Anda di halaman 1dari 2

63 Tahun sudah Indonesia merdeka.

Selama itu pula kita menikmati hasil


perjuangan para pahlawan yang kita tidak mengenalnya. Kita hanya bisa membayangkan
bagaimana beratnya pejuangan para pahlawan itu lewat film sejarah yang sekarang sudah
sangat jarang diputar dengan alasan terlalu banyak rekayasa. Maka, apakah perjuangan
mereka juaga hanya rekayasa. Sejak kecil kita hanya disuruh untuk mengisi kemerdekaan
dengan belajar, tapi apakah kita akan terus belajar, tentunya tidak. Salut bagi para
pahlawan reformasi karen asebelum mereka mengakhiri masa belajarnya mereka sudah
menjadi pahlawan, atau para mahasiswa lainnya yang sampai saat ini masih sering der
demonstrasi. Bagi masyarakat umum memang agak mengganggu, tapi kita juag tidak bisa
menyalahkan mereka karena mereka juga tidak pernah diajarkan bahwa setelah selesai
belajar mereka harus mengisi kemerdekaan dengan cara apa. Sehingga mereka sangat
mudah menerima ajakan dari orang yang berkepentingan dengan alasan untuk
kepentingan umum. Itu bagi mereka yang beruntung bisa menjadi mahasiswa, karena
dengan modal berani mengungkap kejelekan orang lain saja mereka bisa menjadi
pahlawan. Sementara bagi mereka yang berpendidikan pas-pasan bagai pungguk
merindukan bulan, hanya bisa menyaksikan dan memberikan komentar yang tidak pernah
tersampaikan.Di negeri ini pendidikan adalah segalanya. Kita selalu mempunyai tokoh
yang berpendidikan tinggi. Untuk mencapai pendidikan tinggi jaga tidak perlu
mempunyai IQ yang tinggi , kita cukup menyiapkan dana yang besar juga relasi yang
banyak. Maka yang terjadi adalah apa yang dibicarakan oleh para wakil rakyat di gedung
sana tidak jauh berbeda dengan apa yang diobrolkan di akar rumput. Coba kita dengarkan
obrolan para peronda di pos, atau mungkin para supir angkutan dengan para tukang becak
ketika di warung, tidak jauh berbeda. Yang ada hanyalah perbedaan istilah, karena
mereka memang tidak melaui jalur birokrasi yang memerlukan anekdot.
Akan sangat berbeda bila kita membandingkan dengan para pahlawan yang ktia
peringati tiap tanggal 10 November misalnya, mereka butuh ketidak beruntungan untuk
jadi pahlawan, mengapa…..? Karena mereka harus merelakan peluru menembus badan
mereka hanya untuk mendapatkan sebuah titel pahlawan. Karena apabila tidak ada peluru
yang menembus pada waktu itu maka merekapun tidak mendapatkan gelar tersebut.
mereka berjuang tanap tahu apakah itu ari politik. Mereka hanya berjuang hanya
berdasarkan naluri mereka sebagai orang pribumi yang menyaksikan tanah kelahiran
mereka diinjak-injak bangs asing. Mereka tidak pernah menjelek-jelekan bangsa mereka
sendiri, mereka hanya punya satu tujuan yaitu membebaskan tanah kelahiran mereka dari
bangsa asing. Memang bagi para kaum muda dengan lingkup yang lebih kecil hamper
mirip ketika mereka harus tawura ketika daerah kekuasaan geng mereka di kisruh oleh
geng yang lain. Kita haru memberikan apresiasi yang abik bahwa mereka itu masih
mewarisi mental perjuangan yang sesungguhnya. Tapi mengapa mereka salah dalam
penerapannya..?, mungkin karena mata pelajaran sejarah yang mereka dapatkan masing
sering direvisi sehingga mereka juga hanya bisa menangkap setengah-setengah dari apa
yang harusnya bisa mereka dapatkan secara keseluruhan. Ibaratnya dalam dunia
pesantren apabila mengaji kitab kuning juga harus ada urutannya, apabila melompat-
lompat bahkan bisa menjadi gila. Jadi siapakah yang harus kita salahkan apabila mental
para generasi muda kita menjadi seperti itu.
