Anda di halaman 1dari 3

FAJAR, 8 MAI 2006, 47 x (Komentar)

ARAH PERKEMBANGAN SUKU BUNGA PERBANKAN


Oleh: Marsuki Dea (Pengamat Ekonomi) Meskipun pihak Otoritas Moneter BI beberapa waktu terakhir ini telah mengindikasikan bahwa suku bunga akan turun, tapi jika memperhatikan hasil keputusan rapat Dewan Gubernur BI minggu lalu, maka tampaknya kebijakan uang ketat BI melalui instrumen suku bunga tinggi dengan BI Rate tetap pada angka 12,75%, yang utamanya dimaksudkan menjaga kondisi stabilisasi nilai mata uang rupiah dalam perspektif nasional dan internasional, jelas masih akan tetap dipertahankan. Meskipun para pelaku di pasar kredit, baik pengguna kredit maupun sektor yang mengelolanya, yakni perbankan, sudah lama menjerit karena kesulitan-kesulitan yang dihadapi mereka dengan kebijakan Otoritas Moneter BI tersebut. Dalam perspektif teori, memang adalah logik bagi BI untuk tetap mempertahankan posisi kebijakan suku bunga tinggi tersebut, jika meperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang terjadi di pasar uang internasional, dimana suku bunga di pasar tersebut cendrung terus meningkat. Sebagai akibat dari beberapa kejadian positif dari perkembangan ekonomi dari beberapa negara besar yang terus membaik, seperti Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara di eropa, utamanya Jerman. Dimana hal tersebut selanjutnya telah berdampak pada meningkatnya tingkat pengembalian (yield) asset-asset berharga yang ditransaksikan, seperti surat utang di negara-negara tersebut. Selain itu, akibat volatilitas harga bahan bakar minyak di pasar dunia yang belum stabil dan cendrung meningkat pula, jelas nantinya akan mempengaruhi kondisi inflasi, maka untuk menjaga posisi inflasi tetap terkendali, maka suku bunga berrati akan tetap dipertahankan tinggi. Dan secara keseluruhan, karena berbagai alasan tersebut di atas, maka itulah sebabnya kebijakan-kebijakan suku bunga The Fed AS, cendrung terus meningkat. Jadi tampaknya, kebijakan mempertahankan suku bunga tinggi tersebut akhirnya tampaknya menjadi pilihan bagi BI untuk sementara waktu ini, terutama guna mengantisipasi terjadinya pelarian dana panas (Hot money) dari pasar keuangan kita. Karena dengan posisi BI rate yang 12,75% tersebut maka spread (selisih) bunga di pasar keuangan kita masih bertengger pada posisi 8%, sehingga pemilik dana panas tersebut tidak akan memindahkan dananya dalam bentuk asset-asset keuangan lain, seperti membeli dollar AS atau membawanya ke luar pasar keuangan kita. Jika mengacu pada logika pemikiran tersebut di atas, maka kondisi yang dihadapi otoritas moneter BI, jelas merupakan suatu hal yang bersifat simalakama. Dengan mempertahankan suku bunga tinggi, sektor riel yang menjadi lokomotif utama bagi kegiatan ekonomi produktif akan mengalami kondisi kesulitan yang berkepanjangan. Dan jika menurunkan suku bunga maka kemungkinan buruk terhadap posisi nilai rupiah dalam perspektif nasional, yaitu inflasi akan tinggi, sedangkan dalam perspektif internasional, maka nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing akan melorot tajam.

Namun bagaimana dalam tataran praktis, apakah ketakutan pihak otoritas moneter yang seperti itu dapat diterima begitu saja?. Tampaknya dalam perspektif praktis, dianggap oleh beberapa pihak bahwa seharusnya pihak BI tidak mengambil sikap yang terlalu demikian kaku apalagi takut. Jadi justru perlu bertindak lebih rasional dengan kemampuan antisipasi yang cepat, dinamis dan tepat terhadap situasi yang berkembang. Beberapa alasan dari beberapa pihak tersebut didasarkan pada realitas-realitas yang ada dalam perekonomian nasional kita yang sudah dalam kondisi sudah membaik. Diantaranya, realitas mengenai kondisi cadangan devisa Indonesia yang sudah meningkat cukup signifikan di awal tahun ini, yang telah mencapai kisaran US$ 41 miliar. Kondisi ini akan memberikan petunjuk positif dari para pelaku ekonomi luar negeri bahwa kegiatan ekonomi sektor luar negeri kita telah mulai pulih, sehingga akan dapat memotivasi mereka untuk melakukan hubungan ekonomi internasional yang lebih aktif lagi. Demikian pula dengan kondisi inflasi yang sudah terkendali baik, juga jelas akan memberikan indikasi yang optimistik dari para pelaku ekonomi bahwa daya beli mereka telah menguat sehingga ada kepercayaan dengan kondisi ekonomi makro untuk melakukan beberapa kegiatan produktif. Selain itu, dengan posisi nilai tukar rupiah yang sudah menguat, hingga mencapai dalam kisaran Rp.9000 per US$, jelas memberikan harapan baik pagi para pelaku ekonomi di sektor produksi yang menggunakan komponen impor khususnya untuk mengembangkan bisnis mereka guna memperoleh keuntungan yang lebih besar lagi. Juga dengan kasus semakin membaiknya kondisi pasar modal kita, seperti tercermin dari tingginya nilai indeks harga saham gabungan (IHSG), yakni dalam kisaran 1.400, telah menunjukkan pula bahwa pasar modal kita, meskipun memang disadari bahwa kebanyakan transaksi yang berlangsung masih didominasi oleh transaksi-transaksi spekulatif dari pemilik uang panas, namun mau tidak mau telah memberikan indikasi positif bahwa pasar modal kita telah mulai tumbuh dalam arah yang baik dan bisa dipercaya. Dimana lambat laun, jika kejadian ini dapat dipertahankan, maka tidak mustahil, nantinya pasar modal kita akan berkembang pada fungsi yang sebenarnya, yakni menjadi tempat para investor sektor riel dapat memperoleh dana-dana murah. Dan yang lebih menggembirakan bahwa akhir-akhir ini telah semakin meningkatnya kegiatan investasi asing langsung ke Indonesia, sebagai akibat terjadinya realokasi industri di beberapa negara asia, yang kebetulan mengalami kemelut politik, khususnya Thailand. Selain itu, diyakini pula bahwa jika terjadi sesuatu penurunan terhadap posisi suku bunga, maka tidak akan serta merta para pemilik uang panas tersebut memindahkan dana-dananya ke bentuk asset-asset keuangan lainnya atau membawanya ke luar, karena diketahui bahwa banyak diantara mereka telah menanamkan pula dananya dalam asset-asset riel lainnya, yang tentu saja disadari oleh mereka bahwa jika terjadi hal-hal yang buruk terhadap pasar keuangan nasional kita, justru merekalah pihak pertama yang akan mendapatkan efek negatifnya. Berdasarkan pandangan dan beberapa alasan tersebut di atas, maka oleh pihak yang mengkritisi landasan berfikir pihak otoritas moneter BI yang dianggap sangat konservatif, telah menyarankan bahwa kiranya BI sudah seharusnya dapat menurunkan tingkat suku bunga indikator kebijakan moneter uang ketatnya (BI rate), ke tingkat yang lebih rasional.

Karena dianggap dengan tingkat bunga tinggi yang spreadnya sampai 8 persen terhadap suku bunga The Fed, dimana dikatakan oleh seorang pengamat perbankan Farial Anwar bahwa itu merupakan selisih bunga terbesar di dunia, hal itu menunjukkan bahwa berarti BI tidak atau belum mampu memenej instrument-instrumen moneter lainnya dengan baik sesuai perkembangan atau tuntutan perubahan-perubahan kondisi pasar keuangan yang berubah sangat cepat dan dinamis. Dikatakan pula bahwa dengan spread yang sebesar itu, maka dianggap bahwa sebenarnya siapapun yang melakukan kebijakan moneter seperti itu, hasilnya akan seperti yang terjadi saat ini, sehingga sebenarnya tidak diperlukan lembaga sebesar dan secanggih BI, apalagi konon khabarnya para pelakunya terdiri dari manusia-manusia terunggul di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai