Anda di halaman 1dari 97

MUQODDIMAH

Dengan berharap barakah dari Allah, maghfirah serta ridlo-Nya, kami


mulai tulisan sederhana dalam upaya mengungkap tafsir Surat Yasin yang Agung ini
dengan kalimah

(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)


Sebab Rasulullah saw bersabda dalam sebuah Hadits :

“Tiap urusan yang tidak dimulai dengan di dalamnya dengan


Bismillahirrahmanirrahim, maka terputus barakah-Nya”
. Dalam Hadits lain, Rasulullah saw bersabda :

“Tiap urusan yang mengandung kebaikan yang tidka dimulai di dalamnya


dengan Bismillahirrahmanirrahim, maka terputuslah barakah-Nya”.

Surat Yasiin termasuk golongan Surat Makkiyyah yaitu surat yang turun di
Mekkah saat Nabi Muhammad saw belum berhijrah ke Madinah. Diturunkan
sesudah surat Al-Jin, terdiri atas 83 ayat. Ditempatkan dalam Mushaf pada Juz ke-
22 untuk ayat 1-21 dan juz 23 mulai ayat 22-83, dengan nomor surat adalah 36
sesudah surat Faathir.

Surat Yasin barangkali adalah surat yang paling terkenal bagi orang awam
di Indonesia, diluar surat-surat pendek yang terdapat dalam Juz ‘Amma. Sehingga
banyak orang yang tidak dapat membaca Al-Qur’an sekalipun, ia dapat menghafal di
luar kepala Surat Yasin, terlepas dari benar dan salahnya lafal yang diucapkannya
ditinjau dari qaidah Ilmu Tajwid.

Mengapa demikian ? Sebuah fenomena yang nyata dan hidup di masyarakat


kita di Indonesia, baik di kota ataupun di desa, meski Rasulullah saw tidak pernah
mencontohkannya secara langsung, adalah adanya Majlis Pembacaan Surat Yasin.
Khususnya pada setiap malam jum’at, tatkala ada kematian, pada permulaan acara
sebuah Majlis Ta’lim, pada malam Nisfu Sya’ban, dan lain sebagainya. Semuanya ini
merupakan media yang sangat berperan yang mendorong ummat untuk mau membaca
bahkan menghafalkannya.

Sehingga apa yang diinginkan Rasulullah saw dalam HR. Al-Bazzar dari
‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda :

1
“Sungguh aku sangat ingin bahwasanya ia (Surat Yasin) ini berada dalam
hati setiap manusia dari ummatku”,
menjadi sebuah kenyataan di Indonesia, sebuah negeri dengan mayoritas penduduk
muslimnya terbesar di dunia ini.

Tradisi yang tumbuh subur dan dikembangkan sejak dahulu oleh para Ulama
di Indonesia ini, meski oleh sebagian orang dihukumi “Bid’ah”, sebenarnya memilki
pijakan dalil yang kuat. Para Ulama di Indonesia yang sebagian besar bermadzhab
Syafi’I, menyandarkan amaliyyahnya ini kepada sebuah Qaidah Fiqh, yang terkenal
dalam Madzhab Syafi’I yang mengatakan :

“Asal pokok dari segala sesuatu adalah boleh atau mubah sehingga ada
dalil yang menunjukkan keharamannya”.

Qaidah ini dikutip oleh para Ulama diantaranya dari Kitab karya Imam As-
Suyuthi yang berjudul “Al-Asybah wan Nadzair”, dan yang diakui pula
kebenarannya oleh Prof DR. Yusuf Qardhawi dalam “Al-Halalu wal Haramu fil
Islami” karena memiliki sumber dalil yang kuat dari berbagai ayat Al-Qur’an dan
Hadits Rasul. Diantaranya menurut DR. Yusuf Qardhawi adalah QS. 2 Al-Baqarah :
29, QS. 45 Al-Jatsiyah : 13 dan QS. 31 Luqman : 20.

Qaidah ini berbeda dengan yang dikembangkan oleh Abu Hanifah pendiri
Madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa : “Pokok dari segala sesuatu itu adalah
dilarang (Haram) sehingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya”. Itulah
sebabnya di masyarakat kita ada sebagian orang yang tidak menyukai adanya
aktifitas seperti Majlis Pembacaan Surat Yasin

Tetapi ikhtilaful ‘Ulama adalah rahmat. Kearifan kita untuk bersikap


tasammuh (toleran) dan mengakui adanya pluralitas pendapat, akan melahirkan
ketentraman dalam beragama. “Klaim” yang terlalu tergesa-gesa untuk menghukumi
amaliyyah orang lain sebagai sesat hendaknya mulai dijauhkan dari pemikiran kita.
Sebab berpotensi untuk memicu tafaruq (perpecahan) diantara ummat Islam.
Sehingga cita-cita kita untuk menjalin Ukhuwah Islamiyyah (Persatuan Ummat
Islam) demi ‘Izzul Islam wal Muslimin” (Kemuliaan Islam dan Kaum Muslimin)
hanyalah sebuah khayalan belaka.

Kedudukan Surat Yasin sebagai “Qalbu al-Qur’an”, disamping fadhilah lain


diantaranya untuk pengampunan dosa merupakan motifator terbesar bagi ummat
untuk memperbanyak membacanya. Hanya amat disayangkan bahwa sedikit sekali,
khususnya di masyarakat awam yang jauh dari dunia santri, yang mengetahui
sekedar tarjamahnya apalagi untuk kandungan makna dan tafsirnya secara mendalam.

Sementara Tafsir berbahasa Indonesia yang secara khusus mengkaji surat


Yasin pun amat sedikit. Kebanyakan ia merupakan satu kesatuan dengan tafsir surat
lainnya. Risalah sederhana ini dimaksudkan untuk sedikit mengisi kekosongan dalam
aspek yang terakhir ini. Sehingga ummat Islam diharapkan tidak hanya sekedar

2
“mengambil barakah” dengan membacanya saja. Tetapi Yasin sebagai bagian
integral dari Al-Qur’an, hendaknya diposisikan sebagai “Way of Life”. Sehingga
mengetahui tafsirnya adalah sebuah kemestian. Dan barakah yang akan didapat
tentunya lebih banyak lagi.

Tiga Kitab Besar yang mu’tabarah dalam bidang Tafsir, yang lebih dikenal
sebagai Tafsir Qurthubi, Jalalain dan Ibnu Katsir, adalah rujukan utama kami dalam
menyusun buku ini. Kitab Lubabun Nuqul Fi Asbabain Nuzul, karya Imam As-
Suyuthii, juga kami pergunakan. Kemudian untuk memperluas kajian, kami
menggunakan berbagai literature yang berkaitan dengan topik bahasan yang ada. Ada
sekitar 25 (dua puluh lima) topik dalam buku ini yang kami simpulkan dari 83 ayat
yang terdapat dalam surat Yasin ini.

Kemudian kami tambahkan pula di dalamnya topik tentang fadhilah surat


yasin dan hikmah yasin sebagai qalbul qur’an. Mengapa hal ini kami anggap
penting, adalah sebagai targhib. Sehingga orang akan makin terdorong untuk terus
membacanya, mengkaji dan mengamalkan isi dan kandungannya.

Menafsirkan ayat dengan ayat Al-Qur’an lain atau dengan berbagai Hadits dan
riwayat adalah ciri tulisan ini. Pendekatan sains sebagai alat bantu dalam memahami
ayat yang berhubungan dengan kekuasaan Allah di semesta alam, juga kami gunakan.
Semoga ada manfaatnya. Amien.

Wassalaam
Mataram Nusa Tenggara Barat
Jum’at 20 ramadhan 1427 H (13 Oktober 2006 M)
Al-Faqir Ilallah : Agus Gustiwang Saputra

3
FADHILAH SURAT YASIIN
1. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah dalam Kitab Sunan-nya, dari Ma’qil bin
Yasar ra., bahwa Nabi saw bersabda :

“Bacakanlah surat Yasiin kepada orang mati diantara kamu”

Sehubungan dengan Hadits ini, Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani


berkata dalam Kitab Adz-Dzakhiiratuts Tsamiinah :
“Hadits ini derajatnya Hasan. Tidak ada bedanya antara bacaan Yasin dari
jama’ah yang hadir dekat orang mati atau diatas kuburnya dengan membaca
seluruh ayat Al-Qur’an atau sebagiannya bagi orang mati, di Masjid atau di
rumah”.

Dari keterangan ini dapatlah dipahami adanya sebagian Ulama dalam Madzhab
Syafi’I yang memperkenankan pembacaan Surat Yasin bagi orang yang mati dan
pembacaan surat Yasin yang dilakukan oleh para peziarah Qubur pada saat ia
berziarah Qubur.

2. HR. Abu Dawud, Nasa’I, derajat Shohih menurut Ibnu Hibban dari Ma’qil bin
Yasar ra., bahwasanya Nabi saw. bersabda :

“Bacakanlah kepada orang yang akan mati diantara kalian, surat Yasin”

Hadits ini terdapat pula dalam Kitab Bullughul Maram karya Amirul
Mu’minin Ilmu Hadits, yakni Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani.

Menurut Ibnu Hibban sebagaimana diriwayatkan oleh Ash-Shon’ani dalam


Kitab Subulus Salam : “Pengertian lafal “Mautakum” ini adalah orang yang
dalam sakaratul maut”

Tetapi Hadits ini oleh Ibnu Qathan dinilai cacat karena termasuk Hadits
Mudtharib, Mauquf dan karena tidak diketahui identitas Abu Utsman dan
ayahnya itu (selaku Rijalul Hadits pada sanadnya). Wallahu a’lam.

Tetapi Ash-Shon’ani, dalam Subulus Salam mengutip pula Hadits dari pengarang
Kitab “Al-Firdaus”, yang meriwayatkan dari Abu Darda dan Abu Dzar ra.,
keduanya berkata : Rasulullah saw. pernah bersabda :

“Tiada dari mayyit yang saat sakaratul maut itu dibacakan disisinya surat Yasin
melainkan Allah akan meringankan siksanya”

4
Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal pendiri Madzhab Hambali, sebuah Madzhab
Fiqh yang paling banyak dianut oleh para Ulama di Saudi Arabia, mengatakan :
“Jika surat ini dibacakan di dekat orang yang sedang sakaratul maut, Allah
akan meringankan baginya dan memudahkan keluarnya roh”

Prof DR. Hamka, mantan Ketua MUI Pusat, dalam muqaddimah juz ke-23
pada Kitab Tafsir Al-Azhar mengemukakan pengalaman pribadinya saat
dimintai tolong membacakan surat Yasin kepada orang yang sedang sakaratul
maut yang sulit sekali melepaskan ruhnya padahal sudah diajarkan Kalimat
Syahadat. Hamka mengatakan :
“Sejak mulai ayat pertama Yasin dibaca, mulailah si sakit tidak menghempas-
hempas lagi, kian lama kian tenang dan sesampai pada ayat ke-77 {Awalam
yaral insanu anna khalaqnahu min nuthfathin faidzaa huwa khasiimum mubin}.
Sampai di ujung ayat ini, saya membaca dan sampai di situ pulalah nafasnya
yang terakhir…………………dan bacaan saya teruskan sampai akhir surat

Waktu itu saya rasakan benar dari pengaruh bacaan itu menambah keyakinan
saya kepada apa yang diterangkan oleh seorang diantara Imam-Imam kita
yang berpengalaman, Imam Ahmad bin Hanbal…………………”

3. HR. Ad-Darami dalam Kitab Fadloilul A’mal karya Maulana Muhammad


Zakariya Al-Kandahlawi, dari Atha bin Abi Rabah ra., ia berkata, : Telah
sampai kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Barang siapa membaca Yasiin pada permulaan hari, dipenuhi segala


keperluannya”

4. HR. Al-Hafidzh Abu Ya’la dengan sanad “Jayyid” (Bagus) dalam Tafsir Ibnu
Katsir, dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Barang siapa membaca Yasiin pada suatu malam, terampunilah dosanya


pada pagi harinya. Dan barang siapa membaca Haamim yang tersebut
dalam Surat Ad-Dukhan pada suatu malam, terampunilah dosanya pada
pagi harinya”

Ulama Hadits lain yakni Abu Na’im dalam Kitab Mukhtarul Ahadits An-
Nabawiyyah karya Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, meriwayatkan hadits yang
sama tanpa menyebutkan tentang Surat Ad-Dukhan.

5
5. HR. Ibnu Hibban dari Jundub bin Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw
bersabda :

“Barang siapa membaca surat Yasiin pada suatu malam karena mengharap
ridlo Allah ‘Azza wa Jalla, diampuni dosa-dosanya”

6. HR. Al-Baihaqi dari Ma’qil bin Yasar ra., Rasulullah saw bersabda :

“Barang siapa membaca surat Yasiin pada suatu malam karena


mengharapkan ridlo Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Maka
bacakanlah (surat Yasiin) ini kepada orang-orang mati diantara kalian”

7. HR. Ibnu Sunni dari Abu Hurairah ra., Nabi saw bersabda :

“Barang siapa membaca surat Yasiin pada siang dan malam dengan
mengharap wajah (keridloan) Allah, diampuni dosa-dosanya”

Hadits nomor 4,5,6,7 inilah diantara Hadits yang dipergunakan oleh sebagaian
Ulama di Indonesia sebagai argumentasi adanya amaliyyah pembacaan surat
Yasin pada Malam Nisfu Sya’ban, sebagai malam pengampunan dosa.
Sebagaimana Hadits Nabi dalam Kitab Tanbihul Ghafilin karya Abu Laits As-
Samarqandiy dengan sanadnya dari Abu Umamah ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda :

“Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka Allah “turun” ke langit dunia
dan melihat kepada penduduk bumi maka Dia (Allah) memberi ampun
kepada semua penduduk bumi kecuali orang kafir dan orang yang sedang
bersengketa”

Diperkuat oleh Qaul Ulama, dari Syeikh Muhammad Darwis Al-Bairuti dari
Libanon dalam Kitab Asnal Mathalib, bahwa ia berkata :
“Adapun membaca Surat Yasin pada malam Nisfu Sya’ban setelah Sholat
Maghrib, dan membaca Do’a Nisfu Sya’ban yang masyhur itu, adalah

6
merupakan sebagian karya orang Sholeh yang ia susun sendiri, dan hukumnya
Mubah (Boleh). Konon yang menyusunnya adalah Imam Al-Buni”.

8. HR. Tirmidzi dari Anas ra. Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada hatinya. Dan hatinya Al-Qur’an


(Qalbul Qur’an) adalah Surat Yasiin. Dan barang siapa membacanya, Allah
menuliskan baginya (seperti) membaca Al-Qur’an 10 (sepuluh) kali”

Kemudian diperkuat oleh HR. Ahmad, dari Maqil bin Yasir ra. berkata, bahwa
Nabi saw bersabda :

“Surat Al-Baqarah adalah punggung Al-Qur’an bahkan puncaknya. Turun


bersama tiap ayat daripadanya 80 (delapan puluh) Malaikat. Dan dikeluarkan
Ayat Kursiy (Allah, Tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup lagi Maha Berdiri
dengan segala Kekuasaan-Nya) dari bawah ‘Arasy. Kemudian disambungkan
dengannya (Al-Baqarah). Dan Yasin adalah Qalbul Qur’an (Hatinya Al-
Qur’an). Tiada seorang membacanya dengan (ikhlas) karena mengharap ridho
Allah dan mengharap pahala akhirat, melainkan diampuni baginya dosanya.
Dan bacakanlah Yasin kepada orang mati diantara kalian”.

9. Al-Hadits dalam Kitab Tafsir SurahYasiin karya Syeikh Hamami Zadah dan
Fadloilul A’mal karya Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi, Nabi
saw bersabda :

7
“Sesungguhnya Allah SWT membaca Surat Yasiin dan Surat Thaha sebelum
Ia menciptakan langit dan bumi selama 2000 (dua ribu) tahun. Maka
tatkala para Malaikat mendengarnya, mereka berkata : Beruntunglah
ummat Muhammad, yang telah diturunkan kepadanya 2 (dua) surat ini. Dan
beruntunglah bagi orang yang hafal 2 (dua) surat ini. Beruntunglah lidah-
lidah yang berbicara menggunakan kedua surat ini”

10. Al-Hadits dalam Tafsir Surah Yasiin karya Syeikh Hamami Zadah, Nabi saw
bersabda :

“Perbanyaklah membaca surat ini (Yasiin), karena sesungguhnya di dalamnya


(Surat Yasiin) terkandung banyak kekhususan (keistimewaan)”

11. HR. Al-Bazzar dari ‘Ikrimah dari Ibnu Abbas ra., Nabi saw bersabda :

“Sungguh aku sangat ingin bahwasanya ia (surat Yasiin) berada dalam hati
setiap manusia dari ummatku”

Hadits-hadits diatas yang mengungkapkan Fadlilah surat Yasin ini menurut


para Ulama Ahli Hadits tidak seluruhnya shohih, bahkan ada diantaranya yang
dloif. Alasan kami tetap mencantumkannya adalah untuk tujuan fadloilul amal.
Mengapa demikian ? Imam Nawawi, salah seorang Mujtahid dalam Madzhab
Syafi’i dalam Kitab Al-Adzkar berkata :
“Para Ulama dari golongan Ahli Hadits, Ahli Fiqh dan yang lainnya telah
berkata : “Boleh-bahkan disunnatkan- beramal dalam hal-hal yang
berkaitan dengan fadloilul (Keutamaan) amal, targhib (hal yang dapat
menyenangkan orang untuk giat beribadah), dan tarhib ( hal untuk
memberikan rasa takut untuk berbuat ma’shiyat) dengan menggunakan Hadits
Dloif selama bukan tergolong Hadits Maudlu (Palsu)”.

8
TAFSIR AYAT 1-10

1. ”Yaa Siin
2. Demi Al Qur'an yang penuh hikmah,
3. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul,
4. (Yang berada) di atas jalan yang lurus,
5.(Sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang.
6. Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka belum
pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.
7.Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap
kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.
8. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan
mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah.
9. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding
(pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.
10. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman”.

Asbabun Nuzul ayat ini (QS. 36 Yasiin : 1-10) enurut Kitab Lubabun Nuqul
Fii Asbabin Nuzul karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, diriwayatkan oleh Abu
Na’im di dalam Kitab Ad-Dalail yang bersumber dari Ibnu Abbas ra :
“Bahwa ketika Rasulullah saw membaca Surat As-Sajdah dengan nyaring, orang-
orang Qurays merasa terganggu, dan mereka bersiap-siap untuk menyiksa
Rasulullah tetapi tiba-tiba tangan mereka terbelenggu di pundak-pundaknya dan
mereka menjadi buta sama sekali. Mereka sangat mengharapkan pertolongan Nabi
saw dan berkata : “Kami sangat mengharapkan bantuanmu atas nama Allah dan atas
nama keluarga”. Kemudian Rasulullah saw berdo’a dan mereka pun sembuh, akan
tetapi tak seorang pun diantara mereka yang beriman. Sehubungan dengan kejadian
ini, maka turunlah ayat-ayat ini (QS. 36 Yasiin : 1-10)”

9
SUMPAH ALLAH SWT BAHWA NABI
MUHAMMAD SAW BENAR-BENAR
SEORANG RASUL
(QS. 36 Yasin : 1-6)

Ada Ikhtilaful Ulama tentang arti lafal dalam ayat pertama, diantaranya :
1. Menurut Ibnu Abbas ra, ‘Ikrimah, Muqaatil , Adl-Dlohak, Al-Hasan,
Sufyan bin Uyainah, adalah : Yaa Insaanu (Wahai manusia).
2. Menurut Muhammad bin Hanifiyah, adalah : Yaa Muhammad
3. Menurut Ma’mar dari Qotadah, adalah : Nama dari nama-nama Al-Qur’an
4. Menurut Malik dari Zaid bin Aslam, adalah : Nama dari Asma-asma Allah
5. Menurut Sa’id bin Jubair, adalah : Salah satu dari nama Nabi Muhammad

Dari sekian pendapat ini, menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, para ahli
Tafsir kebanyakan mengartikan dengan menghubungkannya kepada nama
Nabi Muhammad. Kemudian Hamka mengatakan : “Jika dikatakan bahwa artinya
adalah “Hai Manusia”, maka yang dimaksud dengan manusia itu ialah Nabi
Muhammad. Oleh sebab itu maka bersama dengan dua huruf di pangkal Surat Thaha,
keduanya disebutkan orang menjadi nama dari Nabi kita Muhammad saw.
…………Di tulisan indah untuk menghiasai dinding Masjid Nabawi di Madinah,
dituliskan orang nama –nama Nabi Muhammad saw, nama Thaha dan Yasin turut
dituliskan”.

Dalam QS. 36 Yasiin : 2-6, Allah berfirman :

“Demi Al Qur'an yang penuh hikmah, sesungguhnya kamu (Muhammad)


adalah sungguh-sungguh salah seorang dari rasul-rasul, (yang berada) di atas
jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-
bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai”.

Dalam QS. 36 Yasin : 2-3, Allah SWT bersumpah dengan Al-Qur’an yang
penuh hikmah, sebagaimana firman-Nya :

(Demi Al Qur'an yang penuh hikmah),


bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib, adalah benar-benar
seorang Rasul utusan Allah, sebagaimana Rasul-Rasul lain yang telah diutus Allah
sebelumnya.

10
Dalam Kitab Syarah Riyadlul Badi’ah karya Syeikh Muhammad Nawawi
Al-Jawi, dikemukakan bahwa : “Menurut riwayat yang masyhur bahwasanya jumlah
para Rasul itu adalah 313 Rasul sebagaimana Hadits Abi Dzar ra”. Sedang Jumlah
para Nabi menurut para Ulama adalah 124.000 Nabi.

Makna kata dalam ayat ke-2 ini, adalah :


1. Menurut Tafsir Qurthubi, adalah sebagaimana firman Allah :

“Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi
serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang
Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”
(QS. 11 Hud : 1)

2. Menurut Tafsir Jalalain, adalah : Tersusun rapi dengan menakjubkan pada


susunan kata-katanya, pada badi’ dan ma’aninya.
3. Menurut Ibnu Katsir, adalah : Menunjukkan bahwa Al-Qur’an ini mengandung
berbagai hikmah dan tidak tercampur dengan kebathilan dari depannya
ataupun belakangnya.
4. Menurut Tarjamah Al-Qur’an Depag. RI adalah : Yang penuh hikmah
5. Secara lughah (bahasa), menurut Prof. Mahmud Yunus dalam Qamus Arab-
Indonesia berarti : Orang Cendekia, Failusuf.

Jika semua pendapat ini kita gabungkan, maka arti dari “Wal-Qur’anil
Hakiim” mencakup 4 (aspek) aspek, yakni :
• Keindahan susunan kata dan bahasa,
• Kebenaran isi dan kandungannya,
• Kecerdasannya dalam mengungkapkan nilai kebenaran tersebut, serta
• Kandungan hikmah yang dalam, yang mendorong para pembacanya untuk
terus menerus mengkaji dan menemukan rahasianya.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT kadang bersumpah, dengan waktu, misalnya :

(Demi waktu, Demi Waktu Fajar, Demi Malam-Malam yang Sepuluh, Demi
Waktu Dluha).
Tetapi terkadang dengan Dia bersumpah dengan tempat, misalnya :

(Aku benar-benar bersumpah dengan negeri ini Mekkah),

(Demi Bukit Thursina (Gunung Sinai)

11
Menurut sebagian Ulama, bila sesuatu dijadikan sebagai media sumpah,
menunjukkan bahwa sesuatu itu amat penting. Sehingga jika Al-Qur’an menjadi
media sumpah-Nya Allah, dapat dipastikan bahwa ia teramat istimewa.

