Anda di halaman 1dari 15

Nama : Imandasyah

Nim : 18742010206780081
Program Studi : Ilmu Hukum
Mata Kuliah : Hukum Tata Negara
Dosen : Muhammad Ridwansyah, SH.I., M.H

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Pendahuluan

Indonesia adalah negara hukum demokrasi yang menjamin kemerdekaan


berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan yang
dijamin oleh konstitusi. Kemerdekaan dalam hal berserikat dan berkumpul
tersebut merupakan dasar lahirnya partai politik. Partai politik sebagai wujud
demokrasi memiliki peran sentral dalam penentuan wakil rakyat di pusat dan
daerah, serta sebagai jalan bagi warga negara yang memenuhi persyaratan untuk
menjadi kepala daerah dan kepala pemerintahan di Indonesia. Sistem pemilu
proporsional dengan melibatkan banyak partai di Indonesia dinilai kurang efektif
dan efisian. oleh karena itu muncul gagasan penyederhanaan jumlah partai politik.
Penyederhanaan partai politik dapat dibenarkan secara filosofis sesuai Pancasila
sebagai cita-hukum bangsa Indonesia.

Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik, sedang


kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar, dan Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945)), yang dalam menjalankan
kedaulatannya, rakyat secara personal mendapat perlindungan atas hak-haknya
yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang.”

1
Kemerdekaan berserikat inilah yang menjadi titik tolak lahirnya organisasi
partai politik yang demikian banyaknya dan selalu bertumbuh dari waktu ke
waktu, karena partai politik sebagai tonggak demokrasi yang dapat
menentukanpemimpin Negara Republik Indonesia, yang mempunyai sistem
pemerintahan presidensil.

Pemerintah Republik Indonesia pertama kali melaksanakan pemilu pada


tahun 1955, yang diikuti oleh lebih 36partai politik dan lebih dari seratus daftar
kumpulan dan calon perorangan.Berlanjut pada pemilu berikutnya pada tahun
1971 yang diikuti 10 partai politik dan tahun 1977 pemilu diikuti 3 partai politik,
tahun 1982 pemilu diikuti 3 partai politik, tahun 1987 pemilu diikuti 3 partai
politik, tahun 1992 pemilu diikuti 3 partai politik, dan pada tahun 1997 pemilu
diikuti oleh 3 partai politik.

Pada Tanggal 12 Mei 1998 merupakan tonggak sejarah lahirnya reformasi


dengan dilengserkannya Presiden Soeharto, yang ditandai digelarnya pemilu yang
memilih legislatif dan Presiden (ekskutif) dengan pemilihan secara langsung.
Pemilu yang digelar pada tanggal 7 Juni 1999 diikuti oleh 48 Partai Politik, dan
sejak saat itu Indonesia sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensiil memasuki era multi partai.Pada pemilu tahun 2004 ada24 partai
politik yang menjadi peserta pemilu.Sedang pemilu tahun 2009 diikuti 32 partai
politik.

Pada saat ini, sistim multi Partai telah menghadirkan demikian banyak
Partai Politik sehingga dalam konsep tertentu kurang produktif, Fenomena
perpecahan Partai-Partai Politik merupakan konsekwensi logis dari dinamika
politik sistem multi Partai yang ada sekarang, semestinya yang terjadi bukanlah
perpecahan tetapi konvergensi Politik, sehingga sistim kepartaian kita menjadi
relatif lebih sederhana, tentu saja penyederhanaan dimaksud harus berjalan secara
alamiah dan demokratis, tidak harusdipaksakan sebagaimana yang dilakukan oleh
orde baru.

2
Partisipasi politik warga negara melalui partai politik adalah
pengejawantahan HAM yaitu Pasal 28 E Ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang
berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Sebagai HAM, ekspresi politik yang disampaikan melalui organisasi partai politik
ini tidak termasuk katagori hak yang bersifat absolut.1

Pembahasan

A. Landasan Filosofis Penyederhanaan Partai Politik


Secara fundamental pandangan filosofis terkait dengan sistem politik multi
partai adalah apakah kebebasan politik, baik sebagai kebebasan sipil maupun
sebagai kebebasan kehendak, adalah bebas nilai. Kebebasan politik sebagai
kebebasan sipil sebagaimana diyakini Mill dibatasi oleh perlindungan terhadap
kebebasan orang lain, yaitu mencegah “harm to others”. Sementara kebebasan
politik sebagai kebebasan kehendak sebagaimana diyakini oleh Kant adalah
kebebasan yang seyogianya dijalani dengan berdasarkan pada good will.Supaya
kebebasan tersebut dapat menjadi hukum universal maka kebebasan tersebut harus
dilandasi oleh prinsip categorical imperative.

B. Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Penyederhanaan Partai Politik


Penyelenggaraan hukum dalam penelitian ini dibatasi cakupannya pada
pembentukan hukum, yaitu undang-undang (legislasi) sebagai instrumen hukum
dalam rangka penyederhanaan partai politik.Dalam pengertian demikian maka
undang-undang tersebut (dalam rangka penyederhanaan partai politik) harus
dilandasi secara filosofis oleh Pancasila sebagai “guiding principle”-nya.

1
Di dalam sistem hukum hak asasi manusia (HAM), terdapat tiga kategori hak berkenaan
dengan pertanyaan dapat dibatasi atau tidaknya: hak-hak yang dirumuskan absolut atau rights
which are expressed in absolute terms (yang pelaksanaannya tidak dapat dibatasi atas dasar alasan
apapun); hak-hak yang dirumuskan restriktif atau rights which are restrictively defined; dan hak-
hak yang pelaksanaannya dirumuskan untuk dapat dibatasi ataurights the exercise of which may be
restricted. Jayawickrama, The Judicial Application of Human Rights Law, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2001), h. 182-184.

3
Upaya mengkonstruksikan prinsip-prinsip hukum penyederhanaan partai
politik harus dimulai dari landasan filosofis bangsa Indonesia sendiri yaitu
Pancasila. Pancasila dalam kedudukannya sebagai cita-hukum bangsa Indonesia
adalah landasan filosofis bagi prinsip-prinsip hukum penyederhanaan partai
politik di Indonesia. Dalam pokok pembahasan tersebut kedudukan Pancasila
sebagai cita-hukum dan kemudian ajaran Pancasila sebagai cita-hukum tersebut
akan menjadi perhatian penelitian ini. Ajaran Pancasila sebagai cita-hukum akan
difokuskan pada paham kebebasan yang dianut Indonesia berdasarkan Pancasila.

C. Partai Politik dan Partisipasi Politik


Prinsip-prinsip hukum penyederhanaan partai politik dengan bertolak dari
prinsip pembatasan HAM serta prinsip demokrasi, maka akan dijelaskan terlebih
dahulu konsep-konsep yang relevan dengan penelitian yaitu tentang partai politik
dan partisipasi politik. Pembahasan ini bersifat deskriptif dan bertujuan untuk
memberikan pengetahuan awal atas permasalahan yang akan diteliti sebelum
membahas lebih lanjut mengenai aspek substantifnya yaitu penyederhanaan partai
politik dan prinsip-prinsip hukum yang mendasarinya.

Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa partai politik merupakan suatu


kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-
nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh
kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik – (biasanya) dengan cara
konstitutional – untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.2

Sedasar dengan pengertian tersebut di atas Maurice Duverger


mengelaborasi ada tiga sistem kepartaian yang lazim ditemukan berdasarkan
praktik politik. Pertama, sistem partai tunggal (one-party system). Kedua, sistem
dwi partai (two-party system). Ketiga, sistem multi partai (multi-party system).3

2
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya:
Penerbit Bina Ilmu, 1987), h. 160-161.
3
Ibid, h. 167-170.

