Namun bagaimana dalam tataran praktis, apakah ketakutan pihak otoritas moneter yang seperti itu dapat diterima begitu saja?. Tampaknya dalam perspektif praktis, dianggap oleh beberapa pihak bahwa seharusnya pihak BI tidak mengambil sikap yang terlalu demikian kaku apalagi takut. Jadi justru perlu bertindak lebih rasional dengan kemampuan antisipasi yang cepat, dinamis dan tepat terhadap situasi yang berkembang. Beberapa alasan dari beberapa pihak tersebut didasarkan pada realitas-realitas yang ada dalam perekonomian nasional kita yang sudah dalam kondisi sudah membaik. Diantaranya, realitas mengenai kondisi cadangan devisa Indonesia yang sudah meningkat cukup signifikan di awal tahun ini, yang telah mencapai kisaran US$ 41 miliar. Kondisi ini akan memberikan petunjuk positif dari para pelaku ekonomi luar negeri bahwa kegiatan ekonomi sektor luar negeri kita telah mulai pulih, sehingga akan dapat memotivasi mereka untuk melakukan hubungan ekonomi internasional yang lebih aktif lagi. Demikian pula dengan kondisi inflasi yang sudah terkendali baik, juga jelas akan memberikan indikasi yang optimistik dari para pelaku ekonomi bahwa daya beli mereka telah menguat sehingga ada kepercayaan dengan kondisi ekonomi makro untuk melakukan beberapa kegiatan produktif. Selain itu, dengan posisi nilai tukar rupiah yang sudah menguat, hingga mencapai dalam kisaran Rp.9000 per US$, jelas memberikan harapan baik pagi para pelaku ekonomi di sektor produksi yang menggunakan komponen impor khususnya untuk mengembangkan bisnis mereka guna memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Juga dengan kasus semakin membaiknya kondisi pasar modal kita, seperti tercermin dari tingginya nilai indeks harga saham gabungan (IHSG), yakni dalam kisaran 1.400, telah menunjukkan pula bahwa pasar modal kita, meskipun memang disadari bahwa kebanyakan transaksi yang berlangsung masih didominasi oleh transaksi-transaksi spekulatif dari pemilik uang panas, namun mau tidak mau telah memberikan indikasi positif bahwa pasar modal kita telah mulai tumbuh dalam arah yang baik dan bisa dipercaya. Dimana lambat laun, jika kejadian ini dapat dipertahankan, maka tidak mustahil, nantinya pasar modal kita akan berkembang pada fungsi yang sebenarnya, yakni menjadi tempat para investor sektor riel dapat memperoleh dana-dana murah. Dan yang lebih menggembirakan bahwa akhir-akhir ini telah semakin meningkatnya kegiatan investasi asing langsung ke Indonesia, sebagai akibat terjadinya realokasi industri di beberapa negara asia, yang kebetulan mengalami kemelut politik, khususnya Thailand. Selain itu, diyakini pula bahwa jika terjadi sesuatu penurunan terhadap posisi suku bunga, maka tidak akan serta merta para pemilik uang panas tersebut memindahkan dana-dananya ke bentuk asset-asset keuangan lainnya atau membawanya ke luar, karena diketahui bahwa banyak diantara mereka telah menanamkan pula dananya dalam asset-asset riel lainnya, yang tentu saja disadari oleh mereka bahwa jika terjadi hal-hal yang buruk terhadap pasar keuangan nasional kita, justru merekalah pihak pertama yang akan mendapatkan efek negatifnya. Berdasarkan pandangan dan beberapa alasan tersebut di atas, maka oleh pihak yang mengkritisi landasan berfikir pihak otoritas moneter BI yang dianggap sangat konservatif, telah menyarankan bahwa kiranya BI sudah seharusnya dapat menurunkan tingkat suku bunga indikator kebijakan moneter uang ketatnya (BI rate), ke tingkat yang lebih rasional.
Karena dianggap dengan tingkat bunga tinggi yang spreadnya sampai 8 persen terhadap suku bunga The Fed, dimana dikatakan oleh seorang pengamat perbankan Farial Anwar bahwa itu merupakan selisih bunga terbesar di dunia, hal itu menunjukkan bahwa berarti BI tidak atau belum mampu memenej instrument-instrumen moneter lainnya dengan baik sesuai perkembangan atau tuntutan perubahan-perubahan kondisi pasar keuangan yang berubah sangat cepat dan dinamis. Dikatakan pula bahwa dengan spread yang sebesar itu, maka dianggap bahwa sebenarnya siapapun yang melakukan kebijakan moneter seperti itu, hasilnya akan seperti yang terjadi saat ini, sehingga sebenarnya tidak diperlukan lembaga sebesar dan secanggih BI, apalagi konon khabarnya para pelakunya terdiri dari manusia-manusia terunggul di Indonesia.