Anda di halaman 1dari 9

Ilmu Sosial di Indonesia

Perlunya Pendekatan Struktural

Arief Budiman

Ilmu-ilmu sosial sebenarnya tidak bebas nilai. Di Indonesia misalnya, ilmu-ilmu sosial
cenderung untuk mendukung sistem pemerintahan yang ada, yang menguntungkan
sekelompok orang di dalam masyarakat. Jadi ahli-ahli ilmu sosial kita mendukung kelompok
yang diuntungkan oleh sistem ekonomi politik yang ada. Tetapi ini tidak berarti ahli-ahli ilmu
sosial kita merupakan antek bayaran kelompok tersebut. Ahli-ahli ilmu sosial kita adalah
orang-orang jujur yang percaya pada teori-teori yang mereka kembangkan. Dan hanya
“kebetulan” teori ini mendukung kelompok sosial yang disebutkan di atas.
Teori ini adalah teori modernisasi. Teori ini terutama muncul di Amerika Serikat dan
berkembang di sana pada tahun 1960-an. Teori Modernisasi yang didasarkan pada teori Max
Weber muncul sebagai upaya pemerintah untuk “menolong” negara-negara korban Perang
Dunia II. Upaya “pertolongan” ini sebenarnya juga menyangkut kepentingan Amerika
sendiri. Amerika tidak bisa kaya sendirian saja. Dia butuh kencan untuk berdagang. Maka
mula-mula Amerika menolong negara-negara Eropa melalui Marshal Plan yang terkenal itu.
Ternyata berhasil, kemudian Jepang, juga berhasil. Kemudian negara-negara miskin lainnya,
yang dikenal sebagai negara-negara Dunia Ketiga. Di sini terjadi kegagalan, meskipun
bantuan modal dan teknologi sudah diberikan. Maka muncul pertanyaan: Mengapa?
Ahli-ahli ilmu sosial Amerika berusaha untuk menjawabnya. Mereka mulai
memperbandingkan perbedaan dan persamaan negara maju dan negara yang terbelakang.
Mereka menemukan bahwa di negara-negara terbelakang ada faktor-faktor yang
menghambat, yakni nilai-nilai tradisional yang ada. Misalnya “sikap tidak menghargai
waktu”, “kurang mau bekerja keras”, “lebih senang bersantai”, “suka menghamburkan uang
untuk konsumsi, bukan untuk investasi”, dan sebagainya. Maka dikembangkanlah teori
modernisasi, yang pada dasarnya adalah usaha untuk mengenali faktor-faktor penghambat ini
dan menemukan cara-cara untuk mengatasinya.
David McClelland misalnya mengatakan bahwa orang-orang di negara terbelakang tidak
memiliki mental berprestasi. Orang-orang di sini cenderung untuk menyerah kalah
menghadapi kesulitan. Sebabnya, menurut McClelland, ada pada cerita anak-anak yang
beredar di negara-negara tersebut. Cerita anak-anak di sini cenderung untuk menjadi
fatalistis, pasrah dan pesimistis. Tokoh-tokoh dalam cerita cenderung untuk melihat “sudah
nasibnya” kalau mereka gagal. Kurang ada usaha yang gigih untuk mengatasi kesulitan.
Tetapi McClelland jelas: Cerita anak-anak ini harus diubah. Dan dia memang melakukan
eksperimen di India dengan mengubah cerita anak-anak ini. Cerita-cerita menjadi penuh
perjuangan yang tak putus-putusnya. Istilah pasrah dan menyerah dikeluarkan dari
perbendaharaan cerita-cerita tersebut, diganti dengan kegigihan berusaha yang tak pernah
berhenti. Maka terciptalah pada anak-anak ini apa yang disebut sebagai Need For
Achievement atau yang dikenal dengan singkatan N.Ach. Anak-anak ini ternyata punya daya
kemauan untuk berprestasi. Mereka sudah menjadi wiraswasta-wiraswasta, karena sudah
terkena virus N.Ach. ini.
Variasi lain dari teori modernisasi adalah teori yang dikembangkan oleh Daniel Lerner.
Dia mengambil contoh seorang petani Turki yang ketika ditanya apa yang akan diperbuatnya
kalau dia menjadi Presiden Turki, petani ini ternyata jadi bengong dan tidak bisa bicara apa-
apa. Dari kenyataan ini Lerner menarik kesimpulan bahwa petani ini tidak bisa melakukan
empathy, tidak bisa menempatkan dirinya dalam jabatan presiden, karena itu merupakan