4
D. Perlunya Penyederhanaan Partai Politik dalam Sistem Pemerintahan di
Indonesia yang Multi Partai

Pembahasan ini akan memanfaatkan hasil kajian disiplin ilmu lain, yaitu
ilmu politik, yang berhasil dalam usahanya melakukan teoresasi atas kegagalan
sistem pemerintahan presidensiil yang diaplikasikan dengan sistem multi partai
untuk menghasilkan pemerintahan yang stabil. Abstraksi atas pengalaman empiris
negara-negara dengan sistem pemerintahan presidensiil dan multi partai sehingga
menjadi teori tersebut sampai saat ini masih terbukti validitas atau kebenarannya.
Terhadap permasalahan dalam hubungan antara sistem pemerintahan
presidensiil dengan sistem multi partai, para ilmuwan politik telah berhasil
mencapai konsensus bahwa kedua konsep tidak kompatibel karena kodratnya
memang saling bertolak belakang. Juan Linz dengan gamblang mengajukan
pendapat bahwa sistem pemerintahan parlementer lebih stabil ketimbang sistem
pemerintahan presidensiil dalam hal dukungan parlemen terhadap eksekutif:
“Indeed, the vast majority of the stable democracies in the world today are
parliamentary regimes, where executive power is generated by legislative
majorities and depends on such majorities for survival”.4

E. Pengaturan tentang Pendirian Partai Politik dalam Rangka


Penyederhanaan Partai Politik
Pengaturan pendirian partai politik dalam rangka penyederhanaan partai
politik didasari sejumlah argumen sebagai berikut. Pertama, penggunaan
hak/kebebasan berserikat sebagai dasar legitimasi dalam tindakan pendirian partai
politik oleh warga negara harus dilakukan secara reasonable. Negara wajib
melakukan pengaturan agar pendirian partai politik tidak dimotivasi oleh
kepentingan politik sempit dan kepentingan politik jangka pendek, karena jika hal
itu dibiarkan maka akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan hak/kebebasan
berserikat.

4
Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol. 1, No. 1,
1990, h. 51.

5
Kedua, menjaga integritas partai politik dalam rangka sustainabilitas atau
keberlanjutan fungsionalnya.Sustainabilitas partai politik adalah persoalan krusial
dalam pendirian partai politik karena partai politik sebagai subjek hukum adalah
badan hukum yang secara teori dimungkinkan untuk tidak terbatasi usianya oleh
waktu.
Basis utama pengaturan tentang pendirian partai politik adalah hak atas
kebebasan berserikat/berkumpul. Oleh karena itu syarat substantif pendirian partai
politik adalah dalam kerangka untuk mengakomodir hak tersebut, hak atas
kebebasan berserikat/berkumpul, sebagai prioritas utama pada satu sisi, dan tujuan
hakiki dari hak tersebut pada sisi lain.
Setiap warga negara pada prinsipnya diakui dan dijamin memiliki hak atas
kebebasan berserikat/berkumpul. Akan tetapi di sisi lain, setiap orang yang
hendak mengekspresikan hak itu dengan jalan mendirikan partai politik harus
tunduk dan mematuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku yang telah
dituangkan ke dalam undang-undang (legislasi). Pembentuk undang-undang
memiliki kebijakan dalam menentukan pengaturan tersebut.Sepanjang tidak ada
pembatalan oleh badan yang berwenang, Mahkamah Konstitusi, undang-undang
tersebut berlaku dan harus dipatuhi oleh siapapun ketika hendak mendirikan partai
politik.
Implikasi dari pengaturan tersebut dikaitkan dengan hak atas kebebasan
berserikat/berkumpul adalah orang tidak memiliki kebebasan penuh untuk
mendirikan partai politik karena proses pendiriannya harus sesuai dengan
pengaturan yang dilakukan oleh negara dalam bentuk undang-undang.
Sejarah peraturan perundang-undangan tentang partai politik sepuluh
tahun terakhir menunjukkan secara tersurat kebijakan pembentuk undang-undang
yang semakin progresif dari waktu ke waktu untuk meletakkan satu landasan yang
kuat bagi eksistensi partai politik yang hendak berpartisipasi dalam proses politik
di Indonesia.

6
F. Pengaturan tentang Penyelenggaraan Pemilu dalam Rangka
Penyederhanaan Partai Politik
Materi muatan spesifik dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU No. 8/2012) yang akan dibahas
adalah tentang sistem pemilu dan kebijakan parliamentary threshold, dan secara
khusus mengkritisi materi muatan tersebut dikaitkan dengan efektivitas politik
hukum dalam rangka penyederhanaan partai politik supaya sistem kepartaian yang
berlaku saat ini di Indonesia dapat memperkuat sistem pemerintahan presidensiil
berdasarkan UUD 1945.

Negara memiliki kewenangan untuk menentukan aturan main dalam


rangka penyelenggaraan pemilu melalui undang-undang.Setiap partai politik yang
hendak berpartisipasi dalam pemilu harus mematuhi aturan main tersebut sebagai
syarat apriori. Berdasarkan kritisisme terhadap undang-undang tentang pemilu
yang saat ini berlaku maka selanjutnya akan secara spesifik dikaji dan sekaligus
direkomendasikan pokok-pokok pengaturan tentang penyelenggaraan pemilu ius
constituendum yang meliputi: pilihan atas sistem pemilu yang akan digunakan dan
syarat untuk dapat berpartisipasi dalam pemilu. Dalam konteks tersebut maka
penelitian ini hendak menawarkan sistem distrik sebagai sistem pemilu paling
efektif dalam rangka penyederhanaan partai politik di Indonesia, khususnya dalam
kehadirannya di parlemen.

UU No. 8/2012 sebagai dasar legalitas pelaksanaan pemilu legislatif 2014


masih tetap menerapkan sistem proporsional sebagai sistem penyelenggaraan
pemilu di Indonesia seperti halnya undang-undang pemilu yang sebelumnya (UU
No. 3 Tahun 1999, UU No. 12 Tahun 2003 dan UU No. 10 Tahun 2008). Alasan
teoretis bagi pilihan atas sistem pemilu tersebut adalah untuk lebih
mengedepankan aspek representasi. Hal ini lebih menjadi preferensi di kalangan
negara-negara demokrasi baru, tetapi sekaligus juga menjadi penanda kegagalan
demokrasi di negara-negara tersebut.

7
Untuk dapat berpartisipasi dalam pemilu maka setiap partai politik harus
memenuhi syarat kepesertaan yang dibebankan oleh undang-undang. Hal ini
sifatnya mutlak karena syarat tersebut fungsinya adalah untuk memastikan
kredibilitas partai politik yang akan berkompetisi serta kredibilitas
penyelenggaraan pemilunya sendiri. Pengaturan tentang syarat kepesertaan dalam
pemilu ini memiliki tujuan sangat spesifik sebagai saringan untuk menentukan
siapa partai politik yang secara sah dapat menjadi partai politik peserta pemilu.

G. Konstitusionalitas Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik


Peraturan Perundang-Undangan tentang Partai Politik adalah dasar hukum
operasional partai politik yang ditetapkan dalam konstitusi, undang-undang
tentang partai politik, undang-undang tentang pendanaan partai politik, Undang-
undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang kampanye dan juga
peraturan administrasi, penetapan-penetapan dan putusan pengadilan. Konstitusi
memegang posisi istimewa di antara instrumen hukum tentang partai politik,
karena mencerminkan nilai-nilai fundamental dan melegitimasi aturan politik
melalui spesifikasi prosedur yang mendukung pelaksanaan kekuasaan. Melalui
konstitusi, maka dapat diukur posisi partai dalam format kelembagaan negara.
Undang-undang yang mengatur tentang partai politik spesifik mengatur tentang
internal partai. Beberapa negara mengatur juga tentang partai dalam undang-
undang tentang pemilihan umum serta ada pula yang mengatur partai politik
dalam berbagai bentuk instrumen hukum.
Dari beberapa putusan perkara pengujian Undang-Undang yang mengatur
tentang kebijakan penyederhanaan partai politik, beberapa kebijakan dinyatakan
konstitusional, namun demikian terdapat pula kebijakan yang dinyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi inkonstitusional dan juga konstitusional bersyarat.
Berdasarkan pertimbangan hukum MK dapat dianalisa bahwa kebijakan
penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak melanggar UUD
1945 dikarenakan itu merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan
Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk undang-Undang.

8
H. Pengaturan dan Persyaratan dalam Undang-Undang tentang Partai
Politik merupakan Pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945
Menurut Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Perkara
Nomor PUU-20/PUU-I/2003, substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor
31 Tahun 2002 yang mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen
Kehakiman, Pasal 3 ayat (2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal
23 huruf a, b, c, dan d yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang
partai politik, justru merupakan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pengaturan dimaksud penting guna
menjamin agar penggunaan kebebasan seseorang atau sekelompok orang tidak
mengganggu kebebasan seseorang atau sekelompok orang lainnya. Pengaturan
bukan bermaksud mengekang kebebasan pendirian partai melainkan merupakan
pengaturan mengenai persyaratan pemberian status badan hukum, sehingga partai
politik tersebut dapat diakui sah bertindak dalam lalu lintas hukum.5
Syarat-syarat yang membatasi jumlah partai politik, terutama yang akan
mengikuti pemilihan umum tidak bertentangan dengan UUD 1945, pembentuk
undang-undang tidak melakukan pembatasan dengan menetapkan jumlah partai
politik sebagai peserta Pemilu, melainkan, antara lain dengan menentukan syarat-
syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU 8/2012. Tidak
dibatasinya jumlah partai politik sebagai peserta Pemilu yang akan mengikuti
pemilihan umum merupakan perwujudan dari maksud pembentuk undang-undang
dalam mengakomodasi kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul,
sekaligus menunjukkan bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama
untuk mendirikan atau bergabung dengan partai politik tertentu, tentunya setelah
memenuhi syarat-syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Atas dasar pengertian yang demikian, menurut Mahkamah, tindakan

5
Putusan PUU-20/PUU-I/2003. hal 35-36

9
pembentuk undang-undang yang membatasi jumlah partai politik peserta
pemilihan umum dengan tanpa menyebut jumlah partai peserta Pemilu adalah
pilihan kebijakan yang tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena
pembatasan tersebut tidak ditentukan oleh pembentuk undang-undang melainkan
ditentukan sendiri oleh rakyat yang memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihannya secara alamiah.
I. Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik adalah Pilihan Legal Policy
Pembentuk Undang-Undang
Pada putusan perkara pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
Nomor 16/PUU-V/2007 dalam pertimbangan hukumnya [3.15], Mahkamah
mengemukakan bahwa Partai memang politik menempati posisi strategis dalam
kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3)
UUD 1945 berbunyi, “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai
politik”. Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam
undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut tentang
pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan ketentuan berbagai Undang-Undang Partai Politik yang
pernah berlaku tersebut, tampak bahwa UU 2/1999 tidak memasukkan adanya
kepengurusan partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan)
sebagai salah satu persyaratan badan hukum sebuah partai politik, sedangkan UU
31/2002, UU 2/2008, dan UU 2/2011 mengharuskan pembentukan kepengurusan

10
partai politik di daerah (provinsi, kabupaten, dan kecamatan) sebagai salah satu
syarat untuk pendirian badan hukum sebuah partai politik, yang selalu
membedakan jumlah kepengurusan di daerah. Menurut Mahkamah, hal tersebut
merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di
bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya
alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia.

J. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik


Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan, meskipun menyatakan
bahwa kebijakan penyederhanaan partai politik tidak bertentangan dengan UUD
1945, tidaklah serta merta setiap kebijakan bersifat konstitusional, ada persyaratan
dan batasan yang dinyatakan oleh Mahakamh Konstitusi yaitu prinsip-prinsip
yang harus dipenuhi oleh kebijakan tersebut yaitu : prinsip demokratis, Rasional
dan Non Diskriminatif.
1. Demokratis
Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak bertentangan dengan prinsip negara
hukum yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Mahkamah,
kebijakan tentang PT yang terkandung dalam pasal a quo didasarkan atas Undang-
Undang, in casu UU 10/2008, yang dibuat secara demokratis oleh DPR dan
Pemerintah, serta tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), bahkan tetap
menjamin hak hidup Parpol Peserta Pemilu serta kesempatan yang sama untuk
mengikuti Pemilu berikutnya.

2. Konstitusional
Partai politik menempati posisi strategis dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia yang ditunjukkan dengan adanya ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 berbunyi, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum” dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 berbunyi,
“Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”.

11
Akan tetapi, implementasinya masih harus diatur dalam atau dengan
undang-undang, seperti dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, “Tata
cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur
dalam undang-undang” dan menurut Pasal 22E ayat (6), “Ketentuan lebih lanjut
tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Hal ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang berwenang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
pemilihan umum dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sepanjang undang-
undang yang mengatur masalah tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945

3. Tidak Bersifat Diskriminatif


Substansi Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 yang
mengharuskan Partai Politik didaftarkan di Departemen Kehakiman, Pasal 3 ayat
(2) yang mengatur pengesahan partai politik, dan Pasal 23 huruf a, b, c, dan d
yang mengatur pengawasan pelaksanaan Undang-undang partai politik tidak dapat
dipandang diskriminatif karena berlaku terhadap semua partai politik.
Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemilu tidak bertentangan dengan Pasal
28I ayat (2) UUD 1945 tentang hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif, karena persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya itu
berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara demokratis
melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET yang menjadi
syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung partai politik yang bersangkutan
dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-undangnya.
Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 316 huruf d UU 10/2008
menunjukkan perlakuan yang tidak sama dan tidak adil terhadap sesama Parpol
Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi electoral threshold [Pasal 9 ayat (1)
UU 12/2003 juncto Pasal 315 UU 10/2008]. Perlakuan yang tidak adil tersebut
ditunjukkan dengan kenyataan bahwa ada Parpol yang hanya memperoleh satu
kursi di DPR, kendati perolehan suaranya lebih sedikit dari pada Parpol yang
tidak memiliki kursi di DPR, melenggang dengan sendirinya menjadi peserta
Pemilu 2009; sedangkan Parpol yang perolehan suaranya lebih banyak, tetapi

12
tidak memperoleh kursi di DPR, justru harus melalui proses panjang untuk dapat
mengikuti Pemilu 2009, yaitu melalui tahap verifikasi administrasi dan verifikasi
faktual oleh KPU. Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan undang-undang, in
casu Pasal 316 huruf d UU 10/2008, yang memberikan perlakuan yang tidak sama
kepada mereka yang kedudukannya sama, dalam hal ini Parpol yang memiliki
wakil di DPR dan yang tidak memiliki wakil di DPR, pada hakikatnya
kedudukannya sama, yakni tidak memenuhi electoral threshold baik menurut
Pasal 9 ayat (1) UU 12/2003 maupun menurut Pasal 315 UU 10/2008,
bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2).
4. Sistem Distrik sebagai Alternatif Ius Constituendum untuk
Penyederhanaan Partai Politik
Pada bahasan ini menyarankan agar pembentuk undang-undang berani
untuk memilih sistem distrik sebagai alternatif ius constituendum dalam rangka
penyederhanaan partai politik untuk menghasilkan sistem politik yang memiliki
kompatibilitas dengan sistem pemerintahan presidensiil. Argumennya adalah
pilihan terbaik untuk penyederhanaan partai politik secara demokratis dan sesuai
dengan HAM adalah pemberlakuan sistem distrik dalam rangka penyelenggaraan
pemilu legislatif.

13
Kekhawatiran utama dalam penerapan sistem distrik adalah hilangnya
suara konstituen karena sistem distrik menganut prinsip yang dikenal dengan
istilah ‘the winner takes all’. Dalam kompetisi pemilu berdasarkan sistem distrik,
peraih kursi parlemen hanyalah kandidat yang memperoleh suara terbanyak.

Dalam realitas politik di Indonesia logika suara hilang secara substantif


tidak masuk akal karena tidak ada perbedaan signifikan dari partai-partai politik
yang ada. Hal ini juga penting untuk dijadikan sebagai pertimbangan dalam
menjawab kritik atas kelemahan sistem distrik. Justru dengan sistem distrik maka
orientasi dari partai-partai politik yang ada dapat lebih mudah dibedakan, terutama
menyangkut program-programnya karena dalam model kompetisi secara zero sum
game perbedaan yang kontras sangat penting dalam mempengaruhi rakyat sebagai
pemilih. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pemilu di mana rakyat sebagai pemilih semakin cerdas.

Kesimpulan

Setelah dilakukan analisis atau pembahasan terhadap permasalahan ini


maka dapat disimpulkan pengertian sebagai berikut, yaitu penyederhanaan partai
politik dapat dibenarkan secara filosofis sesuai Pancasila sebagai cita-hukum
bangsa Indonesia. Gotong royong adalah nilai etis Pancasila sebagai landasan etis
bagi kebebasan kehendak yang dasarnya adalah kehendak baik para warga negara,
bukan kehendak bebas yang egoistik. Sistem kepartaian yang mampu
merefleksikan prinsip gotong-royong adalah bukan sistem multi partai.

Penyederhanaan partai politik adalah politik hukum nasional yang


konstitusional sepanjang konsisten dengan prinsip perlindungan HAM(dilakukan
berdasarkan prinsip pembatasan HAM yang sah) dan prinsip demokrasi. Prinsip
pembatasan HAM yang sah tersebut terdiri dari prinsip legalitas dan prinsip
kepentingan untuk melakukan pembatasan. Penerapan kedua prinsip dalam rangka
pembatasan HAM juga diawasi dan diimbangi dengan prinsip proporsionalitas.

14
Politik hukum dalam rangka penyederhanaan partai politik tertuju pada
dua sasaran yaitu: (1) pengaturan tentang pendirian partai politik dan (2)
pengaturan tentang penyelenggaraan pemilu. Orientasi pengaturan tentang
pendirian partai politik adalah menjadipenghambat bagi kehendak seseorang
untuk mendirikan partai politik. Sementara orientasi pengaturan tentang
penyelenggaraan pemilu adalah untuk membatasi atau mengurangi jumlah
kehadiran partai politik di parlemen. Sejalan dengan itumaka wajar jika tidak
setiap partai politik dapat berpartisipasi dalam pemilu serta mendudukkan wakil-
wakilnya di parlemen. Eksistensi sebagai partai politik yang sah berdasarkan
undang-undang tidak secara otomatis berbanding lurus dengan keterpenuhan
syarat sebagai partai politik peserta pemilu karena dua hal itu tunduk pada
pengaturanyang berbeda (UU Partai Politik dan UU Pemilu). Dalam kaitan
dengan pengaturan tentang pemilu ditemukan ada dua pendekatan dalam
penyederhanaan partai politik. Pada sistem proporsional penyederhanaan partai
politik hanya akan terjadi dengan semakin tingginya besaran parliamentary
threshold. Penyederhanaan partai politik secara alamiah terjadi dengan sistem
distrik sesuai Duverger’s Law.

Daftar Pustaka

Jayawickrama. 2001. The Judicial Application of Human Rights Law, Cambridge:


Cambridge University Press.

Juan J. Linz, “The Perils of Presidentialism,” Journal of Democracy, Vol. 1, No.


1, 1990.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia,


Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.

Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.

15

Anda mungkin juga menyukai