Sumpah Allah dengan Al-Qur’an ini adalah untuk menegaskan kebenaran


kerasulan Muhammad saw. Sehingga jika seseorang terkagum-kagum dengan I’jazul
Qur’an yang mengatasi semua karya manusia, baik dari segi keindahan susunan
bahasanya, isi dan kandungannya yang benar dan lain sebagainya, pertanyaan
selanjutnya adalah siapakah manusia mulia yang membawanya tersebut dan
dari mana datangnya ? Maka pada ayat ke-3, Allah menegaskan bahwa
Muhammad bin Abdullah itulah yang membawanya, karena ia benar-benar
seorang Rasul utusan Allah. Sedangkan pertanyaan berikutnya tentang darimana
datangnya Al-Qur’an tersebut, dijawab oleh Allah dalam ayat ke-5.

Ayat ke 4-5 yang berbunyi :

“(Yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan
oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”,
menurut Ibnu Katsir senada dengan ayat :

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) wahyu (Al


Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al Kitab (Al Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu,
tetapi Kami menjadikan Al Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia
siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus”.
(QS. 42 Asy-Syura : 52)

Menurut Hamka, dalam ayat ke-4 yang pendek ini, Allah SWT menjelaskan
Khitthah (Garis perjuangan) Nabi Muhammad saw dalam perjuangan da’wahnya
adalah “Membawa manusia berjalan dalam hidup ini di atas garis yang lurus”.

Kalimat “Shirathal Mustaqim”, menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya


adalah : “Jalan yang lurus yang tidak berliku, ialah mengikuti tuntunan Allah dan
Rasulullah. Juga berarti Kitab Allah. Sebagaimana riwayat dari Ali ra. yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :

12
Juga berarti Islam, sebagai agama Allah, yang tidak akan diterima oleh Allah
selainnya (selain Islam)”.

Lebih jelas lagi dalam HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’I, dari An-Nawas bin
Sam’an ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Allah mengadakan contoh perumpamaan “Shirathol Mustaqim (suatu jalan
yang lurus), sedang di kanan kiri jalan ada dinding (pagar tembok) dan
dipagar ada pintu-pintu terbuka, pada tiap pintu ada tabir yang menutupi
pintu, dan dimuka jalan ada suara berseru, “Hai manusia masuklah ke jalan
ini, dan janganlah berbelok. Dan diatas jalanan ada seruan. Maka bila ada
orang yang akan membuka pintu diperingatkan, “Celaka anda, jangan
membuka, sungguh jika anada membuka pasti akan masuk”. Shirat itu ialah
Islam, dan pagar itu adalah Hududullah (Batas-batas Hukum Allah). Dan
pintu yang terbuka ialah apa-apa yang diharamkan Allah. Sedang seruan
dimuka jalan itu adalah Kitab Allah, dan seruan diatas shirath ialah nasehat
dalam hati setiap muslim”.
(HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa’I)

Ayat ke-5 yang berbunyi :

(Yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang),
menegaskan bahwa yang menurunkan Al-Qur’an yang penuh hikmah itu itu adalah
Allah SWT Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.

Menurut Imam Al-Qusyairi, dalam At-Tahbier fit Tadzkiir, mengatakan


bahwa : “Al-Aziz artinya adalah : Allah yang Maha Kuat, Maha Perkasa, tak
terkalahkan oleh apaun. Dia-lah yang mengalahkan yang tidak dapat dikalahkan,
yang menang dan tidak dapat ditaklukkan”.

Sehingga Asmaul Husna-Al-Aziz- ini, makin mengukuhkan keyakinan bahwa


Al-Qur’an yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw pasti
mengandung sesuatu yang luar biasa karena ia diturunkan dari Dzat Yang Maha
Perkasa.

Ayat ke-6 yang berbunyi :

(Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak mereka


belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai),

Merupakan ayat yang memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk berda’wah


dengan menjadi Nadzir (pemberi peringatan). Seorang Nabi dan da’I pada umumnya
diperintahkan untuk menjadi Basyiran (pemberi kabar gembira) dan Nadziiran
(pemberi peringatan). Dan berda’wah dengan menjadi Nadzir adalah lebih berat
karena pasti akan melawan arus pemikiran, kepercayaan dan perilaku serta budaya
masyarakat yang jahiliyyah, sesat dan menyimpang.

13
Senada dengan ayat ini, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai


pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada
suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan”.
(QS. 35 Fathir : 24)

Sementara arti kata “Qowman” (Kaum) dalam ayat diatas, ada ikhtilaf
diantara para Ulama, yakni :
1. Menurut Qatadah dan Syeikh Hamami Zadah dalam Tafsir Surat Yasin, adalah :
“Kaum Qurays”. Karena sejak zaman Nabi Ismail as. sampai masa kenabian
Muhammad saw, belum ada seorang Nabi dan Rasul pun yang memberi
peringatan kepada mereka (Kaum Quraisy), sehingga mereka lalai.
2. Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, adalah : Bangsa Arab dan Kaum-kaum
lain yang belum pernah bapak-bapak mereka didatangi seorang Rasul yang
memberi peringatan kepada mereka. Fakta sejarah menunjukkan bahwa masa
antara berakhirnya Kenabian Isa as hingga kedatangan Nabi Muhammad
saw, tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah kepada Kaum manapun.
Sehingga masa ini dikenal sebagai Zaman Fatrah ( )
3. Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsirnya, sebagian besar Ulama Tafsir
mengatakan bahwa yang dimaksud kaum disini adalah : Bangsa Arab.

Menurut Al-Qurthubi, ayat yang semakna dengan ayat ini adalah :

“Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka kitab-kitab yang mereka
baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum
kamu (Muhammad) seorang pemberi peringatanpun”.
(QS 34 Saba : 44)

“Tetapi mengapa mereka (orang kafir) mengatakan: "Dia Muhammad


mengada-adakannya". Sebenarnya Al Qur'an itu adalah kebenaran (yang
datang) dari Tuhanmu, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang
belum datang kepada mereka orang yang memberi peringatan sebelum
kamu (Muhammad) ; mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk”.
(QS. 32 As-Sajdah : 3)

14
MAYORITAS ORANG KAFIR DIAZAB
ALLAH
(QS. 36 Yasin : 7-10)

Dalam QS. 36 Yasin : 7, Allah berfirman :

“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap


kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman”.
(QS. 36 Yasin : 7)

Menurut Ibnu Jarir dalam Tafsir Ibnu Katsir dan As-Suyuthi dalam Tafsir
Jalalain, Syeikh Hamami Zadah dalam Tafsir Surat Yasiin, makna ayat ini adalah
“Telah pasti azab atas kebanyakan mereka karena kekafiran mereka”

Pada ayat ke-8 & 9, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan


mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami
adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula),
dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”.
(QS. 36 Yasiin : 8-9)

Dalam Kitab Lubabun Nuqul Fii Asbabin Nuzul, diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir yang bersumber dari Ikrimah ra. :
“Bahwa Abu Jahl berkata : Kalau aku bertemu dengan Muhammad, pasti aku
akan menghasutnya”. Ketika Nabi Muhammad berada di sekitarnya, orang-
orang menunjukkan bahwa Muhammad berada di sisinya. Akan tetapi Abu
Jahl tetap bertanya : “Mana dia (Muhammad) ?”, karena dia (Abu Jahl)
tidak dapat melihatnya. Ayat ini (QS 36 Yasiin : 8-9), turun sebagai
penjelasan bahwa pandangan Abu Jahl saat itu ditutup oleh Allah untuk
melihat Nabi Muhammad saw”

Menurut Al-Qurthubi dalam Tafsirnya mengatakan ada riwayat bahwa : Ayat


ini turun berkenaan dengan Abu Jahl dan temannya dari Bani Mahzun yang
bernama Al-Walid bin Mughiroh. Abu Jahl bersumpah dengan mengatakan :
“Jika aku melihat Muhammad sedang sholat, maka akan aku pecahkan
kepalanya dengan batu. Lalu keduanya mendatangi Nabi saw saat beliau
sholat. Ketika Abu Jahl mengangkat batu, maka tangannya menjadi lumpuh
sampai ke lehernya dan batu tersebut menempel pada tangannya. Maka

15
ketika ia kembali kepada teman-temannya dan memberitakan apa yang dia
lihat, batu yang menempel di tangannya itu terlepas. Lalu seorang dari Bani
Mahzum (Yakni Al-Walid bin Mughiroh) berkata : “Aku akan membunuhnya
dengan batu ini”. Kemudian keduanya mendatangi beliau, di saat beliau
sedang sholat. Ketika mereka berdua hendak melempar beliau dengan batu
tersebut, maka Allah membutakan mata mereka. Kedua orang tersebut
mendengar suara beliau, tetapi tidak dapat melihatnya. Lalu mereka berdua
kembali ke teman-temannya sambil memanggil-manggil mereka dalam
keadaan buta dan tak dapat melihat. Mereka bertanya: “Aku tidak melihat
Muhammad, tetapi aku mendengar suaranya. Antara aku dan dia terhalang
oleh sesuatu, seperti ada anak sapi sedang menyambar-nyambar denngan
ekornya. Andaikan aku mendekatinya, maka ia akan memakanku. “ . Setelah
peristiwa itu tersebut, setiap Abu Jahal bermaksud buruk pada Rasulullah
saw. dia tidak bisa melihat beliau.

Ayat 1 sampai 9 dari Surah Yasiin ini pernah dibaca oleh Nabi Muhammad
saw saat malam Hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah, sebagaimana
diriwayatkan dalam Shirah Ibnu Hisyam, sebagai berikut :
Dikatakan bahwa : “…………Ketika pemuda-pemuda pilihan (kafir Qurays)
sedang bersiap untuk menghadang beliau saw. di depan pintu rumah Nabi,
beliau saw keluar dari pintu itu tanpa sepengetahuan mereka karena mereka
terlelap semuanya. Beliau mengambil segenggam tanah kemudian
ditaburkan di atas kepala mereka sambil membaca Surah Yasiin mulai dari
awal sampai ayat ke-9, yang berbunyi :

(Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka


dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat
melihat)
Setelah Nabi saw agak jauh, datanglah seseorang pada mereka sambil bertanya
: Sedang apa kamu berada di tempat ini ? Jawab mereka : “Kami sedang
menunggu Muhammad”. Kata orang itu : “Demi Allah, Muhammad telah
pergi dari tempat ini”. Mereka melihat kedalam rumah Nabi dan mereka kira
Nabi masih tidur. Ternyata yang tidur adalah Ali bin Abi Thalib”.

Dari riwayat Ibnu Hisyam ini, kita makin bertambah yakin tentang
kemu’jizatan dari surat Yasin ini. Para Ulama di Indonesia sejak dahulu kala, selalu
menjadikan Surat Yasin ini sebagai wasilah memohon pertolongan Allah dalam
kondisi-kondisi yang sulit dan genting. Penulis mendengar dari beberapa Kyai di
Jawa, bahwa banyak para Kyai di masa penjajahan kerap kali membaca Surat
Yasin ini khususnya ayat yang ke-9 sebagai cara untuk melepaskan diri dari kejaran
musuh yang akan menangkap dan membunuhnya.

Jika Nabi Muhammad saw saja yang tentunya senantiasa dalam


bimbingan wahyu dan dalam pengawalan para Malaikat, beliau membaca Surat Yasin
ini di saat-sat yang kritis seperti di malam Hijrah beliau ke Madinah. Maka

16
perilaku ummatnya yang memohon pertolongan Allah dengan memperbanyak
membaca Surat Yasin yang agung ini, apalagi di saat-saat yang kritis adalah dapat
dibenarkan oleh syara’ atas dasar Qiyas.

Dengan pertimbangan qiyas di atas, maka pendapat Imam Ahmad bin


Hanbal dan perilaku Prof DR. Hamka yang sudah kami ungkapkan di bab fadhilah
Surat Yasin, yang percaya dengan penuh keyakinan bahwa ruh dapat keluar dengan
mudah jika dibacakan surat Yasin di dekat orang yang sakaratul maut, menjadi
makin menambah keyakinan kita akan kebenarannya. Mengapa demikian ?

Karena saat naza (koma) adalah kondisi yang kritis ditinjau dari kacamata
keimanan. Imam Hanafi menurut Drs. M. Ali Chasan Umar dalam bukunya Alam
Kubur (Alam Barzakh) digali dari Al-Qur’an dan Hadits, pernah mengatakan bahwa :
“Banyak sesuatu yang bisa merobekkan iman seorang hamba di waktu naza. Imam
Hanafi pernah ditanya, dosa apakah yang dikhawatirkan dapat merobekkan iman ?
Lalu beliau menjawab : “Meninggalkan syukur atas iman, hilangnya rasa takut
kepada Allah di akhir umurnya dan berbuat aniaya kepada banyak hamba Allah.
Sesungguhnya orang yang 3 (tiga) perkara itu terdapat dalam hatinya, pada umumnya
keluar dari dunia dalam keadaan kufur, kecuali orang yang menemukan
keberuntungan”. Dengan dibacakan surat Yasin, mudah-mudahan orang yang sedang
sakaratul maut tadi tergolong orang yang beruntung.

Pada ayat ke-10, Allah berfirman :

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka
ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan
beriman”.

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini semakna dengan QS. 2 Al-Baqoroh :6-7, yang
merupakan tasliyyah (hiburan) kepada Nabi saw, yang menginginkan semua
manusia itu beriman. Allah berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri


peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan
mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat”.

Mengapa peringatan tidak bermanfaat bagi mereka adalah karena pada


hakekatnya Allah telah mematikan hati mereka untuk dapat menangkap kebenaran

17
Ilahiyyah, sebagaimana ayat diatas. Itulah “Hidayah” yang merupakan hak
“prerogative” Allah untuk memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Abu
Thalib, paman Nabi Muhammad yang teramat banyak jasanya kepada beliau saw,
mati sebagai orang kafir. Allah berfirman :

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada


orang yang kamu cintai, tetapi Allah memberi hidayah (petunjuk) kepada
orang yang dikehendaki-Nya”
(QS. 28 Al-Qashash : 56)
Sedang secara “sareat” adalah karena dosa-dosa yang mereka perbuat.
Sebab dosa akan menggelapkan hati menutupi jalannya nur hidayah. Dalam Tafsir
Ibnu Katsir, ada Hadits Nabi dari Hudzaifah ra. bahwa, Nabi saw bersabda :
“Ujian (fitnah) itu selalu ditawarkan kedalam hati manusia, satu persatu
bagaikan daun tikar sehelai-sehelai. Maka yang mana yang termakan oleh
hati, bertitik hitamlah di dalamnya. Dan tiap hati yang menolaknya bertitik
putih. Sehingga ada dua bentuk hati, yang putih bagaikan marmar putih,
yang tidak terpengaruh oleh fitnah yang bagaimanapun juga selama ada
langit dan bumi. Sedang yang kedua yang yang hitam kelam bagaikan
dandang periuk nasi yang terbalik, tidak mengenal ma’ruf dan tidak menolak
mungkar”.

Juga karena bagi mereka telah terdahulu ketentuan Allah di Lauh Mahfudzh
bahwa mereka adalah orang yang kafir. Sebagaimana firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat


Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala
macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih”.
(QS. 36 Yunus : 96-97)

18
PERINGATAN HANYA BERMANFAAT
BAGI ORANG YANG TAKUT KEPADA
ALLAH
(QS 36 Yasin : 11-12)

Allah berfirman :

“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang


mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah walaupun dia tidak melihatNya. Maka berilah mereka kabar
gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. Sesungguhnya Kami
menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah
mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.
(QS 36 Yasiin : 11-12)

Ayat ke-11 ini merupakan penegasan bahwa da’wah hanyalah bermanfaat


bagi orang yang mengikuti dan takut kepada Allah meski pun Allah tidak
terlihat dengan nyata (Ghoib) bagi manusia. Sebab kata yang artinya adalah
“peringatan”, menurut Al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan Jalaluddin As-Suyuthi
dalam Tafsirnya, adalah Al-Qur’an.

Tidak terlihatnya Allah bagi manusia karena Dia (Allah) adalah Dzat Non
Materi, sehingga tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu
mustakhil Dia tampak bagi manusia di dunia ini.
Sedang menurut Qotadah dalam Tafsir Qurthubi, yang dimaksud dengan ayat

(Dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak
melihatNya)
adalah : Dia senantiasa takut kepada-Nya (Allah) meski tidak terlihat oleh
manusia manapun yakni saat berada dalam kesendirian.

Permulaan ayat ke-12, yang berbunyi

(Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati),


menunjukkan bahwa setelah kematian seseorang di dunia, yang ditandai dengan
lepasnya ruh dari badan, maka manusia kembali hidup di alam Qubur untuk
empertanggung jawabkan segala amal perbuatannya.

19
Dalam Kitab Lubabun Nuqul Fii Asbabin Nuzul, bahwa sababun nuzul ayat
ke-12 ini menurut riwayat At-Tirmidzi dengan sanad Hasan dan Al-Hakim dengan
sanad Shahih yang bersumber dari Abi sa’id Al-Khudri ra dan riwayat At-
Thabrani dari Ibnu Abbas ra, bahwa. :
“Bani Salamah bertempat tinggal di pinggir kota Madinah dan ingin
pindah ke dekat Masjid. Maka turunlah ayat ini (QS 36 Yasin : 12) yang
menegaskan bahwa setiap ucap langkah dari seseorang itu dicatat oleh Allah.
Setelah turun ayat ini Nabi saw menasehati Bani Salamah tentang niat
mereka pindah dari tempat tinggalnya dengan sabdanya : “Sesungguhnya
bekas telapak kaki kalian menuju masjid dicatat oleh Allah SWT.
Sebaiknya kalian jangan pindah dari tempat itu”.

Oleh karena itu sebagian ahli tafsir, menurut Ibnu Katsir mengartikan
(Bekas-bekas yang ditinggalkan), dalam ayat ini sebagai :
“Bekas tapak kaki seseorang dalam perjalanannya ke tempat beribadah
atau ke tempat bermaksiat”.
Dalilnya : HR.Ahmad dari Jabir bin Abdullah ra. yang menceritakan bahwa:
Shahabat-shahabat Rasulullah dari Suku Bani Salamah yang bertempat
tinggal jauh dari masjid, ingin berpindah ke sekitarnya guna mendekati
masjid, maka tatkala Rasulullah saw mendengar berita itu bertanyalah
beliau kepada mereka : “Aku mendengar bahwa kalian ingin pindah
mendekati masjid”. Mereka menjawab : “Benar, ya Rasulullah, kami
ingin berbuat demikian”. Lalu beliau bersabda : Wahai Bani Salamah,
rumah-rumahmu mencatat bekas-bekasmu. Rumah-rumahmu mencatat
bekas-bekasmu”.

Menurut Ibnu Katsir, terdapat Hadits Nabi saw untuk memberi pengertian
yang lebih luas dalam memaknai penggalan ayat ke-12 yang berbunyi :

(Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan),
yakni Nabi saw bersabda :

“Barang siapa membuat sunnah (kebiasaan atau aturan) dalam Islam suatu
sunnah (tradisi) yang baik, maka ia akan memperoleh pahalanya dan
pahala orang yang mengamalkannya setelah dia, tanpa sedikitpun
mengurangi pahala-pahala mereka. Dan barang siapa membuat sunnah
(kebiasaan atau aturan) dalam Islam suatu sunnah (tradisi) yang jelek, maka
ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang
mengamalkannya setelah dia, tanpa mengurangi sedikitpun dosa-dosa
mereka”.

20
Hadits yang lafalnya hampir sama juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab
Syarah Muslim.

Sehubungan dengan Lauh Mahfudzh pada penggalan terakhir ayat ke-12,


Imam Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdurrahman bin Salam yang berkata :
“Tiada sesuatu yang ditentukan oleh Allah melainkan terdapat dalam Lauh
Mahfudzh, Al-Qur’an atau yang sebelumnya dan yang sesudahnya”.
Sementara Imam Hasan Al-Bashri juga berkata :
“Sesungguhnya di sisi Allah dalam Lauh Mahfudzh, Allah menurunkan
daripadanya sekehendak-Nya terhadap siapa yang dikehendaki dari
makhluknya”

21
KAUM ANTHAKIYYAH
QS. 36 Yasin : 13-17)

Pada QS. 36 Yasin : 13-14, Allah berfirman :

“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu


negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami
(Allah) mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka
mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang
ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya kami adalah orang-
orang yang diutus kepadamu".
(QS. 36 Yasin : 13-14)

Khithab (seruan) ayat ini menurut Al-Qurthubi dalam Tafsirnya, ditujukan


kepada Nabi Muhammad saw, agar beliau saw menyampaikan kepada penduduk
Mekkah, yang mengingkari kerasulan beliau, sebuah kisah tentang nasib suatu negeri
yang didatangi oleh 3 Rasul tetapi mereka mendustakannya. Agar nasib kaum
tersebut dapat menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi Kaum Musyrikin Mekkah.
Mengapa mengambil ‘ibrah dari kisah itu adalah sesuatu yang penting ?
Adalah karena karakter dari aktor yang kufur (ingkar) kepada Allah dan para
Rasul itu dimanapun sama saja. Sejarah dalam arti tempat dan manusia si pelaku
sejarah tersebut memang tidak dapat berulang. Tapi ruh (spirit) nya tetap hidup. Dan
akibat dari kekufuran itu sama saja yaitu adzab dari Allah SWT. Allah berfirman :

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi


orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum
yang beriman”.
(QS. 12 Yusuf : 111)

Dan nama negeri yang dimaksudkan ayat diatas adalah Anthakiyyah. Ini
merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama salaf dan khalaf, demikian
menurut Al-Mawardi dalam Tafsir Qurthubi, yang dibenarkan pula oleh Ibnu

22
Katsir dalam Tafsirnya. Walaupun Ibnu Katsir sendiri dalam Kitab Qishahshul
Anbiya lebih suka menyebutnya Kaum Yasin.

Letak ikhtilaf (perbedaan) diantara para Ulama adalah pada :


“Apakah para utusan (Rasul) yang disebutkan dalam ayat ini benar-benar Rasul
Utusan Allah ataukah utusan Nabi Isa as ?”

Pendapat pertama : Para Utusan Allah (Rasulullah)


Ibnu Katsir dalam Qishashul Anbiya meriwayatkan dari Ibnu Ishaq yang
bersumber dari Ibnu Abbas ra, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabih, mereka
berkata :
“Negeri tersebut (Anthakiyyah) memiliki seorang Raja yang bernama
Anthiochos bin Anthiocos, yang merupakan seorang penyembah berhala.
Kemudian Allah mengirim 3 (tiga) orang utusan, yaitu : Shadiq, Mashduq,
dan Syalum. Tetapi mereka mendustakan para utusan ini”.
Dan ini jelas menurut Ibnu Katsir, bahwa mereka adalah para Utusan Allah
(Rasulullah).
Sedangkan fakta bahwa ke-3 (tiga) Rasul tersebut tidak disebutkan namanya
dalam Al-Qur’an, tidaklah mengurangi nilai kerasulan mereka. Karena banyak
para Nabi dan Rasul yang nama mereka tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana firman-Nya :

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu
(Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di
antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak
dapat bagi seorang rasul membawa suatu mu`jizat, melainkan dengan seizin
Allah; maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara)
dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada
yang batil.
(QS. 40 Al-Mu’min : 78)

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwa mula-mula yang diutus kepada Kaum
Anthakiyyah itu hanya 2 (dua) orang Rasul saja, tetapi kemudian diutus lagi yang
ketiga untuk memperkuat dua utusan terdahulu, adalah sesuatu yang pernah terjadi
pula dalam Kisah Fir’aun dan kaumnya yang didatangi oleh 2 (dua) orang Rasul.

Mula-mula Allah SWT hanya mengutus Nabi Musa as. Tetapi kemudian
Allah mengutus pula Nabi Harun as. untuk mendampingi dan memperkuat
da’wahnya Nabi Musa as. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya pada
QS. 20 Thaha : 9- 36 dan QS. 25 Al-Furqan : 35-36. Diantaranya :

23
“Pergilah (engkau wahai Musa) kepada Fir`aun; sesungguhnya ia telah
melampaui batas".
(QS. 20 Thaha : 24)

Tetapi kemudian Nabi Musa berdo’a agar Harun, saudaranya, diangkat


pula sebagai Rasul Utusan Allah untuk membantu da’wahnya. Dan do’anya
dikabulkan Allah. Maka keduanya kemudian berda’wah kepada Fir’aun dan kaumnya.
Allah berfirman :

“Dan jadikanlah untukku (Musa) seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu)


Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku”.
(QS. 20 Thaha : 29-31)

“Allah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan do’a


(permintaan)mu, wahai Musa."
(QS. 20 Thaha : 36)

“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan Al Kitab (Taurat) kepada Musa


dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya, menyertai dia sebagai wazir
(pembantu). Kemudian Kami berfirman kepada keduanya: "Pergilah kamu
berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami". Maka Kami
membinasakan mereka sehancur-hancurnya”.

Penjelasan ini makin memperkuat dugaan bahwa 3 (tiga) orang utusan kepada Kaum
Anthakiyyah ini benar-benar Rasul (Utusan) Allah bukan sekedar utusan Nabi Isa as.

Pendapat kedua : Utusan Nabi Isa as


Ibnu Katsir dalam Qishashul Anbiya meriwayatkan bahwa Qatadah
berpendapat bahwa : “Mereka adalah Utusan dari (Isa) Al-Masih”. Demikian juga
Ibnu Jarir dari Wahab dari Ibnu Sulaeman dari Syu’aib Al-Jiba’I, mengatakan :
“Nama para utusan yang pertama itu adalah Syam’un, Yohana dan Bulis”.
Sedangkan negeri itu bernama Anthakiyyah”. Ini juga merupakan pendapat Imam
As-Suyuthi, dalam Kitab Tafsir Jalalain.

24
Menurut Ibnu Katsir, pendapat kedua ini sangat lemah.Mengapa ?
1. Karena ketika Al-Masih mengirimkan 3 (tiga) orang utusan dari
pengikutnya yang setia, maka Anthakiyyah adalah negeri yang pertama
kali beriman kepada Al-Masih pada saat itu. Oleh karena itu ia merupakan
salah satu dari 4 (empat) kota di negeri tersebut yaitu : Anthakiyyah, Al-
Quds, Iskandariyyah, Romiyah, dan setelahnya adalah Al-
Qisthanthiniyyah, yang mereka (penduduk kota tersebut) tidak
dibinasakan.
2. Sementara penduduk negeri yang disebutkan di dalam Al-Qur’an (Surat
Yasiin : 29), semuanya dibinasakan sebagaimana yang difirmankan Allah

(Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja;
maka tiba-tiba mereka semuanya mati).

Sebagaimana Ibnu Katsir, menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, pendapat


kedua ini pun dianggap sangat lemah, terutama berkaitan dengan nama Paulus atau
yang dalam bahasa Arab dikenal sebagai Bulish atau Baulush. Karena apa yang
diajarkan Paulus sudah jauh menyimpang dari ajaran Nabi ‘Isa as. Paulus adalah
tokoh terbesar yang paling bertanggung jawab terhadap perubahan isi Kitab Injil.
Lebih jauh lagi menurut Prof DR. Ahmad Syalabi dalam Muqaranatul
Adyan Al-Masehiyyah, dikatakan bahwa intisari ajaran Paulus ini adalah :
1. Agama Kristen bukan hanya untuk Yahudi saja, melainkan juga untuk
semua bangsa di dunia.
2. Trinitas, tiga Tuhan dalam satu, termasuk Ketuhanan Al-Masih dan Roh
Kudus.
3. Wujud Yesus sebagai anak Tuhan dan turunnya ke bumi untuk
mengorbankan dirinya demi menebus dosa manusia.
4. Yesus bangkit di alam arwah dan naik ke langit untuk duduk di kanan
“Bapak” memerintah manusia.
Kemudian dalam pandangan Hamka, cerita ini juga berdekatan dengan kisah-kisah
Kristen, mirip dengan “Kisah Segala Rasul” dalam Kitab Perjajian Baru.

Oleh karena itu menurut Ibnu Katsir dalam Qishashul Anbiya, bahwa :
“Jika ketiga utusan yang disebutkan dalam Al-Qur’an (Surat Yasiin), diutus kepada
penduduk Anthakiyyah Kuno, lalu mereka mendustakan dan akhirnya dibinasakan,
dan setelah itu dibangun kembali hingga pada zaman Al-masih, mereka beriman
kepada Rasul yang diutus kepada mereka. Maka pendapat yang demikian tidak
ditolak”. Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Negeri Anthakiyyah ini terdapat
di wilayah Turki, tetapi setelah Perang Dunia I, ia masuk ke dalam wilayah Syiria.

Siapapun mereka dari ketiga utusan yang disebutkan ayat-ayat diatas bukanlah
tujuan utama yang dimaksudkan oleh Allah untuk mendapatkan perhatian dari kita.
Karena Al-Qur’an tidak memberitahukannya secara gamblang siapakah mereka
sebenarnya, maka bagi kita Ummat Nabi Muhammad saw, yang diturunkan
kepadanya Al-Qur’an, yang harus kita tangkap dan menjadi fokus perhatian utama
kita adalah “spirit” perjuangan da’wahnya untuk menjadi I’tibar bagi kita.

25
Kemudian pada ayat ke-15 sampai 17, Allah berfirman :

“Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan
Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain
hanyalah pendusta belaka". Mereka berkata: "Tuhan kami mengetahui
bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. Dan
kewajiban kami tidak lain hanyalah bertabligh (menyampaikan perintah
Allah) dengan jelas".
(QS. 36 Yasin : 15-17)

Mendengar seruan dari para Rasul bahwa mereka bertiga adalah Utusan Allah
kepada Kaum Anthakiyyah, kaum yang kafir ini menyangkal dan menyatakan
ketidakpercayaannya. Dari QS. 36 Yasin : 15 diatas, tampak bahwa Kaum kafir
Anthakiyyah ini beralasan dengan 2 (dua) hal, yakni :
1. Bahwa tidak mungkin seorang manusia, yang biasa makan, minum,
berhubungan suami istri, dapat menjadi Rasul (Utusan) Allah.
2. Mereka tidak percaya adanya wahyu yang telah diturunkan Allah yang
menandai kenabian dan kerasulan mereka.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, qarinah (indikasi) yang


menunjukkan bahwa Kaum Anthakiyyah tidak percaya bahwa ada wahyu yang telah
diberikan kepada para Rasul tersebut, adalah penggalan ayat yang berbunyi :

“Dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun”.

Dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang menjelaskan kekeliruan cara


pandang kaum yang kafir ini terhadap seorang Rasul. Diantaranya Allah
berfirman :

“Dan Kami (Allah) tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad),


melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.
Dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain.
Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat”.
(QS. 25 Al-Furqan : 20)

26
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada
hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan
dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”.
(QS. 13 Ar-Ra’du : 38)

Mendengar penolakan dari Kaum Anthakiyyah ini, pada ayat ke-16, para
Rasul ini berkata dengan penuh keyakinan bahwa :

(Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah benar-benar


orang yang diutus kepada kamu)
Ayat ini merupakan pengulangan dari ayat sebelumnya , yakni ayat ke-14, dimana
Allah berfirman :

(Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu)

Adanya pengulangan ayat yang sedemikian rupa ditambah adanya “lam


tawkid” pada kalimat di ayat ke-16, adalah sebuah penegasan bahwa

mereka benar-benar orang yang diutus. Kemudian Keberanian 3 (tiga) orang


utusan ini menyebut-nyebut Tuhan dalam ayat ke-16, sebagai sang pemberi tugas
da’wah kepada mereka, kembali memperkuat keyakinan kita bahwa mereka bertiga
ini benar-benar utusan Allah, bukan sekedar utusan Nabi Isa as.

Sedangkan ayat ke-17, yang berbunyi :

(Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah bertabligh (menyampaikan perintah


Allah) dengan jelas).
Mengandung 2 (dua) pengertian, yakni :
1. Bahwa fungsi dan tugas wajib seorang Rasul adalah untuk bertabligh.
2. Bahwa hasil da’wah berupa dianutnya agama Allah oleh suatu kaum
bukanlah menjadi tanggung jawab seorang Rasul. Tetapi proses lah yang
dilihat. Jika upaya untuk bertabligh dan mengajak orang ke jalan yang benar
sudah dilakukan dengan berbagai cara kemudian dijalaninya secara terus
menerus dalam rentang waktu yang panjang, maka berarti apapun hasilnya,
sang Rasul dapat dianggap telah melaksanakan tugasnya. Sebab hidayah
adalah milik Allah. Dia akan memberikannya kepada siapa yang Dia
kehendaki.

27
PENOLAKAN KERAS KAUM
ANTHAKIYYAH TERHADAP DA’WAH
PARA RASUL
(QS. 36 Yasin : 18-19)

Pada QS. 36 Yasin : 18, Allah berfirman :

“Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu,


sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan
merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami".

Nasib malang yang dimaksud ayat ini, menurut Muqatil dalam Tafsir
Qurthubi adalah tertahannya hujan selama 3 (tiga) tahun di negeri tersebut.
Menurut Tafsir Qurthubi, para Rasul berda’wah memberi peringatan selama 10
(sepuluh) tahun. Ketika hujan tidak turun-turun, mereka timpakan kesialan ini
kepada para Rasul. Persis sebagaimana firman-Nya :

“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir`aun dan) kaumnya dengan


(mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-
buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang
kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha)
kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
(QS. 7 Al-A’raaf : 130-131)

Sedang arti ‘merajam” dalam ayat di atas menurut Tafsir Qurthubi adalah
membunuh. Menurut Tafsir Jalalain dan Qatadah dalam Tafsir Ibnu Katsir , alat
untuk merajamnya adalah dengan batu.

Sikap represif orang kafir yang demikian ini juga pernah dipertontonkan oleh
Kaum-Kaum lain yang menentang para Nabi. Jika argumentasi (hujjah) mereka

28
sudah dikalahkan, maka demi mempertahankan eksistensinya, mereka tidak akan
segan-segan melakukan cara-cara kekerasan hingga menghilangkan nyawa orang lain.
Demikianlah yang terjadi di segala tempat di bumi ini dan di segala zaman hingga
saat ini.

Mendapat penolakan keras dari penduduk Anthakiyyah ini, para Utusan itu
berkata :

“Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu


sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)?
Sebenarnya kamu (penduduk Anthakiyyah) adalah kaum yang melampaui
batas".
(QS. 36 Yasin : 19)

Maksud ayat ini bukanlah dalam pengertian hakekat perkara. Melainkan Allah
mengingatkan kita, bahwa baik dan buruk perkara itu memiliki hubungan
kausalitas (sebab akibat). Meski hakekatnya dari Allah SWT. Sebagaimana
firman-Nya :

“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah


dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah:
"Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang
munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?”
(QS. 4 An-Nisaa : 78)

Fakta ilmiah hari ini menunjukkan bahwa jika siklus air terganggu,
misalnya karena perubahan temperature udara akibat pemanasan global akan
berpengaruh terhadap proses kondensasi dan demikian pula makin membesarnya
lubang ozon akan berdampak terhadap curah hujan yang tidak teratur. Berdasar
pendapat Muqatil dalam Tafsir Qurthubi di atas, bahwa di negeri ‘Anthakiyyah
selama 3 tahun tidak turun hujan, kemana sebenarnya perginya air hujan itu,
mungkinkah hal itu terjadi ? DR. Rernat Kosim, pakar fisika Unram mengatakan :
“Bahwa siklus air di bumi itu jumlahnya tetap. Sehingga jika di suatu daerah tidak
turun hujan, maka ia dipastikan turun di kawasan bumi yang lainya”.

Tetapi pada masa Kaum Anthakiyyah, barangkali tidak turunnya hujan


sampai 3 (tiga) tahun tersebut bukanlah karena pemanasan global atau membesarnya
lubang ozon, karena keduanya baru ditemukan pada abad ke-20. Melainkan karena

29
perilaku mereka yang berlumuran dengan dosa. Sebagaimana HR. Al-Hakim dari
Abdullah bin ‘Umar ra. bahwa Nabi Muhammad saw bersabda :
“Bagaimana sikapmu apabila kelak terjadi pada kamu yang lima macam. Dan
aku berlindung kepada Allah, janganlah hendaknya terjadi di zaman kamu, dan
janganlah hendaknya kamu mendapatinya. Adapun yang lima ialah :
1. Apabila zina telah terang-terangan pada suatu kaum, akan terjadilah
thaun dan penyakit-penyakit lain yang belum pernah dikenal di zaman
nenek moyang mereka.
2. Apabila suatu kaum telah menghalangi mengeluarkan zakat, ditahanlah
hujan turun dari langit. Sehingga kalau bukanlah Tuhan kasihan kepada
binatang-binatang, tidaklah hujan akan turun.
3. Apabila suatu kaum sudah berlaku curang pada ukuran dan timbangan
akan terjadilah kemarau panjang dan kesukaran bahan makanan dan
kedzaliman penguasa.
4. Dan apabila para penguasa telah memerintah tidak dengan peraturan
yang diturunkan Allah, pastilah mereka akan dikuasai oleh musuh-musuh
mereka, sehingga musuh itu mengambil sumber yabng ada dalam tangan
mereka sendiri.
5. Dan apabila mereka telah membekukan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-
Nya, pastilah Allah akan menjadikan selalu akan berkelahi diantara
sesama mereka”.

Dari Hadits ini ada 2 macam dosa yang dapat menahan turunnya hujan yakni :
Tidak ditunaikannya kewajiban zakat dan perilaku curang dalam bisnis dengan
mengurangi ukuran dan timbangan. Diperkuat oleh HR. Ahmad dari Tsaubah ra,
Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya seseorang benar-benar dapat tertahan rizqinya karena dosa yang


dilakukannya dan tiada sesuatu yang dapat menolak taqdir selain do’a. Dan tiada
yang dapt menambah umur selain perbuatan baik”
(HR. Ahmad)

Bahwa dosa berdampak buruk kepada rizqi dan menjadi faktor pendorong
terjadinya bencana, dijumpai bukan hanya dalam Hadits, bahkan bertebaran pula
pada berbagai ayat Al-Qur’an. Diantaranya tentang Bani Israil dan Kaum Saba, Allah
berfirman :

30
“Telah dila`nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan
`Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan
selalu melampaui batas”.
(QS. 5 Al-Maidah : 58)

“Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah
kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)
adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun". Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada
mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua
kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan
sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka
karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian
itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir. Dan Kami
jadikan antara mereka dan antara negeri-negeri yang Kami limpahkan berkat
kepadanya, beberapa negeri yang berdekatan dan Kami tetapkan antara
negeri-negeri itu (jarak-jarak) perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu
pada malam dan siang hari dengan aman. Maka mereka berkata: "Ya Tuhan
kami jauhkanlah jarak perjalanan kami", dan mereka menganiaya diri mereka
sendiri; maka Kami jadikan mereka buah mulut dan Kami hancurkan mereka
sehancur-hancurnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi setiap orang yang sabar lagi
bersyukur”.
(QS. 34 Saba : 15-19)

31
KISAH HABIB AN-NAJJAR SEBAGAI
SHOHIBU YASIN
(QS. 36 Yasin : 20-27)

Pada QS. 36 Yasin : 20-25, Allah berfirman :

“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan
bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu,
ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah
(Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu
(semua) akan dikembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan
selain-Nya, jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan
terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi
diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku
kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku
telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan
keimanan) ku”.
(QS. 36 Yasiin : 20-25)

Ayat ini adalah sebuah episode tatkala situasi sudah sangat gawat. Ketika
perdebatan antara para Rasul dengan Kaum Kafir Anthakiyyah ini mencapai
puncaknya. Semua hujjah (argumentasi) mereka sudah dikalahkan dan kaum kafir ini
sudah berencana membunuh para Rasul, maka datanglah seorang laki-laki yang lari
bergegas dari ujung kota untuk membela para Rasul ini.

Menurut sebagian Ulama, laki-laki ini adalah satu-satunya penduduk


Anthakiyyah yang beriman kepada para Rasul tersebut. Bahkan ikut mengajak
kaumnya untuk mengikuti seruan da’wah mereka. Ia bernama Habib An-Najar. Dan
menurut Ibnu Abbas ra. dalam Tafsir Ibnu Katsir, ia dikenal sebagai Shohibu
Yasiin. Ia bergegas dari ujung kota untuk mengingatkan kaumnya seraya

32
memperlihatkan keimanannya secara terang-terangan, ternyata kaum
Anthakiyyah justru membunuhnya.

Ibnu Ishaq menceritakan dari sebagian shahabatnya, dari Ibnu Mas’ud ra, ia
mengatakan : “Mereka (Kaum Anthakiyyah) menginjakkan kaki pada tubuhnya
(Habib An-Najar) hingga tulang punggungnya keluar”.

Siapakah Habib An-Najar itu ? Para Ulama berkata :


a. Menurut Ibnu Abbas ra. dalam Qishashul Anbiya : “Dia adalah seorang yang
banyak bershodaqoh, tetapi ia dibunuh oleh kaumnya sendiri”
b. Menurut Ats-Tsauri dalam Tafsir Ibnu Katsir, dari Ashim Al-Ahwal dari Abu
Mujalaz, ia mengatakan : “Nama orang itu adalah Habib bin Siri”. Kemudian
dikatakan, bahwa ia seorang tukang kayu. Ada yang berpendapat ia seorang
tukang tenun. Ada juga yang mengatakan bahwa ia seorang tukang sepatu”

Ada dua poin penting yang diserukan Habib An-Najjar kepada Kaum
Anthakiyyah untuk mengajak mereka beriman kepada para utusan ini, yakni bahwa :
1. Para Rasul ini tidak meminta upah dari seruan da’wahnya
2. Para Rasul ini adalah orang yang beroleh Hidayah Allah,
sebagaimana firman-Nya pada QS. 36 Yasin : 21 di atas.

Mengapa pendekatan ini dilakukan oleh Habib An-Najjar, barangkali karena


lazimnya orang yang zuhud kepada dunia lebih dekat kepada kebenaran. Ia akan
jauh dari upaya memperkaya diri sendiri, mencari popularitas, apalagi dengan
menghalalkan segala cara. Dalam QS. 31 Luqman : 33, Allah berfirman :

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan


jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati)
Allah”.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa terperdaya oleh gemerlapnya dunia, yang
berarti tidak zuhud, hakekatnya ia telah diperdaya oleh syetan, sehingga jauh dari
kebenaran. Imam Nawawi, mengutip surat Luqman ini dalam kitab Riyadhus
Shalihin pada bab zuhud kepada dunia. Diperkuat oleh HQR. Qudha’I yang
bersumber dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, Allah berfirman :

“Tiada amalan yang mendekatkan seorang hamba mu’min kepada-Ku


dengan seperti zuhud kepada dunia”.

Ini menunjukkan bahwa upah yang dicari oleh para utusan ini bukanlah
pamrih duniawi, melainkan rido Allah. Sebagaimana yang terjadi pada diri
Rasulullah saw, tatkala beliau ditawari oleh Kaum Qurisy dengan kemewahan dunia
atau jabatan dan kekuasaan agar beliau saw menghentikan da’wahnya, ditolak oleh
beliau. Jika demikian adanya, maka selanjutnya dapat dipastikan bahwa ajaran yang
dibawa oleh para Rasul ini pun jauh dari interpensi kepentingan duniawi. Kebenaran

33
Ilahi meski pahit sekalipun akan disampaikannya. Itulah orang yang beroleh hidayah
Allah. Oleh karena itu para Rasul tersebut amat layak untuk diikuti oleh Kaum
Anthakiyyah.

Menurut Qatadah dalam Tafsir Qurthubi dan Hamami Zadah dalam Tafsir
Yasin dikatakan bahwa : “Ketika kaumnya mendengar ucapan Habib An-Najjar itu,
mereka berkata kepadanya : “Engkau telah menyalahi agama kita dan mengikuti
agama utusan-utusan itu ?”. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka
melaporkannya kepada Raja Anthakiyyah. Dan Raja menanyainya. Lalu Habib An-
Najjar berkata, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an :

“Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang
hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku akan
menyembah tuhan-tuhan selain-Nya”.
(QS. 36 Yasin : 22-23)

Argumentasi yang disampaikan oleh Habib An-Najjar kepada kaumnya


dengan mengatakan : “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah
menciptakanku” adalah untuk menggugah kesadaran nurani bahwa karena Allah
yang telah menciptakan dirinya, maka adalah wajar jika ia menyembah kepadaAllah
sebagai bukti kesyukuran kepada karunia-Nya tersebut.

Sedang menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dikatakan bahwa sebenarnya


ungkapan tersebut memiliki makna yang dalam dan itu merupakan sebuah sindiran
kepada kaumnya. Artinya jika mereka masih merasa sebagai manusia yang berakal,
mungkinkah berhala-berhala yang mereka pertuhankan itu adalah yang
menciptakan mereka ?. Jika bukan, karena tentunya mereka pun diciptakan oleh
Allah, mengapa harus menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah ? Penggalan awal
ayat ke-23 ini, sekaligus merupakan dalil bahwa Kaum Anthakiyyah memang
penyembah berhala.

Sedang penggalan ayat ke-23, yang berbunyi :


“Jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudharatan
terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi
diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?”,

Adalah ungkapan Habib An-Najjar dalam menanggapi ajakan orang kafir untuk
kembali kepada agama berhala yang dianut oleh penduduk Anthakiyyah. Begitu
terhunjamnya keimanan dalam dirinya, ia tidak takut oleh kemungkinan buruk yang
akan ditimpakan oleh kaumnya. Justru yang ia khawatirkan adalah keburukan
yang akan ditimpakan oleh Allah kepada dirinya jika ia berlaku kufur dengan
mengikuti agama berhala. Sebab jika itu terjadi, maka tak ada seorang pun yang
sanggup menolaknya. Maka tersesatlah ia, sebagaimana firman-Nya pada ayat ke-25.

34
Ayat Qur’an yang senada dengan ayat ini adalah :

“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada


yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
(QS. 10 Yunus : 107)

“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada


yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan
kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.
(QS. 6 Al-An’am : 17)

Puncak dari keberanian Habib An-Najjar, adalah iqrar syahadatnya yang


diucapkan dengan penuh keyakinan dan yang diperdengarkannya kepada semua orang
ketika itu. Bahwa ia benar-benar telah memeluk agama Allah dan menjadi pengikut
para Rasul. Allah berfirman :

Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah


(pengakuan keimanan) ku”.
(QS. 36 Yasin : 25)
Menurut Hamami Zadah dalam Tafsir Yasin-nya , setelah pernyataan ini, Kaum
Anthakiyyah mulai melakukan penyiksaan kepada Habib An-Najjar hingga akhirnya
membunuhnya.