1
sesuatu yang jauh dari dunianya. Dunia petani tersebut hanyalah desanya. Dia seperti katak di
dalam tempurung, terkungkung di dunianya yang kecil.
Petani ini perlu dimodernkan dengan memperluas dunianya. Orang-orang modern adalah
orang-orang yang luas dunianya, yang bisa menempatkan dirinya di mana saja. Tanya saja
petani di Eropa atau di Amerika apa yang akan dilakukannya kalau dia jadi presiden. Petani-
petani ini barangkali akan bercerita selama dua jam tentang rencana-rencananya. Inilah
bedanya dengan petani Turki yang masih tradisional itu.
Cara memodernkan petani tradisional menurut Lerner adalah dengan membuat mereka
melek huruf. Dengan bisa membaca, mereka jadi sanggup membaca koran. Dengan membaca
koran, dunianya jadi diperluas. Dia bisa memikirkan tentang persoalan-persoalan lain, bahkan
memberi pendapat-pendapat. Ini adalah semacam partisipasi. Kemudian barangkali dia jadi
punya ambisi pergi ke kota dan belajar lebih banyak. Terjadi urbanisasi. Demikian
seterusnya. Petani ini sekarang sudah masuk ke dalam kebudayaan modern. Dia jadi punya
ambisi. Dia jadi orang yang memiliki N.Ach-nya McClelland. Dia sudah menjadi orang
modern. Dari orang-orang seperti inilah pembangunan masyarakat dan negara bisa
diharapkan.
Dari uraian di atas jelas bahwa pada teori modernisasi, yang penting adalah mengubah
mentalitas manusia, mengubah kebudayaan masyarakat, dari yang tradisional kepada yang
modern. Teori ini sangat kuat mempengaruhi ahli-ahli ilmu sosial kita dewasa ini.
Dua Sifat Teori Modernisasi
Ada dua sifat teori modernisasi. Pertama, teori ini sangat menekankan pada psikologi
(mentalitas individu) dan kebudayaan setempat sebagai penyebab terhambatnya
pembangunan. Kedua, mentalitas dan kebudayaan yang menjadi biang-keladi hambatan ini
adalah mentalitas dan kebudayaan tradisional, jadi yang berasal dari masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, sebab musabab keterbelakangan sebuah negara ada di di dalam negara itu
sendiri. Negara-negara lain tidak ada sangkut-pautnya dengan sebab-sebab keterbelakangan
tersebut. Marilah kedua sifat ini kita kaji secara lebih mendalam. Kesimpulan pertama dari
teori modernisasi, yakni bahwa persoalan pembangunan kuncinya ada pada mentalitas dan
kebudayaan manusia setempat, memberikan pendidikan sebagai alat terapinya. Orang-orang
dan masyarakat di negara-negara terbelakang harus mendapatkan pendidikan supaya mereka
bisa terlepas dari mentalitas dan kebudayaan tradisionalnya. Jadi menurut teori ini, orang-
orang di negara terbelakang miskin, karena mereka malas. Mereka harus dididik untuk
menjadi rajin, dan kalau ini berhasil, maka kemiskinan bisa dihilangkan.
Persoalannya adalah, apakah kemiskinan itu disebabkan oleh kemalasan mereka, atau
sebaliknya: kemalasan mereka disebabkan kemiskinan mereka? Tampaknya pertanyaan ini
aneh, tetapi sangat penting. Kita sekarang memiliki asumsi baru bahwa mentalitas malas
disebabkan oleh struktur masyarakat miskin. Coba bayangkan, orang-orang miskin pada
umumnya tertutup kemungkinannya untuk maju. Dia tidak mempunyai tanah, dia tidak
mempunyai modal, dia tidak bisa menyekolahkan anaknya, dia tidak mempunyai koneksi
untuk mencari pekerjaan di kota. Meskipun mereka bekerja keras, tampaknya sulit bagi
mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan ini. Kalaupun mereka bekerja keras, tidak
akan mungkin terkumpul modal yang cukup bisa menarik mereka keluar dari lumpur
kemiskinannya. Karena itu, mereka segan bekerja keras, cukup bekerja untuk mendapatkan
hasil yang bisa menyambung nyawa mereka saja. Lain halnya dengan pedagang-pedagang
besar di kota. Dengan sedikit kerja keras, dengan sedikit kepintaran, mereka bisa memperoleh
keuntungan yang berlipat ganda. Karena mereka memiliki prasarana untuk itu, yakni modal

2
yang besar. Karena dalam masyarakat yang kapitalistis, bukan kerja keras yang membuat
orang jadi kaya, tetapi modal.
Maka jelas kiranya, pendidikan tanpa mengubah struktur masyarakat, tidak akan efektif.
Orang-orang tidak bisa diajarkan menjadi rajin, kalau kerajinan tidak membawa mereka
kemana-mana, karena adanya struktur masyarakat yang membelenggu. Padahal inilah yang
menjadi kata kunci ahli-ahli ilmu sosial kita: pendidikan yang bisa mengubah mentalitas dan
kebudayaan yang tradisional . kita berbicara tentang mentalitas yang tidak cocok untuk
pembangunan, kita melakukan macam-macam penelitian tentang kebudayaan tradisional kita.
Yang tidak atau kurang kita lakukan adalah penelitian ataupun pengkajian struktur
masyarakat kita, yakni tentang bagaimana kelompok pemilik modal melakukan eksploatasi
kepada mereka yang miskin, sehingga bagi mereka yang miskin, betapa rajin pun mereka
bekerja, nasib mereka tidak akan banyak berubah.
Sifat atau kesimpulan kedua dari teori modernisasi adalah bahwa persoalan macetnya
pembangunan di suatu negara harus dicari sebab-musababnya di dalam negeri itu sendiri.
Seperti sudah dikatakan di atas, kemacetan pembangunan di negara-negara terbelakang tidak
pernah disangkutkan dengan tata ekonomi dunia, yang secara struktural menghambat bahkan
menutup kemungkinan negara-negara miskin untuk berkembang.
Penganut teori modernisasi sering berkata, kalau Inggris, Jerman, Perancis, Amerika
Serikat, Russia, Jepang dan sebagainya itu bisa melakukan pembangunan, mengapa negara-
negara terbelakang sekarang tidak? Mengapa kita tidak bisa meniru Inggris atau Jepang?
Jawabannya barangkali adalah karena keadaan dunia, maksudnya tata ekonomi dunia, sudah
berubah.
Ketika Inggris melakukan modernisasi dengan revolusi industrinya, modal untuk
melakukan industri tidaklah terlalu banyak, sehingga negara ataupun modal luar negeri tidak
usah ikut campur. Ditambah lagi, waktu itu pasar dunia masih terbuka luas, belum ada yang
memonopolinya. Dengan demikian masalah modernisasi dan industrialisasi memang
merupakan masalah teknis, berupa kewiraswastaan, keterampilan, administrasi, dan
sebagainya. Belum ada keterbatasan struktur seperti yang sekarang dihadapi oleh negara-
negara terbelakang.
Ketika Jerman, kemudian Italia, kemudian Russia, kemudian Jepang sebagai late
industrialized dan late late industrialized dan late late late industrialized countries (istilah
Albert Hurschman, artinya negara-negara industri yang lebih lambat dan yang lebih lebih
lambat dan yang lebih lebih lebih lambat mulainya), persoalan mereka sudah menjadi
berlainan. Modal yang kurang (karena industri membutuhkan modal yang lebih besar bagi
negara yang terlambat melakukan industrialisasi), serta keadaan pasar dunia yang sudah
dikuasai, meskipun belum mutlak oleh negara-negara industri yang lebih dulu, membuat
campur tangan negara dibutuhkan, baik untuk menghimpun modal, maupun untuk melakukan
kolonisasi kalau perlu ataupun untuk melakukan proteksi pasar dalam negeri. Begitulah,
campur tangan negara di Jerman sudah lebih banyak ketika negara ini mengadakan
industrialisasi, di Italia lebih banyak lagi, juga di Russia dan akhirnya di Jepang.
Nah, sekarang coba bayangkan keadaan negara-negara terbelakang kini. Utuk melakukan
industrialisasi yang sesungguhnya (bukan sekedar industri substitusi impor), modal yang
dibutuhkan tidak akan pernah bisa dikumpulkan oleh pengusaha-pengusaha swasta dari
negara-negara terbelakang. Negara, atau perusahaan-perusahaan asing harus dilibatkan.
Bahkan yang sering terjadi adalah negara yang melakukan industrialisasi berat ini. Dengan
demikian kalau yang dianut adalah sistem kapitalisme, kapitalisme negara-lah yang tumbuh,
bukan kapitalisme swasta seperti halnya di Inggris pada abad yang lalu. Tetapi yang lebih

