Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I
!AHULUA
Latar Belakang
Semua umat Islam sepakat bahwa sumber hukum Islam yang pertama
adalah Al-Quran. Adapun sumber hukum yang kedua adalah As-Sunnah yang
merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam
Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya.
Dalam perjalanan sejarahnya yang awal, hukum Islam menjadi suatu
kekuatan yang dinamis dan kreatiI. Hal ini dapat dilihat dari instruksi Nabi kepada
para sahabat dalam menghadapi realitas sosiologis umat pada waktu itu. Dalam
melakukan ijtihad, para sahabat waktu itu tidak mengalami problem metodologis
apa pun karena bila mendapatkan kesulitan dalam menyimpulkan hukum, mereka
dapat langsung berkonsultasi dengan Nabi. Pada masa ini ijtihad masih sangat
terbatas terutama hanya terdapat pada hal-hal dan masalah-masalah keperdataan.
Keadaan demikian tiba-tiba berubah setelah Rasulullah waIat. Sejak itu
para sahabat mulai dihadapkan pada masalah-masalah baru dan krusial terutama
tentang siapa yang pantas menggantikan Nabi untuk memimpin umat dan kasus-
kasus lain yang belum mendapatkan legalitas syara`. Satu-satunya pilihan bagi
para sahabat adalah melakukan ijtihad dengan berpedoman kepada Al-Quran,
hadis, dan tindakan-tindakan normatiI Nabi yang pernah mereka saksikan.

Setelah periode tersebut, muncullah sejumlah mazhab hukum yang
memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar belakang sosio kultur dan
politik tempat mazhab hukum tersebut tumbuh dan berkembang. Secara khusus,
tulisan ini akan membahas pola-pola ijtihad dalam hukum Islam pada masa
klasik-tengah dan beberapa hal serta yang berkaitan dan mempunyai hubungan
dengannya.



Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari iftihad?
2. Apa safakah yang menfadi dasar hukum dari pada iftihad?
3.Apa safa macam-macam bentuk dan syarat iftihad?
4. Hal-hal apa safa yang menfadi obfek dan permasalahan yang berkaitan dengan
iftihad?
Tujuan !enulisan
Tujuan merupakan arah terakhir dari suatu kegiatan, tanpa tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya makalah ini tidak akan sampai pada tujuan. Adapun tujuan
penyusunan makalah ini adalah :
1. &ntuk memenuhi tugas mata kuliah &shul Fiqih
2. Dalam penulisan makalah ini kami mencoba mengulas tuntas tentang
Metode Ijtihad, serta segala hal dan peristiwa yang berhubungan dengan
ijtihad . Agar kita mengerti tentang apa itu ijtihad serta segala pembahasan
yang bersangkutan dengannya dan dapat bermanIaat bagi semua orang
khususnya umat Islam.
Metode !enulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah dengan metode kepustakaan
yakni mencari bahan dari buku, selanjutnya dituangkan di dalam makalah ini
secara ringkas Serta dengan metode browsing, melakukan pencaharian bahan
materi dengan bantuan Internet, kemudian dipadukan dengan bahan dari buku.








BAB II
!MBAHASA
!engertian Ijtihad
Kata ijtihad (al-ijtihad) berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya,
kemampuan, kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyqqah
(kesulitan, kesukaran) dan ath-thaqat ( kesanggupan dan kemampuan ). Dalam
Al-Qur`an disebutkan:
CBb, N ) Nf
)
...Dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan)
selain sekedar kesanggupannya..'(At taubah: 79)
Kata al-fahd beserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang di
lakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disegani.
Dalam pengertian inilah. Nabi mengucapkan kata-kata
-'=~' _ '~+=' = ' -
Artinya: ' Bacalah shalawat padaku dan bersungguh-sunnguhlah dalam berdo`a