Kemudian pada ayat ke-26 dan 27, Allah menceritakan nasib Habib An-
Najjar yang amat baik. Allah SWT menganugerahinya dengan surga, karena ia gugur
sebagai syuhada. Allah berfirman :

“Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke surga". Ia (Habib An-Najar)


berkata: "Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang
menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku
termasuk orang-orang yang dimuliakan".
(QS. 36 Yasiin : 26-27)

35
Ayat ini merupakan ungkapan kegembiraan dari Habib An-Najar terhadap
karunia nikmat yang Allah berikan kepadanya. Hal ini sebagaimana pujian Allah
kepada para Syuhada Uhud, dalam firman-Nya :

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu
mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.
mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-
Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang
masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka
bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa
Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman”.
(QS. 3 Ali Imran : 169-171)

Tentang ayat ada ikhtilaful ulama, yakni :


1. Benar-benar langsung masuk sorga tanpa melalui Alam Barzakh (Alam
Qubur) terlebih dahulu.
Dalam Kitab Ar-Ruh Li Ibnil Qayyim karya Ibnul Qayyim Aj-Jauziy,
dalam topik tentang “Sebelum Qiyamat apakah ruh itu di langit ataukah di
bumi ?”, mengatakan Abu Umar bin Abdul Barr berkata : “Ruh para
Syuhada berada di sorga sedang orang mu’min umumnya berada di
sekitar kuburannya”
Masih dalam Kitab yang sama, menurut Madzhab Abu Hurairah dan
Abdullah bin Umar, dikatakan : “Ruh orang mu’min itu berada di sisi Allah
di surga, baik ia syuhada atau bukan syuhada setelah ia lepas dari tanggung
jawab dosa besar atau hutang dan ia telah mendapatkan ampunan dari
Allah”.

Diantara dalilnya adalah :


HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim yang bersumber dari Ibnu Abbas ra.
Diriwayatkan pula oleh Tirmidzi dari Jabir ra., dalam Lubabun Nuqul Fii
Asbabin Nuzul, Rasulullah saw bersabda :
“Allah menjadikan arwah saudara-saudaramu yang gugur dalam Perang
Uhud sebagai burung-burung hijau yang mengunjungi sungai sorga dan
makan buah-buahannya, sampai menghampiri lampu mas dibawah

36
naungan ‘Arasy. Ketika mereka mendapatkan makanan enak, minuman yang
lezat dan tempat tidur yang empuk, mereka berkata : Alangkah baiknya jika
kawan-kawan kita mengetahui apa yang telah Allah berikan untuk kita,
sehingga mereka tidak segan untuk berjihad dan tidak mundur dari
peperangan”. Allah berfirman kepada mereka : “Aku akan sampaikan hal
kalian kepada mereka”. Maka turunlah ayat QS. 3 Ali imran : 169 diatas,
yang menceritakan keadaan para syuhada”.
(HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Tirmidzi)

2. Tetap berada di Alam Barzakh, hanya sudah mendapatkan terlebih dahulu


sebagian dari kenikmatan surga.
DR. Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Kitab Mafahim Yajib
An-Tushahhah dalam topik tentang “Kehidupan para Nabi di alam
Barzakh”, mengatakan :
“Sementara itu arwah para syuhada diberi hak penuh dan sangat leluasa
untuk beraksi. Mereka dapat berjalan-jalan melancong di surga sesuai
dengan apa yang mereka kehendaki, lalu bernaung di bawah naungan lampu-
lampu di bawah ‘Arasy. Demikian menurut riwayat yang shahih”

Dalam topik dan kitab yang sama, DR.Muhammad bin Alwi Al-Maliki
mengatakan :
“Sesungguhnya kehidupan sebenarnya bagi para Nabi, khususnya Nabi
Muhammad saw, di alam Barzakh merupakan kehidupan yang lebih
sempurna dan lebih tinggi nilainya”.

Dalil :
1). HR. Abu Ya’la dan Al-Bazzar, dengan rijal (sanad) Abu Ya’la itu tsiqat
(dapat dipercaya) yang bersumber dari Anas bin Malik ra, Rasulullah
saw bersabda :

“Para Nabi itu hidup di dalam kuburannya seraya melakukan shalat”


(HR. Abu Ya’la dan Al-Bazzar)

2). HR. Al-Baihaqi, dalam Dala’il An-Nubuwwah mengatakan bahwa:


Disebutkan dalam hadits shahih dari Sulaeman At-Taimi dan Tsabit Al-
Banani dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Aku pernah mendatangi Musa pada malam aku diisra’kan di Al-Katsiib


Al-Ahmar (bukit pasir merah), ketika ia (Musa) sedang berdiri
melakukan shalat di kuburnya”
(HR. Al-Baihaqi)

37
AKHIR DARI KEHIDUPAN KAUM
ANTHAKIYYAH
(QS. 36 Yasin : 28-32)

Pada QS. 36 Yasin : 28-29, Allah berfirman :

“Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal)


suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak
ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba
mereka semuanya mati”
(QS. 36 Yasiin : 28-29)

Setelah Habib An-Najar meninggal dunia, Allah mengazab Kaum


Anthakiyyah dengan hanya satu teriakan saja tanpa perlu mendatangkan
balatentara Malaikat untuk mematikan mereka semuanya. Menurut Ibnu Katsir
dalam Qishashul Anbiya, para ahli tafsir mengatakan :
“Allah Azza wa Jalla mengutus kepada mereka Malaikat Jibril, lalu ia
membuka pintu gerbang negeri mereka seraya berteriak dengan satu kali
teriakan, maka seketika itu juga mereka mati”.

Menurut sebagian ulama termasuk Syeikh Hamami Zadah dalam Tafsir


Surat Yasin, ayat ini untuk menunjukkan tentang Kekuasaan Allah yang amat besar,
bahwa membinasakan mereka (Kaum Anthakiyyah) yang kufur dan durhaka adalah
amat mudah, bahkan dengan suatu cara yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Teriakan satu Malaikat saja, cukup untuk membunuh penduduk seisi kota.

Secara ilmiah, ayat ini dapat dibuktikan kebenarannya. Jika suara Halilintar
saja, yang memiliki tekanan bunyi sebesar 120 deciBel, sudah dapat membuat
telinga menjadi tuli. Maka suara roket yang tinggal landas, yang tekanan
gelombang bunyinya sebesar 170 dB, akan memiliki efek yang lebih besar lagi. Maka
adanya suara teriakan yang dapat mematikan seisi negeri, adalah hal yang logika
sains dapat menerimanya.

Pada ayat ke 30-32, Allah berfirman :

38
“Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang
seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-
olokkannya. Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat
sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang
telah Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka. Dan setiap mereka
semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami”

Arti kata “al-hasrah” dalam ayat ke-30, menurut Syeikh Hamami Zadah
dalam Tafsirnya adalah : sangat menyesal. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berbicara
tentang penyesalan dari penduduk Anthakiyyah di akherat kelak saat mereka
melihat dengan nyata siksaan dan azab Allah untuk mereka. Menurut Ikrimah,
penyesalannya itu merupakan penyesalan yang amat mendalam. Dan penyesalan
pada saat itu tidak memberi manfaat apapun selain kerugian.

Menurut Ibnu Katsir dalam Qishashul Anbiya, yang dimaksud dengan


ummat sebelum mereka yang telah dibinasakan pada ayat ke-31 adalah :
“Kaum Nuh, Kaum ‘Aad, Kaum Tsamud, Kaum Rass, dan lain-lain yakni
kaum yang diturunkan sebelum perode Taurat”
Dasarnya adalah firman Allah :

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat)


sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi
pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.
(QS. 28 Al-Qashash : 43)

Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al-Bazzar dari Auf Al-‘Arabi dari Abu
Nadhrah dari Abu Sa’id Al-Khudri ra, ia mengatakan :
“Allah tidak membinasakan suatu kaum dengan adzab dari langit atau dari
bumi setelah diturunkannya Taurat ke muka bumi selain sutu Negeri yang
penduduknya dirubah menjadi kera. Tidakkah engkau mengetahui bahwa
Allah SWT berfirman “Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa
Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang
terdahulu”

Dan Kisah Kaum Yasin (Anthakiyyah) ini oleh Ibnu Katsir dalam Kitab
Qishashul Anbiya ditempatkan dalam urutan periode kisah sebelum Kisah Nabi
Musa as. Ini menunjukkan bahwa periode kehidupan Kaum Anthakiyyah yang
terdapat dalam Surat Yasin ini adalah Anthakiyyah Kuno sebelum zaman Nabi Musa

Sedang ayat ke-32, menegaskan bahwa Kaum Anthakiyyah yang kafir yang
telah terbunuh ini, kelak di Yaumul Ba’ats akan dikumpulkan lagi di Mahsyar, untuk
mempertanggung jawabkan semua tindak kejahatan mereka.

39
KRITERIA SEORANG RASUL
(BELAJAR DARI KISAH PARA UTUSAN DI NEGERI
ANTHAKIYYAH)

Kisah Kaum Anthakiyyah, secara lengkap terdapat pada QS. 36 Yasin : 13-32,
sebagai berikut :

40
13. Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu
negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka;
14. (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu
mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan)
yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang diutus kepadamu".
15. Mereka menjawab: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan
Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain
hanyalah pendusta belaka".
16. Mereka berkata: "Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami
adalah orang yang diutus kepada kamu.
17. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah)
dengan jelas".
18. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu,
sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami
akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari
kami".
19. Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu
sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas".
20. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar)
dengan bergegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu,.
21. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk.
22. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan
yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?
23. Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya, jika (Allah) Yang
Maha Pemurah menghendaki kemudharatan terhadapku, niscaya syafaat
mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak
(pula) dapat menyelamatkanku?
24. Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata.
25. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah
(pengakuan keimanan) ku.
26. Dikatakan (kepadanya): "Masuklah ke surga". Ia berkata: "Alangkah
baiknya sekiranya kaumku mengetahui,
27. Apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan
menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan".
28. Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal)
suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.
29. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka
tiba-tiba mereka semuanya mati.
30. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang
seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-
olokkannya.
31.Tidakkah mereka mengetahui berapa banyaknya umat-umat sebelum
mereka yang telah Kami binasakan, bahwasanya orang-orang (yang telah
Kami binasakan) itu tiada kembali kepada mereka.
32. Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami.

41
Dari rangkaian ayat-ayat dalam Surat Yasiin ini dapat difahami bahwa
diantara kriteria seorang Rasul Utusan Allah adalah :
1. Diutus kepada kaum tertentu (QS. 36 Yasiin : 13,14,16)
2. Seorang manusia (QS. 36 Yasiin : 15)
3. Diberi wahyu (QS. 36 Yasin : 15)
4. Tugasnya bertabligh (QS. 36 Yasiin : 17)
5. Tidak menerima upah dan shodaqoh (QS. 36 Yasiin : 21)
6. Mengajarkan Tauhid (QS. Yasiin : 22-23)

Kriteria ke-1 : “Diutus kepada kaum tertentu”


Semua Nabi dan Rasul sebelumnya hanya diutus bagi Kaum atau Negeri
tertentu saja. Kecuali Nabi Muhammad saw yang diutus bagi seluruh ummat
manusia dan untuk seluruh bangsa di dunia. Sebagaimana firman-Nya :

“Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada


umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.
(QS. 34 Saba : 28)

Sedangkan Nabi dan Rasul lain, wilayah da’wahnya bersifat lokal dan terbatas.
Misalnya : Nabi Hud hanya untuk Kaum ‘Aad (di Yaman) saja., sebagaimana
firman-Nya :

“Dan kepada kaum `Aad (Kami utus) saudara mereka, Hud”.


(QS. 11 Hud : 50)

Sedangkan Nabi Isa as. hanya untuk Bani Israil saja. Allah berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: "Hai Bani Israil,
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu”.
(QS. 61 As-Shaff : 6)

Kriteria ke-2 : “Seorang manusia”


Penolakan Kaum Anthakiyyah terhadap seruan da’wah 3 (tiga) utusan ini,
terutama karena yang datang hanyalah manusia sebagaimana mereka, sebenarnya
merupakan gejala universal. Sebagaimana firman-Nya :

42
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala
datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: "Adakah Allah
mengutus seorang manusia menjadi rasul?"
(QS. 17 Al-Isra : 94)

Padahal jika mereka mau memperhatikan sejarah kaum lain nampak dengan
jelas bahwa sudah merupakan Sunnatullah, bahwa Allah SWT senantiasa mengutus
seorang Nabi dan Rasul bukan dari golongan Malaikat melainkan dari kalangan
manusia. Yang berbicara dengan bahasa kaum tersebut, sehingga apa yang
dida’wahkan menjadi dapat dimengerti dengan mudah. Allah berfirman :

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa


kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka”.
(QS 14 Ibrohim : 4)

Kriteria ke-3 : “Diberi wahyu”


Seorang Rasul adalah orang yang ditugaskan mengajari ummat manusia
untuk mengenal kebenaran dan membimbingnya ke jalan yang lurus. Mustakhil ia
bisa melakukan tugas sucinya ini tanpa bimbingan wahyu. Karena kebenaran hakiki
yang akan membawanya kepada jalan yang lurus, hanya dapat diperoleh dari Allah
SWT. Itulah wahyu. Itulah sebabnya setiap Rasul pasti diberi wahyu oleh Allah.
Sebagaimana firman-Nya :

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka
Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka (para Nabi) Kitab
dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan”.
(QS. 2 Al-Baqarah : 213)

Kriteria ke-4 : “Tugasnya bertabligh”


Tabligh (menyampaikan Wahyu dan Kebenaran) menurut Madzhab
Aqidah Ahlus sunnah Wal Jama’ah versi Asy’ariy dan Al-Maturidiy, merupakan
sifat wajib bagi Nabi dan Rasul. Seberat apapun resiko yang harus ia hadapi,
seorang Rasul wajib menyampaikannya, meski nyawa taruhannya. Nabi Ibrohim
as.harus dilemparkan ke dalam kobaran api Raja Namruj dari Babilonia
(Mesopotamia), Nabi Musa as. dan Nabi Harun as. harus menghadapi Fir’aun dan
balatentaranya yang terus mengejarnya hingga ke Laut merah, Nabi Zakariya as.

43
bahkan harus menjadi syuhada karena dibunuh kaumnya yang kafir, dan lain
sebagainya. Dalil Umumnya :

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu.


Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu
tidak menyampaikan amanat-Nya”.
(QS. 5 Al-Maidah :67)

Kriteria ke-5 : “Tidak menerima upah dan shodaqoh”


Seorang Rasul adalah manusia pilihan Allah. Ia diutus ke suatu kaum untuk
menyampaikan wahyu dan membimbing kaum tersebut ke jalan yang benar, semata-
mata atas perintah Allah SWT. Dan hal tersebut telah ia fahami sejak pertama kali
ia diangkat oleh Allah sebagai seorang Rasul. Sehingga tidak mungkin ia akan
meminta upah atas tugas kenabiannya tersebut. Sebagaimana firman Allah :

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun


kepadamu atas da`wahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan”.
(QS. 38 Shad : 86)

Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas


seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan".
(QS. 42 Asy-Syuraa : 23)

Disamping tidak menerima Ujrah (Upah), Nabi saw pun haram (tidak
menerima) Zakat dari siapapun. Sebab Zakat merupakan “Kotoran” manusia.
Dalilnya : 1. HR. Muslim, Rasulullah saw bersabda :

“Sesunggunya shodaqoh itu adalah kotoran manusia”


2. HR. Ahmad, Muslim
Dari Mutholib bin Rabi’ah bin harits bin Abdul Muthalib bahwa dia dan
Fadlol bin Abbas pergi menghadap Rasulullah saw. Kemudian salah
seorang diantara kami berkata : “Wahai Rasulullah saw, kami datang
kepadamu agar engkau memberi perintah kepada kami tentang sedekah
ini, agar kami mendapat manfaat dari zakat itu, sebagaimana orang lain
mendapatkannya,dan kami menyampaikan kepadamu apa yang
disampaikan banyak orang”. Nabi saw bersabda : “ Sesungguhnya
shodaqoh itu tidak layak bagi Muhammad, dan tidak layak pula

44
bagi keluarga Muhammad, karena sesungguhnya shodaqoh itu adalah
kotoran manusia”.

Tetapi Nabi Muhammad saw mendapatkan harta ghonimah (rampasan


perang) dan fa’I (harta rampasan yang didapat tanpa peperangan). Sedangkan Nabi
yang lain haram untuk mendapatkannya. Dalilnya :

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan


perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan
Rasul”.
(QS. 8 Al-Anfal : 1)

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai


rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil”.
(QS. 8 Al-Anfal : 41)

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang
dalam perjalanan”.
(QS. 59 Al-Hasyr : 7)

Al-Hadits dari Shahabat Abu Hurairah ra. dalam Kitab Tanbihul Ghafiliin
karya Abu Laits As-Samarqandiy, Nabi saw bersabda :

“Aku (Muhammad) diberi 5 (lima) perkara yang tidak diberikan (oleh Allah)
kepada seorang pun dari para Nabi sebelumku. Yakni : Aku diutus kepada
(Bangsa) kulit merah dan hitam. Dan dijadikan bagiku, bumi (tanah) sebagai
Masjid dan Alat bersuci. Dan aku ditolong dengan kegentaran musuh dalam
jarak perjalanan 1 (satu) bulan. Dan dihalalkan bagiku Ghonimah. Dan aku
diberi kesempatan memberi syafaat maka aku simpan untuk ummatku (di
akherat kelak)”. (Al-Hadits)

45
Sedangkan manusia biasa yang bergerak dalam bidang da’wah, telah
disepakati (Ijma’) diantara para Ulama berhaq atas ujrah (upah). Sebagaimana
Sabda Nabi saw :

“Sesungguhnya yang lebih berhaq (lebih patut) kamu terima (ambil)


upahnya adalah Kitab Allah”
(HR. Bukhari)

Dalam Kitab Maushu’atul Ijma karya Sa’di Abu Habib, dijelaskan bahwa :
Berdasrkan Kitab Fathul Bari dari ‘Iyaadh, Syarah muslim dari ‘Iyaadh dan Nailul
Authar dari ‘Iyaadh, bahwa :
”Mengupah orang untuk mengajar Al-Qur’an itu boleh menurut semua
Ulama kecuali Hanafiyyah”
Sedang menurut Ibnu Rusyd berdasarkan Kitab Bidayatul Mujtahid
“Mengupah untuk menulis mashaf-mashaf itu boleh menurut ijma’Ulama”

Kriteria ke-6 : “Mengajarkan Tauhid”


Setiap Rasul yang dibangkitkan oleh Allah kepada suatu kaum, pasti
membawa ajaran aqidah (keimanan) yang sama, yakni Tauhid, meskipun peraturan
Syariat (hukum)nya berbeda-beda. Sebagaimana firman-nya :

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan


Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
(QS. 21 Al-Anbiya : 25)

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan (syariat) dan
Manhaj (jalan yang terang) sendiri”.
(QS. 5 Al-Maidah : 48)

46
BUKTI-BUKTI KEKUASAN ALLAH DI
SEMESTA ALAM
(QS. 36 Yasin : 33-44)

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya
biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya
kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata
air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang
diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak
bersyukur? Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan
Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari
malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan, dan
matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang
Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)
kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi

47
matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang.
Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. Dan suatu tanda
(kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut
keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan, dan Kami ciptakan
untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu. Dan jika Kami
menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka tiadalah bagi mereka
penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. Tetapi (Kami selamatkan
mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk memberikan
kesenangan hidup sampai ke suatu ketika”.
(QS. 36 Yasin : 33-44)

QS. 36 Yasin : 33-44 ini merupakan “ayat-ayat sains” yang mendorong


manusia melakukan observasi, inovasi untuk mengungkap rahasia alam semesta untuk
menunjukkan betapa Maha Besarnya Allah SWT dan betapa Agung Kekuasaan-Nya.
Sekaligus ia merupakan I’jazul Qur’an (kemukjizatan Al-Qur’an), karena apa yang
diberitakan Allah dalam Al-Qur’an, ternyata terbukti kebenarannya menurut sains
dan pengetahuan modern. Diantaranya adalah tentang :

1. MENGHIDUPKAN LAHAN YANG TANDUS


Pada QS. 36 Yasin : 33-35 Allah berfirman :

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi
yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-
bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-
kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan
oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”
(QS. 36 Yasin : 33-35)

Dengan apa bumi yang mati yang seakan tidak dapat diharapkan itu, untuk
kemudian dapat menumbuhkan tanaman ? Ulama dahulu seperti Ibnu Katsir ataupun
para Ilmuwan sekarang sepakat bahwa hal itu terjadi dengan adanya air hujan. Allah
berfirman :

48
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira
sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah
membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu
Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab
hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami
membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu
mengambil pelajaran”.
(QS. 7 Al-A’raaf : 57)

DR. Muhammad Al-Khatib dalam Kitab Al-Islaamu wal-Ilmu


Nadzharatun Mu’jizatun, mengatakan :
“Dari air, Allah menciptakan setiap makhluq hidup. Pada titik-titik air
itulah terdapat rahasia kehidupan. Andaikata tak ada air, maka tumbuh-
tumbuhan pun tak ada. Dan jika tumbuhan tak ada maka hewan dan
manusiapun tak ada”.
Hal ini sebagaimana firman-Nya

“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup”.


(QS. 21 Al-Anbiya : 30)

Teknologi Hidroponik, yang ditemukan di abad ke-20 menunjukkan bahwa


tanaman seperti Anggrek dapat tumbuh tidak harus pada media tanah, asal ada air , ia
dapat tumbuh dan berkembang dengan sangat baik.

Penggalan ayat ke-35, yang berbunyi :

(Dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka),


telah mendorong manusia untuk melakukan rekayasa atas dasar ilmu pengetahuan
(sains) yang dikuasai di bidang agriculture (pertanian). Unsur manusia yang
dimaksud dalam penggalan ayat ini menurut Tafsir Surah Yasiin karya Syeikh
Hamami Zadah adalah : berupa menabur benih, menanam dan lain sebagainya.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, huruf pada ayat ke-35 yang
berbunyi memiliki dua pengertian, yakni sebagai :

1..
Nafi artinya tidak. Sehingga ayat diatas diartikan menjadi :
“Dan tidaklah diusahakan oleh tangan mereka sendiri”
Maksudnya adalah supaya mereka memakan dari buahnya yang sebenarnya
tidaklah diusahakan oleh tangan mereka. Sebab secara hakekat yang
menumbuhkan hasil itu bukanlah mereka (manusia) melainkan atas kehendak
Allah SWT. Didasarkan kepada firman-Nya :

49
“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? Kamukah yang
menumbuhkannya ataukah Kami (Allah) yang menumbuhkannya?” Kalau
Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka
jadilah kamu heran tercengang.
(QS. 56 Al-Waqi’ah : 63-65)

2.
Yaitu Isim penghubung. Sehingga ayat diatas diartikan menjadi :
“Dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka”
Dengan menjadikan “maa menjadi maushuul”, maka diakui pula
keberadaan hasil usaha manusia. Karena memang Allah memerintahkan
manusia untuk berusaha. Dan hasil usaha diberikan Allah kepadanya
sepanjang yang ia usahakan. Allah berfirman :

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”.
(QS. 53 An-Najm : 39)

“Bagi mereka mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan”


(QS. 2 Al-Baqarah : 202)

Menurut Hamka, kedua penafsiran ini hendaknya dipakai secara bersama-


sama. Walau secara hakekat Allah yang menentukan, tetapi dalam kehidupan di dunia
ini senantiasa ada hubungan sebab akibat. Ghalibnya jika usahanya bagus maka
produk hasilnya besar kemungkinan akan bagus pula. Walau terkadang Allah
menghendaki lain, sebagai ujian bagi manusia. Karena qudrah irodah Allah adalah
bersifat mutlaq.

Dan QS. 36 Yasin : 33-35, menurut Tafsir Surah Yasiin karya Syeikh
Hamami Zadah merupakan dalil bahwa :
“Jika Allah dapat menghidupkan bumi yang mati kemudian dari bumi yang
mati tersebut keluar biji-bijian untuk kemudian tumbuh kebun-kebun, maka
bagi Allah pasti sangat mudah untuk menghidupkan kembali orang mati di
dalam Quburnya”
Apalagi pada ayat sebelumnya (QS. 36 Yasin : 32), Allah berfirman :

(“Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami”)


yakni pada Yaumul Ba’ats (Hari Berbangkit), untuk mendapat balasan amal perbuatan
selama di dunia. Sebagaimana firman Allah :

50
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati
dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah matinya. Dan seperti
itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)”.
(S. 30 Ar-Ruum : 19)

Di akhir ayat ke-35, Allah memerintahkan kita bersyukur atas karunia


nikmat yang demikian banyak Allah berupa lahan yang subur yang menumbuhkan
tanaman dan buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya. Cara bersyukur yang
terpenting menurut Hamka adalah dengan membayarkan zakatnya pada setiap
musim panen. Sebagaimana firman-Nya :

“Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan
zakatnya)”
(QS. 6 Al-An’am : 141)

2. SEGALA SESUATU ITU BERPASANGAN


Dalam QS. 36 Yasin : 36, Allah berfirman :

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,


baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun
dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Ayat ini merupakan bukti bahwa segala sesuatu itu memiliki pasangan. Ada
pangkal ada ujung, ada siang dan ada malam, ada gelap ada terang, ada baik ada
buruk, ada laki-laki dan ada perempuan, ada jantan ada betina baik pada hewan
ataupun tumbuhan. Pada tumbuhan dikenal ada serbuk sari dan ada kepala putik.
Bahkan menurut para Ahli Botani, pada beberapa jenis tumbuhan ditemukan ada
tumbuhan yang hanya punya serbuk sari dan yang lainnya hanya punya kepala
putik saja.

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, orang Arab mengerti benar untuk
“mengawinkan” korma jantan dengan korma betina. Kalau sudah dikawinkan,
maka korma betina akan banyak buahnya. Ayat ini diperkuat oleh firman-Nya dalam
surat yang lain, yakni :

51
“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu
sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-
pasangan”
(QS. 42 Asy-Syura : 11)

“Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan”


(QS. 13 Ar-Ra’du : 3)

Ayat diatas (QS. 36 Yasin : 36), dibuka dengan kalimat


Yang artinya : Maha Suci (Allah) Dzat yang menciptakan, mengandung suatu
tuntunan agar kita Bertasbih (Memaha Sucikan Allah), untuk mensyukuri karunia-
Nya yang demikian besar dengan diciptakannya pasangan pada segala sesuatu.
Sebagai contoh :

• Karunia berupa adanya dua jenis kelamin yang berbeda pada manusia dan
hewan, menyebabkan kehidupan keduanya hingga kini tetap exist.
Kemusnahan peradaban manusia akan segera terjadi jika di dunia ini hanya
ada satu jenis kelamin saja. Itulah sebabnya barangkali hikmahnya mengapa
Allah SWT. dan rasul-Nya amat mengutuk perilaku manusia yang
mengingkari kodrat kemanusiaannya dengan mencintai sesama jenis kelamin,
yang dikenal sebagai Homosex dan Lesbianisme. Bahkan para Ulama Fiqh
seperti Imam Syafii menetapkan Hukum Rajam, bagi Kaum Gay ini.
Sementara Imam Abu Hanifah, menetapkan sanksi Hukum dengan cara
melemparkan mereka dari tempat ketinggian ke suatu jurang untuk
kemudian melemparinya dengan batu, sebagaimana adzab Allah kepada
Kaum Nabi Luth as. di negeri Soddom.

• Adanya ion bermuatan positif dan negative, mengakibatkan bumi menjadi


terang benderang dengan adanya listrik, lahirnya teknologi di bidang
elektronika tidak dapat terlepas dari jasa adanya kedua ion yang berbeda
muatan ini, dan lain sebagainya.

Hal ini sebagaimana firman-Nya :

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu


mengingat akan kebesaran Allah”.
(QS. 51 Adz-Dzariyat : 49)

52
3. PERGANTIAN SIANG DAN MALAM
Dalam QS. 36 Yasin : 37, Allah berfirman :

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam;
Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan”.

Ayat ini senada dengan firman-Nya :

Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan untukmu


malam itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain Allah
yang akan mendatangkan sinar terang kepadamu? Maka apakah kamu tidak
mendengar?" Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku, jika Allah menjadikan
untukmu siang itu terus menerus sampai hari kiamat, siapakah Tuhan selain
Allah yang akan mendatangkan malam kepadamu yang kamu beristirahat
padanya? Maka apakah kamu tidak memperhatikan?" Dan karena rahmat-
Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada
malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada
siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.
(QS. 28 Al-Qashash : 71-73)

Ir. Agus Mustofa, seorang Insinyur Teknik Nulir UGM dalam Bukunya
Pusaran Energi Ka’bah mengatakan :
“………Apakah yang terjadi jika Allah hanya menciptakan malam terus di
bumi ? Cobalah lihat suhu udara di padang pasir, sebutlah di Arab Saudi.
Pada keadaan normal, siang hari di sana biasa mencapai 50 derajat celcius,
sedangkan di malam hari biasa mencapai 14 derajat. Puncaknya adalah
antara jam 12 malam sampai sekitar 2 dini hari.
Apakah yang akan terjadi dalam kurun waktu 100 jam setelah suhu
terendah itu ? Jika matahari tidak pernah muncul, alias malam terus, maka
maka dalam kurun waktu itu suhu akan terus menerus turun hingga
mencapai 0 derajat, dimana air akan mulai membeku. Dan ketika diteruskan
sampai 100 jam berikutnya maka seluruh air di muka bumi akan membeku,
termasuk cairan tubuh kita.

53
Jadi sungguhlah dahsyat dampak dari pergantian siang dan malam
hari. Sebuah rutinitas yang tidak semua kita pernah memikirkannya. Karena
itu Allah memancing kita untuk memahami. Apakah tujuan utamanya ? Tak
lain agar kita sadar bahwa di balik terjadinya rutinitas pergantian siang dan
malam hari itu terdapat sesuatu yang luar biasa yang berkait dengan Sebuah
Kekuatan Besar yang mengendalikan alam sekitar kita yaitu Sang Maha
Perkasa (Allah SWT)”.

Masih dalam buku yang sama, dikatakan :


“Suhu pada umumnya pagi hari di Kota Surabaya, berkisar di bawah 30
derajat Celcius. Ketika siang mulai menjelang, maka suhu beranjak diatas 30 derajat.
Dan puncaknya pada jam 12 siang sampai jam 14 siang, suhu udara bisa mencapai
33-34 derajat, atau bahkan lebih.
Pernahkah kita memperhatikan aspal jalan raya Surabaya pada siang hari. Di
permukaannya terlihat mengepul uap tipis, dan aspalnya menjadi lembek.
Diperkirakan panas permukaan jalan raya itu diatas 50 derajat. Kalau disiramkan
air disana, tak berapa lama kemudian air itu akan menguap, dan jalanan itu pun
kering kembali.
Kita lihat contoh di atas. Hanya dalam kurun waktu setengah hari saja, panas
udara dan permukaan bumi bisa mengalami peningkatan suhu yang demikian tinggi.
Apa jadinya kalau matahari tidak bergeser ke arah Barat, tetapi tetap berada di
atas kita terus menerus ?
Diperkirakan, dalam waktu 100 jam, air di permukaan bumi akan mulai
mendidih, dan banyak yang mulai menguap. Dan kemudian, apa yang terjadi 100
jam berikutnya ? Diperkirakan seluruh air di muka bumi sudah habis menguap,
dan darah di tubuh kita pun ikut mendidih. Dengan kata lain, tidak ada kehidupan
yang tahan di bumi yang hanya punya siang siang terus menerus”.

Itulah barangkali salah satu rahasianya, mengapa Allah memerintahkan kita


untuk berdzikir dan bertasbih di waktu pagi dan sore hari, kemudian Rasul
menuntunnya dengan berbagai lafal dzikir dan do’a. Semuanya ini agar kita bersyukur
atas karunia Allah berupa pergantian siang dan malam yang ternyata amat luar biasa
manfaatnya. Sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah,


zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi
dan petang”.
(QS. 33 Al-Ahzab : 41-42)

54
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi Ulul Albab (orang-orang yang
berakal), (yaitu) orang-orang yang berdikir (mengingat) Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring “
(QS. 3 Ali Imran : 190-191)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ada riwayat bahwa Rasulullah saw menangis
tersedu-sedu setelah diturunkannya ayat QS. 3 Ali Imran : 190-191, yang
mengingatkan Rasul betapa besarnya karunia Allah dengan diciptakannya langit,
bumi dan adanya pergantian siang dan malam hari itu. Dalam HR. Ibnu
Mardawaih, diceriterakan bahwa :
“…………………..Usai shalat, beliau saw duduk seraya menangis hingga air
matanya membasahi lantai. Dan tatkala Bilal datangkepadanya untuk
panggilan Shalat Subuh, ia menemui beliau saw masih tersedu-sedu dalam
keadaan berbaring. Bertanyalah Bilal kepadanya : “Apakah yang
menyebabkan engkau menangis ya Rasulullah, padahal Allah telah
mengampuni dosa-dosamu yang lalu maupun yang akan datang ?Rasulullah
saw menjawab : “Bagaimana aku tidak menangis hai Bilal, setelah Allah
menurunkan kepadaku malam ini ayat-ayat :

Binasalah hai Bilal, orang yang membaca ayat-ayat ini tanpa merenungkan
isinya dalam-dalam”.

Diantara contoh dzikir dan do’a yang dianjurkan dibaca oleh Nabi saw. pada
pagi dan sore hari sebagai manifestasi syukur kita kepada Allah SWT atas karunia
adanya rutinitas pergantian siang dan malam hari, adalah sebagaimana terdapat dalam
HR. Abu Dawud dari Ibnu Abbas ra. yang meriwayatkan bahwa Rasulullah saw
bersabda : “Barang siapa ketika pagi membaca

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan
waktu kamu berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit
dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu
berada di waktu zuhur. Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan menghidupkan bumi sesudah
matinya. Dan seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari kubur)”.
(QS. 30 Ar-Ruum : 17-19)
maka ia akan mendapatkan apa-apa yang terlewatkan pada hari itu. Dan
barang siapa membacanya pada sore hari, maka ia akan mendapatkan apa-apa
yang terlewatkan pada malamnya”

55
4. PEREDARAN MATAHARI DAN BULAN PADA
ORBITNYA
Dalam QS 36 Yasin : 38-40, Allah berfirman ;

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan


Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi
bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang
terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang.
Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”.

Arti ayat ke-38 yang berbunyi :


(Dan matahari berjalan di tempat peredarannya)
berdasar fakta ilmiah yang telah ditemukan oleh para ahli astronomi, maka ayat ini
ditafsirkan menjadi : Matahari disamping melakukan rotasi pada porosnya, maka ia
pun berputar (berevolusi) pula dalam suatu orbit tertentu pada gugusan galaksi
Bima Sakti, bersama-sama dengan bumi, bulan dan berbagai planet lain yang
mengelilinginya.

Sedangkan ayat ke-39 yang berbunyi :

“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah


dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan
yang tua”.
Adalah ayat yang mengungkapkan tentang berbagai penampakan posisi bulan saat
dilihat dari bumi. Mula-mula ia nampak seperti bentuk tandan yang tua (bulan sabit)
yang kemudian sedikit demi sedikit berubah sehingga kemudian menjadi bulat,
itulah bulan purnama, untuk kemudian kembali ke bentuk seperti tandan yang tua.

Salah satu manfaat dari adanya perputaran matahari dan bulan ini adalah
diketahuinya bilangan waktu. Dan waktu dalam Islam adalah sesuatu yang amat
penting. Sebab dengannya kita dapat mengetahui kapan tibanya awal Ramadlan dan
Syawwal, kapan para Hujjaj harus wukuf di ‘Arafah, dan lain-lain. Allah berfirman :

56
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan
itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
(QS. 10 Yunus : 5)

Maksud Firman Allah pada ayat ke-40, yang artinya :


“Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat
mendahului siang”, adalah, jika hal itu terjadi, artinya mereka saling bertemu,
maka tatanan semesta akan hancur. Itulah Qiyamat.

Kemudian pada penggalan akhir ayat ke-40 surat Yasin yang berbunyi

(Dan masing-masing beredar pada garis edarnya)


Telah memacu para Ilmuwan Astronomi untuk mengetahui : mengapa matahari dan
bulan serta berbagai planet lain itu beredar tetap pada orbitnya masing-masing ?
Kekuatan apa yang mengikatnya sehingga tidak keluar dari orbitnya ?

Hasil penelitian para Ilmuwan Astronomi, menurut Ary Ginanjar Agustian


dalam “Buku Saku ESQ” menunjukkan bahwa :
• “Ditemukan adanya “Black Hole” dengan gravitasinya yang sangat kuat
menjaga, menjangkar dan menarik seluruh planet agar tetap pada orbitnya.
Apabila keluar dari garis orbit maka hancurlah tatanan alam semesta”
• Masing-masing benda angkasa tersebut berputar dan beredar dengan arah
yang bertolak belakang dengan arah jarum jam, persis seperti arah putaran
ummat Islam yang sedang Thawaf mengitari Ka’bah.

Lebih jauh menurut Ary Ginanjar Agustian dalam buku yang sama
mengungkapkan hasil foto Teleskop Infrared Chandra tahun 2000 The Milky Way
(Bima Sakti), bahwa kepadatan massa black hole sebagai pusat galaksi Bima sakti,
adalah 2,6 juta kali matahari. Jaraknya 26.000 tahun cahaya dari bumi. Garis
tengahnya 50.0000 tahun cahaya. Terdapat 100 milyard bintang dalam satu galaksi,
semuanya berthawaf. Hal ini sebagaimana firman-Nya :

“Dan Dia (Allah) menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan


dengan izin-Nya?”
QS. 22 Al-Hajj : 65)

57
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang
ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan,
binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?”
(QS. 22 Al-Hajj : 18)

Siapakah yang dapat menciptakan dan mengatur tatanan semesta


sedemikian luar biasa ini ? Jawabannya tentulah : Dzat Yang Maha Perkasa yang tiada
seorang pun mampu meski sekedar mendekati kekuasaann-Nya Yang Agung. Juga
Maha Mengetahui segala perkara. Sebab Dia adalah Dzat Yang Maha Berilmu,

sedangkan manusia dan makhluk lain hanyalah diberi ilmu sedikit saja. Sebagaimana
firman-Nya

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".


(QS. 17 Al-Isra’ : 85)

Itulah sebabnya pada penggalan akhir ayat ke-38 dari Surat Yasin ini Allah
berfirman :

(Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui)

5. KAPAL YANG BERLAYAR DI LAUTAN


Pada QS. 36 Yasin : 41-44, Allah berfirman :

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa
Kami angkut keturunan mereka dalam bahtera (kapal) yang penuh muatan,
dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera
itu. Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka
tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan. Tetapi
(Kami selamatkan mereka) karena rahmat yang besar dari Kami dan untuk
memberikan kesenangan hidup sampai kepada suatu ketika”.

Menurut Adh-Dhahak, Qatadah, Ibnu Zaid dalam tafsir Ibnu Katsir,


mengatakan bahwa kata “Dzurriyyah” (keturunan) dalam ayat jke-41 diatas adalah
nenek moyang manusia yang dibawa dengan bahtera Nabi Nuh as. Yang menurut
Hamka diistilahkan dengan nenek moyang manusia kedua setelah Adam as.

58
Sedangkan kalimat ditafsirkan dengan kapal Nabi Nuh
as. yang penuh muatan karena semua jenis binatang yang ada di dunia masing-
masing sepasang dimasukkan ke dalam kapal tersebut, disamping 80 orang beriman
pengikut Nabi Nuh as pun terdapat dalam Kapal tersebut. Inilah pendapat dari Ibnu
Katsir dan Tafsir Jalalain. Dapat dibayangkan betapa besarnya kapal yang dibuat
oleh Nabi Nuh as ini. Tetapi menurut Tafsir Qurthubi adalah Kapal Nabi Nuh dan
kapal –kapal lain bukan hanya kapal Nabi Nuh as.

Bagi peradaban manusia ayat ini sebenarnya amat penting. Mengapa ? Karena
menurut Hamka, penyebaran bangsa-bangsa di dunia ini terjadi dengan adanya
bahtera (kapal). Khususnya pada periode awal pertumbuhan manusia. Dalam sejarah
dunia kita mengenal bahwa penemuan benua-benua baru seperti Amerika dan
Australia misalnya adalah karena jasa para pelaut tangguh yang berani menaklukan
ganasnya berbagai samudra luas. Sehingga kemudian terjadi interaksi budaya antar
bangsa meski mereka saling berjauhan letak geografisnya. Ini juga merupakan
sebagian karunia Allah yang lain lagi yang harus kita syukuri.

Ayat ke-42 yang berbunyi :

(Dan Kami (Allah) ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti
bahtera),
harus dimaknai bahwa : Allah mengaruniakan ilmu pengetahuan kepada manusia
untuk menciptakan alat transportasi lain yang seperti bahtera. Mengapa demikian ?
Karena alat transportasi lain yang semisal dengan bahtera ini, baru ditemukan pada
abad modern ini.
Sementara arti yang seperti bahtera itu, menurut para Ulama diantaranya
adalah :
• Ibnu Abbas ra mengatakan : unta sebagai kendaraan di darat.
• Qatadah dan Dhahaq mengatakan : perahu-perahu kecil di sungai.
Sedangkan menurut pandangan kami adalah Kapal selam dan pesawat terbang,
karena kesamaan fungsi sebagai alat transportasi yang mampu membawa muatan
yang banyak sebagaimana ayat ke-41 di atas yang diistilahkan dengan “Al-Fulkul
Masyhuun”. Sementara udara sebagai media terbangnya sebuah pesawat diqiyaskan
kepada lautan tempat berlayarnya sebuah bahtera, karena keduanya pun sama-sama
luas dan memiliki tingkat resiko yang tinggi saat diarungi. Hal lain yang menjadi
alasan kami adalah dipakai dan diajarkannya oleh para alim ulama do’a berlayar di
lautan menjadi do’a saat menaiki pesawat terbang, sebagaimana sudah dimaklumi
bersama adanya.

Ayat ke-43 yang berbunyi

(Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami tenggelamkan mereka, maka


tiadalah bagi mereka penolong dan tidak pula mereka diselamatkan)
dapat dipahami sebagai peringatan dari Allah, bahwa jika Dia (Allah) kehendaki
dapat saja Allah menenggelamkan orang yang berada di perahu atau kapal di lautan.

59
Oleh karena itu Nabi saw menuntun ummatnya dengan berbagai do’a saat
berlayar di lautan. Diantaranya dalam :
1. Al-Hadits dalam Kitab Syarafu Ummatil Muhammadiyyah karya DR. Sayyid
Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Nabi saw bersabda :
“Keamanan bagi ummatku dari tenggelam apabila naik naik kapal (perahu)
apabila membaca :

“Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya."


Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
(QS. 11 Hud : 41)

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang


semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat
dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha
Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan”.
(QS. 39 Az-Zumar : 67)

2. Al-Hadits dalam Kitab Syarafu Ummatil Muhammadiyyah karya DR. Sayyid


Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Nabi saw bersabda :
“Barang siapa melazimkan (membiasakan) membaca ayat :

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,


berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-
orang mu'min. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah:
"Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki `Arsy yang agung".
(QS. 9 At-Taubah : 128-129)
maka tidak akan mati karena reruntuhan, tenggelam, kebakaran atau terpukul
dengan senjata dan besi”
(Al-Hadits)

60
PEMBANGKANGAN ORANG MUSYRIK
(QS. 36 Yasin : 45-48)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Takutlah kamu akan siksa yang di
hadapanmu dan siksa yang akan datang supaya kamu mendapat rahmat",
(niscaya mereka berpaling). Dan sekali-kali tiada datang kepada mereka
suatu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka, melainkan mereka
selalu berpaling daripadanya. Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Nafkahkanlah sebahagian dari rezki yang diberikan Allah kepadamu", maka
orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman:
"Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah
menghendaki tentulah Dia (Allah) akan memberinya makan, tiadalah kamu
melainkan dalam kesesatan yang nyata". Dan mereka berkata: "Bilakah
(terjadinya) janji ini (hari berbangkit) jika kamu adalah orang-orang yang
benar?"

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa ada 4 (empat) tanda kekufuran
seseorang kepada Allah SWT, yakni :
a. Tidak takut dengan beratnya siksa akibat dosa.
b. Bila ditunjukkan “Ayat-ayat Allah” baik Qur’aniyyah maupun
Kauniyyah (yang ada di semesta alam) selalu berpaling.
c. Menolak perintah untuk berinfaq shodaqoh.
d. Tidak percaya akan tibanya Hari Qiyamat.

Ada ikhtilaf diantara Ulama tentang kalimat pada ayat ke-45, tentang :

(Apa yang ada dihadapanmu dan apa yang ada di belakangmu)


Diantaranya adalah:
1. Menurut Tafsir Jalalain, arti ayat :
“Apa yang dihadapanmu” yakni : Siksa Dunia seperti ummat yang lainnya.
Sedangkan “Apa yang akan datang” adalah Siksa akherat.

2. Ibnu Abbas dan Jubair ra. dan Mujahid, dalam Tafsir Qurthubi adalah :
“Dosa-dosa yang telah lalu dan dosa-dosa yang akan datang”

61
Ayat ini mengajak kita untuk takut kepada siksa yang akan dijatuhkan Allah
SWT akibat dosa-dosa kita. Baik siksa di Dunia ataupun di Akherat kelak.
Menurut Ibnu Katsir, maksud penggalan ayat ke-46 yang berbunyi :

adalah :

“Apabila datang kepada mereka, orang kafir, tanda (ayat) yang menunjukkan
Keesaan Allah (Tauhid) dan Kebenaran Rasul (Nabi Muhammad saw), maka
mereka selalu berpaling menolaknya”.

Jawaban orang kafir pada ayat ke-47, saat diajak untuk berinfaq kepada
orang miskin dari kalangan beriman, yang menurut Tafsir Hamami yang
mengajaknya itu adalah para Shahabat Nabi, dengan mengatakan :

"Apakah kami (orang kafir Mekkah) akan memberi makan kepada orang-
orang (miskin yang beriman) yang jika Allah menghendaki tentulah Dia
(Allah) akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan
yang nyata".

