Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mayoritas umat Muslim sepakat bahwa hadis Nabi merupakan salah

satu dari sumber ajaran Islam, tepatnya sumber ajaran Islam kedua.1 Sebagai

sumber ajaran Islam, ia merupakan rujukan bagi setiap Muslim dalam

mempraktekkan keagamaan, termasuk di dalamnya adalah mengatasi semua

problema kehidupan yang sedang dihadapi manusia. Dengan demikian, secara

teoritis, hadith Nabi memiliki makna universal, s{àlih li kulli zamàn wa makàn

(cocok untuk semua waktu dan tempat).

Realitasnya, keyakinan ini sering menghadapi kendala berkaitan

dengan hadis-hadis “yang dianggap” tidak lagi sesuai dengan zaman, karena ia

merupakan sebuah bentuk rekonstruksi peristiwa (reportase) mengenai

perilaku Nabi pada abad ke 7 M di dunia Arab –mungkin karena berkaitan

dengan sisi-sisi kemanusian beliau yang terikat oleh ruang dan waktu, budaya

lokal Arab dan dalam konteks kondisi tertentu. Konsekuensinya, hadis-hadis

yang seperti ini hanya dapat diterapkan pada masa lampau saja, tidak untuk

(baca: sesuai dengan kehidupan) saat sekarang. Hadis Nabi tidak lagi bersifat

universal dan pada gilirannya tidak lagi dapat dipertahankan sebagai salah satu

sumber ajaran Islam yang s{àlih li kulli zamàn wa makàn. Hadis Nabi

hanyalah mencerminkan suatu peristiwa yang bersifat temporal dan lokal.

Pemahaman hadis yang hanya dikaitkan dengan makna lokalitas

seperti inilah yang kemudian mengantarkan sekelompok umat Islam hanya

menerima al-Qur’an sebagai sember ajaran Islam, dan menolak hadis sebagai

sumber ajaran Islam. Jargon yang dilontarkan oleh kelompok ini adalah al-

1
Kehujjahan hadith sebagai sumber ajaran Islam kedua ini dapat ditemukan uraiannya
secara detail dalam karya-karya Us{ùl Fiqh. Lihat misalnya al-Shatibi, al-Muwàfaqàt fì Us{ùl al-
Sharì’ah, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), Jl. II, h. 389-460; Wahbah al-Zuhaili, Us{ùl al-Fiqh al-
Islàmì, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2001), Jl. I, h. 458-460; dan al-Amidi, al-Ihkàm fì Us{ùl al-
Ahkàm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), Jl. I, h. 112-137.

1
Islàm huwa al-Qur’àn wahdah (Islam adalah al-Qur’an saja) Kelompok inilah

yang kemudian disebut sebagai para pengingkar hadis Nabi.

Sifat temporal dari hadis Nabi dan keyakinan akan universalitas hadis

sebagai sebuah sumber ajaran Islam adalah sebuah kenyataan bagi mayoritas

umat Muslim, meskipun menurut logika makna yang melekat dalam sifat

keduanya adalah kontradiktif (contradictory in terms). Tidaklah mungkin

sesuatu (hadis) yang bersifat temporal bisa sekaligus bersifat universal. Oleh

karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah apakah benar bahwa

keduanya benar-benar bersifat kontradiktif? Ataukah ada pengertian masing-

masing dari dua kenyataan tersebut? Dapatkah keduanya dicarikan titik

temunya, sehingga dapat dipahami konteks masing-masing? Ataukah harus

saling diperhadapkan, sehingga ketika dibenarkan fakta salah satunya, maka

fakta yang lain berarti salah? Untuk itu, dalam tulisan ini akan diuraikan

pengertian atau konteks dari dua fakta tersebut, dan selanjutnya akan

dilakukan analisis dalam rangka memahami konteks hadis yang merupakan

sebuah fakta sejarah dan sekaligus harus dijadikan sebagai salah satu sumber

utama ajaran Islam bersama al-Qur’an ilà yaum al-qiyàmah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Hadi>s Marfu>’ ?
2. Apa sajakah pembagian macam Hadi>s Marfu>’ ?
3. Apa sajakah contoh-contoh Hadi>s Marfu>’ ?
4. Apakah Maksud Hadi>s Marfu>’ Sebagai Sumber Ajaran Islam?
5. Bagaimanakah Kedudukan Hadi>s Marfu>’ Qauly Sebagai Sumber
Ajaran Islam?

