dan siap
menjadi landasan kuat untuk menopang konsistensi tersebut. Lantas mental
menjadi “doping” utama untuk mengaktualisasikan sosok musisi yang independent,
berkomitmen, berdedikasi dan benar-benar memacari pilihan bermusiknya. Dengan
begitu budaya latah akan segera meranggas dan badut-badutan tidak akan pernah
terjadi lagi.
Pemerintah juga sebenarnya harus mendukung dunia permusikan tanah air.
Jangan hanya memberi fasilitas kebebasan bermusik. Tapi juga menjadikan
pendidikan permusikan menjadi salah satu mata studi tunggal yang baku dalam
kurikulum setiap jenjang pendidikan. Artinya pendidikan musik itu tidak hanya bagi
yang memiliki bakat bermusik tapi juga yang tidak. Dengan begitu mental penikmat
dan pelaku musik bisa tertempa sejak dini. Penikmat yang nota benenya adalah
pasar itu sendiri menjadi lebih cerdas dan kreatif dalam mengapresiasikan sebuah
karya musik. Bukan hanya sekedar liriknya yang menca-mencle tapi juga visi dan
misi yang ada di dalam musik tersebut secara keseluruhan. Sehingga problem
selera pasar tidak lagi menjadi momok mematikan bagi dunia permusikan tanah air.
Dan musisi-musisi yang hanya sekedar mau tenar (saya sebut musisi kalengan)
tidak lagi ada dan meracuni dunia musik tanah air.
Terakhir hanya pendek. Untuk semua pelaku musik tanah air, baik pasif
maupun aktif, mari kita bersatu dan bersama mendukung dunia permusikan tanah
air untuk menuju tingkatan yang lebih baik. Bukan lagi menjadi dunia orang latah
atau dunia badut-badutan, tapi lebih dari itu menjadi salah satu produk budaya
urban yang berkualitas. Maju terus permusikan tanah air.

Anda mungkin juga menyukai