Anda di halaman 1dari 27

I.

PENDAHULUAN

1
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan
dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut
diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor1. Prevalensi asma pada anak berkisar
antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia
sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal
tahun 60-an, bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma,
kemudian pada 70-an berkembang menjadi proses inflamasi kronis,
sedangkan tahun 90-an selain inflamasi juga disertai adanya
remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut berdampak pada
tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya
diarahkan untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian
bronkodilator, kemudian berkembang dengan antiinflamasi sehingga
obat antiinflamasi dianjurkan diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat
ringan.3
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan
overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas


dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala
tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung
pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.4

2.2 Anatomi dan Fisiologi Pernapasan5,6

Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung


oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini
disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran
pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona konduksi dan respiratorius. Zona
konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis
dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveolus terminalis.
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran

3
mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari
mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel
goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet
dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-
rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus akan
terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk
kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara
inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah,
sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu
tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan pada manusia


Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan
antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring merupakan saluran udara dan
bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan
rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita

4
suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran
pernafasan bagian atas dan bawah.
Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara
kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di bagian
sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang
hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-benda
asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat
yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat
jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan lebih
vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga cabang.
Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin serta
mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung
alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara mulai dari hidung
sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona
konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang mengandung lebih
banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari
bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang
merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi menjadi 3
proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara
melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan
karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan
antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua adalah difusi yaitu
masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses

5
ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi tekanan parsialnya ketempat
yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan
parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida
darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada karbondioksida di alveoli. Proses
ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transpor aliran darah.

2.3 Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia
13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih
banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan
pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir.
Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan
NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan,
laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia
0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada
anak akibat asma jarang.6

2.4 Patogenesis7

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus,
sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang

6
khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara
dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran
respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada
mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
asmanya ringan atau tidak bergejala.
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma
reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti
histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan
tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus,
hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan
akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut.
Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan.
Berikut gambar patogenesis asma menurut GINA:

Gambar 2. Patogenesis asma

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang

7
meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara
klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan.
Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan
penatalaksanaan kurang adekuat.
Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus
merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal
dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah
sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang
sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen
bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak,
jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia
kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan
lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
Berikut gambar proses inflamasi dan remodeling pada asma:

Gambar 2. Proses inflamasi dan remodelling pada asma

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan

8
epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat
antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi
berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses
remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga
atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil
dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling
telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi
dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah
terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.

2.5 Patofisiologi8

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini


merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada
mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari
yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus,
dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan
obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung
obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi
mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume
penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma
yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik
anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap
peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang
lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos
saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran
ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.
Berikut patofisiologi dari asma:

9
Pencetus
Pencetus
(alergen
(alergen debu
debu rumah
rumah dan
dan serbuk
serbuk sari
sari yang
yang tersensitisasi,
tersensitisasi, iritan
iritan seperti
seperti udara
udara
dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga)
dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga)

Bronkus

• Bronkokonstriksi
• Edema
• Hipersekresi

Gejala/Serangan

2.6 Manifestasi klinis dan Diagnosis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasa
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik
seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan
atopi pada pasien atau keluaeganya dapat menunjang penegakan diagnosis.9
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan
adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau
tanda yang patut diduga suatu asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator

10
dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis,
sangat menunjang diagnosis.
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan
diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi
adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat
sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien
baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu
dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala
respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan
fokal paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu
dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu
mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji
imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan
tindakan bronkoskopi.1,2

Berikut ini alur diagnosis asma pada anak:

11
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin

Patut diduga asma: Tidak jelas asma:


Episodic Timbul masa neonatus
Nocturnal Gagal tumbuh
Musiman Infeksi kronik
Pasca aktivitas fisik Muntah/tersedak
Riwayat atopi Kelainan fokal paru
penderita/keluarga Kelainan sistem
kardiovaskular

Jika memungkinkan, periksa Pertimbngkan pemeriksaan:


peak flow meter atu Foto roentgen toraks dn sinus
spirometer ntuk menilai Uji faal paru
reversibilitas (> 15%), Respons terhadap bonkodilator
variabilitas(> 15%) Uji provokasi bronkus
Uji keringat
Uji imunologis
Berikan bronkodilator Pemeriksaan motilitas silia
Tak berhasil
Pemeriksaan refluks GE

Berhasil
Mendukung diagnosis lain
Tidak mendukung
Mungkin asma diagnosis lain
Pemeriksaan
Tentukan derajat&pencetusnya Diagnosis&pengobatan alternatif

Berikan obat anti asma: Pertimbangkan asma Bukan asma


Tidak berhasil, nilai ulang sebagai penyakit penyerta
pengobatan dan ketaatan berobat

2.7 Klasifikasi

12
Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana
lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu
asma intermiten, asma persisten, ringan, asma persisten sedang, dan asma
persisten berat.
Berikut ini tabel klasifikasi asma pada anak berdasarkan GINA:
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan GINA1
Gejala/hari Gejala/malan PEF atau FEV1
PEF variability
Derajat 1 < 1 kali perminggu < 2 kali sebulan > 80%
Intermiten Asimtomatik dan < 20%
nilai PEF normal
diantara serangan
Derajat 2 > 1 kali perminggu > 2 kali sebulan ≥80%
Persisten tapi < 1 kali perhari 20-30%
ringan Serangan dapat
mengganggu aktifitas
Derajat 3 Sehari sekali > 1 kali seminggu 60%-80%
Persisten Serangan > 30%
sedang mengganggu aktivitas
Derajat 4 Terus menerus Sering < 60%
Persisten berat sepanjang hari > 30%
Aktifitas fisik
terbatas