BAB II
2
AL-MARFU>’ MIN AL-QAUL H{UKMAN

A. Hadis Marfu’
1. Pengertian Had>is Marfu>’
Al-Marfu>’ menurut bahasa merupakan isim maf’ul dari kata rafa’a yang
berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada
yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah saw. Sedangkan Hadis
Marfu’ menurut istilah adalah ;

.َ‫َصف ٍَة‬
ِ ‫َأو‬ ِ ‫مَاَأ ُ ِض ْيفَإِلىَالنَّ ِبيَِص ْلع ْم‬
ْ ‫َم ْنَق ْو ٍلَأ ْوَفِ ْع ٍلَأَ ْوَتَ ْق ِرَْي ٍر‬
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (ketetapan) atau sifat” 2
Dari definisi di atas dapat difahami bahwa segala sesuatu yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. baik perkataan, perbuatan, taqrir, ataupun
sifat beliau disebut dengan hadis Marfu'. Orang yang menyandarkan itu boleh
jadi sahabat, atau selain sahabat. Dengan demikian, sanad dari hadis Marfu' ini
bisa Muttashil, bisa pula Munqathi, Mursal, atau Mu'dhal dan Mu'allaq.
Defenisi ini mengecualikan berita yang tidak disandarkan kepada Nabi
Misalnya yang disandarkan kepada sahabat yang nantinya disebut hadis
Mauquf atau yang disandarkan kepada Tabi’in disebut hadis Maqthu’.3

2. Macam-macam Hadi>s Marfu>’


Mengingat bahwa unsur-unsur hadis itu dapat berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrir Nabi maka apa yang disandarkan kepada Nabi itupun dapat
diklasifikasikan menjadi marfu’ qauli, marfu fi’li dan marfu taqriri. Dari ketiga
macam hadis marfu’ tersebut ada yang jelas dengan mudah dikenal rafa’nya dan
ada pula yang tida jelas rafa’nya. Yang jelas (shahih) disebut marfu’ hakiki 4 dan
yang tidak jelas disebut dengan marfu’ hukmi. 5
Secara rinci, pembagiannya dijelaskan dibawah ini:6
1. Marfu>’ Qauly Hakiki

2
Muhammad Tohan, Musthalahah al- Hadis, (Beirut: Darul Fikr, t.th), h. 105
3
Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah, 2009), h. 223
4
Marfu’secara Hakiki maksudnya penyandarannya secara tegas kepada Rasulullah saw.
5
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi tertentu.
6
Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis...., h. 224-226

3
Marfu>’ Qauly Hakiki ialah ucapan yang jelas atau terang-
terangan menunjukkan kepada Marfu’. Seperti pemberitaan sahabat
yang menggunakan lafal qauliyah;

َ ‫َكذا‬.............َ‫ََّللاَص ْلع َْمَيقُ ْو َُل‬


َّ ‫س ْو ُل‬
ُ ‫س ِمعْتُ َر‬
“Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda ......... begini”.

2. Marfu>’ Qauly Hukmi


Marfu>’ Qauly Hukmi adalah ucapan tidak terang-terangan
menunjukkan kepada Marfu’ tetapi mengandung hukum Marfu’.
Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan kalimat;

َ َ‫َونه ْيناَع ْنَكذا‬...........َ‫أم ْرنأَبِكذا‬


“Kami diperintahkan begini...... dan dilarang begitu”.

