Anda di halaman 1dari 5

UTS Sistem Administrasi Negara

AFIF AMRULLOH

Administrasi Negara (B)

09417144016

1. Salah satu hal yang mendasari amandemen UUD 1945 adalah semangat untuk membatasi
kekuasaan eksekutif dan memberdayakan DPR. Melalui amandemen pertama (1999),
kekuasaan presiden dipangkas dan kekuasaan DPR ditambah. Kewenangan legislasi yang
dimiliki presiden dalam Pasal 21 telah diubah sehingga presiden hanya mempunyai hak
untuk mengajukan RUU. Sementara dalam UUD 1945 versi asli dinyatakan bahwa,
“Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Selain itu, masa jabatan presiden dibatasi secara tegas. Hak diplomatik presiden, seperti
mengangkat duta besar, konsul, dan menerima duta dari negara lain dilakukan dengan
memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 2 Amandemen I). Begitu pula halnya
dengan hak lain, seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dilakukan presiden dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan dalam memberikan
amnesti dan abolisi, presiden harus pula memperhatikan pertimbangan DPR. Sementara
Pasal 14 UUD 1945 naskah asli hanya menyebutkan “Presiden memberi grasi, amnesti,
abolisi dan rehabilitasi”.
Melalui amandemen pertama, masa jabatan presiden dipertegas untuk menghindari
interpretasi yang keliru — seperti yang dipraktekkan Soekarno dan Soeharto. Selain itu,
Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui mekanisme pemilu.
Pada amandemen kedua, DPR diberi hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan
pendapat. Selain itu, setiap anggota DPR mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20A). Penambahan
kekuasaan DPR dan pemangkasan kekuasaan presiden tersebut dalam prakteknya telah
mengakibatkan kekuasaan terpusat pada DPR (legislative centered). Checks and
balances antara dua kekuasaan ini juga tidak terjadi dalam pembentukan UU. DPR
mempunyai posisi yang determinan dalam penyusunan UU, termasuk juga penyusunan
APBN. Hal ini tentu saja dapat mengacaukan agenda-agenda pemerintahan yang telah
dirancang sebelumnya. Checks and balances juga tidak terjadi ketika presiden tidak
diberi kekuasaan semacam hak veto (meminjam istilah Syamsuddin Haris) untuk
menolak undang-undang yang telah disahkan oleh DPR. Apalagi ketika Pasal 20 diubah
melalui amandemen kedua, yang menentukan bahwa, “Dalam hal rancangan undang-
undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu
tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-
undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.

2. Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi dalam
praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat
dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan
Parlementer. Dibandingkan dengan sistem parlementer, sistem presidensial memang
memiliki kelebihan dibandingkan sistem parlementer, di antaranya: keterpisahan institusi
presiden dan parlemen, masa jabatan presiden (dan wapres) yang bersifat tetap, dan
pemilihan langsung presiden oleh rakyat.

Ketiga cirri tersebut tak hanya dianggap dapat menjamin tegaknya prinsip checks and
balances dalam relasi eksekutif-legislatif, melainkan juga terbentuknya pemerintahan
yang stabil dan efektif. (Lijphart, 1992). Meskipun Indonesia menganut sistem
presidensial, tetapi dalam praktek pemerintahan, banyak menganut prinsip- prinsip
parlementarian.

Oleh karena itu Indonesia sering disebut sebagai negara dengan sistem quasi (setengah
atau semi) parlementer. Ciri-ciri praktek sistem parlementarian dapat kita lihat antara lain
ketika memilih Kepala Kepolisian dan Panglima TNI, Presiden tetap harus meminta
pendapat dan persetujuan DPR. Oleh karena itu, meskipun menganut sistem presidensial,
berbagai “hak perogatif Presiden” untuk menyusun Kabinet, menentukan Duta Besar,
mengangkat Panglima, Gubernur/ para Deputi BI masih memerlukan dukungan anggota
legislatif (DPR).
Dititik inilah masalah yang terjadi karena konstitusi hasil amandemen tidak sekadar
mengadopsi sistem presidensial yang mendekati “murni”, tetapi juga memberikan ruang
bagi sistem parlementer untuk memperkuat otoritas DPR dengan memasuki wilayah
ruang hak otoritas presiden. Hak perogatif dan otoritas yang seharusnya melekat pada
presiden dalam sistem presidensial menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan
“gangguan” terhadap presiden.

Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai, seperti di
Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya
“presiden minoritas”, presiden dengan basis politik relatif kecil di DPR dan fragmentasi
politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman
Wahid (1999- 2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden SBY. Realitas ini memberi
peluang bagi DPR “mengganggu” Presiden yang mendorong munculnya konflik
Presiden-DPR.

Karena itu, sistem sistem presidensial yang saat ini masih memberikan ruang sistem
parlementarian, perlu diformat kembali untuk menjamin jalannya pemerintahan yang
efektik tanpa terganggu konflik politik Presiden dan DPR.

3. Model birokrasi monocratique dalam administrasi diteruskan oleh Suharto. Awal tahun
1970an, pemerintah orde baru melakukan reformasi administrasi yang bertujuan untuk
menciptakan birokrasi yang tanggap, efisien dan apoltik. Hal ini dilakukan melalui
larangan pegawai negeri berpolitik dan kewajiban pegawai negeri untuk mendukung
partai pemerintah. Upaya ini dilakukan sebagai reaksi dari perkembangan birorkasi di
akhir era Sukarno yang diwarnai oleh politisasi birokrasi. Disamping itu Suharto
menerbitkan dua buah kebijakan yang sangat penting dalam sistem administrasi waktu
itu. Pertama adalah Keppres no 44 dan no 45 tahun 1975 yang masing masing mengatur
tentang susunan tugas pokok dan fungsi Departemen dan LPND. Melalui peraturan
tersebut diatur standardisasi organisasi Departemen dan menjadi dasar hukum bagi
pembentukan instansi vertikal di daerah. Produk kebijakan yang kedua adalah UU no 5
tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Dalam peraturan tersebut, pemerintah
daerah disusun secara hirarkis terdiri dari pemerintah daerah tingkat I dan tingkat II.
Disamping itu setiap daerah memiliki status sebagai daerah otonom sekaligus sebagai
wilayah kerja pemerintah. Sebagai implikasinya Kepala daerah diberikan jabatan rangkap
yaitu sebagai Kepala Daerah otonom dan wakil pemerintah pusat. kebijakan kebijakan
tersebut dilakukan untuk menciptakan efisiensi dan penguatan kontrol pusat kepada
daerah.

4. Yang dimaksud dengan "Asas Kepastian Hukum" adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara.
Yang dimaksud dengan "Asas Tertib Penyelenggaraan Negara" adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keseraslan, dan keseimbangan dalam
pengendalian Penyelenqgara Negara.
Yang dimaksud dengan "Asas Kepentingan Umurn" adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Yang dimaksud dengan "Asas Keterbukaan" adalah asas yang membuka diri
terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskrirninatif tentang penyeienggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
Yang dimaksud dengan "Asas Proporsionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara Negara.
Yang dimaksud dengan "Asas Profesionalitas" adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang beriandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan "Asas Akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. PP no 41 tahun 2007 mengatur tantang organisasi perangkat daerah yang emliputi cara
pembentukan oraganisasi perangkat daerah. Kedudukan, fungsi dan tugas perangkat
daerah provinsi. Kedudukan, fungsi dan tugas perangkat daerah kabupaten atau kota.
Peranan oraganisasi dan perumpunan perangkat daerah. Susunan oraganisasi perangkat
daerah. Eselon perangkat daerah. Staf ahli. Pembinaan dan pengendalian organisasi.
Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman
yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya
koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi serta komunikasi kelembagaan antara
pusat dan daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan Peratura
Pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang
jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas,
efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas.

Anda mungkin juga menyukai