Anda di halaman 1dari 3

FAJAR, 15 MAI 2006, 55 x (Komentar)

KONTROVERSI MASALAH KORUPSI DANA BLBI


Oleh Marsuki Dea
Satu masalah ekonomi lagi yang sudah lebih empat tahun telah dipersoalkan dan kini
merebak kembali, setelah pemerintah menyampaikan suatu kebijakan yang cukup
kontroversial, yakni dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
151/KMK.01/2006 pada tanggal 16 Maret 2006 lalu.
Dimana ditetapkan bahwa delapan penerima atau pelaku yang yang telah menilap
dana BLBI akan dibebaskan dari jeratan hukum jika mereka membayar 100 persen
hutangnya hingga akhir tahun 2006 ini, tapi jika tidak maka segera akan dilakukan
proses hukum. Kontan saja, kebijaksanaan ini banyak menuai kritik dari berbagai
kalangan.
Tentu saja ada beberapa alasan yang mendasari pemerintah mengambil kebijakan
yang banyak pihak dianggap sangat tidak adil, terutama dari sisi kacamata hukum.
Tapi yang jelas tampaknya bahwa kebijaksanaan tersebut dilakukan pemerintah adalah
atas alasan ekonomi dengan memprioritaskan pengembalian keuangan negara yang
telah disalah-gunakan oleh para pelakunya.
Sebagai akibatnya, ada berbagai kelompok yang tidak menyetujui kebijaksanaan
tersebut dan menganggap bahwa pemerintah telah mengabaikan prinsip keadilan
hukum, yaitu semua orang sama di depen hukum (Equality before the law).
Sehingga dianggap oleh mereka bahwa apa yang dilakukan pemerintah tersebut
merupakan preseden buruk bagi pembrantasan korupsi yang telah didengungkan
pemerintah sendiri untuk dilawan atau diberantas.
Dikatakan oleh Kwik Kian Gie bahwa skandal BLBI tersebut adalah kasus korupsi
terbesar yang pernah terjadi di republik ini. BPK menjelaskan bahwa dari Rp. 144,5
triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, ternyata sekitar
Rp. 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan keuangan negara.
Rupanya, dalam kondisi negara yang mengalami krisis saat itu, ternyata ada pihak
justru menikmati kemewahan berlimpah karena memeroti uang rakyat, yang
celakanya dilindungi oleh peraturan atau kebijaksanaan yang diterbitkan pemerintah
sendiri. Sangat jelas bahwa kejadian tersebut sangat ironis, tapi apa yang mau dikata,
karena bukti menunjukkan adanya fakta yang demikian.
Tampaknya, meskipun akan ada beberapa kelompok yang selalu mempersoalkan
landasan fakir kebijakan pemerintah tersebut, namun ada juga beberapa pihak yang
mengambil jalan tengah yang tampaknya lebih akomodatif dan bersikap cukup netral
atau rasional. Misalnya, salah seorang seorang anggota DPR yang membidangi
ekonomi dan keuangan di Komisi XI, Drajat Wibowo telah mengusulkan agar aspek
pidana dari para debitur BLBI tersebut harus tetap diproses secara hukum.
Alasannya, bahwa tidak satupun UU yang ada republik ini yang memberikan
kewenangan ke pada eksekuitif untuk menghapus tindakan pidana, kecuali hanya
melalui mekanisme grasi dan amnesti, yang memang menjadi hak prerogatif Presiden.
Sehingga, seandainya ada pelaku yang meskipun telah menerima keputusan
Surat Keterangan Lunas (SKL) dan Release and Discharge (R&D), hal itu belum
menjamin atau kuat secara hukum. Nanti setelah yang bersangkutan telah melalui