3. Marfu>’ Fi’li Hakiki


Marfu>’ Fi’li Hakiki adalah apabila pemberitaan sahabat itu
dengan tegas menjelaskan perbuatan Rasulullah saw.
4. Marfu>’ Fi’li Hukmi
Marfu>’ Fi’li Hukmi adalah perbuatan tidak terang-terangan yang
menunjukkan kepada Marfu’ tetapi mengandung hukum Marfu’.
5. Marfu>’ Taqririyah Hakiki
Marfu>’ Taqririyah Hakiki adalah perbuatan tidak terang-terangan
menunjukan kepada Marfu tetapi mengandung hukum Marfu. Ini
juga berarti tindakan sahabat dihadapan Rasulullah dengan tiada
memperoleh reaksi, baik reaksi itu positif maupun negatif dari
beliau.
6. Marfu>’ Taqririyah Hukmi
Marfu>’ Taqririyah Hukmi adalah ketetapan tidak terang-terangan
yang menunjukan kepada Marfu’ tetapi mengandung hukum
Marfu’.
3. Contoh-contoh Hadi>s Marfu>’
a. Marfu>’ Qauly Hakiki

4
َُ‫َصالة‬:َ ‫َّللاِ َص ْلع ْم َقال‬ ُ ‫َإِ َّن َر‬:َ ‫ََّللاُ َع ْنهُ َقال‬
َّ َ ‫س ْو َُل‬ َّ ‫ع ْن َا ْب ُن َعُم ٌر َر ِضي‬
َ‫َم ْن َصال ِة َا ْلف ِذ َبِس ْب ٍع َو ِعش ِْر ْين َدرجةً َ(رواهَالبخاري‬
ِ ‫ا ْلجماع ِة َأ ْفض ُل‬
)َ‫وَمسلم‬
b. Marfu>’ Qauly Hukmi
ْ ‫أ ُ ِمرَبِال ٌلَأ ْنَيشْفع‬
ِ ‫َاْلذنَوأ ْنَيُّ ْوتِر‬
)َ‫َاإلقامةَ(متفقَعليه‬
c. Marfu>’ Fi’li Hakiki

َ‫ََّللاَِص ْلع ْم َكانَي ْدعُواَفِي‬ ُ ‫ََّللاَُع ْنهاَأ َّنَر‬


َّ ‫س ْول‬ َّ ‫عَ ْنَعائِشةَر ِضي‬
َ.َ)‫َمن َا ْلمأُث ِم َوا ْلم ْغر ِم‬
ِ ‫َ(أللَّ ُه َّم َ ِإنَّ ْي َأع ُْوذُ ِبك‬:َ ‫َو َيقُ ْو ُل‬،َ ‫صال ِة‬
َّ ‫ال‬
)‫(رواهَالبخاري‬
d. Marfu>’ Fi’li Hukmi

)‫ََّللاَِ(رواهَالنسائ‬ ٌ ‫َ ُكنَّاَنا ْ ُك ُلَلُ ُح ْومََا ْلخ ْي ِلَعلىَع ْهدَِر‬:َ‫قالَجا ِب ٍر‬


َّ ‫س ْو ِل‬
e. Marfu>’ Taqririyah Hakiki
Seperti pengakuan Ibnu ‘Abbas r.a :

َ‫ََّللا َص ْلع ْم‬


ِ َّ ‫س ْو ُل‬
ُ ‫ب َالش َّْم ِس َوكان َر‬ ُ َ ‫ُكنَّاَنُص ِلىَركْعت ْي ِن َب ْعد‬
ِ ‫غ ُر ْو‬
َ .َ‫يراناَول ْمَيأ ْ ُم ْرناَول ْمَي ْنهانا‬
f. Marfu>’ Taqririyah Hukmi
Perkataan Amru Ibnu ‘Ash r.a kepada Ummul Walad:

)َ‫سنَّةًَن ِب ِيناَ(رواهَأبوَداود‬
ُ َ‫س ْواَعل ْينا‬
ُ َّ‫التلب‬
B. Hadis Marfu’ Sebagai Sumber Ajaran Islam
Secara historis, sejak zaman Nabi (w. 632 M.), umat Muslim sepakat untuk
menjadikan sunnah (hadith) sebagai salah satu sumber ajaran Islam, di samping
al-Qur’an. Belum atau tidak ada bukti historis yang dapat menjelaskan adanya
sikap dari kalangan kaum Muslim pada saat itu yang menolak sunnah (hadith)
sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa al-khulafà’ al-
ràshidùn (632-661 M.) dan Bani Umayah (661-750 M.), belum terlihat secara
jelas adanya kalangan dari umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu
ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258 M.), muncul secara
jelas sekelompok kecil umat Muslim yang menolak sunnah sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok

5
inkàr al-sunnah atau munkir al-sunnah.7 Penempatan hadith Nabi sebagai salah
satu sumber ajaran ini didasarkan atas adanya beberapa kenyataan berikut ini:

1. Hadis adalah Penjelas bagi Al-Qur’an

Pada dasarnya, tidak ada keterangan dari al-Qur’an atau dari pernyataan
Nabi satu pun yang menyatakan bahwa hadis adalah penjelas dari al-Qur’an.
Hanya saja, sebuah deduksi “hadis adalah penjelas dari al-Qur’an” ini didasarkan
pada posisi dan fungsi Nabi sendiri ketika diutus sebagai seorang rasul bagi umat
manusia. Dalam firman Allah Qs. al-Nahl; 44 dinyatakan bahwa:
  
  
  
  
Artinya:

44. Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan


kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat di atas secara eksplisit menyatakan bahwa Nabi Muhammad bertugas
atau berfungsi sebagai penjelas al-Dzikr (al-Qur’an) kepada umat manusia. Ayat
ini juga mengisyaratkan bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an masih
banyak yang bersifat global (kullì) dan tidak rinci (juz’ì), sehingga perlu
penjelasan-penjelasan Nabi.
Secara historis, ajaran-ajaran al-Qur’an sudah sempurna dengan berakhirnya
masa turunnya wahyu al-Qur’an, di mana ketika nabi masih hidup, beliaulah yang
memang menjelaskan secara otoritatif terhadap sifat global al-Qur’an. Namun
setelah sepeninggal beliau maka penjelasan otoritatif oleh Nabi sudah tidak ada
lagi. Oleh karena itu, hadis-hadis Nabi merupakan turunan langsung dari semua
tindakan beliau dalam menafsirkan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam tataran
kehidupan nyata.
Hadis-hadis Nabi adalah representasi beliau ketika beliau sudah tidak dapat
hadir secara fisik di tengah-tengah masyarakat Muslim. Hadis-hadis beliau adalah
warisan beliau satu-satunya (selain al-Qur’an). Maka menjadi wajarlah, jika
7
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 13-4.

6
kemudian hadis-hadis beliau memiliki peran yang penting dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan yang sedang dihadapi umat Muslim. Karenanya, ia harus
dijadikan sumber ajaran Islam yang otoritatif, meskipun harus diakui juga bahwa
ajaran-ajaran dalam hadis pun tetap harus sejalan dengan dasar-dasar yang
dibangun oleh al-Qur’an.8
2. Ayat-ayat tentang Perintah untuk Ta’at Kepada Rasulullah

Muhammad saw. yang berkedudukan sebagai rasul dalam al-Qur’an adalah


terkait dengan misi ketuhanan dalam membentuk sebuah tatanan masyarakat
“imani” berdasarkan risalah (Kitab Suci) al-Qur’an.9 Oleh karena itu, banyak
ditemukan ayat-ayat al-Qur’an yang mengharuskan kaum Muslim untuk mentaati
seruan-seruan beliau. Mentaati beliau berarti mentaati Allah. Di antara firman
Allah yang berkaitan dengan keharusan menta’ati rasul adalah:
   
    
  
 
Artinya:

80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
    
  
   
   
  
   
   
 

8
Wahbah al-Zuhaili, al-Qur’àn al-Karìm: banaituhu al-tashrì’iyyah wa khas{à’is{uh al-
hadlìriyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’as{{ir, 1993), h. 48-50
9
Abdul Haris, “Muhammad, Antara Rasul dan Manusia Biasa: Studi Analisis atas
Sebutan-sebutan Muhammad dalam al-Qur’an, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadith vol. 2 No. 1, Juli 2001 Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 72-74.

