Anda di halaman 1dari 24

I.

DEFINISI

Glomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk


menjelaskan berbagai ragam ragam penyakit ginjal yang mengalami dan
proliferasi serta inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme
imunologis. Istilah akut (Glomerulonefritis Akut, GNA) mencerminkan adanya
korelasi klinikopatologis selain menunjukkan adanya gambaran tentang etiologi,
patogenesis, perjalanan penyakit serta prognosis
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu.Yang sering terjadi ialah akibat infeksi kuman
streptococcus. Glomerulonefritis akut juga disebut dengan glomerulonefritis akut
post sterptokokus  (GNAPS) adalah suatu proses radang non-supuratif yang
mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus
grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Proses ini ditandai dengan hematuria,
edema, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal. Penyakit ini sering mengenai
anak-anak.

II. EPIDEMIOLOGI

GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Namun angka ini tidak dapat pasti dikarenakan banyaknya pasien yang tidak
menunjukkan gejala sehingga tidak pernah terdeteksi. Kaplan dkk dalam
Pediatric Kidney Disease menyebutkan setengah pasien golmerulonefritis pasca
streptokokus tidak terdeteksi. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan
umur dan jenis kelamin. Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi
penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial
ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat. Hasil

1
penelitian multicenter di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan adanya
170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien
terbanyak dirawat di Surabaya(26,5%) kemudian disusul berturut-turut di Jakarta
(24,7%), Bandung (17,6%), Palembang (8,2%).

III. ETIOLOGI

Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi


Streptococcus Beta Hemolitikus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang
lain. Hanya sedikit Streptococushemolitikus B grup A strain nefritogenik yang
mampu mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis pascastreptotokokus.
Beberapa tipe yang sering menyerang salunan napas (75%) adalah dari tipe M
1, 2, 4, 12,18,25 terjadi 8-14 hari setelah infeksi dan yang menverang kulit adalah
tipe M 49, 55, 57, 60 terjadi 6 minggu setelah infeksi kulit. Infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis
akut paska streptokokus berkisar 10-15%.

Daerah infeksi biasanya saluran napas atas, ternasuk telinga tengah,


atau kulit yang jarang terjadi pada subakut endokarditis, ventrikuloatrial shunt
infection, deep seated abses. Giomerulonefritis pascastreptokokus dapat terjadi
setelah radang tenggorok dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam
reumatik akut. Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus,
gejala klinis dan pemeriksaan immunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya
bahwa glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis
yang bermediakan imunologis. Meskipun secara umurn patogenesis
glomerulonefritis telah dimengerti, namun mekanisme yang tepat bagaimana
terjadinya lesi glomerulus, terjadinya proteinuria dan hernaturia pada
glomeruloneftitis pascastreptokokus belumlah jelas benar. Pembentukan kompleks-
imun bersirkulasi dan pembentukan kompleks imun telah ditetapkan sebagai
mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis yang sering
disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus

2
yang mengubah IgG endogen sehingga menjadi “autoantigenik”. Akibatnya
terbentuklah autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut yang
mengakibatkan pembentukan kompleks imun bersirkulasi, yang kemudian
mengendap dalam ginjal

Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907
dengan alasan bahwa :
1. Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
2. Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
3. Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering
ditemukan disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain
diantaranya:
Tabel 1. Infeksi yang berhubungan dengan glomerulonefritis kompleks imun
Bakteri Streptokokus B hemolitikus grup A
Streptokokus grup C (Streptococcus zooepidermicus)
Pneumococcus (pneumonia)
Streptococcus viridans (edokarditis bakterial subakut)
Staphylococus Aureus(edokarditis bakterial subakut, pneumonia)
Staphylococcus albus, (shun vtntrikuloatrial yang terinfeksi)
Meningococcus (sepsis)
Klebsiella pneumoniae (pneumonia)
Organisms gram negatif (sepsis)
Gonococcus (endokarditis)
Brucella
Salmonella typhi (demam tifoid)
Mycoplasma pneumoniae (pneumonia)
Leptospira
Treponema pallidum (siIilis kongenital)
Mycobacterium leprae
Virus Hepatitis B
Varisela
Morbili
Parotitis epidemika
Epstein-Barr (mononucleosis infeksiosa)
Cytomegalovirus
CoxsackievirusB

3
Echovirus
Influenza
Human immunodeficiency virus (HIV)
Ricketsia Rickettsia ricketsii (Rocky mountain spotted fever)
Protozoa Plasmodium falciparum, (malaria)
Plasmodium malariae
Toxoplasma gondii (toksoplasmosis kongenital)
Helminth Schistosamiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis
Filariasis, trichinosis
s

Streptokokus

Sterptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas
membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan
golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada
manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β kumpulan A. Kumpulan ini
diberi spesies nama S. pyogenes 9,10

S. pyogenes β-hemolitik golongan A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:

a. Streptolisin O

Adalah suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam


keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif
bila ada oksigen. Sterptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa
hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan
dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisisn O
bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibody yang timbul pada
manusia setelah infeksi oleh setiap sterptokokus yang menghasilkan
sterptolisin O. antibody ini  menghambat hemolisis oleh sterptolisin O.
fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer serum
antisterptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal
dan menunjukkan adanya infeksi sterptokokus yang baru saja terjadi atau

4
adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada
orang yang hipersensitifitas.

b. Sterptolisin S

Adalah zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni


sterptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah.
Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh
penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan
dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptokokus.

Gambar 1. Bakteri Streptokokus

Bakteri ini hidup pada manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit
yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan
glomerulonefritis.

IV    PATOFISIOLOGI

Jejas glomerulus dapat diakibatkan oleh gangguan – ganguan


imunologi yag diwariskan atau koagulasi. Jejas imunologis adalah penyebab
yang paling lazim dan menyebabkan glomerulonefritis, yang merupakan

5
istilah umum beberapa penyakit maupun istilah histopatologis yang berarti
peradangan kapiler-kapiler glomerulus. Bukti bahwa glomerulonefritis
disebabkan jejas imunologis adalah
1. Kesamaan morfologi dan imunopatologi dengan glomerulonefritis
eksperimental akibat imun
2. Terdapatnya reaktan imun (immunoglobulin dan komplemen-
komplemen) pada glomerulus
3. Kelainan pada komplemen serum dan temuan autoantibody (misalnya :
anti membrane basalis glomerulus {anti GBM})

Tampak ada 2 mekanisme utama jejas imunologi :

1. Lokalisasi kompleks imun antigen-antibodi dalam sirkulasi


2. Interaksi antibody dengan antigen local di tempat semula. Antigennya
mungkin komponen normal glomerulus (misalnya daerah non kolagen
[NC-1] kolagen tipe 4, yang merupakan antigen dugaan pada nefritis anti
GBM manusia) atau antigen yang diendapkan di glomerulus

Pada penyakit yang diperantarai kompleks imun, antibody yang dihasilkan


melawan dan berkombinasi dengan antigen dalam sirkulasi yang biasanya tidak
terkait dengan ginjal. Kompleks imun berakumulasi di glomerulus dan
mengaktifkan system komplemen, menyebabkan jejas imun. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kompleks tersebut dapat terbentuk dalam sirkulasi dan
mengendap di ginjal. Proses yang terlibat pada penempatan di glomerulus belum
dimengerti dengan baik tetapi meliputi keterkaitan kompleks (kadar, muatan,
ukuran), karakteristik glomerulus (perangkap mesangium, muatan negative
dinding kapiler), gaya hemodinamika dan pengaruh beberapa mediator (angitensin
II, prostaglandin) (Nelson et al, 2000)

Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.


Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat

6
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran basalis,
selanjutnya komplemen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang
menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endothel dan membran
basalis glomerulus (GBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel
epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan
protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urin yang sedang dibentuk oleh
ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya kompleks komplomen
antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada
mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-bungkah pada
mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus
akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang
timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi
kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,
kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis
dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini
tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-
endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.

7
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan
oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada
terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi
kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal
dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu
atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks

8
imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung
singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis – imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada
membrana basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang
langsung merusak membrana basalis ginjal.

V.   GEJALA KLINIS

Gambaran klinis dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan


tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan pada rumbai
kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan
albuminuria, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Urine mungkin tampak
kemerah-merahan atau seperti kopi Kadang-kadang disertai edema ringan yang
terbatas di sekitar mata atau di seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat
pada oliguria dan bila ada gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan
penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air,
natrium, zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan
azotemia. Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita,
meskipun edema paling nyata dibagian anggota gerak GFR biasanya menurun
(meskipun aliran plasma ginja biasanya normal) akibatnya, ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium. Dipagi
hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem periorbita, meskipun edema

9
paling nyata dibagian anggota bawah tubuh ketika menjelang siang. Derajat
edema biasanya tergantung pada berat peradangan gelmurulus, apakah disertai
dnegan payah jantung kongestif, dan seberapa cepat dilakukan pembatasan garam.

Gambar 2 Proses terjadinya proteinuria dan hematuria

Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila terdapat
kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa
minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Suhu
badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Kadang-
kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak ada gejala infeksi lain yang
mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan,
konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA.
Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin
hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF)
atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas.

VI. GAMBARAN LABORATORIUM

Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria


makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine
dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++),
albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan

10
kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia,
asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya
proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik total
serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien
dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl).
Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan.
Kadar komplomen akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8
minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis
yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung
lebih lama.

Tabel 2. Penyakir yang berhubungan dengan glomerulonefritis dan kadar


komplemen C3 yanbg rendah
Komplemen Serum
CHSO C3 C4
Glomerulonefritis akut pasca N
streptokokus
Glomerulonefritis
membranoproliferatif N
Tipe I N
Tipe II N
Tipe III
Nefritis Lupus
Nefritis Pirau N
Endokarditis Bakterial Subakut N

Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan


tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba.
Beberapa uji serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk

11
membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase,
dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu
mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin
O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis,
meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin
O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua
uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi
sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya
positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya
infeksi.
Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3.
kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai
nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

VII   GAMBARAN PATOLOGI

Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik


perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena,
sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.

Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga


mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping
itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan
monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis
menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin
dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus.

12
Gambar 3. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya
pembesaran 20×

Keterangan gambar :

Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya (hematosylin dan eosin


dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan glomerular yang
membuat pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea
proliferasi dari sel endogen dan infiltasi lekosit PMN

Gambar 4. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran


40×

13
Gambar 5. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop elektron

keterangan gambar :

gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan


proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang
bergabung dnegan deposit electron di subephitelia.(lihat tanda panah)

Gambar 6. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi

keterangan gambar :

gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi


dengan pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin
G (IgG) sepanjang membran basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky
appearence”

14
VIII.   DIAGNOSIS

Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada


pasien dengan gejalan klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus
secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis  akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA
dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan
gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti
glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada
nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic hematuria),
sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari
setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-
IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok
sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya  cepat
membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik
dan proteinuria  masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang
penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik  yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan

15
pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl
sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis
kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama
pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis;
tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik
yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.

IX.   DIAGNOSIS BANDING


GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah :
1. Sindrom Nefrotik Non Minimal
2. Nefritis IgA
Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-2 hari, atau ini
mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas.
3. MPGN (tipe I dan II)
Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya dapat bermanifestasi
sama sperti gambaran nefritis akut dengan hipokomplememia.
4. Lupus nefritis
Gambaran yang mencolok adalah gross hematuria.
5. Glomerulonefritis kronis
Dapat bermanifestasi klinis seperti glomerulonefritis akut.

