PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
satu dari sumber ajaran Islam, tepatnya sumber ajaran Islam kedua.1 Sebagai
teoritis, hadith Nabi memiliki makna universal, s{àlih li kulli zamàn wa makàn
dengan hadis-hadis “yang dianggap” tidak lagi sesuai dengan zaman, karena ia
dengan sisi-sisi kemanusian beliau yang terikat oleh ruang dan waktu, budaya
yang seperti ini hanya dapat diterapkan pada masa lampau saja, tidak untuk
(baca: sesuai dengan kehidupan) saat sekarang. Hadis Nabi tidak lagi bersifat
universal dan pada gilirannya tidak lagi dapat dipertahankan sebagai salah satu
sumber ajaran Islam yang s{àlih li kulli zamàn wa makàn. Hadis Nabi
menerima al-Qur’an sebagai sember ajaran Islam, dan menolak hadis sebagai
sumber ajaran Islam. Jargon yang dilontarkan oleh kelompok ini adalah al-
1
Kehujjahan hadith sebagai sumber ajaran Islam kedua ini dapat ditemukan uraiannya
secara detail dalam karya-karya Us{ùl Fiqh. Lihat misalnya al-Shatibi, al-Muwàfaqàt fì Us{ùl al-
Sharì’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), Jl. II, h. 389-460; Wahbah al-Zuhaili, Us{ùl al-Fiqh al-
Islàmì, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2001), Jl. I, h. 458-460; dan al-Amidi, al-Ihkàm fì Us{ùl al-
Ahkàm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jl. I, h. 112-137.
1
Islàm huwa al-Qur’àn wahdah (Islam adalah al-Qur’an saja) Kelompok inilah
Sifat temporal dari hadis Nabi dan keyakinan akan universalitas hadis
sebagai sebuah sumber ajaran Islam adalah sebuah kenyataan bagi mayoritas
umat Muslim, meskipun menurut logika makna yang melekat dalam sifat
sesuatu (hadis) yang bersifat temporal bisa sekaligus bersifat universal. Oleh
fakta yang lain berarti salah? Untuk itu, dalam tulisan ini akan diuraikan
pengertian atau konteks dari dua fakta tersebut, dan selanjutnya akan
sebuah fakta sejarah dan sekaligus harus dijadikan sebagai salah satu sumber
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hadi>s Marfu>’ ?
2. Apa sajakah pembagian macam Hadi>s Marfu>’ ?
3. Apa sajakah contoh-contoh Hadi>s Marfu>’ ?
4. Apakah Maksud Hadi>s Marfu>’ Sebagai Sumber Ajaran Islam?
5. Bagaimanakah Kedudukan Hadi>s Marfu>’ Qauly Sebagai Sumber
Ajaran Islam?
BAB II
2
AL-MARFU>’ MIN AL-QAUL H{UKMAN
A. Hadis Marfu’
1. Pengertian Had>is Marfu>’
Al-Marfu>’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a yang
berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada
yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah saw. Sedangkan Hadis
Marfu’ menurut istilah adalah ;
.ََصف ٍَة
ِ َأو ِ مَاَأ ُ ِض ْيفَإِلىَالنَّ ِبيَِص ْلع ْم
ْ َم ْنَق ْو ٍلَأ ْوَفِ ْع ٍلَأَ ْوَتَ ْق ِرَْي ٍر
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat” 2
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun
sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh
jadi sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini
bisa Muttashil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
Defenisi ini mengecualikan berita yang tidak disandarkan kepada Nabi
Misalnya yang disandarkan kepada sahabat yang nantinya disebut hadis
Mauquf atau yang disandarkan kepada Tabi’in disebut hadis Maqthu’.3
2
Muhammad Tohan, Musthalahah al- Hadis, (Beirut: Darul Fikr, t.th), h. 105
3
Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2009), h. 223
4
Marfu’secara Hakiki maksudnya penyandarannya secara tegas kepada Rasulullah saw.
5
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi tertentu.
6
Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis...., h. 224-226
3
Marfu>’ Qauly Hakiki ialah ucapan yang jelas atau terang-
terangan menunjukkan kepada Marfu’. Seperti pemberitaan sahabat
yang menggunakan lafal qauliyah;
4
ََُصالة:َ َّللاِ َص ْلع ْم َقال ُ َإِ َّن َر:َ ََّللاُ َع ْنهُ َقال
َّ َ س ْو َُل َّ ع ْن َا ْب ُن َعُم ٌر َر ِضي
ََم ْن َصال ِة َا ْلف ِذ َبِس ْب ٍع َو ِعش ِْر ْين َدرجةً َ(رواهَالبخاري
ِ ا ْلجماع ِة َأ ْفض ُل
)َوَمسلم
b. Marfu>’ Qauly Hukmi
ْ أ ُ ِمرَبِال ٌلَأ ْنَيشْفع
ِ َاْلذنَوأ ْنَيُّ ْوتِر
)ََاإلقامةَ(متفقَعليه
c. Marfu>’ Fi’li Hakiki
)َسنَّةًَن ِب ِيناَ(رواهَأبوَداود
ُ َس ْواَعل ْينا
ُ َّالتلب
B. Hadis Marfu’ Sebagai Sumber Ajaran Islam
Secara historis, sejak zaman Nabi (w. 632 M.), umat Muslim sepakat untuk
menjadikan sunnah (hadith) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping
al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti historis yang dapat menjelaskan adanya
sikap dari kalangan kaum Muslim pada saat itu yang menolak sunnah (hadith)
sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa al-khulafà’ al-
ràshidùn (632-661 M.) dan Bani Umayah (661-750 M.), belum terlihat secara
jelas adanya kalangan dari umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu
ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258 M.), muncul secara
jelas sekelompok kecil umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok
5
inkàr al-sunnah atau munkir al-sunnah.7 Penempatan hadith Nabi sebagai salah
satu sumber ajaran ini didasarkan atas adanya beberapa kenyataan berikut ini:
Pada dasarnya, tidak ada keterangan dari al-Qur’an atau dari pernyataan
Nabi satu pun yang menyatakan bahwa hadis adalah penjelas dari al-Qur’an.
Hanya saja, sebuah deduksi “hadis adalah penjelas dari al-Qur’an” ini didasarkan
pada posisi dan fungsi Nabi sendiri ketika diutus sebagai seorang rasul bagi umat
manusia. Dalam firman Allah Qs. al-Nahl; 44 dinyatakan bahwa:
Artinya:
6
kemudian hadis-hadis beliau memiliki peran yang penting dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Muslim. Karenanya, ia harus
dijadikan sumber ajaran Islam yang otoritatif, meskipun harus diakui juga bahwa
ajaran-ajaran dalam hadis pun tetap harus sejalan dengan dasar-dasar yang
dibangun oleh al-Qur’an.8
2. Ayat-ayat tentang Perintah untuk Ta’at Kepada Rasulullah
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
8
Wahbah al-Zuhaili, al-Qur’àn al-Karìm: banaituhu al-tashrì’iyyah wa khas{à’is{uh al-
hadlìriyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’as{{ir, 1993), h. 48-50
9
Abdul Haris, “Muhammad, Antara Rasul dan Manusia Biasa: Studi Analisis atas
Sebutan-sebutan Muhammad dalam al-Qur’an, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadith vol. 2 No. 1, Juli 2001 Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 72-74.
7
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Artinya:
7. ..... apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Artinya:
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Melalui ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa umat beliau diharapkan
agar supaya mentaati beliau. Karena itu, hadith atau sunnah Nabi merupakan
sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadith sebagai
sumber ajaran Islam berarti orang itu telah menolak petunjuk al-Qur’an.10
C. Kedudukan Hadi>s Marfu>’ Qauly Sebagai Sumber Ajaran Islam
Kedudukan Hadis sebagai bayani (menjalankan fungsi menjelaskan hukum
al-Qur’an), tidak diragukan lagi dapat diterima semua pihak, karena memang
untuk itulah Nabi ditugaskan Allah swt. Nabi Muhammad saw. adalah seorang
Rasul yang membawa risalah universal (rahmatan li al-‘Alamin) dari Allah swt.
Sebagai Nabi dan Rasul maka beliau merupakan teladan dan wajib untuk dita’ati.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9
8
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber
atau dalil kedua setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta
mengikat untuk semua umat Islam. Mereka mengemukakan dalil-dalil yang
menetapkan hadis terutama hadis marfu’ yang merupakan suatu sumber ajaran
Islam yang harus dita’ati dan sebagai hujjah bagi kaum muslimin, di antaranya
sebagai berikut:
Pertama, Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh dan
memerintahkan kaum muslimin untuk menta’ati Rasul, dengan ungkapan yang
berbeda. Ketaatan kepada Rasul sering dirangkaikan dengan keharusan menta’ati
Allah. Umpamanya, firman Allah SWT:
Artinya:
59. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kita dianjurkan agar mentaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri
(pemimpin). Keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya ini mengandung konsekuensi
keta’atan kepada ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an, dan ketentuan
Rasul saw. yang terdapat dalam sunnahnya. Selanjutnya, ketaatan kepada ulil amri
sifatnya kondisional (tidak mutlak), karena betapapun hebatnya ulil amri itu, maka
ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Atas
dasar inilah menta’ati ulil amri bersifat kondisional. Karena itu, jika produk ulil
amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka wajib diikuti.
Sedangkan jika produk ulil amri itu bertentangan dengan kehendak Allah, maka
tidaklah wajib untuk mentaatinya.
9
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Rasulullah Saw.
adalah teladan hidup bagi orang yang beriman. Maka cara meneladaninya adalah
dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai macam petunjuknya
yang termuat dalam Sunnah (Hadis) beliau. Ayat di atas memberi petunjuk bahwa
orang yang imam haruslah tunduk dan patuh kepada semua perintah dan
keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. yang merupakan utusan Allah.
Artinya, Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerah
kepada keputusan Rasulullah saw. Sementara itu, di pihak lain Allah mencela
orang mukmin yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, pada hal
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuannya (QS. al-Ahzab: 36).
Kedua, Hadis Nabi saw. pada prinsipnya adalah penyampaian (tabliqh)
risalah Allah, dan Allah telah menugaskan kepada Nabi saw. agar menyampaikan
risalah itu kepada umatnya, sebagaimana firman Allah:
Artinya:
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Dengan demikian, apabila Hadis (Marfu’ Qauly) secara keseluruhan
merupakan panyampaian risalah Muhammad saw. maka penerapan dalil sunnah,
berarti sama dengan menerapkan syari’at Allah. Begitu pula ayat al-Qur’an
menetapkan, apa yang dikatakan Nabi Saw. adalah berdasarkan wahyu, karena
beliau tidak berkata berdasarkan kehendaknya sendiri, tetapi semua itu
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah (QS. an-Najm: 3-4). Bila wahyu (al-
Qur’an) mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka sunnah pun wahyu yang
mempunyai kekuatan hukum untuk diikuti.
10
Ketiga, banyak hadis yang mewajibkan kita untuk mengikuti Nabi Saw.
dalam segala hal, yaitu mengikuti secara umum terhadap segala sesuatu yang
termasuk ajaran agama. Di anataranya, hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw. bersabda:
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak (tidak mau). Para
sahabat bertanya, siapa orang yang menolak itu wahai Rasulullah ? Beliau
menjawab, “Siapa yang menta’atiku, ia akan masuk surga dan siapa yang
bermaksiat kepadaku, ia telah menolak (tidak mau) masuk surga” (H.R.Bukhari ).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah ke-hujjah-an Sunnah sebagai
sumber (dalil) hukum ditetapkan berdasarkan al-Qur’an. Ia juga wahyu seperti
halnya al-Qur’an, dan Nabi hanyalah sebagai penyambung lidah dan penjelas
hukum yang terkandung di dalamnya serta pelengkap terhadap syari’at. Kekuatan
Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu: dari segi
kebenaran materinya dan dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Sedangkan secara logika, andaikata Sunnah itu bukan merupakan hujjah
bagi kaum muslimin dan undang-undang yang harus mereka taati, niscaya mereka
tidak akan dapat melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah dalam al-
Qur’an secara seksama. Sebab hukum-hukum al-Qur’an yang diwajibkan kepada
manusia, umumnya bersifat mujmal. Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang tata
cara pelaksanaan hukum-hukumnya seperti perintah shalat. Maka di sinilah
Sunnah (Hadis) menduduki posisi dan fungsi yang cukup signifikan dalam ajaran
Islam untuk memberi penjelasan terhadap ke-mujmalan hukum-hukum al-Qur’an.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
universal (Rahmatan li al-‘Alamin) dari Allah SWT. Sebagai Nabi dan Rasul
beliau merupakan teladan (uswatun hasanah), dan sebagai Rasul beliau juga
wajib untuk ditaati. Satu hal yang harus diyakini, pada umumnya Sunnah
perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk penyampaian risalah dan
bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata cara shalat dan
lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan
ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan apa yang
Namun, selain sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau juga adalah
Qur’an. Beliau tentu juga memiliki keperluan jasmani dan rohani, memiliki
sehari-hari. Apakah semua yang datang dari beliau sebagai manusia biasa
dalam konteks bahwa sebagian perbutan dan perkataan beliau yang muncul
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdul Haris, “Muhammad, Antara Rasul dan Manusia Biasa: Studi Analisis atas
Sebutan-sebutan Muhammad dalam al-Qur’an, dalam Jurnal Studi Ilmu-
ilmu al-Qur’an dan Hadith Vol. 2 No. 1, Juli 2001 Jurusan Tafsir Hadith
Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
72-74.
Wahbah al-Zuhaili, Us{ùl al-Fiqh al-Islàmì. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2001.
13