13
Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu
asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel
klasifikasi asma berdasarkan PNAA:
Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA

Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten


kebutuhan obat jarang sering
dan faal paru
Frekunsi serangan < 1x/bulan > 1x/bulan Sering
Lamanya serangan < 1 minggu > 1 minggu Hampir sepanjang
hari, hampir tidak
ada remisi
Intensitas serangan Biasanya ringan Biasanya sedang Biasanya berat
Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala Siang dan
malam
Tidur dan aktifitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
Pemeriksaan fisik Normal Mungkin Tidak pernah
terganggu normal
Obat pengendali Tidak perlu Perlu, steroid Perlu, steroid
(anti inflamasi)
Uji faal paru PEF/VEP1 > 80% PEF/VEP1 80- PEF/VEP1 < 60%,
(diluar serangan) 60% variabilitas 20-
30%
Variabilitas paru Variabilitas >15% Variabilitas >30% Variabilitas >50%
Selin klasifiksi klinis diatas, menurut PNAA asma juga dapat dibedakan
berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang,
dan berat. Berikut tabel klasifikasi asma menurut derajat serangannya:

14
Tabel 3. klsifikasi asma menurut derajat serangan

2.8 Diagnosis banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada
daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit
komorbid yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.9

15
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan,
mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan
jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan
oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.9
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak10
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Infeksi respiratorik bawah viral berulang
- bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran
respiratorik
- Intratorakal
- Aspirasi benda asing
- Sindrom diskinesia silier primerDefisiensi imun
- Penyakit jantung bawaan

16
2.8 Penatalaksanaan11
1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien
dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan
penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan
dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat
hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secaa
bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan informasi
sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara menghindari
pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan
penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba
sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat
diberikan pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga
memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana pengelolaan
asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek
samping minimal.
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita
menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara:
- penggunaan obat-obatan dengan benar
- pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana
yang sudah diprogramkan;
- segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif

17
dengan dokter yang memeriksa;
- menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan
alergen dan iritan;
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan
mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan
Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan
perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi
sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada
malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah satu
penatalaksanaan asma pada anak
2. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang
penting. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap saluran
respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan
hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi
rangsangan terhadap saluran respiratorik.
3. Tatalaksana asma jangka panjang5
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci
tujuan yang ingin dicapai adalah :3
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

18
a. Asma episodik jarang12

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-
agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma
biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak
yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik
penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat
hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu
penggunaan β-agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan
efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi
dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma
Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan
lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau
serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah
adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik
maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.

19
b. Asma episodik sering12

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa


menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic
sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang
sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai
standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis
100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu
inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu
untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan
setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan
dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau
gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua
yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk
dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit
asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka
derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan
penggunaannya.

20
c. Asma persisten12

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan


menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-
400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan
menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting
β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau
ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR).
Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala
asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis
kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
>600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau
ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya.
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak
mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati
karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya
peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi.

21
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan
setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe
rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen
sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena
tidak mempunyai manfaat yang berarti.16
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal
atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap
diteruskan.3
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan
usia
Tabel 3. anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usia
Usia Alat inhalasi
< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Alat hirupan (MDI) dengan
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser MDI dengan spacer Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler)
> 8 tahun Nebuliser MDI (metered dose inhaler) Alat hirupan bubuk Autohaler

4. Pengobatan eksaserbasi akut12


Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma
secara progresif. Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk
meredakan penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan
tatalaksana mencegah kekambuhan.

Tatalaksana Serangan

22
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis
atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena
onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat
golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan
atau tanpa spacer atau nebulizer.
Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau
bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.
2. Tatalaksana di ruang emergency
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat
serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara
nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi.
Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian
ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini
sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat
serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini pentalaksanaan serangan
asma sesuai derajat serangan:
a. Serangan Asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat
menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma
ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat
dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang.
Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang
harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi
virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari.
Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu
24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan
pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.

23
b. Serangan Asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali
pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan
pasien perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan
walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien
yanga akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur
parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).
Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.
c. Serangan Asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien
tidak menunjukkan respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada
keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala
dan ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif.
Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk
saat dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan
dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis,
diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi
terhadap asidosis dan pada pasien dengan serangan berat
dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung
dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan
pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas
hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg). Pada
ancaman henti napas diperlukan ventilsi mekanik.
Nebulisasi dengan β- agonis+antikolinergik dengan oksigen
dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian
mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat
diperlebar menjadi 4-6 jam.

24
Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1
mg/kg/BB/hari per bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin
intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut:
- Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya,
diberikan aminofilin dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB
dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram fisiologis
sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya
(kurang dari 4 jam), dosis yng diberikan adalah
setengah dari dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan
dipertahankan sebesar 10-20μ/ml.
- Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan
sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam
hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan kortikosteroid
diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat
dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral)
yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu,
steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik
rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang tatalaksana.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and


prevention asthma in children. 2005
2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.
Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005.
FKUI
3. Martinez FD. Links between peditric and adult asthma. J Allergy Clin
Immunol 2001; 107: S449-55.
4. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta;
2004.
5. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI.
6. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006
7. Davies DE, Wick J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway
remodeling in asthma: New insights. J Allergy Clin Immunol
2003;11:215-25.
8. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR
9. Kliegman et,al. Nelson Text Book of Pediatric 18th ed. Elsevier. 2007
10. Sidhartani, M. Peran edukasi pada penatalaksanaan asma pada anak. FK
UNDIP
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
1023/MENKES/SK/XI/2008. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. 2008
12. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI jilid 1.
2010

26
27

Anda mungkin juga menyukai