Merupakan :
“Sebuah penghinaan dan cemoohan dari orang kafir, bahwa dengan masuk
Islam mengikuti agama Nabi Muhammad ternyata mereka masih saja miskin.
Mengapa harus membantu, padahal jika mereka menyembah Allah saja seharusnya
Allah memberi kekayaan kepada mereka ?

Pendapat mereka orang kafir ini merupakan pendapat yang keliru. Itulah
makna

(Tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata)


menurut Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

Mengapa keliru ?
Sebab Kaya dan miskin dalam pandangan Islam adalah Ujian Allah. Allah
akan memberikan rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya, demikian pula untuk
menahan turunnya rizqi tersebut kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Allah berfirman :

“Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi; Dia melapangkan


rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (nya).
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”.
(QS. 42 Asy-Syura : 12)

62
TIUPAN SANGKAKALA MALAIKAT
ISRAFIL SEBAGAI TANDA TIBANYA ERA
HARI QIYAMAT
(QS. 36 Yasin : 49-54)

“Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan


membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar. Lalu mereka tidak
kuasa membuat suatu wasiatpun dan tidak (pula) dapat kembali kepada
keluarganya. Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar
dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka
berkata: "Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari
tempat tidur kami (kubur)?" Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha
Pemurah dan benarlah Rasul-rasul (Nya). Tidak adalah teriakan itu selain
sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada
Kami. Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan
kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan”.

Menurut Ibnu Abbas ra. dalam Tafsir Surat Yasin karya Syeikh Hamami
Zadah, dan ‘Ikrimah dalam Tafsir Qurthubi, bahwa : “Yang dimaksud dengan as-
shayhah atau teriakan (dalam QS. 36 Yasin : 49) adalah Tiupan yang pertama pada
Hari Qiyamat”.

Sedangkan kalimat (sedang bertengkar), dalam ayat akhir ayat


ke-49 ini adalah dalam urusan-urusan dunia seperti saat jual beli di pasar, dan lain-
lain. Ini menunjukkan datangnya Hari Qiyamat itu secara tiba-tiba, tanpa terduga
termasuk pada saat manusia sedang bertengkar dalam berbagai urusan bisnisnya.

Sebagaimana Al-Hadits dalam Tafsir Surat Yasin karya Syeikh Hamami


Zadah, bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Sungguh Hari Qiyamat pasti akan terjadi. Dan sungguh ketika dua orang
membentangkan kain saat jual beli, keduanya belum sempat melipat kain

63
(dagangannya tersebut), tiba-tiba keduanya mati mendadak. Hari Qiyamat
pasti terjadi. Ketika seseorang mengangkat makanan ke mulutnya, lalu ia
tidak bisa memakannya. Hari Qiyamat pasti terjadi. Ketika seseorang
memberi minum hewan ternaknya, namun ia tidak dapat mengangkat kedua
kakinya. Hari Qiyamat pasti terjadi. Ketika seseorang mengangkat
timbangan (dagangannya) dan belum sempat menurunkannya”.
Hadits yang hampir sama dalam Tafsir Qurthubi, diriwayatkan oleh Na’im dari Abu
Hurairah ra.

Ayat pada QS. 36 Yasin : 51-52 yang berbunyi :

(Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera


dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata: "Aduh
celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami
(kubur)?" Inilah yang dijanjikan Tuhan Yang Maha Pemurah dan benarlah
para Rasul-Nya),

Kata menurut Kamus Arab-Indonesia karya Prof DR. H.Mahmud


Yunus, adalah : “Terompet dari tanduk”. Bahkan dalam Tafsir Ibnu Katsir menurut
HR. Ahmad dari Abdullah bin ‘Amr ra, bahwa seorang Arab bertanya kepada
Rasulullah saw :

“Apakah Ash-Shur itu ? Rasulullah saw menjawab : “Tanduk yang ditiup”


(HR. Ahmad)
Sedangkan Al-Qur’an dan Terjemahnya karya Departemen Agama RI, tahun 1989,
kata Ash-Shuur diterjemahkan dengan sangkakala.

Ayat ke-51 ini merupakan dalil tentang adanya Tiupan Sangkakala yang
membangkitkan semua yang mati dari dalam Quburnya. Yang meniupnya adalah
Malaikat Israfil, yang menurut Tafsir Qurthubi , hal itu sudah merupakan ijma
ummat. Didasarkan kepada Hadits Nabi saw dalam Al-Habaik fi Akhbaril Malaik
karya As-Suyuthi dijumpai HR. Ahmad, Al-Hakim dan Ibnu Mardawaih dari Abu
Said ra, telah bersabda Nabi Muhammad saw :

“Malaikat Israfil adalah Peniup Sangkakala”


(HR. Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih)

Menurut Ibnu Katsir, tiupan ini adalah Tiupan ke-3. Sedangkan menurut
Tafsir Qurthubi dan Jalalain, tiupan ini merupakan Tiupan ke-2. Dan jarak antara
Tiupan I dan II itu adalah 40 tahun. Dalilnya adalah HR. Mubarak bin Fadlolah
dari Hasan berkata, Rasulullah saw bersabda :

64
“Antara 2 tiupan adalah 40 (empat puluh) tahun. Tiupan Yang pertama
Allah mematikan dengannya setiap yang hidup. Dan tiupan yang lain, Allah
menghidupkan dengannya setiap yang mati”
(HR. Mubarak bin Fadlolah ; Sumber : Tafsir Qurthubi)

Ulama yang berpendapat ada 3 (tiga) tiupan Malaikat Israfil yakni nafkhatul
faza’ (tiupan yang mengejutkan), nafkhatush sha’aq (tiupan yang mematikan) dan
nafkhatul ba’ts (tiupan yang membangkitkan), mendasarkan pendapatnya diantaranya
kepada ayat Qur’an sebagai berikut :

“Dan (ingatlah) hari (ketika) ditiup sangkakala, maka terkejutlah segala


yang di langit dan segala yang di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki
Allah”.
(QS. 27 An-Naml : 87)

“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi
kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali
lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-
masing)”.
(QS. 39 Az-Zumar : 68)

Jika QS. 27 An-Naml : 87 merupakan dalil untuk nafkhatul faza’ (tiupan yang
mengejutkan), maka QS. 39 Az-Zumar : 68 merupakan dalil untuk nafkatush sha’aq
(tiupan yang mematikan) dan nafkhatul ba’ts (tiupan yang membangkitkan).

Diantara Hadits Nabi yang berbicara tentang Malikat Israfil dan


sangkakalanya adalah HR. Muslim dalam kitab Shahihnya sebagaimana dikutip Ibnu
Katsir dalam Tafsirnya, bahwa Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya Israfil benar-benar telah meletakkan sangkakala dalam


mulut dan menundukkan dahinya menunggu kapan diperintahkan untuk meniup”
(HR. Muslim)

65
juga dalam Kitab Al-Habaaik fi Akhbaril Malaik karya Imam Jalaluddin As-
Suyuthi, ada Hadits Nabi, diantaranya :
1. HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, dan dia menshahihkannya, Adz-Dzahabi
berkata, “Shahih menurut Syarat Muslim”.HR. Abu Asy-Syaikh dan Ibnu
Mardawaih dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda :
“Sesungguhnya sejak ditugaskan, mata penjaga sangkakala itu selalu siap
menunggu disekitar ‘Arsy karena takut disuruh berteriak sebelum matanya
berkedip. Kedua matanya seperti dua bintang yang terang”

2. HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya, HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari
Abu Sa’id Al-Khudri ra., Rasulullah saw bersabda :
“Bagaimana aku bisa tenteram, sedangkan penjaga sangkakala telah
menelan tanduk, memalingkan keningnya, dan telah siap-siap mendengarkan
untuk menunggu kapan dia diperintahkan-Nya untuk meniup. Mereka
bertanya : “Apa yang harus kami ucapkan ya Rasulullah ? Beliau menjawab
: “Katakanlah

(Cukuplah bagi kami, Allah sebagai pelindung kami dan Allah adalah sebaik-
baik pelindung dan atas Allah lah kami bertawakkal)”

3. HR. Abu Asy-Syaikh dari Wahb, :


“Allah SWT menciptakan sangkakala itu sebuah mutiara putih dalam kaca
yang sangat bersih.Lalu Dia berfirman kepada ‘Arasy : “Ambilah sangkakala
itu. Maka ia (sangkakala) itu bergantung padanya (‘Arasy). Lalu Allah
berfirman : Jadilah! Maka jadilah Israfil, dan Dia (Allah) memerintahkannya
untuk mengambil sangkakala itu. Maka dia (Israfil) mengambilnya, dan
bersamanya ada sebuah lubang sejumlah semua ruh makhluk dan semua
napas yang dihembuskan. Dua ruh tidak akan keluar dari satu lubang. Dan
ditengah-tengah sangkakala itu ada lubang angin seperti bulatan langit dan
bumi. Sementara Israfil meletakkan mulutnya diatas lubang angin itu.Lalu
Tuhan berfirman kepadanya :“Aku telah menugaskanmu mengurus
sangkakala ini. Maka tugasmu adalah meniup dan berteriak. Lalu Israfil
masuk ke bagian depan ‘Arasy, dia memasukkan kaki kanannya di bawah
‘Arasy dan mengeluarkan kaki kirinya. Dan dia tidak pernah berkedip sejak
Allah menciptakannya untuk menunggu apa yang diperintahkan-Nya “.

Ayat ke-53-54 berbicara tentang Yaumul Mahsyar (Hari dikumpulkannya manusia


dan jin di Padang Mahsyar) untuk dihisab dan dimizan dengan seadil-adilnya oleh
Allah SWT. Allah berfirman, yang artinya :
“Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka
semua dikumpulkan kepada Kami. Maka pada hari itu seseorang tidak akan
dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang telah
kamu kerjakan”.

Ayat ini senada dengan ayat lain, yakni :

66
“(Yaitu) pada hari mereka mendengar teriakan dengan sebenar-benarnya,
itulah hari keluar (dari kubur)”.
(QS. 50 Qaaf : 42)

“Maka berpalinglah kamu dari mereka. (Ingatlah) hari (ketika) seorang


penyeru (malaikat) menyeru kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari
pembalasan), sambil menundukkan pandangan, mereka keluar dari
kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan, mereka datang
dengan cepat kepada penyeru itu. Orang-orang kafir berkata: "Ini adalah
hari yang berat".
(QS. 54 Al-Qamar : 6-8)

Sehubungan dengan tiupan sangkakala Malaikat Israfil yang menghancurkan


tatanan semesta alam ini, penulis mencoba bertanya kepada DR. Rernat. Kosim,
MSc, seorang pakar fisika Unram, tentang kemungkinan terjadinya ditinjau dari
kacamata ilmu pengetahuan modern. Sebab pengertian ayat

yang artinya “Dan ditiuplah sangkakala” atas dasar berbagai Hadits Nabi di atas,
tampak bahwa ia adalah energi suara yang ditiupkan melalui terompet
(sangkakala). Selengkapnya pakar fisika Unram ini mengatakan sebagai berikut :

Bunyi merupakan gelombang mekanik yang perambatannya memerlukan


medium, baik itu medium padat, cair ataupun gas (udara). Sedangkan sumbernya
bunyi terjadi karena adanya getaran medium atau ledakan. Oleh karena itu bunyi
dapat kita bagi dalam 3 macam, yakni :
1. Nada, yang getarannya periodik (teratur) seperti bunyi seruling, senar dan
lain-lain.
2. Desir, yang getarannya tidak periodik seperti suara deburan ombak.
3. Letusan, yang getarannya tidak periodik dan berlangsung dalam waktu
singkat, seperti ledakan bom, dentuman meriam dan lain sebagainya.

Peristiwa tiupan terompet oleh malaikat Israfil, jelas merupakan rambatan


gelombang bunyi. Tiupan mempunyai makna bahwa ada energi udara yang keluar
melalui terompet sekaligus mengeluarkan bunyi yang dirambatkan udara,
walaupun diruang angkasa ini hampa udara. Karena adanya angin dari tiupan
sangkakala, maka di alam raya yang semula vakum (hampa) udara menjadi terisi
udara. Dan bunyi terompet akan sampai ke semua benda langit sebagai bunyi
ledakan yang berlangsung sesaat.

67
Baik tiupan angin maupun bunyi masing masing mempunyai energi kinetik
1
yang dirumuskan sebagai m v², dengan m = massa medium, v = kecepatan gerak
2
angin untuk energi angin. Sedangkan untuk bunyi, maka v = kecepatan bunyi yang
merambat dalam medium udara. Dalam menyatakan besarnya energi, sering kita
menggunakan istilah intensitas yang merupakan besaran daya persatuan luas.
Watt
Dengan satuannya adalah I = Sedangkan daya sendiri, merupakan besarnya

Joule
energi (Joule) persatuan waktu, yang satuannya adalah Watt = .
det
Dan besarnya intensitas adalah :
a. Untuk angin : I = 0,1 v³
V = Kecepatan gerak angin (Abdul Kadir (Prof), Energi, UI Press, 1987)
1
b. Untuk bunyi : I = ρ v A (2πf)²
2
ρ = Massa jenis medium
v = Kecepatan bunyi
v bunyi di udara (diam) = 340 m/s. Sedangkan di air apalagi di zat
padat lebih besar lagi.
A = Amplitudo gelombang bunyi
f = Frekuensi bunyi ( Gabrial, Fisika kedokteran, EGC Bali, 1996)

Intensitas energi angin akan sangat besar kalau angin tiupan dari
sangkakala tersebut keluar dengan kecepatan yang tinggi, sehingga mengganggu
kesetimbangan garis edar dari planet-planet atau benda-benda di angkasa. Dengan
demikian jelas gerakan planet akan kacau berantakan. Sedangkan intensitas bunyi
akan sangat besar jika amplitudo dan frekuensinya tinggi. Artinya tiupan
sangkakala mempunyai frekuensi dan amplitudo yang tinggi. Menurut Graham Bell,
intensitas bunyi ini, dapat dikonversikan kedalam satuan decibel (dB), sebagai satuan
I
tekanan bunyi. Dengan rumus sebagi berikut : dB=20 log
Io
I = Intensitas akhir, sedangkan Io = Intensitas dasar = 1.10 ⎯¹²w/m²
Contoh :

Bunyi Intensitas dB
(w/m²)
Suara berisik 10⎯¹º 20
Pesawat Jet 10¹ 103
5
Roket tinggal landas 10 170

Dari daftar skala kebisingan ini, maka >100 dB adalah seperti suara
Halilintar (120 dB), meriam (110 dB), sudah dapat membuat telinga menjadi tuli.
Karena bunyi juga merupakan gelombang tekan, maka bunyi yang kuat akan
menggetarkan benda-benda yang dilaluinya, termasuk makhluk hidup. Maka
hancurlah jagad raya dan matilah makhluk hidup dengan energi yang dikeluarkan
dari tiupan terompet (sangkakala) Malaikat Israfil.

68
KEADAAN PENGHUNI SORGA
(QS. 36 Yasin : 55- 58)

“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam


kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat
yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh
buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka
dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha
Penyayang”

Yang dimaksud dengan “bersenang-senang dalam kesibukan” dalam ayat


ke-55 ini adalah :
• Menurut Tafsir Jalalain serta menurut Ibnu Mas’ud ra, Ibnu ‘Abbas ra,
Qatadah, Mujahid dalam Tafsir Qurthubi dan Ibnu Katsir adalah :
“Kesibukan mereka (para penghuni surga) dalam memecahkan keperawanan
(istrinya)”
Dalil adanya “persetubuhan di surga” :
HR. Thabrani dari Abu Umamah ra. dan HR. Abu Nu’aim dari Abu
Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw ditanya :
“Apakah penghuni surga melakukan persetubuhan ? Rasulullah saw
menjawab : “Ya, tanpa pernah merasakan bosan karena syahwat tak pernah
padam. Laki-laki tidak pernah akan mengeluarkan sperma juga tak ada
kematian”.
• Menurut Ibnu Kaisan dalam Tafsir Qurthubi : “Kesibukan sebagian mereka
untuk berziarah kepada sebagian lainnya” Diperkuat oleh Firman Allah :

“Lalu sebahagian mereka menghadap kepada sebahagian yang lain sambil


bercakap-cakap.
(QS. 37 Ash-Shaffat : 50)
• Menurut Ibnu ‘Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir : “Kesibukan mereka
dengan memperdengarkan alat musik”

Ayat ke-56, yang berbunyi “Mereka dan istri-istri mereka” adalah bagi
mereka yang saat di dunia memiliki istri yang beriman dan sholeh. Allah berfirman :

69
“(Yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya………………”
(QS. 13 Ar-Ra’du : 23)
Sedangkan bagi mereka yang tidak beristri atau istrinya kafir atau ahli ma’siyat,
maka tersedia di surga bagi mereka “Hurul ‘Aini” (Bidadari).

“Demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari”.


(QS. 44 Ad-Dukhan : 54)

Dalam HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, bahwa Rasulullah saw bersabda :


“…………………..Istri-istri mereka adalah bidadari yang bermata jeli…………..”

Pada ayat ke-57, Allah menjelaskan tentang salah satu makanan di surga
adalah buah-buahan. Seperti apakah buah-buahan di surga itu, dijelaskan dalam ayat
lain, misalnya :

“Di dalam surga itu ada buah-buahan yang banyak untukmu yang
sebahagiannya kamu makan”
(QS. 43 Az-Zukhruf : 73)

“Dan buah-buahan yang banyak, yang tidak berhenti (buahnya) dan tidak
terlarang mengambilnya”
(QS. 56 Al-Waqiah : 32-33)
Ayat ini diperkuat oleh :
HR. Thabrani dari Tsauban ra., bahwa Nabi saw bersabda :
“Apabila seseorang memetik satu buah sorga, buah itu akan muncul kembali
dalam sekejap”
(HR. Thabrani)

“Dan naungan (pohon-pohon surga itu) dekat di atas mereka dan buahnya
dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya”
(QS. 76 Al-Insan : 14)

“Di dalam keduanya(kedua surga itu) ada (macam-macam) buah-buahan dan


kurma serta delima”
(QS. 55 Ar-Rahman : 68)

70
“Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka
mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu."
(QS. 2 Al-Baqarah : 25)

Menurut Abdul Qadir Ahmad ‘Atha dalam Kitab Ath-Thariiq ilal Jannah,
maksud ayat Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu adalah :
“Jenis barang (buah)nya mirip tetapi tidak serupa”

Tentang ayat ke-58 dari Surat Yasin, dalam Al-Qur’an ada ayat lain yang
senada :

“Mereka tidak mendengar di dalamnya (surga) perkataan yang sia-sia dan


tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, akan tetapi mereka
mendengar ucapan salam-salam”
(QS. 56 Al-Waqi’ah : 25-26)

Sedang makna ayat ke-58 , diriwayatkan dalam Tafsir Qurthubi dari Hadits
Jarir bin Abdullah Al-Bajaliy bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Ketika para penghuni surga berada dalam kenikmatan, tiba-tiba muncul lah sinar
cahaya. Maka mereka (para penghuni surga) mengangkat kepala , tiba-tiba Allah,
Tuhan Yang Maha Tinggi, memperlihatkan diri di atas mereka. Ia berfirman :
“Assalamu’alaikum” (Salam sejahtera atas kalian), wahai penduduk surga.
Peristiwa itu adalah arti dari firman Allah :

“(Kepada mereka dikatakan): "Salam",sebagai


ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang”
(Al-Hadits)

Demikian pula menurut Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya, bahwa Ibnu
Abbas ra, berpendapat bahwa : “Ucapan salam tersebut adalah dilakukan Oleh
Allah SWT sendiri”. Sebagaimana firman Allah :

“Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam


surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya
dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam surga itu
ialah "salaam"
(QS. 14 Ibrohim : 23)

71
Menurut Muqatil, yang menyampaikan salam itu adalah para Malaikat.
Muqatil berkata : “Para malaikat masuk kepada penduduk surga dari setiap pintu.
Mereka mengucapkan “Salam atas kalian wahai penduduk surga,
sebuah salam dari Tuhan kalian Yang Maha Penyayang”.
Dalil :

“(Yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan


orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak
cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari
semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun `alaikum bima shabartum
"(Salam sejahtera atas kalian karena kesabaran kalian). Maka alangkah
baiknya tempat kesudahan itu.
(QS. 13 Ar-Ra’du : 23-24)

72
KEADAAN ORANG KAFIR DI AKHERAT
(36 Yasin : 59-65)

“Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir): "Berpisahlah kamu (dari


orang-orang mu'min) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat.
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu
tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu",dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang
lurus. Dan sungguh-sungguh syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar
di antaramu. Maka apakah kamu tidak memikirkan? Inilah Jahannam yang
dahulu kamu diancam (dengannya). Masuklah ke dalamnya pada hari ini
disebabkan kamu dahulu mengingkarinya. Pada hari ini Kami tutup mulut
mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi
kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.

Ayat-ayat ini menurut Ibnu katsir dalam Tafsirnya merupakan ayat yang
menceritakan kondisi orang kafir di Akherat yakni di Mauqif saat mereka di Padang
Mahsyar, khususnya pada ayat 59-62. Mereka terpisah dari orang beriman.
Kemudian mereka dimasukkan kedalam Neraka Jahannam (QS. 36 Yasin : 63-64).
Ayat ini diperkuat oleh QS. 30 Ar-Ruum : 14-16, Allah berfirman :

“Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu mereka (manusia) bergolong-
golongan. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,
maka mereka di dalam taman (surga) bergembira. Adapun orang-orang yang
kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Al Qur'an) serta (mendustakan)
menemui hari akhirat, maka mereka tetap berada di dalam siksaan (neraka)”.

73
Pada QS. 30 Ar-Ruum : 43, digunakan istilah : (Pada
hari itu mereka terpisah-pisah).

Menurut Adl-Dlohak dalam Tafsir Qurthubi, maksud QS. 36 Yasin : 59


adalah :
“Terpisahnya orang-orang berdosa kedalam beberapa golongan, yakni
Golongan Yahudi terpisah kedalam beberapa firqah. Demikian pula
Nashrani, Majusi (Penyembah Api), Shabi’in (Penyembah Bintang), Watsani
(Penyembah Berhala). Sesungguhnya semua firqah (golongan) tersebut
masuk neraka”.

Ketika orang-orang berdosa ini dipisahkan dari orang beriman di Mauqif,


menurut Ibnu Katsir, Allah mencela dan menegur mereka dengan keras dengan
firman-Nya :
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu
tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagi kamu" Inilah jalan yang lurus. Dan sungguh-sungguh syaitan itu
telah menyesatkan sebahagian besar di antaramu. Maka apakah kamu tidak
memikirkan? Inilah Jahannam yang dahulu kamu diancam (dengannya).

Setan sebagai musuh selain dalam QS. 36 Yasin : 60, minimal ada 10
(sepuluh) kali Al-Qur’an mengungkapkannya dengan cara dan gaya bahasa yang
berbeda, yakni :
1. QS. 2 Al-Baqarah : 168 dan 208
2. QS. 6 Al-An’am : 142
3. QS. 7 Al-A’raaf : 22
4. QS. 12 Yusuf : 5
5. QS. 18 Al-Kahfi : 50
6. QS. 20 Thaha : 117
7. QS. 28 Al-Qashash : 15
8. QS. 35 Fathir : 6
9. QS. 43 Az-Zukhruf : 62
Begitu banyaknya ayat yang senada tentang posisi setan sebagai musuh,
menunjukkan bahwa, seseorang hendaknya benar-benar menyadari tentang bahaya
yang terus mengancamnya dan berhati-hati untuk tidak terperosok kepada bujuk
rayunya.