7
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
   
   
  
    
 
Artinya:

7. ..... apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
    
   
  
  
  
Artinya:
21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Melalui ayat-ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa umat beliau diharapkan
agar supaya mentaati beliau. Karena itu, hadith atau sunnah Nabi merupakan
sumber ajaran Islam, di samping al-Qur’an. Orang yang menolak hadith sebagai
sumber ajaran Islam berarti orang itu telah menolak petunjuk al-Qur’an.10
C. Kedudukan Hadi>s Marfu>’ Qauly Sebagai Sumber Ajaran Islam
Kedudukan Hadis sebagai bayani (menjalankan fungsi menjelaskan hukum
al-Qur’an), tidak diragukan lagi dapat diterima semua pihak, karena memang
untuk itulah Nabi ditugaskan Allah swt. Nabi Muhammad saw. adalah seorang
Rasul yang membawa risalah universal (rahmatan li al-‘Alamin) dari Allah swt.
Sebagai Nabi dan Rasul maka beliau merupakan teladan dan wajib untuk dita’ati.

10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 9

8
Jumhur ulama berpendapat bahwa Sunnah berkedudukan sebagai sumber
atau dalil kedua setelah al-Qur’an dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta
mengikat untuk semua umat Islam. Mereka mengemukakan dalil-dalil yang
menetapkan hadis terutama hadis marfu’ yang merupakan suatu sumber ajaran
Islam yang harus dita’ati dan sebagai hujjah bagi kaum muslimin, di antaranya
sebagai berikut:
Pertama, Banyaknya ayat-ayat al-Qur’an yang menyuruh dan
memerintahkan kaum muslimin untuk menta’ati Rasul, dengan ungkapan yang
berbeda. Ketaatan kepada Rasul sering dirangkaikan dengan keharusan menta’ati
Allah. Umpamanya, firman Allah SWT:
 
  
 
    
   
   
  
   
   
Artinya:
59. Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian
itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kita dianjurkan agar mentaati Allah dan Rasul-Nya serta ulil amri
(pemimpin). Keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya ini mengandung konsekuensi
keta’atan kepada ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qur’an, dan ketentuan
Rasul saw. yang terdapat dalam sunnahnya. Selanjutnya, ketaatan kepada ulil amri
sifatnya kondisional (tidak mutlak), karena betapapun hebatnya ulil amri itu, maka
ia tetap manusia yang memiliki kekurangan dan tidak dapat dikultuskan. Atas
dasar inilah menta’ati ulil amri bersifat kondisional. Karena itu, jika produk ulil
amri tersebut sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka wajib diikuti.
Sedangkan jika produk ulil amri itu bertentangan dengan kehendak Allah, maka
tidaklah wajib untuk mentaatinya.
9
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Rasulullah Saw.
adalah teladan hidup bagi orang yang beriman. Maka cara meneladaninya adalah
dengan mempelajari, memahami dan mengikuti berbagai macam petunjuknya
yang termuat dalam Sunnah (Hadis) beliau. Ayat di atas memberi petunjuk bahwa
orang yang imam haruslah tunduk dan patuh kepada semua perintah dan
keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. yang merupakan utusan Allah.
Artinya, Allah menganggap tidak ideal iman seseorang yang tidak menyerah
kepada keputusan Rasulullah saw. Sementara itu, di pihak lain Allah mencela
orang mukmin yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, pada hal
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuannya (QS. al-Ahzab: 36).
Kedua, Hadis Nabi saw. pada prinsipnya adalah penyampaian (tabliqh)
risalah Allah, dan Allah telah menugaskan kepada Nabi saw. agar menyampaikan
risalah itu kepada umatnya, sebagaimana firman Allah:
   
    
    
   
    
   
 
Artinya:
67. Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan
jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak
menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Dengan demikian, apabila Hadis (Marfu’ Qauly) secara keseluruhan
merupakan panyampaian risalah Muhammad saw. maka penerapan dalil sunnah,
berarti sama dengan menerapkan syari’at Allah. Begitu pula ayat al-Qur’an
menetapkan, apa yang dikatakan Nabi Saw. adalah berdasarkan wahyu, karena
beliau tidak berkata berdasarkan kehendaknya sendiri, tetapi semua itu
berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah (QS. an-Najm: 3-4). Bila wahyu (al-
Qur’an) mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka sunnah pun wahyu yang
mempunyai kekuatan hukum untuk diikuti.

10
Ketiga, banyak hadis yang mewajibkan kita untuk mengikuti Nabi Saw.
dalam segala hal, yaitu mengikuti secara umum terhadap segala sesuatu yang
termasuk ajaran agama. Di anataranya, hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah
saw. bersabda:
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang menolak (tidak mau). Para
sahabat bertanya, siapa orang yang menolak itu wahai Rasulullah ? Beliau
menjawab, “Siapa yang menta’atiku, ia akan masuk surga dan siapa yang
bermaksiat kepadaku, ia telah menolak (tidak mau) masuk surga” (H.R.Bukhari ).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, jelaslah ke-hujjah-an Sunnah sebagai
sumber (dalil) hukum ditetapkan berdasarkan al-Qur’an. Ia juga wahyu seperti
halnya al-Qur’an, dan Nabi hanyalah sebagai penyambung lidah dan penjelas
hukum yang terkandung di dalamnya serta pelengkap terhadap syari’at. Kekuatan
Sunnah sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi, yaitu: dari segi
kebenaran materinya dan dari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum.
Sedangkan secara logika, andaikata Sunnah itu bukan merupakan hujjah
bagi kaum muslimin dan undang-undang yang harus mereka taati, niscaya mereka
tidak akan dapat melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah dalam al-
Qur’an secara seksama. Sebab hukum-hukum al-Qur’an yang diwajibkan kepada
manusia, umumnya bersifat mujmal. Al-Qur’an tidak menjelaskan tentang tata
cara pelaksanaan hukum-hukumnya seperti perintah shalat. Maka di sinilah
Sunnah (Hadis) menduduki posisi dan fungsi yang cukup signifikan dalam ajaran
Islam untuk memberi penjelasan terhadap ke-mujmalan hukum-hukum al-Qur’an.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Nabi Muhammad Saw. adalah seorang Rasul yang membawa risalah

universal (Rahmatan li al-‘Alamin) dari Allah SWT. Sebagai Nabi dan Rasul

beliau merupakan teladan (uswatun hasanah), dan sebagai Rasul beliau juga

wajib untuk ditaati. Satu hal yang harus diyakini, pada umumnya Sunnah

Rasul, baik yang berbentuk ucapan, perbuatan dan ketetapannya mempunyai

implikasi hukum yang mesti diikuti (Sunnah Tasyri’iyah). Umpamanya,

perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk penyampaian risalah dan

penjelasannya terhadap al-Qur’an tentang beberapa masalah ibadah yang

bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk dan tata cara shalat dan

lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau hendaklah diterima dengan

ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang dianggap beriman dan apa yang

beliau larang haruslah dihindari.

Namun, selain sebagai seorang Nabi dan Rasul beliau juga adalah

manusia sebagaimana manusia lainnya seperti dijelaskan dalam ayat al-

Qur’an. Beliau tentu juga memiliki keperluan jasmani dan rohani, memiliki

keinginan dan selera serta mempunyai kebiasaankebiasaan dalam kehidupan

sehari-hari. Apakah semua yang datang dari beliau sebagai manusia biasa

dalam konteks bahwa sebagian perbutan dan perkataan beliau yang muncul

dari sifat kemunusiaannya (Jibillah Basyriyyah) juga merupakan sumber

syari’at yang mengikat.

12
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Haris, “Muhammad, Antara Rasul dan Manusia Biasa: Studi Analisis atas
Sebutan-sebutan Muhammad dalam al-Qur’an, dalam Jurnal Studi Ilmu-
ilmu al-Qur’an dan Hadith Vol. 2 No. 1, Juli 2001 Jurusan Tafsir Hadith
Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta,
72-74.

Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis. Jakarta : Amzah, 2009.

al-Amidi, al-Ihkàm fì Us{ùl al-Ahkàm. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.

al-Shatibi, al-Muwàfaqàt fì Us{ùl al-Sharì’ah. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997.

M. Syuhudi Ismail, Hadith Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya.


Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Muhammad Tohan, Musthalahah al- Hadis. Beirut: Darul Fikr, t.th.

Wahbah al-Zuhaili, al-Qur’àn al-Karìm: banaituhu al-tashrì’iyyah wa


khas{à’is{uh al-hadlìriyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’as{{ir, 1993.

Wahbah al-Zuhaili, Us{ùl al-Fiqh al-Islàmì. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 2001.

13

Anda mungkin juga menyukai