Anda di halaman 1dari 19

MENGANALISIS INTERPRETASI DALAM

HUKUM

Penulis

Nama : WAHYU INDRI YANTI

NPM : 0912011263

Fakultas : Hukum

Mata Kuliah : Konstitusi dan Peradilan Tata Negara

Kelas :B.1

Fakultas Hukum
Universitas Lampung
13 Oktober 2010
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dalam berbagai kasus hukum yang terjadi di tanah air, seringkali


menimbulkan pendapat pro dan kontra yang kemudian mencuat menjadi bahan
perbincangan publik. Salah satu penyebabnya tidak lain karena para penegak hukum
(Hakim, Jaksa, Polisi, Pengacara) seringkali mempunyai persepsi maupun penafsiran
yang berbeda dalam menangani suatu kasus, meskipun sebenarnya landasan hukum dan
aturan main (rule of game) yang digunakan sama.

Dan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen serta memahami
tentang Interpretasi , maka saya membuat makalah ini . Makalah ini merupakan analisis
tentang berbagai interpretasi yang telah ada .Saya menyadari tiada gading yang tak
retak, makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saya mengharapkan saran dari
para pembaca.

Akhir kata, saya mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi yang
membaca dan khususya dapat memenuhi kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam
pemenuhan tugas.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Penulis,

Wahyu Indri yanti


Pendahuluan

Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau penggambaran
informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu kumpulan simbol spesifik.
Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar, matematika, atau berbagai
bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul sewaktu penafsir baik
secara sadar ataupun tidak melakukan rujukan silang terhadap suatu objek dengan
menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas.

Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti
padapropaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan
membuat kebingungan.

Interpretasi hukum merupakan hal yang penting dalam kehidupan hukum, sebagai
reaksi atas ajaran legisme, yaitu aliran yang berkembang sejak abad pertengahan, yang
menyamakan hukum dan undang-undang sebagai pokok pikirannya. Hakim tunduk
pada undang-undang, semua hukum terdapat pada undang-undang. Hakim tidak
menciptakan hukum, hakim itu hanya mulut atau corong badan legislatif, badan
pembuat undang-undang.

Akan tetapi ternyata kemudian bahwa undang-undang tidak jelas, andaikata jelas juga
undang-undang itu tidak mungkin lengkap dan tuntas. Tidak mungkin undang-undang
secara lengkap dan tuntas mengatur kehidupan manusia, karena kehidupan manusia
senantiasa berkembang. Melalui interpretasi atau penafsiran akan diberikan penjelasan
yang gamblang mengenai rumusan undang-undang agar ruang lingkup norma dapat
diterapkan pada peristiwa tertentu.

Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada


rambu-rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus
tunduk pada kehendak pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-
undang seperti yang dapat diketahui terletak di dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca dengan begitu saja dari kata
undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam
sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam
pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang.

Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh


membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran adalah
tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak
boleh menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak
hakim sendiri.
Mayor Polak mengemukakan bahwa cara penafsiran ditentukan oleh :
1. Materi peraturan per Undang-undangan yang bersangkutan misalnya : perUndang-
undangan jual beli.
2. Tempat dimana perkara tersebut timbul yaitu memperhatikan kebiasaan setempat.
3. Waktu yaitu berlaku tidaknya peraturan hukum tersebut.

Dalam tataran praktis, metode penafsiran dapat diketemukan pada pertimbangan-


pertimbangan putusan hakim. Dari alasan atau pertimbangan yang sering digunakan
oleh hakim dalam menemukan hukumnya, dikenal beberapa metode penafsiran atau
interpretasi..

1. Interpretasi Otentik

Penafsiran ini dikenal dengan sebutan authentekie interpretatie / officiele interpretatie.


Utrecht berpendapat, bahwa penafsiran gaya ini adalah penafsiran yang didasarkan pada
tafsir yang dinyatakan oleh pembuat undang-undang. Dalam dunia perundang-
undangan, kita mengenal apa yang disebut dengan penjelasan UU. Interpretasi otentik
menurut Sudikno Mertokusumo tidak dalam ajaran tentang interpretasi. Menurutnya
Interpretasi otentik adalah penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat
dalam teks undang-undang, bukan dalam tambahan lembaran Negara.1

Contoh : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik)
tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang
dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang
lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya
berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP
artinya Hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif
mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada
masyarakat.

2. Interpretasi Bahasa atau Interpretasi Gramatikal

Bahasa merupakan sarana yang penting yang dipakai oleh pembuat undang-undang
untuk menyatakan kehendaknya. Oleh karena itu pembuat undang-undang harus
memilih kata-kata dengan singkat, jelas dan tidak dapat di tafsirkan secara berbeda-
beda. Hal ini tidak mudah dilakukan sehingga tetap saja memerlukan penafsiran.
Titik tolak dalam penafsiran menurut bahasa adalah bahasa sehari-hari. Ketentuan atau
kaidah hukum yang tertulis dalam undang-undang diberi arti menurut kalimat atau
bahasa sehari-hari. Metode interpretasi ini disebut interpretasi gramatikal karena untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan cara menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya. Dalam interpretasi bahasa ini biasanya digunakan
kamus bahasa atau dimintakan keterangan ahli bahasa.

Interpretasi bahasa ini mempunyai penekanan pada makna teks yang di dalamnya
terdapat kaidah hukum. Menurut Visser Hoft, di negara yang mengedepankan
kodifikasi, (berdoktrin the binding force of precedent). Teks harfiah UU sangat penting.

1
Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,Yogyakarta,1986, hall
140-141.
Namun, adakalanya metode penafsiran ini kurang bisa menjawab jika norma yang
ditafsirkan sudah menjadi perdebatan. Maka diperlukan metode-metode yang lain.

Mis :
a. Peraturan per Undang-undangan yang melarang orang menghentikan
“Kendaraannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bila ditafsirkan beragam, apakah
roda dua, roda empat atau kenderaan bermesin, bagaimana dengan sepeda dan lain-lain
(E Utrecht). Jadi harus diperjelas dengan kenderaan yang mana yang dimaksudkan.
b. Mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP Mis :
sebuah paket yang diserahkan kepada Dinas Perkereta Apian (PJKA). Sedangkan yang
berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain Dinas tersebut artinya dipercayakan.
c. Istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai
menghilangkan.

3. Interpretasi Sejarah atau Interpretasi Historis


Metode Interprestasi secara historis yaitu menafsirkan Undang-undang dengan cara
melihat sejarah terjadinya suatu Undang-undang.

4. Interpretasi menurut sejarah hukum (Rechts historische interpretatie)


Penafsiran atau interpretasi menurut sejarah hukum adalah suatu penafsiran yang luas
yaitu meliputi pula penafsiran sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan
dan sejarah sistem hukumnya. Penafsiran sejarah hukum menyelidiki asal peraturan
perundang-undangan dari suatu sistem hukum yang dulu pernah berlaku dan sekarang
tidak berlaku lagi atau asal- usul peraturan itu dari sistem hukum lain yang masih
berlaku di negara.
Contoh :
KUHPerdata (BW) yang dikodifikasikan pada tahun 1884 di Hindia Belanda Menurut
sejarahnya mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan
pada tahuan 1838.
5. Interpretasi menurut sejarah penetapan suatu undang-undang
(Wethistoirsche interpretatie)
Penafsiran Undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang
sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau
penjelasan dari pembentuk Undang-undang
pada waktu pembentukannya.

Untuk mengetahui maksud pembuat undang-undang pada waktu undang-undang dibuat


atau ditetapkan dilakukan dengan menggunakan interpretasi sejarah perundang-
undangan. Sumber yang dicari dalam melakukan interpretasi ini adalah surat menyurat,
pembicaraan atau pembahasan di dalam badan legislatif, yang kesemuanya itu memberi
gambaran tentang apa yang di kehendaki oleh pembentuk undang-undang. Sejarah
terbentuknya undang-undang dapat diteliti melalui Rancangan Undang-Undang (RUU)
termasuk pernyataan atau keterangan pemerintah sewaktu RUU diajukan ke DPR,
rísalah-risalah perdebatan baik dalam komisi maupun sub komisi atau pleno. Sering
juga dalam interpretasi sejarah meneliti tentang rangkaian kejadian atau peristiwa yang
terjadi sebelum RUU diajukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alasan
pertimbangan tentang mengapa sampai RUU tersebut di ajukan. Dalam hal demikian
maka terjadi penggabungan metode interpretasi sejarah hukum dan metode interpretasi
sejarah perundang-undangan.

6. Interpretasi Sistematis atau Interpretasi Dogmatis

Setiap gejala sosial senantiasa terjadi interdependensi (saling ketergantungan atau saling
berhubungan ) dengan gejala-gejala sosial yang lain. Konsekuensinya dalam hukum
bahwa antara masing-masing peraturan hukum itu ada hubungannya. Suatu peraturan
hukum tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dengan peraturan hukum yang
lain. Beberapa peraturan hukum yang mengandung beberapa persamaan baik mengenai
unsur-unsurnya maupun tujuan untuk mencapai suatu obyeknya, merupakan suatu
himpunan peraturan-peraturan yang tertentu, akan tetapi antara peraturan-peraturan itu
saling berhubungan intern diantara peraturan-peraturan tersebut.
Menafsirkan undang-undang yang menjadi bagian dari keseluruhan sistem perundang-
undangan dengan cara menghubungkan dengan undang-undang lain itulah yang
dinamakan interpretasi sistematis. Dengan metode penafsiran sistematis ini hendak
dikatakan bahwa dalam menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang dari
sistem perundang-undangan. Serta Menghubungkan pasal yang satu dengan apasal yang
lain dalam suatu per Undang-undangan yang bersangkutan, atau dengan Undang-
undang lain, serta membaca penjelasan Undang-undang tersebut sehingga kita
memahami maksudnya.

Contoh :
a. Dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat
persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Timbul
pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”.
Untuk hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur
batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun.
b. Apabila hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar
perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan
didalam KUHPerdata (BW) saja melainkan harus dihubungkan juga dengan
pasal 278 KUHP.

7. Interpretasi Teologis

Beberapa ahli menyatakan adanya perbedaan antara interpretasi sosiologis dengan


interpretasi teleologis2. Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa interpretasi
teleologis yaitu apabila makna undang-undang diterapkan berdasarkan tujuan
kemasyarakatan.
Dengan interpretasi teleologis ini, undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah
usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan
dan kepentingan masa kini, tidak perduli apakah hal ini semuanya pada waktu di
undangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak.
Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial
yang baru. Ketentuan undang – undang yang sudah tidak sesuai lagi dilihat sebagai alat
2
Mochtar Kusumaatmaja dan B Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,Buku 1,Alumni, Bandung, 2000, hal 106-107.
untuk memecahkan atau menyelesaikan sengketa dalam kehidupan bersama itu
sekarang.3

8. Interpretasi Sosiologis

Sociological Interpretation memusatkan diri pada permasalahan apa konteks sosial dari
kegiatan yang akan dinilai secara hukum (what does social context of the event to be
legally judged). Konteks sosial suatu naskah dirumuskan dapat mempengaruhi legislator
ketika sebuah naskah hukum dirumuskan, dan hal ini harus dijadikan konsideran juga
dalam penafsiran norma.

9. Interpretasi Teologis Sosiologis

Metode Interpretasi secara Teleologis Sosiologis yaitu makna Undang- undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perUndang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan Undang-undang
yang sudah tidak sesuai lagi disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk
memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang
lama dibuat aktual.
Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim diIndonesia
mengingat negara Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan per Undang-
undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai
kondisi sosial suatu daerah.
Misalnya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap seperti ibu yang dapat
dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang
ibu.Dalam hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya
dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.

10. Interpretasi Komparatif atau Interpretasi Perbandingan Hukum

3
Sudikno Mertokusumo, op.cit.hal.142
Pengertian yang sangat mudah dari perbandingan adalah: identifying simmliarity and
differences. Pitlo dan Sudikno mengartikan metode ini sebagai sebuah kegiatan
penafsiran dengan cara membandingkan dengan berbagai sistem hukum. Perbandingan
yang dilakukan adalah sebagai upaya menemukan prinsip-prinsip yang berlaku umum
pada sistem-sistem yang diperbandingkan. Sehinnga hasil dari komparasi tersebut dapat
digunakan dan diterapkan dalam menyelesaikan suatu kasus hukum dengan seadil-
adilnya dan setepat-tepatnya.
Interpretasi komparatif dilakukan dengan jalan memberi penjelasan dari suatu ketentuan
perundang-undangan dengan berdasarkan perbandingan hukum. Dengan
memperbandingkan hukum yang berlaku di beberapa negara atau beberapa konvensi
internasional, menyangkut masalah tertentu yang sama, akan dicari kejelasan mengenai
makna suatu ketentuan perundang-undangan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, metode penafsiran ini penting terutama bagi hukum
yang timbul dari perjanjian internasional, karena dengan pelaksanaan yang seragam
akan dapat direalisir kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional sebagai
hukum obyektif atau kaedah hukum untuk beberapa negara. Di luar hukum perjanjian
internasional, kegunaan metode ini terbatas4.
Interpretasi ini adalah metode membandingkan antara berbagai sistem hukum. Dengan
demikian metode ini hanya terutama digunakan dalam bidang hukum perjanjian
internasional5.
Contoh: “ perbandingan sistem Hukum antara anglo saxon dan eropa continental.

11. Interpretasi Restriktif


Metode Interpretasi Restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud
suatu pasal dalam Undang-undang seperti : Putusan Hoge Road Belanda tentang kasus
Per Kereta Api “Linden baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata
juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga
4
Sudikno Mertokusumo,op.cit.,hal 145
5
Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum.Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,Gunung
Agung,Jakarta,2002,hal 175
pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang
dirugikan juga ada kesalahannya)6 .
Apabila suatu norma sudah dirumuskan secara jelas (expresis verbis), maka penafsiran
yang bersifat kompleks tidak lagi dibutuhkan. Tafsir norma tersebut harus dicukupkan
dengan makna yang jelas tersebut.

12. Interpretasi Analogi


Metode interpretasi Analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas
hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya
dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Contoh :
Penafsiran penjualan dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang
disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila
misalnya seseorang menghibahkan rumah miliknya kepada orang lain sedangkan rumah
tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain, bagaimana?
Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah), menukar,
mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu adalah perbuatan yang
bermaksud mengasingkan suatu benda maka hakim membuat suatu pengertian “bahwa
pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa.
Pasal 1576 KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat
diterapkan pada peristiwa hibah, menukar mewariskan. Oleh konstruksi hukum seperti
itu. Hakim dapat menyempurnakan sistem formil hukum. Konstruksi hukum seperti
diatas menurut Scholten tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Konstruksi itu
harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive moet de positive stof dekken).
Yang dimaksud dengan bahan-bahan positip adalah sistem materil Undang-undang yang
sedang berlaku. Konstruksi itu harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang
memang ada dalam Undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar Undang-
undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas elemen-elemen
diluar sistem materil positif.
6
Mr. C.Asser,Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda,Gajah Mada University
Press,Yogyakarta,1986,hal 84-85)
Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif
dibolehkan (contoh Kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik) Hukum di Inggris
yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak tertulis (Common law) mengenal
analogi. Walaupun demikian Hukum di Inggris menolak menggunakan analogi terhadap
hukum pidana. Sedangkan di Uni Soviet menghilangkan dengan sengaja ketentuan
nullum delictum dan menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum
semua tindakan yang membahayakan masyarakat.

13. Interpretasi Argumentus a Contario


Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang memberikan
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang
diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan perlawanan ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi
tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan per undang-
undangan. Scolten mengatakan bahwa tidak hakekatnya pada perbedaan antara
menjalankan Undang-undang secara analogi dan menerapkan Undang-undang secara
argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan Undangundang tersebut
berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan Undang-
undang secara Argumentus a contrario membawa hasil yang negatif.

Contoh : Dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak


dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak
perceraian dengan suaminya.
Berdasar Argumentus a contrario (kebalikannya) maka ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi lelaki/pria. Menurut Azas hukum Perdata (Eropa) seorang perempuan harus
menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut Hukum Islam dikenal masa
iddah yaitu 100 hari atau 4 x masa suci karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu
tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat
masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami
berikutnya.
14. Interpretasi Ekstensif
Metode interpretasi secara ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-
kata (melebihi hasil-hasil interpretasi gramatikal) yang terdapat dalam Undang-undang
sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya.
Contoh : Pada pasal 492 KUH Pidana ayat (1) “Barang siapa dalam keadaan mabuk di
muka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam
keamanan oranglain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati –hati
atau dengan mengadakan tindakanpenjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan
membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan
paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima
rupiah.
Kalimat “dimuka Umum” bukan hanya dijalan lalu lintas, atau yang mengganggu
ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain. Akan tetapi meliputi semua tempat
yang terrsedia bagi umum dalam hal ini losmen-losmen dan tempat minum.

15. Interpretasi Sosio-Historis


Gaya tafsir seperti ini adalah dengan memperhatikan konteks historisitas, baik berupa
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan atau lainnya dalam suatu norma hukum. Berbeda
dengan penafsiran historis penafsiran sosio-historis memperhatikan keadaan konteks
dan perkembangan sosiologis masyarakat pada saat suatu norma hukum itu lahir.
Perbedaannya dengan metode tafsir sosiologis, adalah metode sosio-historis lebih
memusatkan perhatiannya pada konteks sejarah yang mempengaruhi pembentukan
suatu norma hukum.

16. Interpretasi Holistik


Teori penafsiran holistik mengaitkan sebuah naskah hukum dengan konteks keseluruhan
jiwa dari naskah tersebut. Konsep dasar yang terkandung dalam metode tafsir ini adalah
pengandaian bahwa setiap naskah hukum seperti UU atau UUD haruslah dipandang
sebagai satu kesatuan sistem norma hukum yang mengikat untuk umum. Sehingga
kandungan makna yang tertuang dalam teks, tidak dipahami kata-per-kata atau pasal-
per-pasal, namun dipandang sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh/holistik.

17. Interpretasi Tematis-Sistematis

Pusat perhatian dalam metode tafsir yang satu ini adalah persoalan apa yang menjadi
tema substantif artikel dirumuskan (what be the substantive theme of the article
formulated). Dalam konstitusi Amerika Article 68 menentukan bahwasanya pemilihan
umum berkala diselenggarakan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sebelum akhir
masa jabatan anggota National Assembly. Pemilihan umum anggota National Assembly
diselenggarakan dengan tata cara yang diatur oleh UU. Selanjutnya ditentukan pula
bahwa penyelenggaraan pemilu ditetapkan dengan keputusan, dengan ketentuan bahwa
sidang pertama anggota National Assembly yang baru terpilih harus sudah diadakan
pada Kamis kedua sesudah terpilihnya sekurang-kurangnya 2/3 jumlah seluruh anggota
National Assembly. Jika diperhatikan, jelas sekali bahwa Article 68 Konstitusi Amerika
Serikat ini mengatur prosedur penyelenggaraan pemilu. Beginilah cara tafsir tematis-
sistematis.

18. Interpretasi Futuristik

Metode ini adalah gaya tafsir hukum yang dilakukan dengan cara merujuk pada suatu
RUU yang sudah mendapat persetujuan bersama, namun belum disahkan secara formil,
atau masih belum mendapat persetujuan, namun hakim penafsir melakukan forward
walking, yakni merujuk pada nilai-nilai yang pasti lolos dalam ius constituendum
tersebut sehingga pada waktunya disahkan dan mengikat (in kracht), norma hukum
yang dijadikan acuan oleh hakim penafsir tadi sudah menjadi hukum positif .
Interpretasi ini djelaskan undang-undang yang berlaku sekarang Ius Constitutum,
dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum ius
constitendum7.
7
Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum.Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,Gunung
Agung,Jakarta,2002,hal 175
Intepretasi ini merupakan metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif. Metode ini
dilakukan dengan menafsirkan ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman
pada kaedah-kaedah perundang-undangan yang belum mempunyai kekuatan hukum,
misalnya undang- undang tentang pemberantasan tindak subversi yang sedang di bahas
di DPR akan mencabut berlakunya undang-undang tersebut, maka jaksa berdasarkan
interpretasi futuristik, menghentikan penuntutan terhadap orang yang di sidik
berdasarkan undang-undang pemberantasan tindak pidana subversi.

19. Interpretasi Evolutif Dinamis

Tokoh yang mengenalkan gagasan tafsir seperti ini adalah Vissert Hoft. Metode
interpretasi norma ini dipandang perlu untuk dilakukan karena adanya pandangan yang
berubah dalam dinamika kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, makna yang harus
diberikan pada norma hukum yang ditafsirkan haruslah bersifat “mendobrak
perkembangan”. Salah satu ciri penting metode interpretasi ini adalah diabaikannya
maksud asli (the original intent) legislator.

20. Interpretasi Interdisipliner

Sudikno dan Pitlo berpendapat bahwa penggunaan logika penafsiran dengan


menggunakan banyak cabang ilmu pengetahuan, banyak cabang dalam ilmu hukum
sendiri, ataupun banyak cabang dari berbagai metode penafsiran juga penting. Karena
banyak kasus yang tidak dapat didekati dengan hanya mengandalkan satu sudut
pandang saja. Yang antara lain disebabkan oleh kompleksitas pemasalahan yang harus
melibatkan interdisiplin ilmu demi menggapai keadilan.

21. Interpretasi Multidispliner

Berbeda dengan tafsir interdisipliner yang melibatkan banyak cabang ilmu di luar ilmu
hukum, metode tafsir interdisipliner hanya melibatkan suatu cabang ilmu diluar ilmu
hukum. Misalnya, suatu kasus yang menuntut adanya pembuktian yang pembuktian
tersebut semata-mata hanya tergantung pada penafsiran ilmu kedokteran saja.

22. Interpretasi Filosofis

Penafsiran filosofis memusatkan perhatian pada segi what is the


underlyingphilosophical thought yang tekandung dalam teks yang akan ditafsirkan.
Misalkan tafsir Mahkamah Konstitusi atas Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam hal ini, faktor filosofi
bermain.

23. Interpretasi Literal

Metode ini, menurut Utrecht, adalah metode pertama yang ditempuh dalam penafsiran
UU. Penafsiran bertumpu pada penggalian makna harfiah suatu teks (what does the
word mean). Menurutnya, seorang hakim wajib mencari tahu arti kata dalam UU dalam
kamus atau pada ahli tata bahasa. Jika hakim belum menemukan maknanya, maka dia
mencarinya dengan memperhatikan dan mempelajari susunan kalimat dan mencari
hubungannya dengan peraturan-peraturan lain.

24. Interpretasi Subtantif

Metode subtantif adalah dimana hukum harus menerapkan suatu teks undangn–undang
terhadap kasus In-konkreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran yang
lebih rumit, tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Contoh : Pasal 378; “ barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun penghapusan piutang
diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur daripada penipuan adalah :

a. dengan maksud untuk menguntungkan diri dengan melawan hukum;


b. menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu;
c. dengan menggunakan salah satu upaya penipuan.
Maksud penipuan tidak ada, atau tidak dijelaskan.

25. Interpretasi Pengkonkritan oleh Hakim (Rechtsvervijnings)

Metode pengkongkritan hukum ini bertujuan untuk mengkongkritkan suatu aturan


hukum yang terlalu abstrak.

Contoh : pasal 363 (1) KUHP “dengan tuduhan menyuruh melakukan pencurian, orang
yang disuruh melakukan harus orang yang tidak dapat ipertanggungjawabkan atas
perbuatannya. Artinya bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
secara bersekutu, harus dilakukan secara turut serta melakukan dan bukan secara
pembantuan.

26. Interpretasi Harmoniserende

Adalah penafsiran yang dipergunakan untuk menghindari disharmoni atau konflik


antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lain.

27. Interpretasi Doktriner


Yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara memperkuat argumentasi dengan
merujuk pada suatu doktrin tertentu.

28. Interpretasi kreatif

Yaitu dengan menggunakan interpretasi ini hakim mengungkap satu unsur tertentu
yang dianggabnya terkandung dalam suatu rumusan pidana, meskipun unsur tersebut
tidak diuraikan secara tegas di dalamnya.

29. Interpretasi Tradisional

Interpretasi tradisional, yaitu : menemukan hukum dengan cara melihat suatu perilaku
dalam tradisi hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmdja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum. Suatu


Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni
Bandung, 2000.
C.S.T. Kansil, Drs., SH, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka Jakarta, 1986

C. Asser,Mr., Penuntun Dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, Gajah Mada


University Press, 1986.

Sudikno Merto Kusumo, Prof, Dr, SH, Mengenal Hukum, Liberty Jogyakarta, 1999

Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum.Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,Gunung


Agung,Jakarta,2002

E. Utrecht, Drs., SH & M. Saleh Djinjang, SH, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
1982

Anda mungkin juga menyukai