3
penting lagi adalah masalah pasaran dunia. Pasar dunia sudah jenuh, dikuasai oleh negara-
negara yang sudah mapan industrinya. Hampir tidak mungkin, kalau tidak mau dikatakan
tidak mungkin sama sekali, bagi negara terbelakang untuk menggeser dominasi negara-
negara industri di pasar dunia. Barang-barang industri yang bisa masuk ke pasar dunia dari
negara-negara terbelakang hanyalah barang-barang yang sudah tidak diproduksikan lagi di
negara-negara industri mapan seperti misalnya pakain jadi, sepatu, mainan kanak-kanak
sederhana, komponen-komponen alat-alat listrik, dan sebagainya. Inilah barangkali sebabnya,
di samping sebab-sebab lainnya, mengapa negara-negara Arab anggota OPEC tidak mampu
melakukan industrialisasi, meskipun mereka memiliki modal yang berli mpah, dan teknologi
yang mereka bisa beli dari negara-negara maju.
Maka, merupakan mimpi yang besar, yang tidak akan bisa jadi kenyataan, kalau kita
berkata kita bisa mengulangi kisah sukses Inggris atau Jepang dengan metode pembangunan
yang sama. Pernyataan seperti ini adalah pernyataan yang ahistoris, yang tidak mau
menyadari bahwa pembangunan sekarang memiliki kondisi sejarah yang berlainan dengan
pembangunan pada abad ke sembilan belas, atau permulaan abad ke dua puluh. Dan ini jelas
bukan sekedar masalah mentalitas atau kebudayaan yang menghambat dari bangsa-bangsa
yang macet pembangunannya itu. Ini adalah masalah struktur ekonomi dunia yang sudah
menutup pintunya bagi pendatang-pendatang baru.
Teori Modernisasi dan Imperialisme
Teori modernisasi merupakan teori ilmu sosial yang dominan di negara-negara
kapitalisme barat yang maju. Alasannya cukup jelas. Teori ini tidak membicarakan dampak
negatif dari penanaman modal asing. Bahkan sebaliknya, teori modernisasi melihat modal
asing sebagai bantuan keuangan dan teknologi dari luar untuk membantu negara-negara yang
terbelakang. Bahkan perusahaan-perusahaan asing yang ada di negara-negara terbelakang
dianggap membantu menghancurkan nilai-nilai tradisional yang menghambat, serta
mengubah mentalitas penduduk menjadi modern. Teori ekonomi ganda (dual economy) dari
Boeke misalnya berbicara tentang kota (yang biasanya banyak perusahaan dan orang-orang
asing) sebagai sumber modernisasi bagi pedesaan.
Yang tidak dibicarakan adalah bagaimana modal asing masuk menjadi pengganti atau
substitusi, bukan pendamping atau suplemen bagi modal di dalam negeri. Modal asing
menggeser modal nasional yang ada, karena modal asing masuk ke sektor-sektor yang paling
produktif dari ekonomi negara tuan rumah. Modal asing tentu saja tidak mau masuk ke sektor
yang “kurus”. Karena itu, modal asing sering menghancurkan usaha-usaha domestik yang
ada. Modal asing memang membuka kesempatan tenaga kerja yang baru, tetapi kita juga
harus memperhatikan beberapa jumlah kesempatan kerja yang terpaksa ditutup akibat
masuknya modal asing. Misalnya, masuknya perusahaan transnasional (TNC) Coca Cola. Di
Indonesia, perusahaan ini berhasil mematikan banyak perusahaan limun kecil yang tadinya
banyak bertebaran di kota-kota. Perusahaan Coca Cola sendiri memang membuka
kesempatan kerja baru, tapi jumlah orang yang kehilangan kerja akibat adanya perusahaan ini
harus juga diperhitungkan. Mungkin jumlah orang yang kehilangan kerja ini lebih besar.
Dengan masuknya TNC dengan modalnya yang kuat, sistem manajemennya yang
superior, pasaran dunianya yang terjamin, maka terjadilah internasionalisasi perekonomian
negara-negara terbelakang. Para pemilik modal di negara-negara tersebut lebih senang
bekrjasama dengan TNC daripada membuka usaha sendiri. Dan dalam usaha mendapatkan
perlindungan politik dari negara terbelakang, maka pengusaha-pengusaha TNC memang
menbutuhkan partner-partner pengusaha nasional. Karena itu, tidak mengherankan kalau
pengusaha-pengusaha di negara-negara terbelakang yang bekerja sama dengan TNC adalah

4
elite politik negara tersebut, atau pengusaha-pengusaha yang mempunyai hubungan akrab
dengan elite politik yang berkuasa.
Pengusaha-pengusaha domestik yang sudah di-internasional-kan ini kemudian
bertingkah laku internasional pula. Dia lebih mementingkan perusahaan dari pada
kepentingan negaranya. Dia bergaul secara internasional, dan berkonsumsi secara
internasional, karena gajinya pun berskala internasional. Semua ini merupakan sebuah akibat
yang wajar dari sebuah proses internasionalisasi perekonomian negara-negara terbelakang.
Maka, yang terjadi sebenarnya adalah penghancuran secara struktural kemandirian
perekonomian dalam negeri negara-negara terbelakang itu. memang, dengan masuknya TNC,
negara-negara terbelakang ini mengalami peningkatan produksi, dus pertumbuhan
ekonominya tampak meningkat dengan cepat. Tetapi yang harus kita tanyakan adalah dalam
struktur perekonomian yang bagaimana pertumbuhan ekonomi itu diperoleh. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi bukanlah ukuran bagi sehatnya kehidupan perekonomian suatu bangsa.
Teori modernisasi tidak mempersoalkan masalah-masalah ini. Teori modernisasi lebih
menyibukkan diri bagaimana caranya mendidik orang-orang di negara-negara terbelakang
supaya menjadi wiraswasta. Karena itulah teori modernisasi disukai oleh pengusaha-
pengusaha di negara-negara kapitalis yang maju. Bahkan mereka bersedia menyumbangkan
uangnya untuk membantu peningkatan pendidikan wiraswasta-wiraswasta dari negara-negara
terbelakang ini, sementara mereka mengembangkan ekspansi kapitalisme mereka. Dalam
pengertian inilah teori modernisasi menjadi semacam imperialisme intelektual yang membuat
kaum terpelajar di negara-negara terbelakang bukan saja tidak menentang ekspansi
kapitalisme dunia ke negerinya sendiri, mereka bahkan menganggap bahwa ekspansi itu
merupakan harapan negeri mereka untuk keluar dari kemiskinan. Karena itu mereka
mengelu-elukan kedatangan modal dan bantuan asing.
Ini tidak berarti bahwa para intelektual kita berkomplot secara sadar dengan pengusaha-
pengusaha TNC untuk menyebarkan teori modernisasi. Kaum intelektual di negara-negara
berkembang adalah orang-orang yang jujur, yang ingin memperkembangkan kehidupan
bangsanya. Mereka percaya pada teori modernisasi akan memecahkan persoalan kemiskinan
bangsanya, dan atas dasar kepercayaan itu, mereka akan mendapatkan imbalan-imbalan yang
tidak langsung, berupa pengakuan sebagai ilmuwan, mudah mendapatkan dana-dana untuk
penelitian, mendapatkan beasiswa untuk mengikuti pertemuan-pertemuan internasional di
luar negeri, dan sebagainya. Semua ini, tanpa terasa memperkuat kepercayaan mereka
terhadap teori-teori yang mereka anut, tanpa menyadari ideologi apa yang ada di baliknya.
Perlu dicatat di sini, bahwa ilmu-ilmu sosial yang mempelajari mentalitas dan
kebudayaan tradisional tidaklah berarti tidak berguna. Telaah-telaah semacam itu tentu saja
perlu, karena adanya mentalitas dan kebudayaan tradisional memang merupakan suatu
kenyataan. Di negara-negara miskin memang orang-orang kurang efisien misalnya, kurang
menghargai waktu, terdapat kepercayaan-kepercayaan takhayul yang menghambat
diselesaikannya persoalan secara tepat, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini perlu diteliti dan
dibicarakan. Yang menjadi masalah adalah apabila kaum intelektual ini berhenti sampai di
sini saja, tanpa mau melihat lebih jauh lagi, misalnya aspek struktural dari gejala ini. Di
sinilah letak kemacetan teori modernisasi, sehingga dia berbalik menjadi teori-teori yang
mendukung berekspansinya modal dari negara-negara kapitalis yang maju.
Peta Bumi Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia
Di samping adanya kenyataan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang dipengaruhi secara
kuat oleh teori modernisasi, ilmu-ilmu sosial di Indonesia juga masih belum memiliki peta
bumi teori-teori yang ada. Belum ada usaha untuk mengelompokkan tulisan-tulisan dari ahli-

5
ahli ilmu sosial kita berdasarkan kekhususan teori masing-masing. Ini mungkin disebabkan
karena banyak karya-karya ahli ilmu-ilmu sosial kita baru sampai pada taraf komentar-
komentar pendek tentang suatu gejala kemasyarakatan, bukan sebuah teori yang utuh, lepas
apakah teori itu merupakan teori yang orisinil atau cangkokan. Komentar-komentar tersebut
memang berdasarkan asumsi-asumsi tertentu, tetapi seringkali asumsi-asumsi itu tidak
dikemukakan secara terbuka. Maka kita hanya bisa secara umum saja menggolongkan ahli-
ahli ini, seperti apa yang saya lakukan sekarang, yakni mengelompokkan ke dalam teori
modernisasi.
Akibatnya kita mengalami kekaburan dalam menghadapi ilmu-ilmu sosial kita. Orang
berbicara dengan asumsi yang berlainan, sehingga sulit diperbandingkan. Ibarat kita melihat
banyak pohon-pohon yang tanpa bisa melihat hutannya. Kita tidak tahu apakah dua pohon
yang kita hadapi tumbuh di dalam hutan yang sama, atau di hutan yang berlainan. Kita tidak
melihat garis batas antara hutan-hutan yang ada. Tanpa adanya “Peta Bumi” ilmu-ilmu sosial
ini, kita tidak dapat mengetahui apakah kita sudah maju atau mundur, atau kita masih tetap
jalan di tempat. Juga, kita tidak mengetahui apakah suatu pendapat merupakan pendapat yang
baru, atau pada dsarnya mengulang apa yang sudah diucapkan sebelumnya oleh orang lain.
Kita tidak bisa menempatkan ide-ide yang dilahirkan ke dalam sebuah peta situasi, sehingga
kita tidak bisa mengetahui betul dimana tempat yang sebenarnya dari ide tersebut.
Dalam kerangka ini, saya merasa perlu adanya sebuah lembaga ilmu-ilmu sosial yang
mengkoordinir sebuah usaha untuk menyusun peta situasi ini. Misalnya dengan setiap
ilmuwan diminta mengemukakan asumsi teorinya sendiri. Atau seorang ilmuwan menuliskan
asumsi teori ilmuwan lainnya. Asumsi teori Alfian misalnya dituliskan oleh Taufik Abdullah.
Taufik Abdullah ditulis oleh Koentjaraningrat, dan seterusnya. Dengan demikian kita tahu
hubungan, persamaan dan perbedaan asumsi teori ilmuwan yang satu dari yang lainnya. Kita
akan mendapatkan sebuah “pohon ilmu-ilmu sosial” di Indonesia, sehingga selanjutnya kita
bisa mengetahui bahwa ini pohonnya, ini cabangnya, dan ini rantingnya. Dan yang ini
merupakan pohon baru.
Tanpa adanya “Peta Bumi” Ilmu-ilmu Sosial, kita juga jadi tidak dapat berdialog dengan
perdebatan ilmu-ilmu sosial dunia, karena kita tidak mengetahui kita berada dalam posisi
mana. Kita jadinya hanya bisa mengiyakan, atau tidak menyetujui tanpa jelas dimana
persamaan atau perbedaan kita yang sungguh-sungguh dan mendalam. Ahli-ahli ilmu sosial
kita hanya dikenal di dunia melalui sumbangan data saja, tidak dalam teori. Kita belum ikut
serta dalam pertukaran pendapat tentang teori, seperti halnya ahli-ahli ilmu sosial dari
beberapa negara di Amerika Latin, Afrika dan Asia.
Pentingnya Paradigma Baru bagi Ilmu Sosial di Indonesia
Teori modernisasi mendasarkan dirinya kepada pendekatan yang menekankan faktor-
faktor mentalitas dan kebudayaan. Pendekatan lain seperti yang sudah dibahas di atas adalah
pendekatan struktural. Pendekatan ini lebih menekankan dirinya kepada sistem
kemasyarakatan, dan bahkan kepada individu manusia di dalam masyarakat tersebut, maupun
kepada nilai-nilai kebudayaan yang mempengaruhinya.
Pendekatan atau asumsi yang dipakai sangat penting, karena dia mengarahkan kita
kepada data yang kita inginkan. Dia bagaikan lampu senter untuk melihat suatu daerah
tertentu hanya akan mengarahkan lampu senter itu ke daerah tertentu saja, asumsi lain ke
daerah yang lian. Dengan begitu, kalau kita memakai asumsi lain, data yang tadinya tidak
kelihatan, akan nampak sekarang.
Pendekatan struktural ini memang tidak menguntungkan kepentingan luar negeri yang
menanamkan modalnya ke negara terbelakang. Pendekatan ini, juga tidak disukai pemerintah

6
yang berkuasa, karena dia mempertanyakan kembali sistem sosial yang ada, yang sudah
memapankan pemerintah yang ada. Misalnya, kalau kita katakan bahwa keterbelakangan
bangsa Indonesia bukan karena mentalitas dan nilai-nilai budaya tradisional (seperti yang
dilakukan oleh teori modernisasi), tetapi kita mulai melakukan analisa tentang sistem
perekonomian dunia dengan kolaborator-kolaboratornya di dalam negeri, maka mungkin
terapinya, paling sedikit secara teoritik, adalah perombakan seluruh struktur masyarakat,
termasuk pemerintahnya. Analisa seperti ini jelas tidak menguntungkan orang-orang yang
sudah mapan di dalam sistem tersebut.
Pendekatan struktural sendiri ada dua, yang ortodoks dan yang kontemporer. Yang
ortodoks terutama menekankan kemutlakan peran struktur, individu dan kesadaran cuma
diangkat sebagai variabel penyerta (dependent variable) saja. Misalnya, kemalasan hanyalah
variabel penyerta dari struktur kemiskinan. Kalau strukturnya hilang, maka kemalasan itu
akan hilang juga.
Pendekatan struktural yang kontemporer tidaklah sefanatik itu. Struktur masyarakat
memang menentukan, tetapi individu dan kesadarannya juga mempunyai otonominya sendiri,
meskipun tidak mutlak. Struktur kemiskinan bisa hilang, kemalasan mungkin masih tetap
tinggal. Tetapi tanpa dukungan struktur, mentalitas atau nilai-nilai budaya malas ini menjadi
tidak lebih mungkin diubah. Di sinilah letaknya perbedaan teori modernisasi dengan teori
yang memakai pendekatan struktural. Yang pertama percaya, yang harus diubah dahulu
adalah mentalitas atau nilai-nilai budaya malas, kemudian baru struktur kemiskinan.
Pendekatan struktural menganggap ini tidak mungkin: struktur kemiskinan dahulu yang
diubah, baru mentalitas atau nilai-nilai budaya malas bisa turut diubah.
Tetapi kemudian, pendekatan struktural ini mengalami persoalan. Kalau idea datangnya
dari struktur, bagaimana muncul idea tentang perubahan, yakni idea untuk menghancurkan
struktur itu sendiri? Tentunya idea ini harus datang dari orang-orang di luar struktur tersebut.
Dari penganut teori struktural, jawabannya ialah bahwa struktur bukanlah sesuatu yang
mulus tanpa ada retaknya. Setiap struktur memiliki kontradiksinya sendiri. Misalnya, struktur
masyarakat kapitalis melahirkan adanya klas majikan dan klas buruh yang saling
berkontradiksi. Kedua klas ini memiliki kesadaran yang berlainan, meskipun mereka
dilahirkan oleh struktur yang sama. Jadi, idea tentang perubahan dalam suatu masyarakat
kapitalis datang dari klas buruh, sedangkan idea mempertahankan status quo dimiliki oleh
kaum majikan.
Di samping itu, struktur masyarakat itu sendiri mengalami perubahan. Misalnya pada
zaman feodal, berkat perkembangan teknologi, lahirlah klas pedagang yang semakin
berpengaruh menyaingi klas kaum bangsawan. Satu-satunya cara bagi klas pedagang untuk
memajukan dirinya adalah menghancurkan sistem feodal dan menegakkan sistem kapitalis.
Dan memang itulah yang terjadi di Inggris, di Perancis, dan sebagainya. Maka terlihat bahwa
idea penghapusan struktur yang ada, tetapi muncul dengan perkembangan baru yang muncul
di dalam struktur atau sistem kemasyarakatan yang ada. Perubahan struktur tidak ditentukan
oleh idea, tetapi idea itu merupakan hasil dari perubahan struktur yang terjadi di bawah.
Suatu pandangan lain tentang hubungan idea dan struktur adalah pandangan yang
beranggapan bahwa idea itu merupakan sesuatu yang bebas. Idea selalu muncul di mana-
mana, kapan saja, dan bermacam ragam. Tetapi untuk membuat idea itu menjadi kenyataan
sosial, maka harus ada struktur yang memadai yang mendukungnya. Struktur yang memadai
itu seringkali disebut dengan istilah momentum sejarah.
Misalnya, perjuangan Ayatullah Khomeini untuk menegakkan negara Islam di Iran. Idea
itu tentunya sudah lama diperjuangkan, tetapi belum pernah berhasil. Shah Iran ketika itu