Firman Allah pada ayat ke-62, yang berbunyi :


“Dan sungguh-sungguh syaitan itu telah menyesatkan sebahagian besar
diantaramu Maka apakah kamu tidak memikirkan?”,
menunjukkan bahwa jumlah orang berdosa dan ahli neraka itu lebih banyak dari
pada orang beriman dan ahli sorga.

Pada ayat ke-65, Allah berfirman tentang ditutupnya mulut di akherat nanti dan
bersaksinya tangan dan kaki, Rasulullah saw bersabda :
HR. Ahmad dari ‘Uqbah bin Amir ra, yang mendengar Rasulullah saw bersabda :

74
“Sesungguhnya anggota tubuh manusia yang pertama akan berkata-kata
pada Hari Qiyamat di kala Allah mengunci mulutnya, adalah pahanya
sebelah kiri”
(HR. Ahmad)

Ayat ini mengajari kita bahwa di depan Mahkamah Allah di Hari Qiyamat
nanti, manusia tidak lagi dapat berkilah untuk menyangkal setiap tindak
kejahatannya. Karena semua anggota tubuh akan bersaksi tentang apa yang dahulu
saat di dunia telah kita perbuat.

Kebenaran dari ayat ke-65 ini, di zaman modern ini dengan mudah dapat kita
terima. Mengapa ? Fakta ilmiah hari ini menunjukkan bahwa kesaksian suatu
kejadian dapat diperoleh tidak harus langsung secara verbal melalui mulut
seseorang, tetapi dapat juga melalui rekaman pita cassette dan CD hasil shooting.
Jika pita cassette, CD, disket, flash disk yang merupakan produk teknologi manusia
dapat berbicara mengungkapkan sejuta fakta. Apalagi tangan dan kaki manusia
ciptaan Al-Khaliq Allah SWT, pastilah akan lebih detail lagi mengungkap setiap
perilaku hamba-Nya. Diperkuat oleh firman-Nya :

“Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan


kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka
kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kamu
menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab: "Allah yang
menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai
(pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat
bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu
terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan
dari apa yang kamu kerjakan”.
(QS. 41 Fushshilat : 20-22)

75
ANCAMAN ALLAH KEPADA ORANG
KAFIR UNTUK MENGHILANGKAN
PENGLIHATAN DAN MERUBAH WUJUD
FISIK MEREKA
(S. 36 Yasin : 66-67)

“Dan jikalau Kami (Allah) menghendaki pastilah Kami hapuskan


penglihatan mata mereka; lalu mereka berlomba-lomba (mencari) jalan.
Maka betapakah mereka dapat melihat (nya). Dan jikalau Kami menghendaki
pastilah Kami rubah mereka di tempat mereka berada; maka mereka tidak
sanggup berjalan lagi dan tidak (pula) sanggup kembali”

Arti kata dalam ayat ini adalah yang artinya hilang atau
lenyap. Sehingga ayat ke-66 dari Surat Yasin ini menurut Tafsir Hamami senada
dengan ayat :

“Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan


penglihatan mereka”.
(QS. 2 Al-Baqarah : 20)

Perbedaannya adalah jika surat Yasin merupakan ancaman Allah kepada


Orang Kafir maka Surat Al-Baqarah ayat 20 ini, untuk orang Munafiq. Maksudnya
menurut Tafsir Hamami : “Karena mata bathin mereka sudah buta melihat
kebenaran Tauhid, jika Allah kehendaki, Dia dapat membutakan pula mata dzhohir
mereka”.
Sedang yang dimaksud dengan ancaman Allah untuk merubah mereka,
menurut Tafsir Jalalain adalah untuk merubahnya menjadi kera, babi atau batu di
rumah mereka masing-masing. Sedang Al-‘Aufi dari Ibnu Abbas ra, dalam Tafsir
Ibnu Katsir adalah : Untuk menghancurkan mereka.

Tafsir Jalalain dan Ibnu Katsir, cenderung melihat ancaman ini akan berlaku
di Dunia, sebagaimana yang pernah terjadi kepada Kaum Yahudi. Sebagai misal
adalah Para nelayan Yahudi yang hidup di Negeri Eilah yang berada di tepi laut,
yang karena melanggar larangan Hari Sabat (Sabtu) sebagai Hari Khusus untuk
beribadah, dengan tetap mencari ikan, maka Allah SWT seketika itu pula merubah
wujud fisik mereka menjadi Kera, kemudian pada beberapa hari berikutnya mereka
mati.

76
Penggunaan kata (Dan jikalau Kami (Allah) menghendaki)
dalam dua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang dapat menjadi sangat murka, jika Dia berkehendak. Mengapa ?
Karena disamping Ar-Rahman dan Ar-Rahim, masih ada Asmaul Husna lain
seperti : Al-Qahhar (Yang Maha Memaksa), Al-Qaabidh (Yang Maha
Menyempitkan), Al-Khaafidh (Yang Maha Merendahkan), Al-Mudzill (Yang Maha
Menghinakan), Al-Muntaqim (Yang Maha Kuasa Menindak Hamba-Nya Yang
Bersalah Dengan Menyiksanya) dan Adh-Dhaarru (Yang Maha Mendatangkan
Bahaya dan Kemelaratan).
Berdasar berbagai ayat Qur’an yang mengisahkan adzab Allah kepada
berbagai kaum, dapat disimpulkan bahwa murka Allah terjadi jika :
1. Tingkat kekufuran dan kemaksiatan mereka sudah melampaui batas,
2. Sedang karunia Allah yang diberikan kepada mereka melimpah ruah.
3. Telah datang Nabi atau Rasul yang memberi peringatan kepada mereka
tetapi mereka tetap mendustakannya.
Allah berfirman :

“Mengapa Allah akan mengadzab kamu, jika kamu bersyukur dan beriman?
(QS. 4 An-Nisa : 147)

“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada


mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk
mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah
diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong,
maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang yang zalim
itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya”.
(QS. 6 Al-An’am : 44)

Sedang Ibnu Salam dalam Tafsir Qurthubi, berpendapat bahwa semua


kejadian ini terjadi di Hari Qiyamat, dimana Allah SWT akan menghilangkan
pandangan mata orang kafir saat melewati Ash-Shirath. Sehingga derita orang kafir
di akherat menjadi sempurna. Karena ia menjadi bisu, buta, tuli dan wujud fisiknya
berubah menjadi amat buruk laksana babi, kera, dan lain sebagainya. Sebuah
penghinaan yang teramat pantas karena dosa mereka yang teramat banyak dan
kekufuran mereka kepada Allah SWT saat di dunia. Allah berfirman dalam ayat lain :

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat


(nanti) ia akan lebih buta (lagi) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”.
(QS. 17 Al-Isra’ : 72)

77
KEKUASAAN ALLAH UNTUK
MENJADIKAN SESEORANG MENJADI
PIKUN
(QS. 36 Yasin : 68)

Pada QS. 36 Yasin : 68, Allah berfirman :

“Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami


kembalikan dia kepada kejadian (nya). Maka apakah mereka tidak
memikirkan?”

Ayat ini merupakan bukti kekuasaan Allah untuk mengembalikan seseorang


pada kondisi seperti anak kecil bahkan bayi kembali. Tentunya bukan dalam bentuk
wujud fisik melainkan dalam pemikiran dan perilakunya, yang dikenal di
masyarakat kita sebagai pikun. Mereka adalah orang tua tetapi kerap kali
berperilaku seperti anak-anak. Allah berfirman dalam ayat lain :

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia
menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa.
(QS. 30 Ar-Ruum : 54)

Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu


ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia
tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
(QS. 16 An-Nahl : 70)

Dalam Tafsir Qurthubi dari HR. Bukhari dari Anas bin Malik ra. berkata,
bahwa Rasulullah saw memohon perlindungan (kepada Allah) dengan berdo’a :

78
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari sifat malas. Dan aku
berlindung kepada-Mu dari jubun. Dan aku berlindung kepada-Mu dari
pikun. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir”
(HR. Bukhari)

Dan dari Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash dalam Tafsir Qurthubi, dikatakan :

“Dan aku berlindung kepada-Mu untuk kembali ke umur yang paling lemah
(pikun)”

79
NABI SAW BUKAN SEORANG PENYAIR
(QS. 36 Yasin : 69-70)

“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair


itu tidaklah layak baginya. Al Qur'an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan
kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi
peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah
(ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir”.

Menurut Tafsir Surat Yasin karya Syeikh Hamami Zadah, Asbabun Nuzul
ayat ini menurut Al-Kalbi adalah :
“Ketika orang-orang Kafir Mekkah berkata bahwa Muhammad adalah
seorang penyair dan apa yang dikatakannya adalah syair, maka Allah SWT
menurunkan ayat ini (QS. 36 Yasin : 69-70) untuk mendustakan tuduhan
mereka”.

Ayat ke-69-70, dari Surat Yaasin ini merupakan penegasan bahwa :


1. Ayat Al-Qur’an yang demikian indah susunan balaghahnya yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. ketengah-tengah manusia itu adalah
benar-benar Firman-firman Allah. Bukan hasil olah kata seorang penyair
apalagi manusia biasa. Sebagaimana firman-Nya :

“Sesungguhnya Al Qur'an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang


diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al Qur'an itu bukanlah perkataan
seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula
perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran
daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”.
(QS. 69 Al-Haaqqah : 40-43)

2. Dan Nabi Muhammad bukanlah seorang penyair apalagi dia dikenal


sebagai seorang “Ummi”, yaitu orang yang tidak bisa tulis baca.
Sebagaimana firman-Nya dalam QS. 7 Al-A’raaf : 157 sebagai berikut :

80
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka)
(QS. 7 Al-A’raaf : 157)

“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi”
(QS. 7 Al-A’raaf : 158)

Adanya pemikiran yang demikian keliru dari Orang-orang Musyrikin Mekkah,


adalah karena mereka ta’jub terhadap ketinggian mutu bahasa Al-Qur’an tetapi
mereka tidak dapat menandingi keindahan susunan kata dan gaya bahasanya.
Padahal pada saat itu Bahasa Arab sedang mencapai tahapan gemilang. Sebuah
kabilah dan suku-suku Arab akan merasa bangga jika ia memiliki penyair yang hebat.
Karena hal tersebut akan menaikkan derajat dan gengsi suku atau kabilahnya. Bahkan
pada setiap tahun mereka akan berkumpul di pasar malam ‘Ukkadz setelah selesai
menunaikan Ibadah Haji-dengan cara Jahiliyyah-seperti bertelanjang bulat saat
Thawaf mengelilingi Ka’bah. Berkumpulnya mereka di pasar ‘Ukkadz ini untuk
mendengarkan para ahli sya’ir memperdengarkan karya mereka sambil
memperlombakannya. Syair yang tinggi nilainya digantungkan di dalam Ka’bah.
Sehingga di zaman Jahiliyyah ini lahirlah banyak para penyair dan sastrawan ulung
yang melahirkan karya-karya besar, seperti Amru al-Qais atau ‘Ablah.

Dalam banyak ayat, Allah menantang mereka untuk membuat yang semisal
dalam Al-Qur’an, tetapi tak seorang pun yang sanggup melakukannya. Diantaranya
Allah berfirman :

“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk


membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain".
(QS. 17 Al-Isra’ : 88)

Musailamah Al-Kadzab, seorang Nabi palsu, pernah membuat syair untuk


menandingi Al-Qur’an, justru menjadi bahan ejekan orang banyak. Masyarakat Arab
yang memang Ahli Syair dengan cepat dapat mengetahui bahwa hal itu bukan lah
wahyu dari Allah melainkan olah kata dari Musailamah sendiri.

81
Dalam QS. 26 Asy-Syu’ara : 224-227, Allah menegaskan bahwa kedudukan
dan sifat-sifat para penyair dengan para Rasul itu berbeda. Allah berfirman :

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah


kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan
bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak
mengerjakan (nya)?, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman
dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan
sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan
mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

Dalam Tafsir Surat Yasin karya Syeikh Hamami Zadah, dijumpai Hadits Nabi :

“Pada malam aku di-Mi’raj-kan, aku melihat suatu kaum yang mulutnya
dipotong-potong dengan gunting oleh Malaikat Zabaniyyah. Lalu aku
bertanya kepada Jibril, Siapakah mereka itu ?. Jibril menjawab : Mereka
adalah para penyair ( yang tidak mengindahkan etika agama)”.
(Al-Hadits)

82
RAHMAT ALLAH PADA BINATANG
TERNAK
(QS. 36 Yasin ; 71-73)

Pada QS. 36 Yasin : 71-73, Allah berfirman :

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah


menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang
telah Kami ciptakan dengan kekuasaan Kami sendiri, lalu mereka
menguasainya? Dan Kami tundukkan binatang-binatang itu untuk mereka,
maka sebahagiannya menjadi tunggangan mereka dan sebahagiannya mereka
makan. Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat dan minuman.
Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?”

Ayat ini mengajak manusia untuk bersyukur atas karunia diciptakannya


binatang ternak untuk manusia. Dalam ayat –ayat ini ada 3 (tiga) nilai kemanfaatan
dari Binatang ternak yang disebutkan secara jelas dan terang, yakni :

1. Sebagai sarana transportasi


Seperti : Kuda, Keledai dan Unta.
2. Dagingnya sebagai makanan yang lezat
3. Susunya dapat menjadi minuman yang sehat dan lezat.
Seperti : Susu sapi dan susu kambing.

Dalil bahwa yang dimaksud minuman dari binatang ini adalah susu, terdapat
dalam QS. 16 An-Nahl : 66. Allah berfirman :

“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat


pelajaran bagi kamu. Kami (Allah) memberimu minum daripada apa yang
berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah,
yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.

Kemudian dari susu sendiri dapat dibuatlah keju, bubur susu, mentega, yang
menurut DR. Muhammad Al-Khatib dalam Al-Islamu wal ‘ilmu nadzharatun
mu’jizatun adalah jenis lemak yang terbaik.

83
Dan satu lagi nilai kemanfaatan dari binatang ternak, hanya dengan ungkapan :

(Dan mereka memperoleh padanya manfaat-manfaat)


(QS. 36 Yasin : 73)
Diantara manfaatnya adalah :
• Untuk membajak sawah oleh para petani.
• Kulitnya, seperti kulit sapi yang dapat digunakan untuk berbagai alat
musik tabuh (perkusi).
• Bulunya, seperti bulu Biri-biri untuk pembuatan bahan kain wol.
• Berbagai perlombaan dan hobbi, seperti pacuan kuda, dan lain-lain.

Pada akhir ayat ke-73, Allah memerintahkan kita bersyukur atas ni’mat
diciptakannya binatang ternak. Bagaimana cara bersyukurnya ? Untuk menjawab
pertanyaan ini perlu dipahami dulu tentang apa hakekat Syukur itu ? Menurut
sebagaian Ulama, Syukur adalah :
“Pendayagunaan semua karunia Allah oleh seorang hamba sesuai dengan
tujuan penciptaannya”

Dan tujuan penciptaan manusia adalah dalam rangka ‘ibadah dan menjadi
Khalifah di muka bumi ini. Dengan demikian bersyukur atas karunia binatang ternak
ini adalah dengan memelihara dan merawatnya dengan baik serta menjaga
kelestariannya. Termasuk berdosa jika kita tidak merawatnya dengan baik dan
membebani binatang tunggangan misalnya melebihi batas kemampuannya,
sebagaimana Sabda Beliau saw :

1. HR. Muslim, dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw bersabda :


“Jika kamu bepergian dalam daerah yang subur maka berilah kesempatan
kendaraan (unta) itu makan. Dan jika kamu beperguian pada daerah yang
kering, maka maka percepatlah dan kejarlah sebelum habis sumsum
kendaraan itu (persedian bahan makanan pada tubuh binatang itu)”

2. HR. Abu Dawud dari Sahl bin ‘Amru, dan dikatakan Sahl bin Ar-Rabi’I bin ‘Amr
dan Al-Anshari Al-Ma’ruf dengan Ibnu Handzholiyyah, dan dia adalah Ahli
Baiatur Ridlwan, berkata :
“Rasulullah berjalan melihat seekor unta yang telah rapat punggungnya
dengan perutnya ( terlalu kurus). Maka bersabda (Rasulullah saw) :
“Takutlah kamu kepada Allah terhadap binatang-binatang yang bisu ini.
Maka kendarailah dalam keadaan yang baik dan beri makanlah dalam
keadaan baik”

3. HR. Abu Dawud, diriwayatkan :


“Maka Rasululullah saw masuk ke kebun seorang Shahabat Anshor, tiba-tiba
disana ada unta dan ketika terlihat oleh Rasulullah tiba-tiba ia merintih dan
mencucurkan air mata. Maka didekati oleh Nabi saw dan diusap-usap
punggung dan dekat leher atau telinganya, hingga diamlah onta itu.
Kemudian Nabi bertanya : “Siapakah pemilik unta ini ? Maka datanglah
seorang pemuda Anshar berkata : Itu milikku ya Rasulullah. Berkata Nabi :

84
“Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam memelihara binatang yang telah
diberikannya kepadamu, ia mengeluh bahwa kamu selalu melaparkannya dan
melelahkannya”.

Kemudian cara bersyukur lainnya yang amat perlu untuk mendapat perhatian
adalah adalah dengan mengeluarkan zakatnya jika jumlah binatang ternak tersebut
sudah mencapai nishab zakat. Kemudian menyembelihnya untuk tujuan Qurban,
‘Aqiqah, dan berbagai amal shaleh lainnya. Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak.


Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah (sembelihlah
hewan Qurban)”.
(QS. 108 Al-Kautsar : 1-2)

Dari ayat ini dapat dipahami dengan jelas bahwa, menyembelih hewan Qurban
di Hari Nahar (Idul Adha) adalah bukti rasa syukur kita kepada karunia ni’mat
Allah, termasuk nikmat diciptakannya binatang ternak bagi kita ummat manusia.
Dan saat menyembelihnya pun hendaknya dengan pisau yang tajam sehingga
binatang sembelihan tersebut tidak mengalami penderitaan yang terlalu lama.

85
CELAAN ALLAH KEPADA PENYEMBAH
BERHALA
(QS. 36 yasin ; 74-76)

Pada QS. 36 Yasin : 74-76, Allah berfirman :

“Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka


mendapat pertolongan. Berhala-berhala itu tiada dapat menolong mereka,
padahal berhala-berhala itu menjadi tentara yang disiapkan untuk menjaga
mereka. Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya
Kami (Allah) mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka
nyatakan”.

Ini merupakan dalil yang nyata bahwa berhala tak dapat memberi syafaat
(pertolongan) apapun. Logika yang paling sederhana seperti pernyataan di bawah
ini pun pasti akan setuju dengan firman Allah di atas.
“Bagaimana mungkin sebongkah batu atau seonggok kayu- yang biasa
dijadikan berhala- dapat memberi pertolongan dan memenuhi hajat
seseorang. Sementara ia sendiri tak dapat berlindung dari panas teriknya
matahari dan guyuran air hujan”.

Kemudian di akherat nanti justru berhala yang disembah ini pun akan
berdebat berbantah-bantahan dengan orang yang menyembahnya, bahwa ia
(berhala) tersebut tidak pernah meminta untuk disembah. Sehingga bagaimana
mungkin berhala tersebut akan dapat memberi syafaat. Allah berfirman :

(Ingatlah) suatu hari (ketika itu) Kami mengumpulkan mereka semuanya,


kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan):
“Tetaplah kamu dan sekutu-sekutumu di tempatmu itu”. Lalu Kami pisahkan
mereka dan berkatalah sekutu-sekutu mereka: “Kamu sekali-kali tidak
pernah menyembah kami”.
(QS. 10 Yunus : 28)

Kata “Syurakaauhum” (sekutu-sekutu mereka) dalam ayat ini menurut Tafsir


Qurthubi adalah Syetan atau Berhala.

86
Ayat ke-76 merupakan ayat yang mengingatkan Nabi saw agar tidak
bersedih dengan ucapan-ucapan mereka yang mengejek dan penolakan mereka-kafir
Quraisy- kepada da’wah Nabi saw. Sebab tugas seorang Nabi dan Rasul hanyalah
menyampaikan. Sedang urusan hasil adalah dalam Kekuasaan Allah. Sebagaimana
firman-Nya :

“Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu


hanyalah bertabligh (menyampaikan ayat-ayat Allah)”
(QS. 3 Ali Imran : 20)

Mengapa Nabi saw sampai harus diingatkan agar tidak usah bersedih,
dengan kekufuran mereka, barangkali karena dua hal, yakni :
1. Nabi saw. ingin agar semua orang beriman sebagai bukti kasih
sayangnya yang mendalam kepada ummatnya. Sebagaimana sudah kami
jelaskan dimuka, pada tafsir ayat ke-10 dalam bab tentang “Mayoritas
orang kafir di azab oleh Allah”.
2. Nabi saw meskipun seorang Insan Kamil (Manusia sempurna) tetapi
bagaimanapun dia adalah seorang manusia bukan Malaikat. Sehingga
tidak dapat melepaskan diri dari kodrat kemanusiannya. Meski sedikit
barangkali ada saja sedih dan kecewanya. Tetapi kita meyakini bahwa
hal itu tidak akan berlangsung lama. Karena beliau saw senantiasa
dibimbing oleh wahyu. Wallahu a’lamu.

87
BUKTI ADANYA HARI BERBANGKIT
(QS. 36 Yasin ; 77-83)

Pada QS. 36 Yasin : 77-83, Allah berfirman :

“Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya


dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan
dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia
berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah
hancur luluh?" Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang
segala makhluk, yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang
hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu." Dan tidakkah Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-
jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha
Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka
terjadilah ia. Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas
segala sesuatu dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.

Asbabun Nuzul ayat-ayat ini adalah :


a. Menurut riwayat Al-Hakim dengan sanad bersumber dari Ibnu Abbas ra.
b. Menurut Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Mujahid, Ikrimah, ‘Urwah bin
Zubair, dan As-Suddi, dengan tambahan bahwa orang itu adalah Ubay bin Khalaf:
“Diriwayatkan bahwa Al-‘Ash bin Wa’il, menghadap kepada Rasulullah saw
dengan membawa tulang belulang yang sudah rusak sambil mematah-
matahkannya. Ia berkata : “Hai Muhammad, apakah Allah akan
membangkitkan tulang yang sudah hancur ini ?”. Nabi saw menjawab :
“Benar. Allah akan membangkitkan ini (tulang) dan mematikan kamu dan
menghidupkan kamu kembali serta memasukkan kamu ke Neraka
Jahannam”. Ayat ini (QS. 36 Yasin ; 77-83), turun berkenaan dengan

88
dengan peristiwa tersebut di atas yang menegaskan kekuasaan Allah
untuk membangkitkan manusia di Hari Qiyamat”

Dari ayat ini, Allah mengajak manusia untuk melihat bukti, bahwa Ia
berkuasa untuk menghidupkan kembali tulang-belulang yang sudah hancur.
Diantaranya adalah :
1. Kejadian manusia yang berasal dari sperma.
2. Adanya api dari kayu yang hijau
3. Penciptaan Langit dan Bumi.

Ayat ke-77 merupakan peringatan keras agar manusia tidak berlaku angkuh
dan sombong kepada Allah SWT. Ia lupa kepada asal kejadiannya, bahwa ia hanya
berasal dari air yang hina. Sebagaimana firman-Nya :

“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air
mani)”.
(QS. 32 As-Sajdah : 8)

Pada ayat ke-79, Allah berfirman :


“Katakanlah: "Ia (tulang belulang) itu akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama.
Dan untuk pertama kali, Allah ciptakan manusia (Adam) dari tanah. Allah berfirman

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami
akan mengembalikan kamu dan daripadanya (tanah) Kami akan
mengeluarkan kamu pada kali yang lain”.
(QS. 20 Thaha : 55)

Dan prosesnya terjadi adalah dengan cara yang sangat mudah. Allah berfirman :

“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur)


itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa
saja”
(QS. 31 Luqman : 28)

Sedangkan arti ayat ke-80, khususnya tentang pohon kayu hijau, menurut Ibnu
Abbas ra, adalah :
“Pohon marikh dan pohon ifar. Kedua pohon itu tumbuh di darat. Orang
yang akan menyalakan api, ia memotong dua dahan dari semisal kayu siwak.
Keduanya berwarna hijau dan dari padanya air menetes. Lalu ditumbukkan
kayu marikh diatas kayu ifar, maka keluar api dari kedua kayu tersebut
dengan izin Allah SWT”.

89
Sedangkan menurut Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, kayu yang hijau yang
dapat menimbulkan api untuk kepentingan manusia, dapat kita saksikan pada pohon
kayu tusam atau pinus. Kayu pinus atau kayu tusam betul-betul pohon yang hijau
berdaun rindang yang lurus, namun ia mengandung minyak yang dapat dinyalakan.
Misalnya di rimba Takengon (Aceh Tengah). Bila telah besar pohonnya, maka
getahnya dapat ditakik sebagaimana menakik pohon karet. Dan ia dapat menyala
hingga berkobar apinya.

Di ayat lain, Allah berfirman :

“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari


gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah
yang menjadikannya? Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan
yang berguna bagi musafir di padang pasir”
(QS. 56 Al-Waqi’ah : 71-73)

Ayat-ayat ini menurut Afzalur Rahman dalam Quranic Science,


menunjukkan bahwa : “Al-Qur’an menyebutkan daya panas dan sumbernya untuk
menarik perhatian manusia kepada Kekuasaan dan Kebesaran Allah, sehingga
manusia memanfaatkan sumber tenaga itu bagi kepentingan hidupnya dan
bersyukur kepada-Nya. Allah memperingatkan mereka agar tidak melupakan hakekat
dan asal-usul sumber tenaga itu”

Pada ayat ke-81, Allah mengajak manusia untuk melihat karya Allah yang
jauh lebih besar daripada penciptaan manusia dan api yakni proses penciptaan
langit dan bumi, untuk menunjukkan bahwa proses pembangkitan kembali manusia
dari Qubur adalah perkara mudah. Allah berfirman :

“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar dari pada


penciptaan manusia akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
(QS. 40 Al-Mu’min : 57)

Dan baru pada abad ke-20, menurut Ir. Agus Mustofa dalam Buku Pusaran
Energi Ka’bah, manusia dapat menyadari betapa dahsyatnya proses penciptaan langit
dan bumi, yakni :
1. Dengan munculnya Teori Big Bang, atau Teori Ledakan Besar.
yakni : “Sebuah teori tentang proses terciptanya galaksi (gugusan
bintang-bintang) melalui sebuah ledakan besar”.

90
2. Hasil pengamatan Teleskop Huble, menyatakan :
“Bahwa berbagai benda langit seperti planet, matahari dan bintang-
bintang semuanya sedang bergerak menjauh. Artinya mestinya dahulu,
benda-benda tersebut saling dekat. Dan pada miliaran tahun yang lalu,
semua benda langit tersebut berkumpul di suatu titik yang sama, alias
padu dan berimpit”

Hal ini sesuai dengan firman-Nya :

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit


dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami
pisahkan antara keduanya”.
(QS. 21 Al-Anbiyaa : 30)

“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka,
bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya”
(QS. 50 Qaaf : 6)

Pada ayat ke-82, Allah menegaskan bahwa Cara Allah untuk mewujudkan
irodah (keinginannya) itu adalah sangat mudah hanya dengan berfirman “Kun
fayakun” maka terjadilah apa yang diinginkannya tersebut seketika. Meski hal
tersebut merupakan perkara yang amat besar dalam ukuran manusia. Sebagaimana
firman-Nya :

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang


menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena
menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan)
sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(QS. 46 Al-Ahqaaf : 33)

Ayat ke-82 ini, menurut para Ahli Ilmu Tauhid sekaligus menegaskan dengan
nyata perbedaan antara irodah makhluq dan irodah Al-Khaliq. Apabila makhluq
seperti manusia ingin melakukan sesuatu, maka ia harus memikirkannya terlebih
dahulu kemudian melakukannya melalui proses yang panjang, barulah terwujud
sebagian saja dari keinginan (irodahnya) tersebut. Jarang terjadi apa yang diinginkan
dapat terwujud dengan sekali pekerjaan. Ia pasti butuh upaya penyempurnaan secara
terus-menerus.

91
Pada ayat terakhir, Allah berfirman :

“Maka Maha Suci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu
dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
(QS. 36 Yasin : 83)

Ayat penutup ini merupakan perintah Allah SWT kepada ummat manusia
untuk bertasbih, me-Maha Suci-kan Allah Azza wa Jalla, karena demikian agung
kekuasaan-Nya dan demikian banyak karunia-Nya. Di dalam Surat Yasin saja
minimal ada 20 ((dua puluh) karunia Allah, yang harus kita syukuri. Yakni :

1. Karunia diturunkannya Al-Qur’an


2. Karunia diutusnya Muhammad saw sebagai Rasulullah
3. Karunia dihidupkannya kembali lahan yang tandus
4. Karunia adanya tanaman dan buah-buahan
5. Karunia adanya mata air
6. Karunia ilmu pengetahuan di bidang pertanian (agriculture)
7. Karunia berupa adanya pasangan pada segala sesuatu
8. Karunia berupa adanya pergantian siang dan malam
9. Karunia diciptakannya matahari yang berjalan di tempat peredarannya
10. Karunia diciptakannya bulan yang berjalan pada garis edarnya
11. Karunia diciptakannya bahtera yang berlayar di lautan
12. Karunia ilmu pengetahuan di bidang transportasi darat, laut dan udara
13. Karunia surga dengan segala kenikmatannya bagi orang yang bertaqwa
14. Karunia liqa’ dengan Allah SWT sebagai puncak kenikmatan surgawi
15. Karunia diciptakannya binatang ternak dengan berbagai kemanfaatannya
16. Karunia diciptakannya manusia dari sperma
17. Karunia diciptakannya api sebagai sumber energi panas
18. Karunia diciptakannya langit dan bumi
19. Karunia adanya Hari Berbangkit, sehingga keadilan Ilahi dapat ditegakkan.
20. Karunia diturunkannya Surat Yasin sebagai Qalbul Qur’an dengan berbagai
fadhilahnya yang amat banyak.

Dan ucapan “Tasbih” sendiri sebenarnya memiliki makna yang dalam yakni :
“Saat manusia bertasbih, maka ia sedang mengakui bahwa Allah SWT adalah
Maha Suci dari segala kekurangan. Baik dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma-
Nya ataupun Af’al-Nya (Karya dan Perbuatan-Nya). Sehingga apapun
ketentuan taqdir-Nya yang ditetapkan kepada seseorang hingga saat ini
adalah yang terbaik dalam pandangan Allah SWT. Sehinga ia ridlo
menerimanya. Sebab mustakhil (tidak mungkin) Dia (Allah) berlaku tidak adil
dan menganiaya hamba-Nya. Meski dalam pandangan syahwat nafsu
manusia, kadang ketentuan taqdir-Nya tersebut adalah buruk adanya”.

Wallahu a’lamu bish-showabi.

92
HIKMAH YASIN SEBAGAI QALBUL
QUR’AN
Pada keterangan terdahulu dalam bab fadhilah Surat Yasin sudah
dikemukakan tentang sebuah hadits riwayat HR. Tirmidzi dari Anas ra. bahwa
Rasulullah saw bersabda :

“Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada hatinya. Dan hatinya Al-Qur’an


(Qalbul Qur’an) adalah Surat Yasiin. Dan barang siapa membacanya, Allah
menuliskan baginya (seperti) membaca Al-Qur’an 10 (sepuluh) kali”

Hadits ini telah mengilhami para alim ulama untuk mengetahui hikmah dan
rahasianya ? Sesuatu yang sulit untuk dijawab. Karena memang tidak ada riwayat
yang menjelaskan mengapa Yasin merupakan Qalbu al-Qur’an.

Dalam risalah kecil berjudul “Qalbul Qur’an” karya Al-Ustadz Asep


Abdurrahman, pengasuh Ponpes Manba’ul ‘Irfan yang juga merupakan cucu Kyai
Ghunthur Sukabumi, bahkan dikatakan bahwa : “Letak Qalbul Qur’an dalam Surat
Yasin itu terdapat dalam ayat

(QS. 36 Yasin : 58).

Hanya saja dalam risalah itu tidak disebutkan alasan dan sumber
periwayatannya. Tetapi karena ia merupakan sebuah upaya mengungkapkan rahasia
dan hikmah, maka pendapat beliau ini adalah sah-sah saja. Allah berfirman :

“Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al


Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa
yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia
yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat
mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.
(QS. 2 Al-Baqarah ; 269)

Berdasarkan Surat Al-Baqarah : 269 ini, dapat dipahami bahwa Hikmah


tentang sesuatu memiliki peluang untuk dapat ditemukan jika seseorang mau
mempergunakan akalnya untuk melakukan penelaahan secara mendalam.

93
Jika mengambil I’tibar dari Hadits Riwayat Bukhari Muslim dari Abi
Abdullah Nu’man bin Basyir ra. tentang hati dalam jasad yang memiliki peran amat
penting dan strategis, sebagaimana sabdanya :

“Ingatlah bahwa di dalam tubuh itu ada segumpal daging, apabila segumpal
daging itu baik, maka baiklah seluruh anggota tubuh itu. Dan bila segumpal
daging itu rusak, maka rusaklah seluruh anggota tubuh. Ingatlah bahwa
itulah hati”.

Maka Surat Yasin ini pun memiliki kedudukan yang penting dan strategis pula
diantara 114 surat dalam Al-Qur’an.
Dalam Hadits ini, hati manusia diibaratkan sebagai barometer untuk
mengukur baik dan buruknya seseorang. Jika hatinya baik maka dapat dipastikan
bahwa fisiknya sehat dan akhlaq perilakunya pun bagus. Hujjatul Islam-Imam Al-
Ghazali-dalam Al-Ihya telah mengungkapkan hal ini secara panjang lebar. Maka
sebagai qalbul qur’an, Surat Yasin pun dapat dijadikan sebagai barometer pula
untuk menilai penguasaan seseorang tentang Al-Qur’an. Jika bagus penguasaannya
tentang surat Yasin baik dalam pengertian lafdz, ma’na dan tafsirnya, maka besar
kemungkinan bagus pula penguasaanya tentang ayat dan surat-surat lainnya dalam Al-
Qur’an. Begitu pula dalam aspek pengamalannya. Jika ia telah mampu
mengamalkan isi yang terkandung dalam Surat Yasin dalam kehidupan sehari-hari,
maka pengamalan kandungan surat yang lain pun akan segera dapat terwujud dalam
dirinya.
Qalbul jasad (Hati atau Jantung) berfungsi memompakan darah ke seluruh
tubuh sehingga nafas kehidupan seseorang dapat tetap terjaga. Jika qalbul jasad
berhenti bekerja, maka kematian dipastikan akan menjemputnya. Jika kematian fisik
ragawi terjadi karena aliran darah terhenti, maka kematian spiritual manusia terjadi
jika aqidah islamiyyah telah tercabut dari dirinya. Aqidah adalah pondasi dari
bangunan Islam. Jika aqidah rusak, maka bangunan islam tidak akan tegak dalam
dirinya. Hidup sebagai orang murtad, musyrik atau munafiq pada hakekatnya
adalah ia telah mati sebelum ajal menjemputnya. Karena ruhaninya telah mati tak
dapat lagi melihat kebenaran.
Sebagai surat yang diturunkan di Mekkah, surat Yasin sarat dengan tema
tentang aqidah dan keimanan. Hampir tidak dijumpai masalah Fiqh yang secara jelas
diungkapkan, kecuali sebagai pengembangan dari tafsir ayat. Pada surat Yasin,
minimal ada 5 rukun iman yang secara nyata diungkapkan Allah , yakni :
1. Tentang Iman kepada Allah.
Diantaranya diungkapkan dengan menggugah manusia untuk memperhatikan
bukti kekuasaan-Nya yang terdapat di semesta alam, pada peredaran bulan,
dan matahari, dan lain sebagainya.
2. Tentang Iman kepada Malaikat
Khususnya tentang Malaikat Ishrafil sang peniup sangkakala yang secara
tersirat diungkapkan dalam QS. 36 Yasin : 51.

94
3. Tentang Iman kepada Kitab
Khususnya tentang kebenaran Al-Qur’an yang penuh hikmah.
4. Tentang Iman kepada Rasul
Khususnya tentang Kebenaran Muhammad saw sebagai rasul utusan Allah.
Juga berita tentang adanya para Rasul lain sebelum Nabi Muhammad
diantaranya yang diutus kepada Kaum Anthakiyyah.
5. Tentang Iman kepada Hari Qiyamat
Diantaranya tentang adanya Yaumul Ba’ats, Yaumul Hasyr, Neraka Jahannam
dan Surga dengan segala kenikmatannya.

Dan tema aqidah ini diungkapkan dalam Surat Yasin dengan berbagai cara dan
gaya bahasa yang berbeda. Baik melalui kisah, ayat-ayat kauniyyah ataupun melalui
berita tentang adanya kehidupan di masa yang akan datang setelah dunia ini hancur
sebagaimana pada surat-surat lainnya.

Surat Yasin juga menggugah nurani manusia untuk banyak bersyukur dan
bertasbih atas karunia-Nya. Minimal ada 20 (dua puluh) karunia Allah yang
disebutkan dalam Surat Yasin. Dan pada 114 Surat lain dalam Al-Qur’an, berbagai
karunia ini kembali diungkapkan baik sebagiannya ataupun keseluruhan dari ke-20
karunia tersebut.

Jika surat lain memuat kisah para Nabi dan Rasul Utusan Allah serta
ummatnya yang beriman maupun yang kufur, maka Surat Yasin pun demikian pula. Ia
memuat kisah tentang Para Rasul bagi Kaum Anthakiyyah, memuat sosok Habib
An-Najar sebagai simbol pengikut para Rasul yang bertaqwa, yang nasibnya
demikian baik karena gugur sebagai Syuhada. Padahal dalam Al-Qur’an ayat yang
memuat tentang karunia bagi para syuhada hanya terdapat dalam Surat Al-Baqarah
dan Ali Imran saja. Dua surat ini digelari Rasul sebagai Az-Zahraawaini (Dua
Bintang Yang cemerlang) yang keduanya dari golongan ayat Qur’an merupakan
pemberi syafaat terbesar di akherat nanti. Barangkali ini mengindikasikan bahwa
kedudukan derajat surat Yasin adalah mendekati kedua surat agung ini. Apalagi
pada HR. Ahmad dari Maqil bin Yasar ra., Rasulullah setelah menyebut kemuliaan
Surat Al-Baqarah sebagai “Sanamul Qur’an wa Dzirwatuhu” (Punggung Al-
Qur’an dan Puncaknya) kemudian menggandengnya dengan menyebut Surat Yasin
sebagai Qalbul Qur’an (Hatinya Al-Qur’an).

Nasib Kaum yang ingkar yang demikian mengerikan yang banyak


diungkapkan oleh Allah dalam berbagai ayat Qur’an seperti Nasib Kaum ‘Ad,
Tsamud, Luth, dan Madyan memang tidak dijumpai dalam Surat Yasin. Tetapi Surat
Yasin yang agung ini mengungkapkan pula nasib mengerikan dari Kaum Anthakiyyah
yang dengan satu teriakan saja telah memusnahkan seisi ngeri. Sehingga dapatlah
dikatakan bahwa surat Yasin pun memuat berita tentang azab Allah kepada para
pendusta-Nya sebagaimana surat lainnya.

95
DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Qur’anul Karim
2. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1989.
3. Tafsir Al-Jalalain, Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi
4. Al-Jami’ li Ahkamil Qur’anil ‘Adzhim (Tafsir Qurthubi), Imam Qurthubi
5. Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzhim (Tafsir Ibnu Katsir), Imam Abu Fida Ismail Ibnu Katsir
6. Tafsir Surat Yasin, Syeikh Hamami Zadah
7. Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, Imam Jalaluddin As-Suyuthi
8. Qishashul Anbiya, Imam Abu Fida’ Ismail Ibnu Katsir
9. Ar-Ruh Li Ibnil Qayyim, Imam Syamsuddin Ibnul Qayyim Aj-Jauzy
10. Mafahim Yajib An-Tushahhah, DR. Sayyid Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki
11. At-Tafsir wa Manahijuh, DR. Mahmud Basuni Fawdah
12. As-Sirah An-Nabawiyyah, Syeikh Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi
13. Bulughul Maram, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani
14. Subulus Salam, Imam Ash-Shon’ani (Muhammad bin Ismail Al-Kahlani)
15. Mausuu’atul Ijma’, Sa’di Abu Habib
16. Mukhtarul Ahadits An-Nabawiyyah, Sayyid Ahmad Al-Hasyimi
17. Fadhoilul A’mal, Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi
18. Syarafu Ummatil Muhammadiyyah, DR. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki
19. Tanbihul Ghafilin, Imam Abu Laits As-Samarqandiy
20. Al-Habaik fi Akhbaril Malaik, Imam Jalaluddin As-Suyuthi
21. Al-‘Aqaidul Islamiyyah, Syeikh Sayyid Sabiq
22. Qamus Arab-Indonesia, Prof. DR. Mahmud Yunus, 1989
23. Studi Islam, Prof DR. Hamka, 1985
24. Al-Islamu wal ‘Ilmu Nadzharatun Mu’jizatun, DR. Muhammad Al-Khathib
25. Pusaran Energi Ka’bah, Ir. Agus Mustofa
26. Buku Saku ESQ, Ary Ginanjar Agustian
27. Ath-Thariq Ilal Jannah, Abdul Qadir Ahmad ‘Atha
28. Quranic Science, Afzalur Rahman
29. Ummat Bertanya Ulama Menjawab, KH. Drs. Ahmad Dimyati Badruzzaman
30. Tafsir Al-Azhar, Prof DR. Hamka
31. Syarah Riyadhul Badi’ah, Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi
32. Qalbul Qur’an, Ust. Asep Abdurrahman
33. Muqaranatul Adyan Al-Masehiyyah. Prof DR. Ahmad Syalabi
34. At-Tahbier fit Tadzkiir, Syeikh Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi
35. Arba’in An-Nawawiyyah, Imam Muhyiddin Syaraf An-Nawawi
36. Al-Halalu wal Haramu fil Islami, Prof DR. Yusuf Qardlawi
37. Nashaihul ‘Ibad, Imam Ibnu Hajar Al-Atsqalani
38. Riyadhus Shalihin, Imam Muhyiddin Syaraf An-Nawawi
39. Hadits Qudsi, KH. M.Ali Usman, H.A.A. Dahlan, Prof.Dr.HMD. Dahlan, 1990
40. Alam Qubur (Alam Barzakh), Drs. M. Ali Chasan Umar, 1979

96
BIOGRAFI SINGKAT PENULIS

Agus Gustiwang Saputra, penulis buku ini lahir di


Rengasdengklok Karawang Jawa Barat pada hari Kamis, tanggal 11
Maret 1965. Ia adalah putra TB Ibrohim, seorang tokoh Islam di
Kabupaten Karawang yang dikenal sebagai Ahli Hikmah,
sekaligus tokoh Pergerakan Kemerdekaan yang dikenal sebagai
Komandan pasukan dalam Perang Enam Jam pasca kemerdekaan
melawan Belanda di tepian irigasi yang memanjang antara
Rengasdengklok dengan Batujaya.
Mengenyam pendidikan umum tertinggi di Jurusan
Perikanan Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta. Pendidikan dasar agama ia
dapatkan disamping dari ayahandanya sendiri adalah di Madrasah Diniyyah Al-
Huda dan Al-Khoiriyyah Rengasdengklok. Kecenderungannya kepada Ilmu Agama,
terjadi pada saat menempuh kuliah di Yogyakarta. Aktifitasnya di HMI Komisariat
Fakukltas Pertanian UGM dan interaksinya dengan para tokoh Cendekiawan Muslim
seperti DR. HM. Amien Rais dalam Pesantren I’tikaf Ramadhan (PIR) II tahun 1985
di Yayasan Shalahudin Yogyakarta, telah turut serta menumbuhkan ghirah
keislaman dalam dirinya.
Tetapi keseriusannya untuk benar-benar mempelajari Ilmu Agama terjadi
saat ia menjadi “santri terbang” di Pondok Pesantren Payaman Magelang, satu
bentuk follow up dari pertrainingan yang diikutinya di FOSI Yogyakarta. Pada
periode inilah, ia berinteraksi dengan para Kyai dari Kaum Nahdhiyyin. Selain
berguru kepada para Kyai di Payaman seperti KH. Ahmad Mukhlisun (pimpinan
Ponpes Sirajul Mukhlashin Payaman) yang sekarang menjadi pimpinan tertinggi
Jama’ah Tabligh di Indonesia, ia juga menimba ilmu kepada KH. Machfud
Ridwan Salatiga, yang mengelarinya sebagai “santri emprit”. Karena bagi Kyai
Machfud, penulis buku ini tidak pernah benar-benar menjadi seorang santri.
Interaksi berikutnya di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an terjadi
dengan tokoh harakah islamiyyah, diantaranya adalah Ust. Ir. Ismail Yusanto, yang
hari ini dikenal sebagai Jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pada tahapan ini, ia
benar-benar tersadar bahwa ia harus turut serta memikul tanggung jawab agama ini
dengan sebaik-baiknya, dengan mengambil jalan da’wah sebagai jalan
kehidupannya.
Barakah dari mimpinya berjumpa dengan Rasulullah saw. saat ia telah
hijrah ke Lombok, pada tahun 1997, telah mendorongnya untuk secara otodidak
mengkaji Islam secara mendalam, disamping belajar mengkaji Tafsir Al-Qur’an
kepada TGH. Drs. Mustami’uddin Ibrahim, SH. Kemudian untuk memantapkan
pilihannya bergelut di jalan da’wah, pada tahun 2000 bersama sang istri, ia
mendirikan Majlis Ta’lim Thariqul ‘Izzah di Kota Mataram. Dan bersama sang
istri pula, ia sendiri yang mengasuh sekaligus mengajarnya hingga saat ini.
Sebelumnya di tahun 1995 mendirikan TPQ Miftahus Sa’adah di
Perumahan BTN Pengsong Perampuan Labuapi Lombok Barat. Kemudian
mendirikan Lembaga Pendidikan dan Sosial (LPS) Thariqul ‘Izzah pada tahun 2005,
yang salah satu unit aktifitasnya adalah mendirikan Taman Kanak (TK) Thariqul
‘Izzah di Perumahan Bumi Kodya Asri Jempong Karang Pule Mataram.

97

Anda mungkin juga menyukai