16
Tabel 4. Perbandingan GNAPS dengan penyakit glomerular yang lain
Gambaran Umum Gejala Klinis Prognosis
Glomerulonefritis Pasca Streptokokus - Terjadi pada fase akut lebih dari 2 minggu - Baik
Terjadi 10-14 hari setelah fase akut pada streptococcus - Insufisiensi ginjal dan hipertensi terjadi - Terjadinya fase kronik sangat jarang
Disertai gross hematuri yang tiba-tiba bervariasi pada setiap kasus - Persisten hipocomplemen mengarahkan ke kemungkinan
Insufisiensi ginjal sedang hingga berat - Microhematuria persisten penyakit lain
Disertai Edem - Hipocomplemen terjadi hingga 1 – 30 hari
Glomerulonefritis Membrano Proliferatif - Penurunan fungsi ginjal secara cepat - Tipe 1 sangat berespon baik terhadap kortikosteroid
Bermanifestasi mikrohematuri hingga makrohematuria - Menyerupai gejala dari GNAPS - Tipe 2 sulit diterapi
Diagnosis dibuat dengan biopsy renal - Proteinuria sangat berat - Pada kasus yang tidak teratasi penurunan fungsi terjadi dalam
Etiologinya ttidak diketahui - Hipoclompemenia intermiten hingga persisten 15 th (30-50%)
Tipe 1 dan tipe 2 paling sering - Hipertensi sangat signifikan
IgA Nefropati - 90% kasus sembuh pada 1-5 thn - Secara umum baik, presentasi kecil berkembang menjadi gagal
Gejalanya simptomatik disertai gross hematuria disertai - Insufisiensi ginjal dan hipertensi bervariasi ginjal
microhematuri disela-sela episode sakit - Proteinuria berat - Belum ada terapi general yang dapat diterima namun pemberian
Biopsi ginjal sangat direkomendasikan pada kasus yang kortikosteroid pada beberapa kasus cukup membantu
berat dan dapat menunjukkan prognosisnya
Henoch-Schnlein Purpura GN - Progress penyakit menjaberat sangat cepat - Secara umum prognosisnya baik
Sering terjadi asimptomatik microhematuria - Hipertensi terjadi bervariasi - Pasien dengan penurunan fungsi ginjal 50% dan proteinuria
Biopsi ginjal sangat direkomendasikan pada kasus yang menetap lebih dari 1 gr/hr menunjukkan gagal ginjal kronik
berat dan dapat menunjukkan prognosisnya - Bipsi ginjal dapat cukup membantu
GN Sistemik SLE - Insufisiensi ginjal sedang hingga berat - Kerusakan pada ginjal meningkatkan morbiditas
Jarang terjadi mikrohematuria dan proteinuria - Gejala klinis bergantung dari kompleksitas - Mengontrol hipertensi sangat berpengaruh pada prognosis di
Sering terjadi eksaserbasi - Hipertensi terjadi sangat signifikan ginjal
- Medikasi dipertimbangkan atas dasar gejala, serologi, dan lesi
di ginjal
- Gagal ginjal terminal dapat terjadi

Hereditary GN (Alport Sindrom) - Tidak ada sindrom akut - Dapat terjadi proteinuria dan hipertensi yang progresif
Terjadi secara autosomal-dominan/x-link - Insufisiensi ginjal yang berat disertai dengan - Gagal ginjal sering terjadi pada laki-laki
Biasanya disertai dengan ketulian dan gangguan mata hipertensi dan proteinuria
- Pada wanita sering sebagai carier
- Belum ada terapi yang pasti

17
18
X.    PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan


kelainan di glomerulus.

1. Istirahat mutlak selama 3-4 minggu. Dulu dianjurkan istirahat mutlah


selama 6-8 minggu untuk memberi kesempatan pada ginjal untuk
menyembuh. Tetapi penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa
mobilisasi penderita sesudah 3-4 minggu dari mulai timbulnya
penyakit tidak berakibat buruk terhadap perjalanan penyakitnya.

2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak


mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptococcus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan
pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan
kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali.
Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksislin 50 mg/kg
BB dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan
penisilin, diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.

3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein (1


g/kgbb/hari) dan rendah garam (1 g/hari). Makanan lunak diberikan
pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah
normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD
dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada
komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka
jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.

4. Pengobatan terhadap hipertensi. Pemberian cairan dikurangi,


pemberian sedativa untuk menenangkan penderita sehingga dapat

19
cukup beristirahat. Pada hipertensi dengan gejala serebral diberikan
reserpin dan hidralazin. Mula-mula diberikan reserpin sebanyak 0,07
mg/kgbb secara intramuskular. Bila terjadi diuresis 5-10 jam
kemudian, maka selanjutnya reserpin diberikan peroral dengan dosis
rumat, 0,03 mg/kgbb/hari. Magnesium sulfat parenteral tidak
dianjurkan lagi karena memberi efek toksis.

5. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari), maka ureum harus


dikeluarkan dari dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis
pertonium, hemodialisis, bilasan lambung dan usus (tindakan ini
kurang efektif, tranfusi tukar). Bila prosedur di atas tidak dapat
dilakukan oleh karena kesulitan teknis, maka pengeluaran darah vena
pun dapat dikerjakan dan adakalanya menolong juga.

6. Diurektik dulu tidak diberikan pada glomerulonefritis akut, tetapi


akhir-akhir ini pemberian furosemid (Lasix) secara intravena (1
mg/kgbb/kali) dalam 5-10 menit tidak berakibat buruk pada
hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus (Repetto dkk, 1972).

7. Bila timbul gagal jantung, maka diberikan digitalis, sedativa dan


oksigen.

X.   KOMPLIKASI

1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi


sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti
insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia
dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat
pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-
kadang di perlukan.

2. Ensefalopati hipertensi yang merupakan gejala serebrum karena


hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing,

20
muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh darah
lokal dengan anoksia dan edema otak.

3. Gangguan sirkulasi berupa dispne, ortopne, terdapatnya ronki basah,


pembesaran jantung dan meningginya tekanand arah yang bukan saja
disebabkan spasme pembuluh darah, melainkan juga disebabkan oleh
bertambahnya volume plasma. Jantung dapat memberas dan terjadi
gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di
miokardium.

4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia di samping sintesis


eritropoetik yang menurun.

XI.   PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSIS

Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami


perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada
epitel glomerulus. Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10
setelah awal penyakit, dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap
tekanan darah menjadi normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik
dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan sedimen urin
akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada sebagian
besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun. Prognosis
untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi ditemukan pada 1 pasien
dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang persisten. Sebaliknya prognosis
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada dewasa kurang baik.
Potter dkk menemukan kelainan sedimen urin yang menetap (proteinuria
dan hematuria) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di
Trinidad. Prevalensi hipertensi tidak berbeda dengan kontrol. Kesimpulannya

21
adalah prognosis jangka panjang glomerulonefritis akut pascastreptokok baik.
Beberapa penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit
ginjal yang secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum
pulih dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti
secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan
glomerulosklerosis  kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.

22
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, H. 2002. Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2. IDAI. Jakarta

Alatas, H. 1993. Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 1. IDAI. Jakarta

Donna J. Lager, M.D.Http;//Www.Vh.Org/Adult/Provider/Pathologi/GN/GNHP.


Html. Accessed April 8th, 2009.

Http://Www.Findarticles.Com/Cf0/G2601/0005/2601000596/Pi/Article.Jhtm?
Term=G Lomerunopritis+Salt+Dialysis. Accessed April 8th, 2009.

Ilmu Kesehatan Nelson. 2000. Vol 3, Ed Wahab, A. Samik, Ed 15,


Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.

Jennete, Charles. Pathology of The Kideny Sixth Edition.

Kaplan. Streptococal Pharingitis Optimal Management. Karger

Lange. Current Pediatric Diagnosis & Treatment 18th. Medical Publishing


Divission. Denver

Markum. M.S, Wiguno .P, Siregar.P,1990, Glomerulonefritis, Ilmu Penyakit


Dalam II, 274-281, Balai Penerbit FKUI,Jakarta.

Permono, B. 2007. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak, Workshop dan


Pelatihan Tatalaksana Edema Pada Anak Dan Kapita Selekta. FK Unair-RSU
Dr.Soetomo-IDAI Cabang Jawa Timur. Surabaya

Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed 4.


EGC. Jakarta.

Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis Dan terpia
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III.

23
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1985. Glomerulonefritis Akut, 835-
839. Infomedika. Jakarta.

Sudoyo, W.A. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV. Jakarta

Yoshizawa, N. 2004. American Society Of Nefrology. Nephritis-Associated


Plasmin Receptor and Acute Poststreptococal Glomerulonephritis:
Characterization of The Antigen And Associated Immune respon

24

Anda mungkin juga menyukai