7
lebih memperhatikan kelompok komunis di Iran sebagai musuh utamanya. Orang-orang
komunis Iran inilah yang banyak dikejar, disiksa dan dibunuh, sehingga organisasi mereka
menjadi lemah. Orang-orang yang merasa dirugikan oleh pemerintah Shah kemudian mencari
penyaluran lain, dan mendapatkan Imam Khomeini sebagai pemimpinnya. Khomeini tiba-
tiba, oleh momentum sejarah, menjadi pemimpin perlawanan terhadap Shah Iran.
Di Amerika Serikat sendiri, negara yang mendukung Shah, terjadi perkembangan lain.
Negara ini baru mengalami kaget yang maha hebat, presidennya (Nixon) ternyata bukan
ksatria. Dia menyadap pembicaraan tilpon lawan politiknya yang kemudian terkenal dengan
“Peristiwa Watergate”. Terjadi krisis kepercayaan moral terhadap pemimpin-pemimpin
politik di Amerika. Dalam keadaan seperti ini, muncullah seorang plonco dalam politik elite
di Washington dari kota Plains, Atlanta, yang berpidato ala seorang pendeta. Dia bicara
tentang hak-hak asasi manusia, serta kaidah-kaidah moral politik lainnya. Namanya Jimmy
Carter, sebuah nama yang asing di dunia politik nasional Amerika ketika itu. Dan dia
memenangkan pemilihan presiden.
Carter jelas tidak mungkin terpilih kalau Nixon tidak ada. Sebagai presiden, dia
melanjutkan doktrin politik moralnya, yakni hak-hak asasi manusia. Karena itulah, ketika
Shah mau menembaki pemimpin-pemimpin mahasiswa dan rakyat yang menjadi semakin
kurang ajar berdemonstrasi menentangnya, Carter mencegahnya. Hasilnya Shah terusir dari
negaranya, dan Imam Khomeini pulang sebagai pemimpin Iran yang baru. Kalau saja
seandainya presiden Amerika ketika itu adalah Ronald Reagen yang terkenal keras itu,
hampir dapat dipastikan Shah masih akan tetap berkuasa pada saat ini, dengan bantuan
dukungan dari Reagen.
Permisalan yang panjang ini menunjukkan bahwa idea Imam Khomeini hanya baru bisa
dijadikan kenyataan sosial, sesudah adanya perkembangan sejarah tertentu, yang kesemuanya
membantu menciptakan tanah subur bagi idea itu supaya bisa tumbuh. Hal yang sama bisa
kita lihat katakan untuk Carter, yang mendapat kesempatan melaksanakan idea-idea moralnya
hanya sesudah Nixon. Demikian juga dengan Reagen yang nasionalistis dan militeristis gagal
menciptakan citra yang kuat tentang Amerika Serikat di luar negeri.
Begitulah, paradigma baru dari pendekatan struktural ini memiliki banyak persoalan-
persoalan yang menarik untuk dibahas. Dia mengungkapkan kepada kita aspek-aspek dari
persoalan yang kita hadapi, yang tidak atau kurang kita perhatikan sebelumnya. Pendekatan
ini masih kurang dikenal di Indonesia, meskipun sekarang sudah mulai cukup dipelajari
sedikit-sedikit. Ini berlainan dengan di Amerika Latin pendekatan struktural, dengan macam-
macam namanya, sudah menjadi paradigma yang kuat dianut di universitas di sana.

###

8
* Tulisan ini merupakan salinan atas salah satu artikel dalam buku bunga rampai berjudul
“Krisis Ilmu-ilmu
ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga”. Ketiga”. Untuk keperluan
pengutipan, silahkan gunakan data bibliografi di bawah ini.

Budiman, Arief. “Ilmu


Ilmu Sosial di Indonesia. Perlunya Pendekatan Struktural”.
Struktural”. Dalam Priyono,
A.E. & Asmar Oemar Saleh (eds). 1984. Krisis Ilmu-ilmu
Ilmu ilmu Sosial dalam Pembangunan
di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Pusat Latihan, Penelitian, dan PengembangPengembangan
Masyarakat (PLP2M). hal.al. 155-171.

Krisis Ilmu--ilmu Sosial dalam


Judul
Pembangunan di Dunia Ketiga
A.E. Priyono & Asmar Oemar
Penulis
Saleh (eds)

Penerbit PLP2M

Tempat & Tahun Terbit Yogyakarta, 1984

Anda mungkin juga menyukai