proses hukum, barulah yang bersangkutan dapat berhak meminta amnesti atau grasi
ke Presiden. Dan jika disetujui, maka status yang bersangkutan, berarti tidak dapat
diganggu gugat lagi.
Demikian juga pendapat akomodatif lainnya, yang tampaknya dipengaruhi lebih
banyak karena pertimbangan ekonomi, yang mengusulkan bahwa proses penyelesaian
kasus korupsi dana BLBI tersebut harus membayar lebih lebih banyak sesuai dengan
perhitungan-perhitungan tertentu dari jumlah uang yang mereka kemplang dari
rakyat.
Dimana dianggap bahwa skema model ini merupakan praktek yang dilakukan oleh
pemerintah sebelumnya, tapi dengan skema model time table-nya yang di perpanjang
tapi juga tetap tidak menghilangkan sama sekali tindak pidana kepada yang
bersangkutan, jika ditemukan kemudian.
Demikian juga pendapat ekonomom Kwik Kian Gie, yang menekankan bahwa
meskipun ada debitur BLBI tersebut telah melunasi utangnya, tapi upaya penyelesaian
hukum tetap harus dilaksanakan. Karena jika tidak, maka akan mengakibatkan
ketimpangan perlakuan yang telah diterima oleh para pelaku yang statusnya sama.
Dimana ada diantaranya justru masih menjalani hukuman di Hotel Prodeo dan yang
juga sempat dijatuhi hukuman, meskipun akhirnya dapat meloloskan diri ke luar
negeri. Sehingga jika kebijakan pemerintah yang diambil tersebut dibiarkan tanpa di
bawah pengawasan, maka hal tersebut jelas akan semakin meperburuk citra kebijakan
publik yang dilakukan pemerintah sendiri nantinya. Terutama dari sudut pandang para
penjahat kerah putih tersebut, juga bagi calon-calon pelaku koruptor yang mungkin
akan ada nantinya.
Syukur, dalam tataran praktis, pihak Kejagung telah menegaskan bahwa meskipun
para debitur BLBI tersebut telah mengembalikan dana pinjamannya, maka itu bukan
berarti bahwa otomatis mereka bebas dari tuntutan pidana. Misalnya jika tidak ada lagi
masalah dengan Depkeu, tapi selanjutnya akan dipelajari apakah masih ada sangkutan
pidanya atau tidak.
Sehingga meskipun misalnya telah ada SK PKPS dimana menunjukkan bahwa negara
tidak lagi mempunyai hak tagih terhadap yang berasngkutan, tetapi kemudian jika
ditemukan lagi unsur pidana, maka Kejagung dapat melakukan pembatalan atau
deponering dari keputusan yang sudah diambil, karena alasan demi kepentingan
umum, sesuai otoritas Kejagung yang termuat dalam pasal 35 UU. No. 16/2004
tentang Kejagung.
Yang jelas bahwa untuk memperoleh status sebagai debitur yang berhak memperoleh
SK PKPS adalah tidak mudah. Karena mereka harus memenuhi beberapa syarat yang
cukup berat, seperti : wajib menandatangani perjanjian PKPS atau akta pengakuan
utang (APU), kemudian sebelumnya sudah membayar kewajibannya kepada BPPN.
Juga harus menyampaikan rencana pembayaran jumlah kewajibannya kepada Tim
Pemberesan BPPN dan menteri keuangan.
Kemudian, untuk proses penyelesaiannya akan didasarkan pada prosedur standar
operasi yang sudah dibuat (SOP) oleh Tim PKPS. Salah satu ketetapan utama yang
telah ditetapkan atau diatur yaitu jumlah pembayaran yang dilakukan oleh para
beditur BLBI tersebut berbentuk 100 persen tunai atau near cash, dapat berupa surat
utang BI (BSBI) atau surat utang Negara (SUN).
Akhirnya, terlepas dari masalah pro dan kontra terhadap masalah yang berkembang
dari persoalan BLBI ini, maka disarankan oleh beberapa pihak yang melihat masalah
ini dari perspektif yang mungkin lebih baik dan tidak berpihak adalah agar supaya
pemerintah saat ini menunjukkan sikapnya yang lebih tegas, tapi tetap memperhatikan

norma-norma rasionalitas, yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum,


budaya atau adat istiadat yang berlaku di masyarakat kita yang menjunjung tinggi
keadilan, kebenaran dan keluhuran.

Anda mungkin juga menyukai