perjuangan para pahlawan yang kita tidak mengenalnya. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana beratnya pejuangan para pahlawan itu lewat film sejarah yang sekarang sudah sangat jarang diputar dengan alasan terlalu banyak rekayasa. Maka, apakah perjuangan mereka juaga hanya rekayasa. Sejak kecil kita hanya disuruh untuk mengisi kemerdekaan dengan belajar, tapi apakah kita akan terus belajar, tentunya tidak. Salut bagi para pahlawan reformasi karen asebelum mereka mengakhiri masa belajarnya mereka sudah menjadi pahlawan, atau para mahasiswa lainnya yang sampai saat ini masih sering der demonstrasi. Bagi masyarakat umum memang agak mengganggu, tapi kita juag tidak bisa menyalahkan mereka karena mereka juga tidak pernah diajarkan bahwa setelah selesai belajar mereka harus mengisi kemerdekaan dengan cara apa. Sehingga mereka sangat mudah menerima ajakan dari orang yang berkepentingan dengan alasan untuk kepentingan umum. Itu bagi mereka yang beruntung bisa menjadi mahasiswa, karena dengan modal berani mengungkap kejelekan orang lain saja mereka bisa menjadi pahlawan. Sementara bagi mereka yang berpendidikan pas-pasan bagai pungguk merindukan bulan, hanya bisa menyaksikan dan memberikan komentar yang tidak pernah tersampaikan.Di negeri ini pendidikan adalah segalanya. Kita selalu mempunyai tokoh yang berpendidikan tinggi. Untuk mencapai pendidikan tinggi jaga tidak perlu mempunyai IQ yang tinggi , kita cukup menyiapkan dana yang besar juga relasi yang banyak. Maka yang terjadi adalah apa yang dibicarakan oleh para wakil rakyat di gedung sana tidak jauh berbeda dengan apa yang diobrolkan di akar rumput. Coba kita dengarkan obrolan para peronda di pos, atau mungkin para supir angkutan dengan para tukang becak ketika di warung, tidak jauh berbeda. Yang ada hanyalah perbedaan istilah, karena mereka memang tidak melaui jalur birokrasi yang memerlukan anekdot. Akan sangat berbeda bila kita membandingkan dengan para pahlawan yang ktia peringati tiap tanggal 10 November misalnya, mereka butuh ketidak beruntungan untuk jadi pahlawan, mengapa…..? Karena mereka harus merelakan peluru menembus badan mereka hanya untuk mendapatkan sebuah titel pahlawan. Karena apabila tidak ada peluru yang menembus pada waktu itu maka merekapun tidak mendapatkan gelar tersebut. mereka berjuang tanap tahu apakah itu ari politik. Mereka hanya berjuang hanya berdasarkan naluri mereka sebagai orang pribumi yang menyaksikan tanah kelahiran mereka diinjak-injak bangs asing. Mereka tidak pernah menjelek-jelekan bangsa mereka sendiri, mereka hanya punya satu tujuan yaitu membebaskan tanah kelahiran mereka dari bangsa asing. Memang bagi para kaum muda dengan lingkup yang lebih kecil hamper mirip ketika mereka harus tawura ketika daerah kekuasaan geng mereka di kisruh oleh geng yang lain. Kita haru memberikan apresiasi yang abik bahwa mereka itu masih mewarisi mental perjuangan yang sesungguhnya. Tapi mengapa mereka salah dalam penerapannya..?, mungkin karena mata pelajaran sejarah yang mereka dapatkan masing sering direvisi sehingga mereka juga hanya bisa menangkap setengah-setengah dari apa yang harusnya bisa mereka dapatkan secara keseluruhan. Ibaratnya dalam dunia pesantren apabila mengaji kitab kuning juga harus ada urutannya, apabila melompat- lompat bahkan bisa menjadi gila. Jadi siapakah yang harus kita salahkan apabila mental para generasi muda kita menjadi seperti itu. Begitulah produk dari sistem pendidikan yang ada di Negara kita dimana hampir setiap pergantian tahun ajaran diikuti dengan pergantian kurikulum. Menyenangkan memang bagi para penerbit buku karena setiap tahun muncul buku-buku baru yang tentunya mendatangkan keuntungan yang melinpah bagi mereka, dan tentu saja bagi apart yang memberikan job pada mereka. Apakah mereka tidak pernah berpikir dampak yang mereka timbulkan bagi para generasi muda kita untuk saat ini dan bagi masa depan bangsa kita untuk masa yang akan datang, atau karena mereka juga produk dari sistem yang salah tersebut. Apabila kita melihat ke belakang bahwa semua sistem yang ada di Negara kita merupakan warisan dari bangsa penjajah yang ironisnya sejak muda belia kita diajarkan untuk membenci mereka. Lihat saja biografi dari proklamator bangsa, beliau juga merupakan didikan bangsa kolonial, atau para prajurit PETA yang sangat berperan dalam perjuangan merebut kemerdekaan, mereka ada karena jasa penjajah Jepang pada waktu itu. Kita terlalu terfokus pada ketokohan yang muncul di permukaan. Kita tidak pernah mau belajar pada sejarah, dimana ada kata pepatah bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah. Dengan kondisi seperti sekarang ini, maka kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang besar. Sementara produk dari bangsa kita sendiri yang muncul pada waktu zaman kerajaan dahulu selalu tersingkirkan dan hanya menjadi cerita dongeng yang selalu menyuguhkan ending yang ajaib dan tidak pernah bisa diterima dengan akal sehat. Mentalitas bangsa kita memang seperti itu. Sadar atau tidak kita tidak pernah bangga dengan hasil jerih payah bangsa kita sendiri. Dan hal tersebut tidak terjadi dalam waktu yang singkat tetapi masih berjalan sampai saat ini. Bagaimana kita selalu mengadakan persiapan yang sangat besar dengan dana yang tidak sedikit, padahal seharusnya merekalah yang melayani kita. Ironis memang bila kita berpikir bijak mengahadapi realitas yang ada. Kita harus bisa merubah semua sistem yang ada di Negara ini apabila ingin menjadi bangsa yang besar. Kita harus mampu mebuat suatu sistem yang mampu melahirakan generasi penerus yang mampu berpegang teguh pada keyakinan mereka sendiri. Di satu pihak kita harus bisa melahirkan seorang pemimpin politik yang berjiwa besar seperti proklamator bangsa kita. Di lain pihak kita juga harus mampu membentuk jiwa pahlawan seperti Sang Jenderal yang mau bekerja keras atas kemauan sendiri, mempertahankan kedaulatan bangsa Indonesia tanpa pamrih poltik apapun. Untuk hal yang kedua ini memang hampir tidak pernah terpikirkan oleh para pejabat bangsa ini. Kita selalu berusaha menciptakan pemimpin politik yang berkharisma sehingga mampu menyatukan bangsa yang beraneka ragam suku bangsa ini. Padahal hal itu saja tidak cukup karena kita juga harus mempunyai tokoh pemersatu diluar dari dunia politik, karena bagaimanpun perjuangan politik dengan perjuangan yang sesungguhnya berbeda jauh dan tidak pernah bisa berjalan seiring. Atau kita harus mengorbankan generasi sekarang dengan mendidik anak-anak kita ke Negara yang tidak menganut sistem permerintahan kolonial untuk kemudian dipilih menjadi pemimpin kita di masa yang akan dating dengan sistem pemerintahan yang benar-banar baru, atau kita harus menunggu revolusi yang tentunya akan melahirkan pahlawan yang semoga tidak mempunyai misi politik, mungkin yang serin kita sebut sebagai satria piningat…? Wallohu a’lam.