Begitulah produk dari sistem pendidikan yang ada di Negara kita dimana hampir
setiap pergantian tahun ajaran diikuti dengan pergantian kurikulum. Menyenangkan
memang bagi para penerbit buku karena setiap tahun muncul buku-buku baru yang
tentunya mendatangkan keuntungan yang melinpah bagi mereka, dan tentu saja bagi apart
yang memberikan job pada mereka. Apakah mereka tidak pernah berpikir dampak yang
mereka timbulkan bagi para generasi muda kita untuk saat ini dan bagi masa depan
bangsa kita untuk masa yang akan datang, atau karena mereka juga produk dari sistem
yang salah tersebut. Apabila kita melihat ke belakang bahwa semua sistem yang ada di
Negara kita merupakan warisan dari bangsa penjajah yang ironisnya sejak muda belia
kita diajarkan untuk membenci mereka. Lihat saja biografi dari proklamator bangsa,
beliau juga merupakan didikan bangsa kolonial, atau para prajurit PETA yang sangat
berperan dalam perjuangan merebut kemerdekaan, mereka ada karena jasa penjajah
Jepang pada waktu itu. Kita terlalu terfokus pada ketokohan yang muncul di permukaan.
Kita tidak pernah mau belajar pada sejarah, dimana ada kata pepatah bahwa bangsa yang
besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah. Dengan kondisi seperti sekarang ini, maka
kita tidak akan pernah bisa menjadi bangsa yang besar. Sementara produk dari bangsa
kita sendiri yang muncul pada waktu zaman kerajaan dahulu selalu tersingkirkan dan
hanya menjadi cerita dongeng yang selalu menyuguhkan ending yang ajaib dan tidak
pernah bisa diterima dengan akal sehat. Mentalitas bangsa kita memang seperti itu. Sadar
atau tidak kita tidak pernah bangga dengan hasil jerih payah bangsa kita sendiri. Dan hal
tersebut tidak terjadi dalam waktu yang singkat tetapi masih berjalan sampai saat ini.
Bagaimana kita selalu mengadakan persiapan yang sangat besar dengan dana yang tidak
sedikit, padahal seharusnya merekalah yang melayani kita.
Ironis memang bila kita berpikir bijak mengahadapi realitas yang ada. Kita harus
bisa merubah semua sistem yang ada di Negara ini apabila ingin menjadi bangsa yang
besar. Kita harus mampu mebuat suatu sistem yang mampu melahirakan generasi penerus
yang mampu berpegang teguh pada keyakinan mereka sendiri. Di satu pihak kita harus
bisa melahirkan seorang pemimpin politik yang berjiwa besar seperti proklamator bangsa
kita. Di lain pihak kita juga harus mampu membentuk jiwa pahlawan seperti Sang
Jenderal yang mau bekerja keras atas kemauan sendiri, mempertahankan kedaulatan
bangsa Indonesia tanpa pamrih poltik apapun. Untuk hal yang kedua ini memang hampir
tidak pernah terpikirkan oleh para pejabat bangsa ini. Kita selalu berusaha menciptakan
pemimpin politik yang berkharisma sehingga mampu menyatukan bangsa yang beraneka
ragam suku bangsa ini. Padahal hal itu saja tidak cukup karena kita juga harus
mempunyai tokoh pemersatu diluar dari dunia politik, karena bagaimanpun perjuangan
politik dengan perjuangan yang sesungguhnya berbeda jauh dan tidak pernah bisa
berjalan seiring. Atau kita harus mengorbankan generasi sekarang dengan mendidik
anak-anak kita ke Negara yang tidak menganut sistem permerintahan kolonial untuk
kemudian dipilih menjadi pemimpin kita di masa yang akan dating dengan sistem
pemerintahan yang benar-banar baru, atau kita harus menunggu revolusi yang tentunya
akan melahirkan pahlawan yang semoga tidak mempunyai misi politik, mungkin yang
serin kita sebut sebagai satria piningat…? Wallohu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai