Anda di halaman 1dari 3

Diare Pada Anak

Munirah siregar
109103000042
Kasus seorang ibu:
“Anak saya berusia 2 tahun, 1 tahun yang lalu pernah 3 bulan diare tidak berhenti bahkan
berulang kali datang ke dokter dan opname. Akhirnya saya bawa ke dokter yang lain ternyata
anak saya cacingan. Setelah diberi obat cacing setiap berak keluar cacing-cacing kecil tapi
sudah mati. Sekarang anak saya berak dalam sehari 3-6 kali sehari, tapi dia tetap lincah dan
semangat dalam segala aktifitas. Terkadang tinja yang yang dikeluarkan berwarna hitam.”

Pembahasan:

Laporan terbaru Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)


yang berjudul "Diarrhoea: why children are still dying and what can be done" menyebutkan,
setiap tahun 1,5 juta anak balita meninggal dunia akibat diare, membuatnya menjadi
penyebab kematian terbesar kedua pada anak balita.

Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007, diare
menjadi penyebab kematian 31,4% bayi berusia 29 hari hingga 11 bulan. Hasil Riskesdas
Tahun 2007 juga menunjukkan, diare menyebabkan kematian 25,2% anak usia satu tahun
hingga empat tahun. Kejadian luar biasa penyakit diare pun hingga kini masih dilaporkan
terjadi di sejumlah daerah.

Diare bukanlah penyakit yang datang dengan sendirinya. Biasanya ada yang menjadi
pemicu terjadinya diare. Secara umum, berikut ini beberapa penyebab diare, yaitu:

1. Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit.


2. Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.
3. Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain seperti: Campak, Infeksi
telinga, Infeksi tenggorokan, Malaria, dll.

Virus tetap menjadi penyebab tersering diare akut. Penularannya adalah kontak dengan tinja
yang terinfeksi secara langsung, seperti :

1. Makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi, baik yang sudah dicemari oleh
serangga atau kontaminasi oleh tangan yang kotor.
2. Bermain dengan mainan yang terkontaminasi, karena virus ini dapat bertahan di
permukaan udara sampai beberapa hari.
3. Pengunaan sumber air yang sudah tercemar dan tidak memasak air dengan benar.
4. Pencucian dan pemakaian botol susu yang tidak bersih.
5. Tidak mencuci tangan dengan bersih setelah selesai buang air besar atau
membersihkan tinja anak yang terinfeksi, sehingga mengkontaminasi perabotan dan
alat-alat yang dipegang.

Berdasar metaanalisis di seluruh dunia, setiap anak minimal mengalami diare satu kali
setiap tahun. Dari setiap lima pasien anak yang datang karena diare, satu di antaranya akibat
rotavirus. Kemudian, dari 60 anak yang dirawat di rumah sakit akibat diare satu di antaranya
juga karena rotavirus.

Di Indonesia, sebagian besar diare pada bayi dan anak disebabkan oleh infeksi rotavirus.
Bakteri dan parasit juga dapat menyebabkan diare. Organisme-organisme ini mengganggu
proses penyerapan makanan di usus halus. Dampaknya makanan tidak dicerna kemudian
segera masuk ke usus besar. Makanan yang tidak dicerna dan tidak diserap usus akan
menarik air dari dinding usus. Di lain pihak, pada keadaan ini proses transit di usus menjadi
sangat singkat sehingga air tidak sempat diserap oleh usus besar. Hal inilah yang
menyebabkan tinja berair pada diare. Sebenarnya usus besar tidak hanya mengeluarkan air
secara berlebihan tapi juga elektrolit. Kehilangan cairan dan elektrolit melalui diare ini
kemudian dapat menimbulkan dehidrasi. Dehidrasi inilah yang mengancam jiwa penderita
diare.

Selain karena rotavirus, diare juga bisa terjadi akibat kurang gizi, alergi, tidak tahan
terhadap laktosa, dan sebagainya. Bayi dan balita banyak yang memiliki intoleransi terhadap
laktosa dikarenakan tubuh tidak punya atau hanya sedikit memiliki enzim laktose yang
berfungsi mencerna laktosa yang terkandung susu sapi.

Tidak demikian dengan bayi yang menyusu ASI. Bayi tersebut tidak akan mengalami
intoleransi laktosa karena di dalam ASI terkandung enzim laktose. Disamping itu, ASI
terjamin kebersihannya karena langsung diminum tanpa wadah seperti saat minum susu
formula dengan botol dan dot.
Orang tua berperan besar dalam menentukan penyebab anak diare. Bayi dan balita
yang masih menyusui dengan ASI eksklusif umumnya jarang diare karena tidak
terkontaminasi dari luar. Namun, susu formula dan makanan pendamping ASI dapat
terkontaminasi bakteri dan virus.

Rekomendasi.

Dalam laporan terbaru mengenai diare, WHO memberikan tujuh rekomendasi terkait
pencegahan dan penanganan penyakit diare, antara lain penggantian cairan untuk mencegah
dehidrasi, pemberian tablet zinc serta vaksinasi rotavirus dan campak.

Promosi inisiasi menyusu dini, pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif dan
suplementasi vitamin A dan cuci tangan menggunakan sabun juga disarankan dilakukan
secara berlanjut untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
Selain itu, penyediaan air bersih berkualitas dalam jumlah memadai; penanganan dan
penyimpanan air di rumah tangga; dan promosi sanitasi ke masyarakat luas juga sangat
penting dalam pencegahan diare. Sekitar 88% kejadian diare di seluruh dunia berhubungan
dengan keterbatasan ketersediaan air bersih dan buruknya sanitasi.

Menurut WHO, pada 2006, sebanyak 2,5 miliar orang belum menggunakan sanitasi
yang memadai dan hampir 1 dari empat orang di negara berkembang buang air besar di
tempat terbuka.

Dari pembahasan di atas, diare pada anak merupakan salah satu penyakit yang
dipengaruhi faktor keluarga maupun komunitas. Peran keluarga diantaranya peran ibu dalam
pemberian ASI ekslusif, kebiasaan cuci tangan, penyediaan air bersih dan berkualitas serta
sanitasi makanan dan minuman dalam keluarga. Sedangkan peran komunitas diantaranya
sanitasi lingkungan masyarakat yang masih buruk.

Kisah diatas hanyalah salah satu dari kisah-kisah diare pada anak. Keluarga dan
lingkungan sangat mempengaruhi kejadian tersebut. Rekomendasi pencegahan yang
dianjurkan di atas merupakan langkah terbaik dalam pencegahan diare pada anak.

Anda mungkin juga menyukai