-'=~' _ '~+=' ~=~' '~'
Artinya: Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo`a
Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna 'badal al wus wal
mahud (pengerahan daya kemampuan), atau pengerahan segala daya kemampuan
dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat.
Dari pengertian kebahasaan terlihat dua unsur pokok dalam ijtihad, daya atau
kemampuan 2 objek yang sulit dan berat. Daya dan kemampuan disni dapat
diklasiIikasikan secara umum, yang meliputi daya, Iisik-material, mental-spiritual
dan intelektual. Ijtihad sebagai terminology keilmuan dalam Islam juga tidak
terlepas dari unsur-unsur tersebut. Akan tetapi karena kegiatan keilmuan lebih
banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian ijtihad lebih banyak


mengarah pada pengerahan kemampuan intelektual dalam memecahkan berbagai
bentuk kesulitan yang dihadapi, baik yang dihadapi individu maupun umat
manusia secara menyeluruh. Dalam rumusan deIinisi ijtihad yang dikemukakan
ibnu Hazm berbunyi;
'Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan kemampuan dalam mendapatkan hukum
suatu kasus dimana hukum itu tidak dapat diperoleh.

asar Hukum Ijtihad
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah atau metode untuk menggali sumber
hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
1. Firman Allah SWT ;

Bf B,10 @f @1JNBb
CBB NJ
B1Bb BN V,;0 Bb P N,
NV 1B1 Bd@

Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat.
1



1
Ayat Ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang
dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah
tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi.
hal Ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada nabi s.a.w. dan mereka meminta agar nabi
membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang
mencuri barang itu ialah Thu'mah, nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah
dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.



2. Adanya keterangan dari sunnah yang membolehkan berijtihad di antaranya
hadis yang diriwayatkan oleh &mar:
=' ==' ` ~+=' = '~' '= -'-' ~+=' '=' = '~ '
Artinya: " ika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat
dua dan bila salah maka ia mendapat satu pahala

Macam dan 1enis Ijtihad
Dr. Dawalibi membagi iftihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya
sesuai dengan pendapat Asy- Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
1. ftihad Al-Batani, yaitu iftihad untuk menjelaskan hukum-hukum
syara dari nash.
2. ftihad Al-qiyasi, yaitu iftihad terhadap permasalahan yang tidak
terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunah dengan menggunakan
metode qiyas.
3. ftihad al-istihsahlah,yaitu iftihad terhadap permasalahan yang
tidak terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunah dengan menggunakan
rayu berdasarkan kaidah istishlah.
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapakn oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukan beberapa alasan di
antaranya fami wal mani. Menurutnya, iftihad itu dapat di bagi menjadi
dua bagian saja yaitu:
1. ftihad al-aqli, yaitu iftihad yang hujjahnya didasarkan pada akal,
tidak menngunakan dalil syara . Muftahid dibebaskan untuk
berpikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya,
menjaga kemudharatan, hukuman itu jelek bila tidak disertai
penjelasan dan lain lain
2. ftihad syari , yaitu iftihad yang didasarkan pada syara,termasuk
dalam pembagian ini adalah ijma`, qiyas. stishlah, urf, istishhab.


Jenis-Jenis Ijtihad
Di antara jenis-jenis ijtihad ialah:
1.Ijmak
Yaitu kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Muhammad,
setelah beliau waIat, pada suatau masa atas hukum suatau masalah.
2.Qiys
Di antara deIinisi qiys' (analogi) ialah:
a.Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.Membuktikan hukum deIinitiI untuk yang deIinitiI lainnya, melalui
suatu persamaan di antaranya.
c.Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam
Al-Quran atau hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab
(illat).
&ntuk melakukan ijtihad diperlukan empat unsur yang dalam ushul Iikih
disebut rukun-rukun qiyas. Keempat rukun tersebut ialah al-ashl (pokok),
yaitu pokok yang telah disebutkan di dalam nash, yang menjadi pangkal
qiyas; al-Iar` (cabang), yaitu hal yang dicari hukumnya, yang tidak disebut
dalam nash; hukm al-ashl (hukum atas pokok); dan illat hukm al-ashl.
3.Istihsn
Di antara deIinisi istihsn ialah:
a.Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang Iqih (ahli Iikih), hanya karena dia
merasa hal itu adalah benar.
b.Argumentasi dalam pikiran seorang Iqih tanpa bisa diekspresikan
secara lisan olehnya.
c.Mengganti argumen dengan Iakta yang dapat diterima, untuk maslahat
orang banyak.
d.Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
Misal, dalil khusus sunnah menentukan bahwa harta wakaI tidak boleh
dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan atau dihibahkan. Jika
suatu harta wakaI tidak memenuhi Iungsi yang sesuai dengan tujuan


wakaI, maka ia boleh dipindahtangankan untuk memenuhi Iungsi yang
sesuai dengan tujuan wakaI dan sekaligus menghindari larangan
memubazirkan harta.
4.Mashalat murshalah
Yaitu tindakan memutuskan masalah yang tidak ada nashnya
dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip
menarik manIaat dan menghindari kemudharatan.

Misal, mengenai mengharuskan agar pernikahan dicatat, tidak ada satu
nash pun yang membenarkan dan membatalkannya. Pencatatan
perkawinan bertujuan untuk melindungi hak masing-masing suami istri.
Tanpa pencatatan, negara tidak mempunyai dokumen otentik atas
terjadinya perkawinan.
5. Sad Adz-Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentingan umat.
6. Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai
ada alasan yang bisa mengubahnya.
7. &rI
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat
dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsip dalam Al-Qur`an dan Hadis.









Syarat-syarat Ijtihad
&lama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat ijtihad
atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan
seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al-Qur`an, baik menurut bahasa maupun syariah. Akan
tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup
mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya
apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Ar-Razi
membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik
menurut bahasa maupun syariat. Akan tetapi, tidak disyaratkan
harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya
secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya.
Ibnu Hanbal dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi
berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan
tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar
dalam berbagai kitab yang berbeda-beda
Menurut Asy-Syaukani, seorang mujtahid harus mengetahui kitab-
kitab yang menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat,
misalnya dengan menggunakan kamus hadis. Selain itu, ia pun
harus mengetahui persambungan sanad dalam hadis.
2

Sedangkan menurut At-TaItaji, sebaiknya mujtahid mengambil
reIerensi dari kitab-kitab yang sudah masyhur kesahihannya,
seperti Bukhari Muslim, Baghawi, dan lain-lain.
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur`an dan sunnah,
supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak
disyaratkan harus menghapalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa

AsySyaukanl


dijadikan rujukan dalam naskah dan mansukh adalah kitab
karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja`Iar an Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu
Hajm dan lain-lain.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma`
ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma`. Kitab
yang bisa dijadikan rujukan diantaranya kitab maratiba al-ijma`
(ibn Hajm).
5. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-
instimbat-nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain
karena Al-Qur`an dan as sunnah ditulis dengan bahasa Arab.
Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau
menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui
maksud yang dikandung dari Al-Qur`an atau al-hadis.
7. Mengetahui ilmu Iiqih yang merupakan Iondasi dari ijtihad.
Bahkan, menurut Fakhru ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam
berijtihad adalah ilmu ushul Iiqh
8. Mengetahui maqashidu asy-syariah (tujuan syariat) secara umum,
karena bagaimanapun juga syariat itu berkaitan dengan maqashidu
asy-syariah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-syariah antara lain menjaga
kemaslahatan manusia dan menjatuhkan dari kemadharatan.
Namun, standarnya adalah syara`, bukan kehendak manusia, karena
manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan
sebaliknya.



10

-jek ijtihad
Menurut al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara` yang tidak memiliki
dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa
dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua
bagian:
1. Syariat yang tidak boleh dijadikan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang
telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada
dalil-dalil yang qathi`, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat,
puasa, ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-
lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur`an dan as
sunnah Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan Iirman Allah swt
Terjemahnya: an dirikanlah sembahyang, tunaikanlah :akat..
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui
maksud shalat.
2. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang
didasarkan pada dalil-dalil yang bersiIat zhanni, baik maksudnya,
petunjuknya, ataupun eksistensinya (subut), serta hukum-hukum yang
belum ada nash-nya dan ijma para ulama.
Apabila ada nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis ahad
misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad diantaranya adalah
meneliiti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi
lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut,
misalnya dengan memakai kaidah am, khas, mutlaq muqayyad, dan
lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-nya,
maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan
kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,
mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak
diperdebatkan dikalangan para ulama.
11

!ermasalahan yang Berkaitan dengan Ijtihad
1. Salah satu contoh permasalahan yang berkaitan dengan ijtihad yang
sering dilakukan untuk saat ini adalah tentang penentuan I Syawal,
disini para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan
argumen masing-masing untuk menentukan 1 Syawal, juga
penentuan awal Ramadhan. Masing-masing ulama memiliki dasar
hukum dan cara dalam penghitungannya, bila telah ketemu
kesepakatan ditentukanlah 1 Syawal itu.
2. Contoh lain adalah tentang bayi tabung, pada zamannya Rasulullah
bayi tabung belum ada. Akhir akhir ini bayi tabung dijadikan solusi
oleh orang yang memiliki masalah dengan kesuburan jadi dengan
cara ini berharap dapat memenuhi pemecahan masalah agar dapat
memperoleh keturunan.
Para ulama telah merujuk kepada hadist-hadist agar dapat
menemukan hukum yang telah dihasilkan oleh teknologi ini dan
menurut M&I menyatakan bahwa bayi tabung dengan sperma dan
ovum suami isteri yang sah hukumnya mubah (boleh) karena hal
ini merupakan Ikhtiar yang berdasarkan agama. Allah sendiri
mengajarkan kepada manusia untuk selalu berusaha dan berdoa.
Sedangkan para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung
dari suami isteri yang menitipkan ke rahim perempuan lain, jika
ada yang demikian maka hal ini memiliki hukum haram. Alasannya
karena akan menimbulkan masalah yang rumit dikemudian hari
terutama soal warisan.
Dalam Islam anak yang berhak mendapat warisan adalah anak
kandung, jika demikian bagaimana status hubungan anak dari hasil
titipan tersebut? Dikandung tapi bukan milik sendiri, jadi hanya
sekedar pinjam tempatnya saja, tentu hal ini membuat rumit.
1

BAB III
!UTU!
A esimpulan

1. Ijtihad secara bahasa berasal dari kata jahada yang berarti kemampuan.
Menurut istilah ijtihad adalah sebuah usaha dengan mengerahkan semua
kemampuan dalam menggali hukum-hukum syar`i untuk menetapkan
hukum Islam berdasarkan Al-Qur`an dan Hadis
2. Ijtihad para sahabat bukanlah hanya sekedar keinginan tanpa
pertimbangan, melainkan merupakan hasil dari sebuah nalar yaitu
mewujudkan maslahat dan menghindari maIsadat.
3. Yang dapat di ijtihadi adalah hukum-hukum syara` yang dalilnya bersiIat
dzanni. Maksud dari dalilnya dzanni adalah untuk membedakan dari
hukum-hukum yang dalilnya bersiIat qoth`i (pasti).
4. Hukum ijtihad dapat wajib ain, wajib kiIayah, sunnah dan dapat juga
haram
5. Contoh dari jenis ijtihadi misalnya ada ijma`, qiyas, istihsan, maslahah
mursalah, urI dan istishab.


AFTAR !USTAA
ProI. DR. Rachmat SyaIe`i, MA. Ilmu &shul Fiqih. Hal 97
Www.Indoscrip.com
Www.Wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai