HUKUM
Penulis
NPM : 0912011263
Fakultas : Hukum
Kelas :B.1
Fakultas Hukum
Universitas Lampung
13 Oktober 2010
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen serta memahami
tentang Interpretasi , maka saya membuat makalah ini . Makalah ini merupakan analisis
tentang berbagai interpretasi yang telah ada .Saya menyadari tiada gading yang tak
retak, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya mengharapkan saran dari
para pembaca.
Akhir kata, saya mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi yang
membaca dan khususya dapat memenuhi kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam
pemenuhan tugas.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Penulis,
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran
informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik.
Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai
bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik
secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan
menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.
Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti
padapropaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan
membuat kebingungan.
Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai
reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang
menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk
pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak
menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan
pembuat undang-undang.
Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga
undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang
secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia
senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan
yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat
diterapkan pada peristiwa tertentu.
1. Interpretasi Otentik
Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik)
tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang
dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang
lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya
berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP
artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif
mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada
masyarakat.
Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang
untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus
memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-
beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.
Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau
kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau
bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan
kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.
Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya
terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan
kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting.
1
Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hall
140-141.
Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang
ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.
Mis :
a. Peraturan per Undang-undangan yang melarang orang menghentikan
“Kendaraannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bila ditafsirkan beragam, apakah
roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain
(E Utrecht). Jadi harus diperjelas dengan kenderaan yang mana yang dimaksudkan.
b. Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP Mis :
sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang
berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan.
c. Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai
menghilangkan.
Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling
berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekuensinya dalam hukum
bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan
hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang
lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai
unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu
himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu
saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang
dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak
dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari
sistem perundang-undangan. Serta Menghubungkan pasal yang satu dengan apasal yang
lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-
undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita
memahami maksudnya.
Contoh :
a. Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat
persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul
pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”.
Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur
batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
b. Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar
perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan
didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan
pasal 278 KUHP.
7. Interpretasi Teologis
8. Interpretasi Sosiologis
Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari
kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be
legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator
ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga
dalam penafsiran norma.
Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang- undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang
yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk
memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang
lama dibuat aktual.
Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim diIndonesia
mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-
undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai
kondisi sosial suatu daerah.
Misalnya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap seperti ibu yang dapat
dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang
ibu.Dalam hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya
dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
3
Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and
differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan
penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan
yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum
pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat
digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-
adilnya dan setepat-tepatnya.
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan
perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan
memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi
internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai
makna suatu ketentuan perundang-undangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum
yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam
akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai
hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian
internasional, kegunaan metode ini terbatas4.
Interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan
demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum perjanjian
internasional5.
Contoh: “ perbandingan sistem Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.
Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi
tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article
formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanya pemilihan
umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir
masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly
diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula
bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa
sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan
pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota
National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika
Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-
sistematis.
Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu
RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama, namun belum disahkan secara formil,
atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward
walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum
tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum
yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif .
Interpretasi ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum,
dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius
constitendum7.
7
Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum.Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,Gunung
Agung,Jakarta,2002,hal 175
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini
dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman
pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum,
misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas
di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan
interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik
berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.
Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode
interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang
berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus
diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak
perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya
maksud asli (the original intent) legislator.
Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu
hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu
hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian
tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.
Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran
UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the
word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam
kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia
mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari
hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.
Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks undangn–undang
terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang
lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :
Contoh : pasal 363 (1) KUHP “dengan tuduhan menyuruh melakukan pencurian, orang
yang disuruh melakukan harus orang yang tidak dapat ipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Artinya bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersekutu, harus dilakukan secara turut serta melakukan dan bukan secara
pembantuan.
Yaitu dengan menggunakan interpretasi ini hakim mengungkap satu unsur tertentu
yang dianggabnya terkandung dalam suatu rumusan pidana, meskipun unsur tersebut
tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.
Interpretasi tradisional, yaitu : menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku
dalam tradisi hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999
E. Utrecht, Drs., SH & M. Saleh Djinjang, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
1982